Senin, 19 Desember 2016

Surti


Lexi, pernah kamu dengan kata itu? Ya, surti. Bukan, itu bukan nama orang. Mungkin ada orang yang bernama surti, tapi surti yang kumaksud bukan sebagai nama seseorang. Ya, barangkali orang tuanya menamakan ia surti karena berharap ia menjadi orang yang surti. Bukankah nama adalah doa? Harapan? Aku memang menyukai Shakespeare, tapi tentang nama aku masih meyakini bahwa nama masihlah memiliki arti.

Oh, jangan kamu cari di KBBI. Sungguh kamu tak akan menemukannya. Aku pun sebenarnya kurang tahu makna leksikalnya. Aku memahami kata surti hanya dari obrolan orang-orang tua dalam bahasa daerah, bahasa Sunda. Dan untuk memahaminya pun aku tak membuka kamus bahasa Sunda. Bukannya aku sombong dan sok tahu. Hanya saja aku memang tak punya kamus bahasa Sunda. Aku memang bukan orang Sunda yang baik dan benar. Aku tak pandai merangkai-rangkai iket di kepala karena memang tak punya. Juga aku tak punya sehelai pun baju pangsi. Bahasa Sunda pun, masih jutaan kata yang aku tak mengerti. Tapi, dari sedikit kata yang aku pahami, setidaknya sependek pemahamanku, ada kecap surti yang sangat aku kagumi.

Aku mengagumi kata ini belum cukup lama. Memang sejak lama aku mengetahui maknanya tapi saat itu terasa biasa-biasa saja. Seorang penyair Sunda, Toni Lesmana,  pernah menulis “waktu lir cikaracak nu satia ninggang batu kasadaran”, dan barangkali itulah yang coba aku yakini. Oh, maaf. Aku lupa kalau kamu tidak mengerti. Aku juga kurang fasih berbahasa Sunda, tapi setidaknya yang aku pahami dari kalimat itu, bahwa waktulah yang membangun kesadaran kita. Ia ibarat tetas air yang sedikit demi sedikit melubangi batu. Ya, kesadaran kita seperti batu. Keras. Bukankah kita lebih sering menjadi bebal?

Ah, maaf, Lexi. Aku memang suka ngelantur. Oh, ya, surti. Lagi-lagi aku harus minta maaf padamu karena aku tak bisa menemukan padanan kata yang cocok dalam bahasa Indonesia. Pemahamanku tentang bahasa memang buruk. Surti itu, apa ya?

Hmm...Surti adalah puncak tertinggi ilmu komunikasi, kupikir. Kamu bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada lawan bicaramu tanpa ia bicara sebelumnya, misalnya. Atau kamu bisa mengetahui apa yang akan dilakukan sahabatmu sebelum ia mengatakannya. Atau bisa juga kamu pandai membaca situasi. Tanpa aku katakan aku ingin minum kopi hitam, kamu sudah langsung membuatkannya untukku. Itu contoh yang paling sederhana, berdasar dari pemahamanku yang masih dangkal dan terbatas  atas surti. Orang Sunda lain barangkali punya pemahaman dan interpretasi berbeda.

Entahlah. Aku belum begitu yakin. Barangkali surti dan telepati adalah dua hal yang  berbeda. surti itu sebuah kearifan budaya dalam tataran sosial. Sedang telepati adalah kemampuan tertentu yang hanya bisa di capai melalui latihan dan laku tertentu. Telepati itu mungkin masuk kategori skill. Urusannya dengan kemampuan mengendalikan gelombang otak. Ini jelas butuh latihan tersendiri. Surti itu bukan skill, tapi lebih pada sikap arif yang bisa di capai siapa pun tanpa latihan ketat macam telepati. Tapi entahlah. Kita bisa membahasnya lebih mendalam.

Behaviorism? Jadi menurutmu surti adalah konsekuensi logis dari suatu behavior? Entahlah, tapi aku kurang sepakat. Memang ia lahir dari membaca kebiasaan, namun lebih dari itu. Ada kearifan, sikap rela, dan menerima dalam surti. Apakah hal demikian ada dalam behaviorism? Oh, tentu. Ini bisa jadi bahasan menarik. Mungkin lain waktu. Aku masih awam sekali membaca behaviorism, jadi belum berani menyimpulkan apa pun. Pengertian? Bisa juga. Tapi buatku surti punya makna yang lebih luas.

Begitulah, Lexi. Surti adalah kecerdasan tinggi, menurutku. Atau kepekaan lebih tepatnya. Bukan saja peka membaca tanda-tanda namun juga tepat mengambil keputusan. Kalau hanya peka membaca tanda tanpa ada kearifan mengambil keputusan, itu bukan surti namanya. Surti itu semacam paket kecerdasan. Ada kepekaan dan kearifan sekaligus. Dan menurutku, surti itu bisu. Artinya tanpa kata-kata. Kamu tak perlu mengkonfirmasi apakah benar aku ingin minum kopi hitam atau tidak. Usai kamu membaca tanda, putusanmu adalah tindakan nyata, bukan sekedar kata apalagi masih membutuhkan konformasi. Kalau masih butuh konfirmasi artinya kamu belum yakin. Masih ada keraguan. Surti adalah keyakinan penuh berdasar kepekaan dan kearifan batin.

Kamu lebih memahami teori-teori ilmu komunikasi Barat ketimbang aku. Kamu sekolah tinggi. Ada gelar tersemat di belakang namamu. Tapi apakah ada surti dalam buku-buku tebal yang pernah kamu baca? Tidak. Menurutku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan klenik, Lexi. Meski tak berwujud benda namun ini nyata. Sebuah sikap dan kearifan yang sejak lama diselami oleh para leluhur. Bukankah bahasa adalah dokumentasi? Arsip? Selain sebagai sarana komunikasi, bahasa juga adalah arsip. Artinya, sejak lama sudah ada suatu kecerdasan manusia yang dalam bahasa Sunda lantas dikristalisasi kedalam kata surti. Aku yakin, kata-kata tertentu adalah padatan suatu konsep yang boleh jadi sangat kompleks jika diurai. Ada beberapa kata yang lebih mudah dipahami ketika kamu menghayatinya lewat laku. Cinta, misalnya. Demikian pula dengan surti.

Prof. Howard Gardener? Yang dari Amerika itu? Oh, ya. aku pernah mendengar teorinya tentang delapan kecerdasan manusia, Multiple Intellegences, meski belum sempat membacanya secara lengkap. Kecerdasan Interpersonal? Bisa kamu jelaskan?

Aha, kemampuan seseorang untuk mengamati dan mengerti maksud dan motivasi orang lain. Ya, mungkin ada persamaannya. Untuk saat ini aku tak berani membuat kesimpulan, terlalu prematur. Aku belum membaca dan memahami teorinya secara mendalam. Hanya baca sekilas saja. Tapi menarik juga untuk kita perbincangkan. Benar, Lexi. Sebenarnya siapa yang membuat segregasi ketat antara Barat dan Timur? Menurutku, pada awalnya barangkali perbedaan ini hanya ada di tataran metode saja. Perbedaan jalan. Tapi lantas perbedaan ini dibuat makin lebar karena banyak hal. Kamu tahu kerasukan? Ya, di beberapa keyakinan di Timur, seseorang dimungkinkan untuk dirasuki roh, jin, mahluk halus. Dan orang-orang di Timur punya cara untuk menyembuhkannya, dan itu terbukti berhasil. Namun ketika Sigmund Freud mempopulerkan serangkaian tesis-tesis Psikologi Modern, fenomena kerasukan ini dipandang lain oleh kawan-kawan dari Barat sana. Ini murni persoalan psikis. Dan mereka menemukan cara untuk mengobatinya, dan sembuh. Pasien kembali normal seperti semula. Fenomenanya sama, dipandang berbeda maka penanganannya pun lain, tapi hasilnya sama. Tentang teater tradisional nusantara dan teori Bertolt Brech pun banyak yang memiripkannya. Padahal akar filsafat keduanya sangatlah berlainan. Brech bertolak dari pencercapannya atas realitas dan realisme Eropa saat itu dan pemberontakannya terhadap dominasi Aristotelian. Sedang teater tradisional nusantara adalah refleksi atas manusia dan alam Timur yang berlangsung turun temurun bersumber dari pemahaman holistik anti dualisme yang erat dengan spiritualitas.

Hahaha.... Maaf, lagi-lagi aku ngelantur. Ingatkan aku jika bicara terlalu jauh. Tentang surti yang kita bicarakan tadi, memang ia bukan sulap dan jelas bukan barang instan. Dari pengalaman, aku belajar bahwa ada proses tertentu untuk mencapai tingkatan ini. Oh, aku belum sanggup memetakan langkah-langkahnya secara sistematis. Surti bukan ilmu yang aku dapat lewat pemahaman belaka, tapi titik tekannya lebih pada penghayatan. Jelas, pemahaman sangatlah perlu. Tapi pemahaman hanya akan jadi benda mati jika tanpa ada penghayatan sama sekali. Kedua hal itu hadir saling melengkapi namun juga kadang berjalan sendiri-sendiri.

Barangkali, surti lahir dari proses dialektis antara kamu dan the other, liyan. Maksud dialektis di sini bukan dalam arti bahwa kamu harus selau berlawanan dengan yang lain. Oke, baiklah kalau kamu tidak sepakat, kamu bisa mencari terminologi yang lebih pas. Intinya, surti itu lahir lewat pergumulan yang lekat. Tapi ini pun perlu kerelaan. Seperti yang kukatakan di awal, usai kamu memahami tanda-tanda, kamu mustilah arif mengambil keputusan. Jika putusanmu tepat, itu baru surti namanya. Perlu ada kedekatan batin dan sikap penerimaan atas yang lain di luar dirimu. Orientasimu tidak hanya terfokus pada dirimu sendiri. Surti dengan sendirinya mengikis egoisme sampai pada taraf tertentu. Tentu tidak musnah sama sekali, kita perlu egois, egois yang dinamis.

Entahlah. Apakah ada surti yang ujug-ujug? Mungkin ada istilah lain untuk hal demikian. Semisal weruh sadurung winarah atau weruh di semuna, barangkali. Tapi kita perlu membahasnya lebih mendalam. Dan lagi, menurutku kedua istilah itu lebih punya dimensi spiritual yang tinggi. Lebih melangit. Sedang sependek pemahamanku, surti lebih membumi. Spektrumnya ada pada interaksi manusia dengan manusia lain secara real. Dan sampai saat ini aku lebih memilih menggunakan kata “lahir” untuk surti ketimbang sebatas “hadir”. Lahir, adalah fase tertentu dari proses, bukan ujug-ujug. Dan kamu tahu sendiri bagaimana proses lahirnya seorang bayi. Perlu ada sekian peristiwa yang dilalui untuk sampai pada sebuah kelahiran. Dan jelas, perlu kerelaan. Buatku, surti masih mungkin dicapai oleh siapa pun tanpa perlu kamu bertapa berbulan-bulan atau tirakat lainnya.

Oh, maaf. Aku lupa menyuguhkan kopi untukmu.

Tanggerang

19 Des. 2016  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...