Siapa bilang
Ciamis dan Jepang itu dekat? Jelas jauh. Menurut informasi mbah Google, jarak
Tokyo ke Jakarta saja sekitar 5782,45 km. Jika dari Ciamis? Anda bisa
menghitungnya sendiri. Jarak fisik yang sedemikian jauh memang akan terasa
benar-benar jauh ketika berusaha kita hayati dengan berjalan kaki. Di era
postmodern ini, jarak fisik nyaris tak berarti kecuali untuk beberapa alasan.
Media komunikasi yang sedemikan canggih terbukti mampu mengatasi perkara jarak
fisik yang berjauhan. Media elektronik memperpendek pula jarak fisik. Lewat
kotak ajaib bernama televisi kita bisa dengan asik menikmati serial Oshin di
TVRI pada tahun 90an. Darinya pula masyarakat banyak mengenal budaya bangsa-bangsa
lain di dunia. Orang Ciamis bisa mengenal Samurai, Ninja, Seppuku, Geisha, dan
tentu saja Naruto. Orang Panjalu seperti saya jadi seolah merasa dekat dengan
Jepang lewat TV ini pada awalnya, hingga lantas teknologi makin pesat dan
menghadirkan sekian media lain yang lebih mutakhir. Dan sekarang Alun-Alun
Ciamis sudah mulai dipenuhi para Cosplayer, penggila Anime Jepang.
Berbicara Jepang memang cukup menarik. Ada hal yang unik, khas, yang membuatnya terkenal dan dikenang banyak orang dari
pelbagai suku
bangsa dari kebudayaan yang berbeda. Meski terasa cukup erat,
ada banyak hal tentang Jepang yang masih gelap buat orang Indonesia, terlebih
Ciamis. Seni Pertunjukan, salah satunya. Meski Butoh sudah cukup banyak dikenal
di Indonesia, namun untuk Ciamis sendiri bentuk seni pertunjukan yang salah
satunya di gawangi oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata ini masih relatif
asing. Pun demikian dengan metode akting Tadashi Suzuki yang mendunia itu,
Ciamis masih belum sempat bersentuhan dengannya hingga kini. Sebagaimana
Indonesia mengenal Suyatna Anirun, Teguh Karya, Arifin C. Noor, W.S. Rendra,
Putu Wijaya, Nano Riantiarno, dan sederet dramawan lainnya, Jepang pun punya
banyak dramawan yang cemerlang. Pasca tragedi Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
nyaris mengalami perubahan besar di berbagai bidang dan kesenian pun tak bisa
lepas dari efek traumatik itu. Cita rasa karya-karya seni Jepang pasca PD II
memang cukup unik dan berbeda bahkan dengan dirinya sendiri sebelum perang
dahsyat itu. Salah satu yang menarik dan selalu dinamis, tentu saja pertunjukan
drama.
Heart Of Almond
Jelly adalah sebuah teks drama realis yang berasal dari negeri Sakura. Lakon
yang mengisahkan malam Natal yang manis nan dramatis. Kisah sepasang kekasih,
Tatsuro dan Sayoko, yang sudah tujuh tahun hidup bersama dan berakhir dengan
perpisahan. Sekilas, ceritanya terkesan sederhana dan biasa-biasa saja.
Sepasang kekasih yang akhinya putus, apa menariknya? Terlebih teks ini sangat
verbal, penuh kata-kata. Dengan hanya dua orang pemain tanpa pergantian set,
pertunjukan ini bisa sangat membosankan. Penonton hanya akan mendapati dua
orang yang ngobrol tanpa adegan-adegan yang spektakuler. Namun justru di
sinilah letak manisnya lakon ini. Seperti yang dituturkan Rika Rostika Johara,
penggagas Women In The Zero (WIZ) Project, lakon ini adalah media belajar yang
sangat kaya. Belajar teater, realis khususnya, sekaligus juga belajar memahami
hidup dan para pelakonnya, manusia. Februari nanti, ia akan mementaskan
karyanya ini di Ciamis. Sebagai sutradara, agaknya ia berusaha memanggungkan
teks ini dengan penuh kesetiaan. Teks ini dibiarkan bicara apa adanya, meski
tentu tak mungkin lepas dari jejaring interpretasi. Lakon ini akan berkisah banyak tentang sisi lain manusia Jepang
postmodern. Penghujung tahun 2000 adalah seting waktu yang disepakati sebagai
latar waktu terjadi peristiwa ini, seperti yang dikehendaki naskah itu sendiri.
Karya penulis
Jepang, Wishing Chong, ini seperti memotret sisi lain kehidupan masyarakat
Jepang. Rumah dan segala yang musti hadir di panggung adalah potret realitas
Jepang kala itu, termasuk dampak resesi ekonomi yang pernah melanda Jepang pada
masa-masa itu. Terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Teguh Hari
Prasetyo dan Yoko Nomura ini memilih diksi-diksi yang campur aduk antara bahasa
baku dan tak baku. Ini mungkin adalah cerminan keakraban hubungan personal dan
pula potret masyarakat Jepang kekinian yang sudah tak
lagi terlalu mengindahkan tata bahasa yang ketat. Sayangnya, ini agak terdengar
janggal jika dikunyah dalam bahasa Indonesia. Cair tidak, baku pun tidak.
Menjadi gado-gado yang cukup asing di lidah dan telinga. Teks ini hadir pula
dengan petunjuk akting dan adegan yang cukup detil. Pun demikian dengan
keterangan seting dan properti, tertulis dengan cukup rinci.
Dengan membawa
semangat kembali dari nol, Rika coba memanggungkan Heart Of Almond Jelly dengan
bingkai realisme, meski ia lebih suka menyebutnya dengan naturalisme, terlebih
sebagai gaya pemeranan dan pola-pola bloking. Ia, yang telah lama malang melintang
di jagat perteateran Jakarta, kembali menapak di Ciamis setelah lebih dari
tujuh tahun tak menghirup atmosfer kesenian di kota galendo ini. Bersamanya,
melekat ilmu-ilmu yang dengan gembira siap ia tularankan pada insan teater
Ciamis. Boleh dibilang rencana kehadiran pertunjukan ini di publik teater
Ciamis merupakan hal baru. Selain bentuk pertunjukan, mekanisme penjaringan
penonton pun terbilang baru. Pertunjukan teater di Ciamis yang biasa melibatkan
para pelajar sebagai penonton dan berlangsung berhari-hari kini berbeda.
Penonton cukup terbatas, bahkan ada batasan usia. Ini sajian yang hanya bisa dinikmati penonton berusia 17
tahun ke atas. Bukan karena alasan unsur pornografi, tapi lebih pada sasaran
tembak yang lebih jelas. Lakon yang
mengisahkan pergulatan psikologis sepasang kekasih ini mungkin akan terasa
cukup menjenuhkan bagi sebagian besar penonton pelajar yang lebih doyan sajian-sajian penuh kejutan menghentak, hingar
bingar, tawa yang terbahak, atau akting-akting dengan proyeksi dan stilisasi
tertentu. Tontonan yang rencananya berdurasi lebih kurang satu setengah jam ini
sebenarnya lakon yang subtil, perlu kesabaran dan kekhusuan tersendiri agar
dapat menangkap kisah dan makna secara utuh. Hal ini barangkali karena dominasi
kata-kata yang cukup besar bahkan nyaris memonopoli keseluruhan pertunjukan.
Tentu dipahami bersama bahwa menyimak memerlukan kecermatan lebih ketimbang
membaca atau melihat. Tak hanya aktor dan tim kreatif lainnya yang dituntut
punya kepekaan dalam memamah teks ini, pun demikian penonton, kesabaran dan
ketelitian adalah prasyarat jika memang ingin menangkap sekian buah berharga
dari kisah ini.
Memang, budaya
menyimak sudah cukup banyak ditinggalkan dewasa ini. Membaca tulisan menjadi
pilihan yang lebih berkelas barangkali ketimbang sebatas menyimak. Terkikisnya
budaya dongeng dan pantun Sunda,
misalnya, bisa jadi cukup berpengaruh pada berkurangnya
kemampuan kita menangkap informasi lewat bahasa primer. Agaknya, lakon ini pun
menggambarkan bagaimana komunikasi saling menyimak dan berbicara menjadi cukup
penting. Sayoko dan
Tatsuro yang lebih memilih tak saling berbicara, menyimpan persoalan mereka
sebagai rahasia, toh malah seolah memupuk bom waktu. Menyimak-berbicara (secara langsung), cara komukasi
yang sangat purba namun masih tetap yang paling efektif tatkala hendak saling
memahami secara utuh dan
menyeluruh. Canggihnya teknologi
komunikasi virtual tak kan mampu
menggantikan kemesraan dan keintiman perjumpaan tubuh secara utuh, perjumpaan
mata, pejumpaan rasa, perjumpaan jiwa. Bahwa bagaimana pun, dimensi ketubuhan
manusia tak bisa di kesampingkan begitu saja. Alih-alih efisiensi
dan efetifitas serta modernitas, digitalisasi (tanpa kearifan) justru adalah
dehumanisasi.
Dalam kehidupan seni pertunjukan modern Ciamis, sajian ini terbilang menyegarkan, drama (terjemahan) asing yang disajikan dengan
bentuk realis. Semoga saja, kehadiran WIZ Project dengan Heart Of Almond
Jelly-nya dapat memberi warna baru di peta teater Ciamis khususnya, dan memberi
sumbangsing bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Ciamis kiwari.
Rengganis,
15
Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar