Minggu, 27 Desember 2020

Takut

 

Tidak ada masalah dengan takut sebelum ia dimanipulasi, sebelum takut-takut palsu diciptakan.. Takut berjasa besar melestarikan spesies homo sapiens. Tanpa takut, mustahil manusia mampu lestari hingga kini.

 

Karena takut, manusia mencari perlindungan. Melihat dahsyatnya angin, lebatnya hujan, hewan buas, dan sekian fenomena alam yang mengerikan, yang menimbulkan rasa takut, manusia berlindung di gua-gua, di rumah, atau di mana saja sejauh ia merasa aman.

 

Takut selalu memiliki objek. Artinya takut selalu datang beserta hal/objek yang ditakuti. Mati adalah takut paling purba dan berlaku untuk semua mahluk hidup. Mati adalah kondisi “non-ada”, sesuatu yang amat sangat ditakuti segenap spesies.

 

Manusia tidak meminta dirinya “ada” dan “meng-ada”. Namun, toh manusia “ada” juga. Dari mana asal “ada”, mau ke mana “ada”, dan ada apa setelah “non-ada” jadi salah satu misteri terbesar dalam hidup manusia. Mati jadi sumber takut karena manusia tidak memiliki pengetahuan tentangnya dan setelahnya. Tentang ada apa setelah mati. Takut bisa lahir dari ketidaktahuan atau sebaliknya, karena saking tahunya. Manusia tidak memiliki pengetahuan prihal mati, prihal ada apa setelah mati. Karena tidak tahu maka takut.

 

Dalam hal ini agama memberi bocoran ada apa setelah mati. Ada kehidupan setelah mati. Ada “ada” setelah “non-ada”. Mati, sebagaimana lahir, hanya gerbang menuju fase hidup selanjutnya. Karena diberi bocoran, takut mati sedikit berkurang. Sebagian malah tidak takut sama sekali. Justru diburu. Memburu mati. Mati yang mulia.

 

Tapi bocoran eskatologis agama tidak memuaskan semua pihak. Takut masih tetap menggelayut.  Filsafat tidak puas. Para pemikir berupaya mencari jawaban sendiri. Demikian pula para ilmuwan. Tiap-tiap mereka berpegang pada ajaran “ada” dan “meng-ada” yang boleh jadi berbeda-beda.

 

Satu hal yang mempersatukan mereka tentang “ada” adalah bahwa bagaimanapun penjelasan prihal “ada” itu, kendatipun setelah diberi bocoran oleh agama, manusia, pada dasarnya, takut “non-ada”, takut non-eksis.

 

Takut mati adalah naluri tiap-tiap mahluk hidup. Untuk alasan itulah mahluk hidup terus berusaha mempertahankan kelangsungan spesiesnya; tumbuh dan berkembang; tetap dan terus mencari makan, berlindung dari bahaya, dan berkembang biak.

 

Sampai pada titik tertentu, takut berfungsi sebagai pelestari spesies. Ketakutan terhadap mati telah mendorong manusia dan semua spesies untuk bertahan hidup. Hewan-hewan memiliki insting kuat untuk sembunyi, kabur, melawan, atau mengelabui pemangsanya. Atau memangsa dengan segala cara demi kelangsungan hidup. Karena tidak memiliki akal yang berkembang seperti manusia, Tuhan melengkapi hewan dengan berbagai macam kemampuan unik untuk bertahan hidup selaras dengan bentuk tubuh dan habitatnya.

 

Sebatas demi kelangsungan hidup dan melindungi diri bahaya alamiah, takut berperan sangat penting. Sampai saat ini, pada kelompok spesies lain selain manusia, takut masih tetap seperti itu. Dan tidak ada masalah dengannya.

 

Mati adalah pasti. Secara alamiah, tua adalah tangga kematian. Kecuali itu, sakit dan luka juga. Karena manusia takut mati maka segala yang mendekatkan manusia pada mati dijauhi, dihindari, dilawan. Kalau perlu dimusnahkan sama sekali.

 

Entah sejak kapan tua ditakuti. Entah sejak kapan manusia-manusia menghindari atau mengatasi keriput dan uban sebagai tanda lanjut usia. Apa benar Cleopatra yang mashur itu minum jamu awet muda, mengolesi tubuhnya dengan ramuan anti-aging, mengenakan wig hitam, atau mengecat rambutnya? Entahlah.

  

Tua adalah pasti. Sepasti, seniscaya, mati. Tapi sakit dan luka tidak. Ia tidak musti, melainkan  potensial terjadi pada manusia. Oleh karenanya, sakit dan luka dapat dihindari. Kalau sudah terlanjur, maka dengan segala cara harus dimusnahkan. Diobati. Dipulihkan. Manusia harus pulih seperti sedia kala, harus jauh dari mati.

 

Sebab mati adalah takut paling utama, maka segala hal yang menarik manusia mendekati mati haruslah dijauhi, termasuk sakit dan luka. Tubuh mesti kembali ke “ada” yang sempurna, yang tanpa sakit, yang tanpa luka. Yang jauh dari mati.

 

Atas dasar itu ilmu medis berkembang. Di semua kebudayaan, dari yang terkecil, sederhana, dan acap kali disebut primitif, yaitu suku-suku di pedalaman hutan atau pulau terpencil, sampai peradaban besar, kompleks, dan paling maju di metropolis-metropolis, dukun/shaman/tabib/dokter atau sebutan lainnya selalu ada. Tugas utama mereka, pertama-tama sekali adalah memulihkan tubuh lahir atau batin, fisik dan/atau psikis, dari sakit dan luka, agar jauh dari mati.

 

Menjauhkan mati dari “aku” yang lain, yaitu keluarga, kerabat, atau anggota komunitas masih dapat digolongkan alamiah. Bukan cuma manusia yang melakukannya, tiap-tiap hewan sosial juga melakukan hal yang sama.

 

Pada titik ini, “aku” mengalami perluasan. Yang “aku” bukan hanya “aku-diri-yang-aku-sadari”, melainkan “aku-yang-lain” sejauh “aku” mengidentifikasi dan menyadarinya sebagai “sama”. Kesadaran sosial macam ini adalah khas manusia dan hewan-hewan sosial macam kera, singa, serigala, dan lain sebagainya.

 

Pada hewan, takut berhenti pada menjauhi mati meski mati adalah pasti. Tapi tidak demikian dengan manusia. Takut tak berhenti sampai di sana. Ia berkembang terus sejalan dengan perkembagan akal budi dan peradaban manusia.

 

Setelah takut mati, lalu sakit dan luka, kemudian takut tua, manusia takut kehilangan harta. Hal ini muncul sejalan dengan lahirnya konsep hak milik dan harta benda. Manusia memperluas lagi “aku” tak hanya sebatas “tubuh fisik”, tak hanya nyawa, tak hanya “hidupku”, melainkan “benda di luar tubuh dagingku adalah milikku”, adalah “aku”. Oleh sebab demikian, benda-benda “milikku” dipertahankan sebagaimana “aku” sebab “ke-non-ada-an benda adalah ke-non-ada-an aku”.

 

Setelah hinggap di benda-benda, termasuk tanah, sumber air, dan sumber makanan lainnya, takut menclok di kepala. Kemampuan manusia mengolah gagasan tanah air, bangsa, harga diri, martabat, kehormatan, dan hal-hal abstrak semacam itu membawa serta takut dalam dirinya.

 

Takut harga diri diinjak-injak. Takut martabat dan kehormatan dilecehkan. Takut bangsa dan tanah airnya “tercemar” oleh bangsa lain. Dan ratusan takut lain yang merupakan kawanan atau turunan dari takut-takut semacam itu lahir dan terus berkembang hingga kini.

 

Ketika manusia mulai menyadari dahsyatnya kekuatan takut, mereka mulai mengelolanya demi tujuan-tujuan tertentu. Pada titik ini, lahirlah apa yang sekarang kita kenal dengan ancaman. Ancaman adalah menakut-nakuti. Membuat orang lain takut. Menghantarkan objek takut mendekati subjeknya  demi suatu tujuan pihak yang menakut-nakuti.

 

Pada dasarnya ancaman bukan sesuatu yang buruk. Tuhan juga mengancam manusia. Tujuannya demi kebaikan manusia sendiri. Sama sekali bukan untukNya. Tuhan tak butuh apa pun dari siapa pun.

 

Manusia meniru Tuhan dalam hal ancam-mengancam. Demi apa? Tidak seperti Tuhan yang mengancam demi kebaikan yang diancam, manusia mengancam demi keuntungan atau tujuan si pengancam. Itu bedanya. Pasti beda walau meniru sekuat tenaga. Tuhan tak mungkin disamai oleh apa pun, oleh siapa pun.

 

Ketika otoritas manusia mengejawantah dalam suatu tatanan sosial, pada saat itu, takut tidak lagi hanya menjadi sumber tenaga dan inspirasi untuk melindungi “diri” (konkret/fisik/daging maupun abstrak). Takut telah disadari kekuatan dahsyatnya. Oleh sekelompok orang, sebut saja otoritas, takut dikelola sedemikian rupa.   

 

Takut dijadikan senjata. Wujud nyatanya adalah ancaman. Lebih rendahnya adalah gertakan. Karena sama-sama manusia, maka manusia kelompok A tahu bahwa manusia kelompok B juga takut mati, sakit, luka, kehilangan harta, sama seperti dirinya. Maka sumber takut itu didekatkan padanya. Ancaman.

 

“Jika kau …., maka aku akan …..”, “jika kau ….., maka aku tak akan….”, “jika kau tak…, maka aku akan ….”, “jika kau tak …., maka aku tak akan…..”, demikian rumusan preposisinya. Ancaman selalu berupa preposisi implikatif.

 

Semua hukum dan undang-undang di seluruh dunia sejak sebelum Masehi hingga kini berisi ancaman. Kodex Hammurabi, hukum tertulis pertama di dunia, seluruhnya merupakan ancaman hukuman, disajikan dalam preposisi implikatif “jika…. maka….”.

 

Aturan selalu beserta ancaman hukuman bagi pelanggarnya. Dalam bahasa lain disebut sanksi. Di mana pun. Kapan pun. Negara berdiri di atas dan dengan segenap ancaman. Otoritas mengatur manusia dengan ancaman. Takut dikelola sedemikian rupa demi tercapai suatu keteraturan. Demikianlah negara. Demikian otoritas, dalam bentuk apa pun.

 

Setelah negara, termasuk politisi di dalamnya, pemilik modal adalah entitas lain yang lebih cerdas mengelola takut. Boleh jadi yang paling cerdas. Untuk secara efektif dan tepat mengelola takut, pertama-tama mereka membiaskan kebutuhan dan keinginan manusia.

 

Apa yang dibutuhkan terkadang tidak selamanya adalah apa yang diinginkan. Sebagian—untuk tidak mengatakan kebanyakan—manusia tidak tahu apa yang ia butuhkan. Muasalnya karena ia tidak secara baik dan mendalam mengenal “aku”. Akibatnya, kebutuhan dan keinginan acap kali bias (seperti opini dan fakta). Tertukar tanpa niat dan sengaja karena ketidaktahuan. Karena kebodohan. Atau dengan niat dan sengaja ditukar oleh pemilik modal. Atau otoritas. Atau siapa saja yang mau.

 

Kebutuhan adalah bagian konkret dari “aku”. Ke-non-ada-annya menyebabkan “aku” bukan “aku” atau setidaknya menyebabkan kondisi “aku” tidak prima sebagaimana “aku” seharusnya. Pada titik tertentu bahkan dapat mendekatkan mati.

 

Ketika kebutuhan terpenuhi, hidup menjadi pas. Cukup. Tidak kurang tidak lebih. Makan yang disarankan agama dan ilmu pengahuan yang jujur adalah makan yang cukup. Pas untuk keberlangsungan hidup yang prima.

 

Demikian pula seks, perlindungan diri dari bahaya, martabat, harga diri, harta, seni, dan segala hal dalam hidup, agama dan ilmu pengetahuan yang jujur menganjurkan berhenti pada cukup. Tetapi hasrat manusia menghendaki lain.

 

Tidak seperti hewan, manusia berpotensi untuk hidup lebih dari cukup. Inilah keinginan. Keinginan tidak selamanya berarti dan tidak sama dengan kebutuhan. “Lebih dari cukup”, dengan segala keburukannya, adalah pendorong lahir dan majunya peradaban.   

 

Jika merasa cukup dengan surat menyurat dan tidak menginginkan lebih dari itu, mustahil telepon dan internet dengan segala keajaibannya lahir. Jika merasa cukup dengan kereta kuda dan tidak menginkan lebih dari itu, tidak mungkin kereta api, mobil, pesawat terbang, dan mode transportasi moderen lainnya diciptakan. Jika memulihkan sakit dan luka di rasa cukup demi kelangsungan hidup, ilmu medis dan kesehatan tidak akan mengenal bedah estetis. Juga tidak akan ada hal yang bernama binaraga.

 

Keinginan adalah mengenai lebih. Memakan daging sapi panggang dirasa cukup mengenyangkan dan nikmat. Namun, lebih nikmat jika ….. Berhubungan seks dengan pasangan sah sudah cukup. Namun, lebih asik jika….

 

Dari keinginan hal ihwal makan saja, muncullah jutaan restoran dan perusahaan pembuat alat-alat masak. Berkembanglah ilmu masak-memasak lengkap dengan sekolahnya. Dari soal berhubungan seks, muncullah bisnis prostitusi yang kemudian melahirkan sekian banyak profesi turunannya.

 

Baik ingin maupun butuh sama-sama mengandung takut, yaitu takut tidak terpenuhinya kebutuhan dan takut tidak tergapainya keinginan. Apa yang terjadi jika tidak terpenuhi dan tidak tergapai? Kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menyebabkan disharmoni hidup secara nyata. Konkret dan seketika itu juga terjadi. Mental, fisik, individual, maupun sosial acak-acakan. Akan menyebabkan “ada” yang tidak prima. Sakit. Hidup jadi kacau.

 

Perlindungan dari bahaya adalah kebutuhan. Jika tidak terpenuhi, mental akan kacau sebab ketakutan tidak teratasi. Tubuh daging juga terdampak. Apa yang terjadi jika seorang manusia, tanpa busana,  tiap hari terpapar sinar matahari dan kehujanan? Apa yang terjadi jika seorang manusia tidak makan dan minum selama tiga puluh hari?

 

Dengan beberapa pengeculian seperti yang dilakukan sejumlah mistikus dan spiritualis, kebutuhan yang tidak terpenuhi, pada akhirnya, akan mendekatkan mati, mendekatkan kondisi “non-ada”, yaitu takut paling purba dan eksistensial.

 

Tapi tidak demikian dengan keinginan. Dampak paling nyata dari tidak tercapainya keinginan adanya dalam pikiran. Abstrak. Berupa emosi-emosi dan perasaan: sedih, marah, kecewa, stress. Semua itu pasti berdampak pada hidup, mirip dengan kebutuhan. Bedanya, keinginan dapat diatasi bukan hanya dengan menggapainya, melainkan juga dengan mengatasainya dalam pikiran.

 

Keinginan sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Up to us, kata orang-orang Stoisisme. Dapat diubah kapan saja. Kebutuhan tidak demikian. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, manusia butuh makan, misalnya. Hal demikian diluar kuasa manusia sebab merupakan hukum Tuhan demi hidup manusia yang cukup. Yang pas.

 

Pemilik modal paham betul prihal takut pada kebutuhan dan keinginan. Takut dalam rupa ini dijadikan bahan bakar utama menggenjot kontinuitas produksi. Barang selalu dibuat. Terus, tanpa henti.

 

Demi keuntungan yang berlipat, ingin dan butuh ditukar-biaskan. Setelah pandanganya kabur,  manusia dimanupasi agar selalu menghendaki lebih. Dari sini keuntungan ekstra di dapat. Mengandalkan penjualan kebutuhan hingga terpenuhi kebutuhan saja tidaklah menjamin pabrik terus beroperasi.

 

Keinginan harus dipupuk terus. Lagi dan lagi. Lebih dan lebih. Kalau perlu menciptakan keinginan-keinginan artifisial yang kemudian menyusup ke alam batin menjadi seolah kebutuhan. Ya, kebutuhan palsu.

 

Agar nampak nyata, para pemilik modal menciptakan semesta yang kompatibel dengan kebutuhan palsu itu. Apakah manusia benar-benar butuh untuk pergi ke bulan? Apakah manusia benar-benar butuh akan batuan yang ditambang dari bulan?

 

Pemilik modal mengatakan butuh sebab energi tak terbarukan yang ada di bumi akan habis.  Kebutuhan itu dilegitimasi oleh negara dan ilmu pengetahuan yang tidak jujur, yang sepenuhnya didanai pemilik modal. Padahal kebutuhan manusia untuk hidup cukup dan pas, untuk mengatasi takut yang mendasar, tidak demikian adanya.

 

Jika bumi sudah demikian keropos, kenapa tidak berhenti mengebor dan kembali ke cara-cara kuno dalam mengelola hidup, bumi dan energi? Atau menciptakan cara baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan yang jujur, bukan keinginan?

 

Contoh yang lebih dekat: apakah belanja, membeli suatu barang yang ada di warung tetangga, benar-benar membutuhkan toko daring (online shop)? Apakah membeli telepon pintar ter-update dari merek dagang tertentu adalah kebutuhan? Apakah murid-murid benar-benar membutuhkan kursus daring? Apakah asuransi benar-benar kebutuhan hidup? Dapatkah “aku” prima tanpa asuransi, tanpa telepon pintar ter-update dari merek tertentu, tanpa kursus daring? “Akankah mati mendekatiku bila aku tidak memenuhi atau menggapai semua itu?”

 

Daftar pertanyaan itu bisa diperpanjang. Dan tiap pertanyaan dengan sendirinya mengandung takut.  Kebutuhan palsu dalam dirinya sendiri membawa takut palsu. Takut yang tidak mendasar, yang sama sekali jauh dari takut paling eksistensial: takut tidak update, takut ketinggalan gosip, takut tidak gaul, dan jutaan takut yang lain.

 

Demikialah takut.


sumber gambar:

https://www.flickr.com/photos/arakrune/5214097092/

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...