Minggu, 15 Januari 2017

Perjumpaan-Perjumpaan


Siapa bilang Ciamis dan Jepang itu dekat? Jelas jauh. Menurut informasi mbah Google, jarak Tokyo ke Jakarta saja sekitar 5782,45 km. Jika dari Ciamis? Anda bisa menghitungnya sendiri. Jarak fisik yang sedemikian jauh memang akan terasa benar-benar jauh ketika berusaha kita hayati dengan berjalan kaki. Di era postmodern ini, jarak fisik nyaris tak berarti kecuali untuk beberapa alasan. Media komunikasi yang sedemikan canggih terbukti mampu mengatasi perkara jarak fisik yang berjauhan. Media elektronik memperpendek pula jarak fisik. Lewat kotak ajaib bernama televisi kita bisa dengan asik menikmati serial Oshin di TVRI pada tahun 90an. Darinya pula masyarakat banyak mengenal budaya bangsa-bangsa lain di dunia. Orang Ciamis bisa mengenal Samurai, Ninja, Seppuku, Geisha, dan tentu saja Naruto. Orang Panjalu seperti saya jadi seolah merasa dekat dengan Jepang lewat TV ini pada awalnya, hingga lantas teknologi makin pesat dan menghadirkan sekian media lain yang lebih mutakhir. Dan sekarang Alun-Alun Ciamis sudah mulai dipenuhi para Cosplayer, penggila Anime Jepang.

 Berbicara Jepang memang cukup menarik. Ada hal yang unik, khas, yang membuatnya terkenal dan dikenang banyak orang dari pelbagai suku bangsa dari kebudayaan yang berbeda. Meski terasa cukup erat, ada banyak hal tentang Jepang yang masih gelap buat orang Indonesia, terlebih Ciamis. Seni Pertunjukan, salah satunya. Meski Butoh sudah cukup banyak dikenal di Indonesia, namun untuk Ciamis sendiri bentuk seni pertunjukan yang salah satunya di gawangi oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata ini masih relatif asing. Pun demikian dengan metode akting Tadashi Suzuki yang mendunia itu, Ciamis masih belum sempat bersentuhan dengannya hingga kini. Sebagaimana Indonesia mengenal Suyatna Anirun, Teguh Karya, Arifin C. Noor, W.S. Rendra, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, dan sederet dramawan lainnya, Jepang pun punya banyak dramawan yang cemerlang. Pasca tragedi Hiroshima dan Nagasaki, Jepang nyaris mengalami perubahan besar di berbagai bidang dan kesenian pun tak bisa lepas dari efek traumatik itu. Cita rasa karya-karya seni Jepang pasca PD II memang cukup unik dan berbeda bahkan dengan dirinya sendiri sebelum perang dahsyat itu. Salah satu yang menarik dan selalu dinamis, tentu saja pertunjukan drama. 

Heart Of Almond Jelly adalah sebuah teks drama realis yang berasal dari negeri Sakura. Lakon yang mengisahkan malam Natal yang manis nan dramatis. Kisah sepasang kekasih, Tatsuro dan Sayoko, yang sudah tujuh tahun hidup bersama dan berakhir dengan perpisahan. Sekilas, ceritanya terkesan sederhana dan biasa-biasa saja. Sepasang kekasih yang akhinya putus, apa menariknya? Terlebih teks ini sangat verbal, penuh kata-kata. Dengan hanya dua orang pemain tanpa pergantian set, pertunjukan ini bisa sangat membosankan. Penonton hanya akan mendapati dua orang yang ngobrol tanpa adegan-adegan yang spektakuler. Namun justru di sinilah letak manisnya lakon ini. Seperti yang dituturkan Rika Rostika Johara, penggagas Women In The Zero (WIZ) Project, lakon ini adalah media belajar yang sangat kaya. Belajar teater, realis khususnya, sekaligus juga belajar memahami hidup dan para pelakonnya, manusia. Februari nanti, ia akan mementaskan karyanya ini di Ciamis. Sebagai sutradara, agaknya ia berusaha memanggungkan teks ini dengan penuh kesetiaan. Teks ini dibiarkan bicara apa adanya, meski tentu tak mungkin lepas dari jejaring interpretasi. Lakon ini akan berkisah banyak tentang sisi lain manusia Jepang postmodern. Penghujung tahun 2000 adalah seting waktu yang disepakati sebagai latar waktu terjadi peristiwa ini, seperti yang dikehendaki naskah itu sendiri.   

Karya penulis Jepang, Wishing Chong, ini seperti memotret sisi lain kehidupan masyarakat Jepang. Rumah dan segala yang musti hadir di panggung adalah potret realitas Jepang kala itu, termasuk dampak resesi ekonomi yang pernah melanda Jepang pada masa-masa itu. Terjemahan bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh Teguh Hari Prasetyo dan Yoko Nomura ini memilih diksi-diksi yang campur aduk antara bahasa baku dan tak baku. Ini mungkin adalah cerminan keakraban hubungan personal dan pula potret masyarakat Jepang kekinian yang sudah tak lagi terlalu mengindahkan tata bahasa yang ketat. Sayangnya, ini agak terdengar janggal jika dikunyah dalam bahasa Indonesia. Cair tidak, baku pun tidak. Menjadi gado-gado yang cukup asing di lidah dan telinga. Teks ini hadir pula dengan petunjuk akting dan adegan yang cukup detil. Pun demikian dengan keterangan seting dan properti, tertulis dengan cukup rinci.   

Dengan membawa semangat kembali dari nol, Rika coba memanggungkan Heart Of Almond Jelly dengan bingkai realisme, meski ia lebih suka menyebutnya dengan naturalisme, terlebih sebagai gaya pemeranan dan pola-pola bloking. Ia, yang telah lama malang melintang di jagat perteateran Jakarta, kembali menapak di Ciamis setelah lebih dari tujuh tahun tak menghirup atmosfer kesenian di kota galendo ini. Bersamanya, melekat ilmu-ilmu yang dengan gembira siap ia tularankan pada insan teater Ciamis. Boleh dibilang rencana kehadiran pertunjukan ini di publik teater Ciamis merupakan hal baru. Selain bentuk pertunjukan, mekanisme penjaringan penonton pun terbilang baru. Pertunjukan teater di Ciamis yang biasa melibatkan para pelajar sebagai penonton dan berlangsung berhari-hari kini berbeda. Penonton cukup terbatas, bahkan ada batasan usia. Ini sajian  yang hanya bisa dinikmati penonton berusia 17 tahun ke atas. Bukan karena alasan unsur pornografi, tapi lebih pada sasaran tembak yang lebih jelas. Lakon  yang mengisahkan pergulatan psikologis sepasang kekasih ini mungkin akan terasa cukup menjenuhkan bagi sebagian besar penonton pelajar yang lebih doyan  sajian-sajian penuh kejutan menghentak, hingar bingar, tawa yang terbahak, atau akting-akting dengan proyeksi dan stilisasi tertentu. Tontonan yang rencananya berdurasi lebih kurang satu setengah jam ini sebenarnya lakon yang subtil, perlu kesabaran dan kekhusuan tersendiri agar dapat menangkap kisah dan makna secara utuh. Hal ini barangkali karena dominasi kata-kata yang cukup besar bahkan nyaris memonopoli keseluruhan pertunjukan. Tentu dipahami bersama bahwa menyimak memerlukan kecermatan lebih ketimbang membaca atau melihat. Tak hanya aktor dan tim kreatif lainnya yang dituntut punya kepekaan dalam memamah teks ini, pun demikian penonton, kesabaran dan ketelitian adalah prasyarat jika memang ingin menangkap sekian buah berharga dari kisah ini.

Memang, budaya menyimak sudah cukup banyak ditinggalkan dewasa ini. Membaca tulisan menjadi pilihan yang lebih berkelas barangkali ketimbang sebatas menyimak. Terkikisnya budaya dongeng dan pantun Sunda, misalnya, bisa jadi cukup berpengaruh pada berkurangnya kemampuan kita menangkap informasi lewat bahasa primer. Agaknya, lakon ini pun menggambarkan bagaimana komunikasi saling menyimak dan berbicara menjadi cukup penting. Sayoko dan Tatsuro yang lebih memilih tak saling berbicara, menyimpan persoalan mereka sebagai rahasia, toh malah seolah memupuk bom waktu. Menyimak-berbicara (secara langsung), cara komukasi yang sangat purba namun masih tetap yang paling efektif tatkala hendak saling memahami secara utuh dan menyeluruh. Canggihnya teknologi komunikasi virtual tak kan mampu menggantikan kemesraan dan keintiman perjumpaan tubuh secara utuh, perjumpaan mata, pejumpaan rasa, perjumpaan jiwa. Bahwa bagaimana pun, dimensi ketubuhan manusia tak bisa di kesampingkan begitu saja. Alih-alih  efisiensi dan efetifitas serta modernitas, digitalisasi (tanpa kearifan) justru adalah dehumanisasi.

Dalam kehidupan seni pertunjukan modern Ciamis, sajian ini terbilang menyegarkan, drama (terjemahan) asing yang disajikan dengan bentuk realis. Semoga saja, kehadiran WIZ Project dengan Heart Of Almond Jelly-nya dapat memberi warna baru di peta teater Ciamis khususnya, dan memberi sumbangsing bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Ciamis kiwari.

                                                                                                                                           Rengganis,
15 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...