Jumat, 28 Juli 2017

Dekomunalisasi Perkawinan


Seks, apa yang terbayang di benakmu ketika mendengar kata itu? Porno? Dosa? Hubungan alat kelamin? Ayolah, Dasta. Apa yang salah dengan membicarakan seks? Ia bagian tak terpisahkan dari tubuh dan kehidupan manusia. Kamu mustahil hidup jika ayah ibumu tak berhubungan seks, kecuali kamu hasil kloning. Dosa? Sejak kapan membicarakan seks tergolong dosa?

Jangan hipokrit, Dasta. Bukankah perkawinan juga adalah kepanjangan dari seks? Bila saja kita tak punya akal budi, upacara perkawinan yang kompleks dan sakral itu takkan pernah ada. Di beberapa agama dan kepercayaan, perkawinan adalah semacam ritual suci. Punya nilai ibadah. Urusannya bukan hanya kamu dan pasanganmu, atau keluargamu dan keluarga pasanganmu. Perkara perkawinan adalah urusan kalian dan keluarga kalian dengan Tuhan. Saking pentingnya perkawinan, negara sampai membuat undang-undangnya secara khusus. Dan ada lembaga negara yang khusus mengurus perkawinan. Perkawinan merasuki pelbagai dimensi, tak hanya ruang privat belaka.

Bermodal berahi atau cinta kasih semata, mungkin belumlah cukup untuk menyelenggarakan upacara perkawinan. Setidaknya itu dari sudut agama dan adat istiadat. Ada sekian persyaratan yang musti kamu penuhi buat sebuah upacara perkawinan. Itu sudah pasti, Dasta. Modal utamanya memang cinta kasih. Jika tidak, buat apa kamu kawin?

Aku bukan menutup mata. Memang ada perkawinan tanpa cinta kasih antar pasangannya. Perkawinan dengan latar belakang bisnis, politik, sebagai sarana penyebaran agama, status sosial, dan lainnya. Dan perkawinan macam ini sangatlah banyak, Dasta. Sejarah dan sastra klasik banyak menceritakan itu. Dan kukira, di era post-modern ini, perkawinan macam begitu masihlah ada. Jujur saja, aku agak meragukan sakralitas perkawinan macam itu. Oh, benar, Dasta. Ada pula yang kawin demi menghindari dosa prostitusi dan onani. Juga ada yang kawin lantaran dorongan dogma agama, tak peduli kamu cinta atau tidak pada pengantinmu.

Tapi, Dasta, insyafahkah kamu bahwa perkawinan juga adalah peristiwa komunal? Perkawinan bukan hanya ihwal ritus ibadah yang langsung berurusan dengan The Holy Supreme. Perkawinan juga adalah peristiwa perayaan kegembiraan. Selalu ada perayaan, ada pesta usai ritual yang sakral itu. Ada profan usai sakral. Ada riuh usai sepi. Begitulah barangkali kebudayaan kita, dan kebudayaan lampau lainnya : sakral dan profan tidak terdikotomi tegas seperti pola pikir modern. Sakral dan profan berkelindan. Saling bersulam. Bahkan tak ada sama sekali istilah sakral dan profan sebab semua laku jadi emanasi hubungan transendental.

Pada kebudayaan tradisional, perayaan perkawian dilakukan sepenuhya oleh keluarga, kerabat, dan masyarakat secara gotong royong. Sejak masa persiapan hingga pasca acara, mereka semua yang menangani. Semua dilakukan atas dasar tugas sosial sebagai masyarakat. Mereka meyakini bahwa perkawian, pada dimensi lain, adalah sebuah peristiwa komunal, ibadah sosial yang menjadi tanggung jawab bersama. Bila ada pasangan yang upacara perkawinannya terasa kurang sempurna, banyak dari mereka yang meyakini bahwa bencana dan amuk Tuhan atau Dewa bukan saja pada pasangan pengantin semata, tetapi melanda seluruh kampung. Begitupun kebahagiaan satu keluarga yang kawin sejatinya adalah kebahagiaan bersama seluruh anggota komunitas masyarakat.

Tak masalah, Dasta. Membicarakan perkawinan bukan menu khusus buat orang yang sudah kawin saja, kamu pun berhak. Semua berhak sebab, seperti yang kukatakan, perkawinan menginjakkan satu kakinya di dimensi sosial (publik), satu kaki di dimensi privat. Ihwal perkawinan di ruang publik, perayaan perkawinan adalah pernyataan jelas tentang hal itu. Tentu, Dasta. Semua terlibat. Ada petugas masak–memasak. Dan mereka punya struktur tersendiri, siapa kepala, siapa bagian menanak nasi, siapa bagian urus ikan, siapa bagian urus sayur-mayur, siapa bagian urus kue-kue, siapa urus buah-buahan, siapa bagian urus penataan, siapa bagian cuci-mencuci, dan lain sebagainya. Itu baru bagian dapur. Belum lagi urusan dekorasi, panggung hiburan, tenda, dan kursi. Memang, sejak beberapa tahun lampau, perkara dekorasi sudah ditangani lebih profesional oleh pihak ketiga. Sebut saja Juru Rias. Biasanya mereka membawa paketan bersama baju dan rias pengantin.      
 
Zaman berubah, Dasta. Dewasa ini, khususnya di masyarakat urban kelas menengah ke atas, masyarakat sudah tak lagi memiliki perayaan perkawinan. Perayaan ini kini mengalami dekomunalisasi, suatu proses pen-tidak-masyarakat-an. Proses bergesernya sesuatu yang asalnya milik komunal, milik masyarakat ke arah lain, non-komunal. Perayaan perkawinan sudah ditangani secara profesional oleh sekelompok orang yang tidak memliki hubungan apapun dengan mempelai kecuali hubungan bisnis. Mereka bukan saudara, bukan kerabat, bukan pula anggota komunitas masyarakat tempat si mempelai tinggal. Mereka ialah sumber daya yang mengkhususkan dan melatih diri mengurusi perayaan perkawinan orang lain.

Mereka menyiapkan segalanya, Dasta. Konsep, baju pesta, masakan, tempat perayaan, dekorasi, hiburan, dokumentasi berupa foto dan video, dan segala ihwal perayaan perkawinan. Jika kamu si pengantin, kamu akan diarahkan ibarat raja dan ratu yang punya ajudan dan divisi protokol. Yang menjadi urusan kamu hanyalah upacara perkawinan yang sakral itu di mana kamulah aktor utamanya.

Menurutku, di era post-modern ini, dimensi sakral dan profan dari suatu perkawinan masihlah ada hanya wujudnya saja yang berubah. Tapi barangkali memang terjadi pergeseran interpretasi. Sakralitas perkawinan yang tersimpan dalam upacara perkawinan pun boleh jadi mengalami perubahan makna. Barometer sakralitas yang tadinya merupakan prodak agama dan adat, kini menjadi lebih personal. Yang mengukur sakral tidaknya adalah pengantin semata. Beberapa elemen yang menurut agama dan adat adalah penentu sakralitas, kadang disubstitusi oleh elemen sakral versi pengantin sendiri atau ditafsir ulang menjadi bentuk baru yang lebih terasa privat.

Ruang profan yang terwujud lewat perayaan pun berubah. Yang asalnya merupakan prodak komunal, prodak masyarakat, kini telah jadi prodak Wedding Organizer atau Wedding Planner. Hiburan-hiburan pesta perkawinan jadi sangat terbatas, demikian pun waktu resepsi. Semua serba terjadwal, ketat, dan dalam beberapa kasus, kaku. Perayaan perkawinan jadi bisnis “seni kemas acara” yang menggiurkan. Perkawinan jadi serupa seni pertunjukan yang dikelola secara profesioal, tentu harus sangat entertain. Percayalah, Dasta, dalam beberapa kasus, hal ihwal yang katanya acara adat itu hanya jadi tempelan belaka, dan tujuannya jelas hiburan.


Demikianlah, Dasta. Masyarakat kini benar-benar hanya tamu belaka dalam suatu resepsi perkawinan, tak lebih. Para tetangga cukup datang, bersalaman, berpotret, memberi amplop, makan, dan pulang. Alasannya jelas : efektifitas dan efisiensi. Agaknya, itu alasan yang bergaung di semua bidang, di era milenial ini, Dasta.

Panjalu, 28 Juli 2017

Jumat, 14 Juli 2017

Patung


Demi tuhan, saya memang tidak tahu. Sepanjang ingatan saya, patung itu sudah lama berdiri di sana tanpa saya tahu siapa penciptanya. Dan saya agak yakin juga, bukan saya seorang saja yang tidak tahu pembuat patung itu. Saya hanya tahu bahwa patung itu sudah jadi milik negara. Pembuatannya bukan di zaman saya jadi saya tidak tahu siapa yang buat.

Niat saya baik. Saya menilai perlu ada pembaharuan. Bukan berarti patung itu jelek. Patung itu sangat bagus dan indah, apalagi penciptanya ialah seorang seniman besar. Seorang pematung kelas dunia. Sebagai pemimpin daerah dan warga asli daerah ini, saya bisa mewakili perasaan segenap warga masyarakat yang tentunya merasa bangga akan kehadiran patung itu yang telah menemani hari-hari kami. Jadi ikon daerah kami. Namun seiring perkembangan zaman dan kemajuan yang telah dicapai daerah kami dibawah kepemimpinan saya, alangkah baiknya jika patung itu diperbaharui agar lebih mewakili visi dan semangat kekinian dari daerah kami.

Tidak. Sama sekali saya tidak punya niatan atau perasaan merendahkan atau mencemooh patung itu sebagai patung yang ketinggala zaman. Ah, itu anggapan orang-orang yang iri saja pada saya. Atau mungkin itu tulisan-tulisan di koran yang kurang bertanggungjawab. Sudah saya katakan, saya dan segenap masyarakat di sini sangat bersyukur dan bangga atas kehadiran patung itu. Daerahnya jadi tempat berdirinya patung karya seniman terkenal, siapa yang tak bangga.

Justru tindakan yang saya lakukan adalah wujud rasa cinta dan kebanggaan terhadap daerah yang saya pimpin ini. Ide pembaharuan, sekali lagi saya katakan, pembaharuan patung itu berangkat dari rasa bangga saya atas pencapaian-pencapaian pemerintah dan masyaraat daerah yang saya pimpin. Sebagai daerah yang baru beberapa tahun memiliki hak otonomi, wajar saya merasa bangga atas segala pencapaian kami. Sebagai wujud rasa cinta, bangga, dan syukur saya maka saya bermaksud memperbaharui patung tersebut. Semangat yang tersirat dibalik patung itu sudah bagus dan itu pula yang memberi kami semangat lebih untuk bekerja membangun daerah kami.  Nah, semangat itu alangkah lebih baik jika bisa dipancarkan lebih luas lagi, lebih dahsyat lagi melalui bentuk patung yang baru. Kan begitu.

Masalah metode pembaharuan patung, memang ada hal-hal yang saya sesali. Untuk kekhilafan saya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Idealnya memang saya memberitahu dan minta izin pada seniman pematung itu, tapi karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan saya, apa boleh buat. Saya akui saya khilaf dan oleh karenanya saya mohon maaf kepada seluruh pihak yang merasa kurang nyaman atas tindakan saya terhadap patung itu, terutama kepada seniman bersangkutan.

Saya kan manusia, bukan malaikat. Sudah pasti punya kekurangan, ada kealpaan. Justru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini kita harus saling mengisi. Kekurangan saya bisa diisi oleh masyarakat dan begitu sebaliknya. Pemerihtah dan masyarakat, apalagi dalam hal ini seniman, sudah seharusnya saling mengisi. Saling mendukung dan bekerja sama membangun daerah. Harus ada sinergitas yang baik antara seniman dan pemerintah. Kan sama-sama masyarakat, sama-sama rakyat. Secara esensi, tidak ada antara saya dan sang pematung itu. Sama-sama anak bangsa, sama-sama tumpah darah negeri  ini.

Apa jadinya hidup tanpa seni? Seni itu unsur mendasar yang wajib ada di tiap sendi kehidupan. Kalau saya tidak punya jiwa seni, dengan apa saya memperindah daerah yang saya pimpin. Seni itu tinggalan mulia para leluhur kita. Pelesrarian dan pengembangannya adalah wajib. Saya berupaya keras membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong pelestarian dan pengembangan kesenian di daerah saya. Seniman adalah mitra pemeritah sejak lama.

Itu baiknya. Dengan peristiwa ini kan saya jadi kenal beliau. Jadi silaturrahmi. Kemarin saya sudah temui beliau dan beberapa seniman lain. Saya sampaikan salam silaturrahmi dan permohonan maaf. Beliau seniman besar, sudah level nasional, bahkan internasional. Silaturrahmi kemarin tentu baru langkah awal. Saya, baik atas nama pribadi maupun  pimpinan daerah, akan terus menjalin silaturrahmi dengan seniman-seniman demi membuat sinergitas untuk membangun daerah.

Iya, seperti yang sudah saya utarakan. Silaturrahmi ini baru langkah awal. Ini kan langkah yang baik. Saya juga jadi menambah kawan, menambah saudara. Ini baik untuk saling menularkan semangat. Kebetulan kami punya banyak kesamaan. Yang paling utama, saya dan beliau sama-sama punya semangat membangun. Pancaran semangat beliau bisa terlihat dari karya-karyanya yang menomental dan bernilai seni tinggi. Semangat membangun ini pun yang saya kelola baik-baik untuk daerah saya. Besar harapan saya bila semangat ini bisa lebih membumi dan meluas. Semangat membangun ini seyogianya memang bukan hanya hadir di daerah saya saja, tapi juga di daerah lain. Kita kan masih dalam satu bingkai. Semangat pembangunan yang tertata dalam struktur pemerintahan dari pucuk pimpinan hingga yang paling bawah, dari Gubernur hingga RT, itu hal diharapkan bersama agar pembangunan bisa lebih tertata, terencana, dan mudah dievaluasi. Memimpin daerah besar seperti provinsi kita ini butuh semangat membangun yang tinggi. Pemimpinnya jelas harus tangguh dan pantang menyerah. Banyak sekali persoalan yang harus segera diselesaikan. Ini hanya mungkin teratasi dengan semangat membangun yang tinggi dan tak putus-putusnya.


Ya, bila memang rakyat mempercayai saya menjadi pemimpin yang lebih tinggi, dengan sekuat tenaga, dengan segenap hati dan jiwa, saya akan berusaha untuk tidak mengecewakan. Saya akan jaga baik-baik amanat dan mandat rakyat.

Panjalu,
14 Juli 2017

Kamis, 13 Juli 2017

Tilang, Negara, Dan "Aku"


Din, beberapa waktu lalu aku ditilang polisi. Sebabnya sederhana dan aku kira tidak musti sampai dihukum membayar sekitar lima puluh ribu. Tidak, aku tidak minta damai. Aku mengakui kesalahanku, menerima surat tilang berwarna biru, dan bermaksud mengikuti sidang. Sebagai sitaan, STNK-ku yang sudah telat pajak itu ditahan polisi. Bukan. Aku, istri dan anakku memakai helm. Aku melanggar petunjuk “belok kiri ikuti lampu”. Aku pun heran. Sudah beribu kali aku lewati jalan itu sepanjang hidupku, dan entah berapa ratus kali aku melanggar rambu itu bahkan saat ada polisi. Semua baik-baik saja. Aku tak pernah kena tilang. Persis baru kali itu saja. Saat itu memang agak spesial. Kabarnya ada pembesar yang akan melewati jalan itu, tepatnya siapa, aku lupa. Seperti biasa, polisi lalu lintas berjaga ekstra mengamankan perjalanan sang pembesar. Dan tepat di sebrang perampatan jalan itu sedang ada galian jalan sampai jalan pun ditutup sementara. Nah, aku tak fokus pada lampu merah perempatan jalan itu. Mataku terfokus ke peristiwa galian jalan yang ternyata baru beberapa hari lalu dimulai. Wajarlah. Aku lebih tertarik pada hal yang tak biasa ketimbang pada lampu merah yang tiap saat berdiri tegak di samping jalan. Galian jalan itu kan tidak setiap saat ada. Bukankah manusia memang begitu? Selalu punya respon lebih pada hal-hal baru, hal-hal yang tak lazim.

Hahaha….memang sudah biasa. Siapa bilang tilangan polantas itu hal luar biasa? Tilangannya memang biasa dan bagi si polisi penilang, pasti sudah sangat biasa karena memang itu salah satu tugasnya. Yang luar biasa adalah aku yang mengalami tilangan karena buatku itu bukan pengalaman yang lazim. Saat itu aku memang berniat mengikuti sidang. Aku ingin mendapati pengalaman sidang di Pengadilan Negeri. Aku ingin “mengalami” pengalaman ber-hukum positif. Meski sudah banyak informasi tentang tata cara sidang dan kebiasaan-kebiasaannya, tapi mengalami secara empiris itu jelas punya keasyikan tersendiri. Segenap diri kita terlibat langsung. Tubuh, nalar, jiwa, ruh, dan segala tentang kita hadir dalam ruang dan waktu sebagai bagian dari sebuah peristiwa, sebuah realitas, seperti bermain atau menonton teater. Pencerapannya jelas akan beda.

Bukan berlebihan, Din. Beda rasanya antara berimajinasi, berempati, bersimpati karena mendengar cerita tilangan seorang kawan dengan tubuh kita sendiri yang mengalami. Kamu musti mencoba, Din. Eh, ini sama saja dengan berhubungan intim dan makan. Atau pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman empiris (dalam arti keterlibatan keseluruhan diri secara langsung) itu punya sensasi yang lain, unik, dan khas. Tiap orang pasti punya kesan dan sensasi yang berbeda.

Aku lanjutkan, Din. Singkat cerita aku sampai ke Pengadilan di waktu dan ditentukan. Hapuslah sudah harapanku berjumpa yang mulia tuan hakim. Ternyata tak ada peristiwa sidang yang aku bayangkan. Nyatanya aku cukup membayar denda tilang di bank yang telah ditunjuk, menyetorkan ke rekening yang telah ditentukan lantas mengambil STNK-ku di Kejaksaan Negeri. Katanya ini peraturan baru. Ya, itu semua tertera di Pengadilan. Ada papan pengumuman yang berisi daftar pelanggar tilang lengkap dengan jumlah nominal denda dan ke nomor mana kita harus membayar.

Oh, tidak. Kami, para pelanggar UU Lalu Lintas, bisa mengantre dengan tertib dan baik. Meski kami tidak mengular seperti antrean di bank, tapi siapa datang lebih awal, dia dilayani lebih dulu. Prinsipnya kami antre hanya wujudnya saja yang berantakan.  Nah, ini yang menarik, Din. Kami, para pelanggar, berkumpul di satu tempat dan waktu yang sama. Bisa kamu terka apa yang jadi topik utama pembicaraan kami. Tepat sekali. Kami, atau sebagian dari kami tepatnya, banyak membahas ihwal polisi, aturan lalu lintas, dan tilang menilang, khususnya kasus helm dan sabuk pengaman.

Pertanyaan mendasar, kenapa polisi mau repot-repot mengurusi keselamatan kita? Mengapa jika tak pakai sabuk pengaman mobil, si pengemudi bisa ditilang? Padahal si pengemudi, misalnya, adalah pemilik mobil. “Mobil milikku, sabuk pengaman milikku, kesalamatan ya keselamatanku, kenapa musti diurusi negara? Dan kalau tak pakai sabuk pengaman, kenapa harus bayar denda pada negara?” Begitu kira-kira ungkapan seorang lelaki paruh baya yang kena tilang lantaran tak pakai sabuk pengaman. Esensi yang sama bisa hadir pula dalam kasus pengendara motor tanpa helm. Singkatnya, ini kasus ihwal keselamatan si pengendara.

Itu dia, Din. Urusan aku dengan diriku sendiri, kok sampai diurusi negara? Bukankah negara harusnya hanya mengatur hubungan aku dengan aku lainnya, dengan the other?

Nah, dari pertanyaan itu lantas aku berpikir. Apa mungkin ini adalah tafsir dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea  ke empat yang berbunyi, “…Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Menilang pengendara mobil tak bersabuk pengaman dan pengendara motor tak berhelm adalah upaya negara melindungi “segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Lebih tepatnya melindungi keselamatan rakyatnya.

Lho, itu namanya tindakan pencegahan, preventif, Din. Secara hiperbola bisa dikatakan bahwa negara, saking cintanya padaku sebagai rakyatnya, ia lantas mengkhawatirkan keselamatanku saat berkendara. Maka tiap hal yang berpotensi menyebabkan keselamatanku terganggu, itu harus dieliminir, wajib ditindak. Segala potensi dan probabilitas yang mengancam keselamatan harus diberangus. Tidak menggunakan sabuk pengaman dan helm saat berkendara adalah tindakan yang masuk kategori potensi dan probalitas pengancam keselamatan.

Iya,Din. Jika kamu tak pakai helm saat berkendara motor, itu berarti keselamatanmu terancam. Ya, potensi terluka atau bahkan mati jika kamu mengalami kecelakaan. Jadi negara mencegah potensi dan sebuah kemungkinan. Potensi dari potensi. Iya, lah. Coba perhatikan, Din. Saat berkendara kamu berpotensi mengalami kecelakaan lalu lintas, itu sudah jadi semacam hukum umum. Potensi kecelakaan itu lantas dikembangkan. Bilamana kamu tak berhelm atau sabuk pengaman, maka kamu berpotensi terluka atau mati. Begitulah, Din. Asumsi dari sebuah asumsi : jika kecelakaan.

Dan kenapa kita musti membayar denda atau dihukum jika melanggar ketentuan pencegahan itu? Itu pula yang kupertanyakan, Din. Sementara ini aku berpikir bahwa hukum bekerja dengan memilah antara tindakan dan pelaku tindakan. Yang dikenai aturan ialah tindakannya. Semisal, ketentuannya adalah setiap pengendara kendaraan roda dua wajib menggunakan helm. Nah, dengan logika yang kukatakan di atas, maka siapa pun yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm wajib dikenai sanksi karena telah menyebabkan si pengendara teracam keselamatannya. Bahkan jika “yang menyebabkan pengendara roda dua tak berhelm” itu adalah si pengendara itu sendiri. Artinya subjek yang sama mempunyai dua predikat, sebagai pengendara di satu sisi dan sebagai penyebab tak berhelmnya pengendara di sisi lain. Nah, yang dihukumi sebagai pelanggar oleh negara ialah subjek sebagai penyebab tak berhelmnya pengendara, atau subjek sebagai penyebab tak ber-sabuk pengaman-nya pengendara mobil.

Negara, melalui hukum, melindungi rakyat bahkan dari dirinya sendiri. Din, sadarkah kamu bahwa negara melindungimu bahkan dari dirimu sendiri. Melalui peraturan helm dan sabuk pengaman macam begini seolah negara mencintaimu lebih dari dirimu sendiri. Negara, lagi-lagi melalui hukum positif, sepertinya lebih berhak atas keselamatanmu ketimbang dirimu sendiri. Yang menjadi aneh, kenapa seolah  negara hanya hadir di jalan (lalu lintas) saja? Di mana negara saat jumlah rakyat miskin malah makin menumpuk? Selain keselamatan dan hak hidup, bukankah negara menjamin rakyatnya untuk hidup dengan layak dan sejahtera? Jika terhadap keselamatan diri rakyatnnya dalam berkendara, yang adalah asumsi di atas asumsi,  negara mampu hadir dan tegak, mengapa dalam hal kesejahteraan, yang menurutku lebih elementer dan nyata, yang adalah jelas bukan asumsi, yang jelas tertulis dalam Pancasila, negara seolah tak hilang entah ke mana?

Din, sebenarnya di mana negara?

Panjalu,

12 – 13 Juli 2017

Selasa, 11 Juli 2017

Lurus Teguh : Sebuah Perjalanan


Bagaimana jika aksara hanya sampai ke mata? Segala yang kamu baca, bagaimana jika tak sampai ke hati, ke jantung, ke laku? Tentu, zaman ini yang demikian memang hal biasa saja, Findi. Manusia macam begitu banyak berkeliaran, termasuk aku dan kamu, mungkin. Segala pengetahuan yang kita dapat ternyata kadang hanya berdiam diri, nangreu, di mata, atau di kerongkongan saja.

Kamu tahu, Findi, indra adalah pintu gerbang masuknya pengetahuan. Kamu pasti sudah mafhum itu. Mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Lewat mereka, pengetahuan masuk menuju kepala. Dari kelimanya, kamu juga mungkin sudah bisa menebak mana yang paling vital sebagai gerbang pengetahuan. Ya, mata. Karenanya, mata adalah bagian tubuh yang khas. Tatkala sebagian besar tubuh kita tertutupi kulit dan bulu-bulu, mata adalah satu-satunya bagian tubuh yang berbeda. Ia punya warna dan rupa yang hanya ia yang punya.

Tentu, indra lain pun tak kalah penting dan berperan, tapi mata memang menjadi sangat dominan sebagai jendela kepala. Namun ketika pengetahuan yang ada hanya sampai mata, ia hanya akan jadi informasi saja. Tamat dan tak jadi apa-apa. Kamu sebatas tahu ada-nya tanpa pemahaman. Pra-refleksi. Pengetahuanmu masih berupa bahan mentah. Jika kamu puas hanya dengan melihat (atau mendengar, mencercap, mencium, meraba) tanpa meneruskannya ke alam pikir, kamu tak beda dengan seekor cacing atau sejenis insekta. Sungguh kamu tak lebih pintar dari seekor anjing.

Pengetahuan itu seperti sungai yang mengalir, Findi. Setidaknya menurutku. Ia mengalir dan jika alirannya tak lancar, terhalang, terhenti maka kekacauan pasti terjadi. Seusainya di mata, ia, pengetahuan itu, lantas melanjutkan perjalanan ke kepala. Di sinilah ia mulai diotak-atik. Didedah, dibolak-balik, tirai-tirainya disibak. Akal adalah senjata utamanya. Apakah penalaranmu lurus atau tidak, pencernaanmu tuntas atau menggantung, itu kembali pada dirimu sendiri. Dewasa ini, saat data dan informasi benar-benar membanjir, cukup banyak manusia yang gagap memamah pengetahuan. Sumbu pendek. Simpulan-simpulannya prematur dan itu mengerikan jika terus mengalir ke tenggorokan. Ada jenis manusia yang memang malas menggerakkan akalnya. Ada pula yang merasa cukup dengan membebek pada figur tertentu tanpa kritik.

Tidak, Findi, kepala barulah permulaan, dan tenggorokan adalah titik selanjutnya. Di tenggorokan, pengetahuan menemukan celah untuk dimuntahkan. Manusia, yang pengetahuannya sampai ke tenggorokan, berpotensi mengutarakan hasil pengolahannya di kepala. Ini butuh keberanian dan tidak semua manusia lancar pada  tahap ini. Banyak juga manusia yang tuntas di kepala namun karena tak ada api keberanian, tenggorokannya mendadak kaku jika harus meluncurkan kata-kata atau tangannya tak mampu menulis sehuruf pun. Ia akan menjadi lemari besi penuh pengetahuan yang terkunci rapat dan kesepian. Dan sebaliknya, jenis manusia yang keberaniannya terlalu berkobar akan dengan mudah mengumbar, mengobral omongan dan tulisan, yang biasanya dangkal. Ini yang marak akhir-akhir ini. Manusia-manusia itu, dengan sedikit menalar, dengan kesimpulan yang prematur, sangat berani berbicara macam-macam seolah ia seorang ahli bahkan jenis manusia seperti ini cenderung jadi hakim atau tuhan sekalian. Manusia macam ini ada di semua bidang, agaknya. Findi, kamu mungkin pernah berjumpa dengan manusia macam ini. Mualaf ilmu. Ia merasa dirinya telah menemukan kebenaran dan tak sabar membagikannya pada orang lain. Boleh jadi semangat berbagi ini dilatarbelakangi hasrat eksistensi diri, semangat keagamaan, atau malah cinta kasih pada sesama. Manusia tipe ini akan sangat cerewet, berisik, dan tergesa-gesa. Banyak bicara sedikit mendengar. Sering berak jarang makan, akhirnya kurus kering. Ia biasanya cenderung melupakan dirinya sendiri karena sibuk pada manusia lain. Pengetahuan hasil olahannya hanya berlaku bagi orang lain dan tidak bagi dirinya. Menengok diri sendiri adalah kesulitan yang amat sangat baginya. Mungkin aku juga sering mengalami yang demikian. Jarkoni, ngajar ora dilakoni. Aku tak melakukan apa yang aku katakan. Bagaimana denganmu, Findi? Ah, jangan tersinggung. Aku hanya bertanya, bukan menuduh.  

Jika pengetahuan tak melanjutkan perjalannya dan terhenti di tenggorokan, ini bisa sangat berbahaya. Ia, pengetahuan itu, justru bisa membunuh si manusia. Pengetahuan dengan pamahaman yang dangkal yang lantas dimuntahkan dengan menggebu, alih-alih berbagi, malah bisa jadi bumerang yang mematikan.

Oh, tentu, Findi. Dari mata hingga tenggorokan adalah proses. Ada yang berhenti di titik tertentu lantaran satu berbagai hal. Ada pula yang terus berlanjut. Dan lanjutan dari tenggorokan adalah jantung. Ya, pusat peredaran darah pada tubuh. Bilamana pengetahuanmu sudah mencapai titik ini, barulah ia mulai menubuh. Pengetahuanmu, seperti darah yang beredar ke seluruh tubuh, ia pun mengalir ke seluruh tubuh. Kamu sudah mulai bisa menemukan “kegunaan” pengetahuan itu bagi dirimu sendiri. Tentu saja, Findi. Pengetahuan apa pun. Findi, apa pun yang kamu pelajari dengan sungguh-sungguh, ia akan membawamu pada kebijaksanaan. Kadang kamu bisa menemukan hal lain yang sekilas tak ada hubungannya dengan pengetahuanmu. Pada titik ini pula pemahamanmu sudah makin mendalam akan suatu pengetahuan. Pemahaman pengetahuan yang makin dalam justru akan membuatmu makin haus menyerap pengetahuan lain, sebab sungguh, tak ada pengetahuan yang benar-benar sempurna.  Karena penguasaanmu yang hampir pairpurna itu, lambat laun pengatahuan itu akan menampakkan wajah-wajah lain padamu. Ia akan makin menyibakkan dirinya, menyuguhkanmu hal-hal lain. Di jantung, kamu sudah menguasai pengetahuanmu baik tataran operasional maupun filosofis. Sayangnya, “kebijaksanaan” ini baru mampu kamu terapkan bagi dirimu secara egois. Maksudku, pengetahuanmu belum cukup kuat memancar, belum cukup kuat untuk di rasakan orang lain. Pengetahuanmu baru “berguna” mempengaruhi diri lahiriahmu untuk dirimu sendiri.

Baiklah, Findi, perjalanan kita masih harus berlanjut. Perut adalah maqom selanjutnya tempat pengetahuan singgah. Setelah kamu kawin dengan pengetahuanmu di jantung, barulah ia berlanjut ke perut. Itu bila kamu menghendaki untuk terus bergerak. Perut selalu bersangkutan dengan makan dan minum, dan makan minum adalah kebutuhan dasar manusia demi berdenyutnya jantung. Untuk bertahan hidup manusia mustilah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dalam memenuhi kebutuhan makan minum, manusia zaman kini agaknya tak bisa mengelak dari interkasinya dengan manusia lain. Disebabkan hasrat makan minum inilah, ekonomi bergerak, kebudayaan tumbuh, dan peradaban dibangun. Ketika pengetahuan telah mencapai perut, di sinilah ia mulai mempengaruhi sikap manusia pada manusia lain, setidaknya di ruang publik. Baiklah, Findi, katakan padaku bagaimana caramu memenuhi hasrat perutmu tanpa kamu berhubungan dengan manusia lain? Perkara perut ini yang sering jadi muasal segala persoalan. Tak jarang manusia harus membunuh demi mengisi perutnya. Melalui Materialisme Historis, Karl Marx dengan sistematis telah memberitahu kita bagaimana urusan perut bisa mengubah dunia. Bila hikmah pengetahuanmu telah menyentuh perut maka hasrat perutmu dapat lebih terkontrol dan bersikap lebih bijak, setidaknya di ruang-ruang sosial. Ingat, Findi, jika aku mengatakan hasrat perut, itu bukan hanya berarti makan minum dalam arti praktik. Perut adalah simbol hasrat dan keinginan lahiriah. Dan hubungannya pasti dengan manusia lain.

Perjalanan akan berlanjut ke alat kelamin. Ya, tentu. Apa pun alat kelaminmu, penis atau vagina, pengetahuan akan mengalir ke sana. Perut dan alat kelamin adalah ihwal tarik menarik antara ruang privat dan publik, antara aku dan liyan. Antara pemenuhan kebutuhan diri di satu sisi dan cara pemenuhannya di sisi lain. Cara memenuhi kebutuhan elementer ini sedikit banyak pastilah bergesekan dengan manusia lain, Findi. Persinggungan inilah yang rentan jadi ladang konflik. Seks itu lebih intim dari makan minum, Findi. Meski mungkin tak sampai menyebabkan kematian seperti jika kamu tak makan minum, namun hasrat seks adalah yang paling primordial, primitif. Seperti makan minum, kebutuhan seks adalah elementer. Dorongannya begitu kuat dan kadang tidak kita sadari. Ia sering jadi latar belakang berbagai konflik di satu sisi dan bisnis penggerak ekonomi di sisi lain. Perbedaannya, seks lebih privat ketimbang makan minum, kepuasannya hanya kamu sendiri yang tahu. Dan kamu bisa melakukannya sendiri. Ya, masturbasi. Ini yang membedakannya dengan perut yang selalu membutuhkan hal lain untuk memuaskan hasratnya. Maka ketika pengetahuanmu sudah sampai ke alat kelamin, hikmah pengetahuanmu sudah merembes hingga ke ruang diri yang sangat dalam. Ia sudah benar-benar mendarah daging. Jika di perut, hikmah pengetahuanmu baru “berguna” di ruang-ruang sosial, mempengaruhi interaksi manusia satu dengan manusia lainnya maka di alat kelamin,   hikmah itu sudah mampu mempengaruhi interaksimu dengan dirimu sendiri. hikmah itu akan menuntunmu tidak hanya di ruang sosial, tidak hanya ihwal interaksi sosial tapi juga perkara ruang-ruang privatmu. Kamu sudah sanggup lurus dan teguh. Kepala (pemikiran), tenggorokan (output lisan dan tulisan), jantung (hikmah pengetahuan), dan  perut (interaksi sosial, sikap lahir) sudah sejalan, konsisten dengan alat kelamin (sikap batin) dan niscaya kamu terhindar dari sikap hipokrit.

Pada titik ini, pancaran kebijaksanaan pengetahuanmu sudah nyaris sempurna : memancar ke luar (manusia lain) sebagai kebijaksanaa lewat laku dan sikap diri yang di satu sisi, merembes ke dalam sebagai kebijaksanaan lewat sikap batin yang ajeg. Perkawinan antara pancaran dan rembesan ini menghasilkan sikap lahir batin yang lurus dan konsisten. Tak ada jarkoni atau mengumbar pengetahuan yang dangkal. Ketika kepala dan alat kelaminmu lurus, itulah titik menuju puncak tertinggi sekaligus yang paling rendah.

Oh, ini belum berakhir Findi, dan tak pernah berakhir. Seperti yang kubilang, pengetahuan seperti sungai, mengalir dan terhukumi siklus. Ia akan terus daur, terus menerus. Dan titik balik perjalanan pengatahuanmu tepat berada di dasar, yakni tulang ekormu. Tulang ekormu akan jadi titik tolak pengetahuanmu buat meluncur ke atas, menembus cakrawala menjumpai Sang Kekasih. Bilamana pengetahuanmu sudah sampai hingga ke tulang ekor, ia akan membawamu menuju Sang Maha Mengetahui, Sumber Dari Segala Pengetahuan. Transendental. Dan setelah satu pengetahuan tembus hingga ke tulang ekor, tubuh lahir dan batinmu malah akan haus pengetahuan. Ia, tubuh lahir batinmu, akan terus mencari. Terus menerus.

Cakra? Ya, aku memang terinspirasi darinya.

Panjalu,
8 - 11 Juli 2017

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...