Lexi, pernah
kamu dengan kata itu? Ya, surti. Bukan, itu bukan nama orang. Mungkin ada orang
yang bernama surti, tapi surti yang kumaksud bukan sebagai nama seseorang. Ya,
barangkali orang tuanya menamakan ia surti karena berharap ia menjadi orang
yang surti. Bukankah nama adalah doa? Harapan? Aku memang menyukai Shakespeare, tapi tentang nama aku masih
meyakini bahwa nama masihlah memiliki arti.
Oh, jangan kamu
cari di KBBI. Sungguh kamu tak akan menemukannya. Aku pun sebenarnya kurang
tahu makna leksikalnya. Aku memahami kata surti hanya dari obrolan orang-orang tua dalam bahasa daerah, bahasa
Sunda. Dan untuk memahaminya pun aku tak membuka kamus bahasa Sunda. Bukannya
aku sombong dan sok tahu. Hanya saja aku memang tak punya kamus bahasa Sunda.
Aku memang bukan orang Sunda yang baik dan benar. Aku tak pandai
merangkai-rangkai iket di kepala karena memang tak punya. Juga aku tak punya
sehelai pun baju pangsi. Bahasa Sunda pun, masih jutaan kata yang aku tak
mengerti. Tapi, dari sedikit kata yang aku pahami, setidaknya sependek
pemahamanku, ada kecap surti yang sangat aku kagumi.
Aku mengagumi
kata ini belum cukup lama. Memang sejak lama aku mengetahui maknanya tapi saat
itu terasa biasa-biasa saja. Seorang penyair Sunda, Toni Lesmana, pernah menulis “waktu lir cikaracak nu satia
ninggang batu kasadaran”, dan barangkali itulah yang coba aku yakini. Oh, maaf.
Aku lupa kalau kamu tidak mengerti. Aku juga kurang fasih berbahasa Sunda, tapi
setidaknya yang aku pahami dari kalimat itu, bahwa waktulah yang membangun
kesadaran kita. Ia ibarat tetas air yang sedikit demi sedikit melubangi batu.
Ya, kesadaran kita seperti batu. Keras. Bukankah kita lebih sering menjadi
bebal?
Ah, maaf, Lexi.
Aku memang suka ngelantur. Oh, ya, surti. Lagi-lagi aku harus minta maaf padamu
karena aku tak bisa menemukan padanan kata yang cocok dalam bahasa Indonesia.
Pemahamanku tentang bahasa memang buruk. Surti itu, apa ya?
Hmm...Surti adalah puncak tertinggi ilmu
komunikasi, kupikir. Kamu bisa
mengetahui apa yang sedang terjadi pada lawan bicaramu tanpa ia bicara sebelumnya, misalnya.
Atau kamu bisa mengetahui apa yang akan dilakukan sahabatmu sebelum ia
mengatakannya. Atau bisa juga kamu pandai membaca situasi. Tanpa aku katakan
aku ingin minum kopi hitam, kamu sudah langsung membuatkannya untukku. Itu
contoh yang paling sederhana, berdasar
dari pemahamanku yang masih dangkal dan terbatas atas surti. Orang Sunda lain barangkali punya
pemahaman dan interpretasi
berbeda.
Entahlah. Aku belum begitu yakin. Barangkali surti
dan telepati adalah dua hal yang
berbeda. surti itu sebuah kearifan budaya dalam tataran sosial. Sedang telepati
adalah kemampuan tertentu yang hanya bisa di capai melalui latihan dan laku
tertentu. Telepati itu mungkin masuk kategori skill. Urusannya dengan kemampuan mengendalikan
gelombang otak. Ini jelas butuh latihan tersendiri. Surti itu bukan skill, tapi lebih pada sikap arif yang bisa di capai
siapa pun tanpa latihan ketat macam telepati. Tapi entahlah. Kita bisa
membahasnya lebih mendalam.
Behaviorism? Jadi menurutmu surti adalah konsekuensi logis
dari suatu behavior? Entahlah,
tapi aku kurang sepakat. Memang ia lahir dari membaca kebiasaan, namun lebih
dari itu. Ada kearifan, sikap rela, dan menerima dalam surti. Apakah hal
demikian ada dalam behaviorism? Oh, tentu.
Ini bisa jadi bahasan menarik. Mungkin lain waktu. Aku masih awam sekali membaca
behaviorism, jadi belum
berani menyimpulkan apa pun. Pengertian? Bisa juga. Tapi buatku surti punya
makna yang lebih luas.
Begitulah, Lexi. Surti adalah
kecerdasan tinggi, menurutku. Atau kepekaan lebih tepatnya. Bukan saja peka membaca
tanda-tanda namun juga tepat mengambil keputusan. Kalau hanya peka membaca
tanda tanpa ada kearifan mengambil keputusan, itu bukan surti namanya. Surti
itu semacam paket kecerdasan. Ada kepekaan dan kearifan sekaligus. Dan
menurutku, surti itu bisu. Artinya tanpa kata-kata. Kamu tak perlu
mengkonfirmasi apakah benar aku ingin minum kopi hitam atau tidak. Usai kamu
membaca tanda, putusanmu adalah tindakan nyata, bukan sekedar kata apalagi
masih membutuhkan konformasi. Kalau masih butuh konfirmasi artinya kamu belum
yakin. Masih ada keraguan. Surti adalah keyakinan penuh berdasar kepekaan dan
kearifan batin.
Kamu lebih
memahami teori-teori ilmu komunikasi Barat ketimbang aku. Kamu sekolah tinggi.
Ada gelar tersemat di belakang namamu. Tapi apakah ada surti dalam buku-buku
tebal yang pernah kamu baca?
Tidak. Menurutku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan klenik, Lexi. Meski tak berwujud benda namun ini nyata. Sebuah sikap dan kearifan yang sejak
lama diselami oleh para leluhur. Bukankah bahasa adalah dokumentasi? Arsip? Selain sebagai sarana
komunikasi, bahasa juga adalah arsip. Artinya, sejak lama sudah ada suatu
kecerdasan manusia yang dalam bahasa Sunda lantas dikristalisasi kedalam kata surti. Aku yakin, kata-kata
tertentu adalah padatan suatu konsep yang boleh jadi sangat kompleks jika
diurai. Ada beberapa kata yang lebih mudah dipahami ketika kamu menghayatinya
lewat laku. Cinta, misalnya. Demikian pula dengan surti.
Prof. Howard
Gardener? Yang dari Amerika itu? Oh, ya. aku pernah mendengar teorinya tentang
delapan kecerdasan manusia, Multiple Intellegences, meski belum sempat
membacanya secara lengkap. Kecerdasan Interpersonal? Bisa kamu jelaskan?
Aha, kemampuan
seseorang untuk mengamati dan mengerti maksud dan motivasi orang lain. Ya,
mungkin ada persamaannya. Untuk saat ini aku tak berani membuat kesimpulan,
terlalu prematur. Aku belum membaca dan memahami teorinya secara mendalam.
Hanya baca sekilas saja. Tapi menarik juga untuk kita perbincangkan. Benar,
Lexi. Sebenarnya siapa yang membuat segregasi ketat antara Barat dan Timur?
Menurutku, pada awalnya barangkali perbedaan ini hanya ada di tataran metode
saja. Perbedaan jalan. Tapi lantas perbedaan ini dibuat makin lebar karena
banyak hal. Kamu tahu kerasukan? Ya, di beberapa keyakinan di Timur, seseorang
dimungkinkan untuk dirasuki roh, jin,
mahluk halus. Dan orang-orang di Timur punya cara untuk menyembuhkannya, dan itu
terbukti berhasil. Namun ketika
Sigmund Freud mempopulerkan serangkaian
tesis-tesis Psikologi Modern, fenomena
kerasukan ini dipandang lain oleh kawan-kawan dari Barat sana. Ini murni
persoalan psikis. Dan mereka menemukan cara untuk mengobatinya, dan sembuh.
Pasien kembali normal seperti semula. Fenomenanya sama, dipandang berbeda maka
penanganannya pun lain, tapi hasilnya sama. Tentang teater tradisional
nusantara dan teori Bertolt Brech pun banyak yang memiripkannya. Padahal akar
filsafat keduanya sangatlah
berlainan. Brech bertolak dari pencercapannya atas realitas dan realisme
Eropa saat itu dan pemberontakannya terhadap dominasi Aristotelian. Sedang
teater tradisional nusantara adalah refleksi atas manusia dan alam Timur yang
berlangsung turun temurun bersumber dari pemahaman holistik anti dualisme yang
erat dengan spiritualitas.
Hahaha....
Maaf, lagi-lagi aku ngelantur. Ingatkan aku jika bicara terlalu jauh. Tentang
surti yang kita bicarakan tadi, memang ia bukan sulap dan jelas bukan barang instan. Dari pengalaman, aku belajar bahwa ada proses tertentu untuk mencapai tingkatan ini. Oh,
aku belum sanggup memetakan langkah-langkahnya secara sistematis. Surti bukan
ilmu yang aku dapat lewat pemahaman belaka, tapi titik tekannya lebih pada
penghayatan. Jelas, pemahaman sangatlah perlu. Tapi pemahaman hanya akan jadi
benda mati jika tanpa ada penghayatan sama sekali. Kedua hal itu hadir saling
melengkapi namun juga kadang berjalan sendiri-sendiri.
Barangkali,
surti lahir dari proses dialektis antara kamu dan the other, liyan. Maksud
dialektis di sini bukan dalam arti bahwa kamu harus selau berlawanan dengan
yang lain. Oke, baiklah kalau kamu tidak sepakat, kamu bisa mencari terminologi
yang lebih pas. Intinya, surti itu lahir lewat pergumulan yang lekat. Tapi ini
pun perlu kerelaan. Seperti yang kukatakan di awal, usai kamu memahami
tanda-tanda, kamu mustilah arif mengambil keputusan. Jika putusanmu tepat, itu
baru surti namanya. Perlu ada kedekatan batin dan sikap penerimaan atas yang lain di luar
dirimu. Orientasimu tidak hanya terfokus pada dirimu sendiri. Surti dengan
sendirinya mengikis egoisme sampai pada taraf tertentu. Tentu tidak musnah sama
sekali, kita perlu egois, egois yang dinamis.
Entahlah.
Apakah ada surti yang ujug-ujug? Mungkin ada istilah lain untuk hal demikian. Semisal
weruh sadurung winarah atau weruh di semuna, barangkali. Tapi kita perlu
membahasnya lebih mendalam. Dan lagi, menurutku kedua istilah itu lebih punya
dimensi spiritual yang tinggi. Lebih melangit. Sedang sependek pemahamanku,
surti lebih membumi. Spektrumnya
ada pada interaksi manusia dengan manusia lain secara real. Dan sampai saat ini aku lebih memilih menggunakan kata “lahir”
untuk surti ketimbang sebatas “hadir”. Lahir, adalah fase tertentu dari proses,
bukan ujug-ujug. Dan kamu tahu sendiri bagaimana proses lahirnya seorang bayi. Perlu ada sekian peristiwa
yang dilalui untuk sampai pada sebuah kelahiran. Dan jelas, perlu kerelaan. Buatku, surti
masih mungkin dicapai oleh siapa pun tanpa perlu kamu bertapa berbulan-bulan
atau tirakat lainnya.
Oh, maaf. Aku
lupa menyuguhkan kopi untukmu.
Tanggerang
19 Des. 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar