Dan seperti
biasa, marlam tak pernah menjanjikan solusi atau tafsir tunggal nan mutlak atas
satu karya sastra. Kepala-kepala yang bening dan dingin sangat berpotensi
menjadi chaos dan panas untuk kemudian kembali dingin dan bening dengan
kesadaran baru. Demikian
dengan marlam#15 pula.
Sudah dua
carpon (carita pondok) dibahas di dua marlam, #14 dan yang terakhir kemarin
#15. Setelah carpon karya Lugiena De berjudul Jeruk, kini gilaran Wahyu Heryadi
yang carponnya menjadi kekasih yang dimesrai di pengajian Majelis Sore Malam.
Judulnya Balad Tukang Bajigur. Sekilas dari judul, karya ini terkesan lembur
sekali. Ketika hanya membaca judul, pembaca mungkin punya gambaran yang
sederhana saja. Kisah tentang balad (teman) seorang penjual bajigur, dan
kemungkinan terbesar, kisah ini tak jauh dari menceritakan tentang bajigur,
minuman hangat yang banyak di temukan Jawa Barat itu. Dengan bahasa Sunda,
judul karya ini boleh jadi menjebak penonton pada lokalitas Sunda saja. Dan
memang begitulah. Carpon ini memang menceritakan tentang seorang kawan penjual
bajigur, tapi bukan tukang bajigur biasa. Tukang bajigur tanpa nama, tukang
bajigur yang mata kirinya busuk dan bisa dengan mudah dicopot dan dipasang
kembali. Tukang bajigur yang mantan tukang kudak-kadék. Tukang bajigur yang
mendadak menghilang, masuk ke dalam panci besar tempat ia memasak bajigur dan
muncul kembali di akhir cerita.
Pada paragraf
awal, pembaca sudah dikejutkan dengan kondisi tubuh yang tak lazim, “nu sabeulah
kénca panonna rada buruk, jaba bisa dicoplokkeun tuluy diasupkeun deui panonna
téa”. Ini semacam kode keras, atau anjuran, untuk membuang jauh-jauh kaca mata
realis jika hendak mengunyah kisah ini lebih lanjut. Di awal saja, rasionalitas
pembaca sudah dihantam habis-habisan lewat kalimat itu. Kalimat itu semacam
ucapan selamat datang, selamat datang di dunia antah berantah.
Kisah berlanjut
pada balad (teman) si penjual bajigur yang dipilih penulis sebagai si aku.
Semua kejadian yang hadir adalah sudut pandang si balad tukang bajigur, seorang
pemuda berkaca mata. Kisah mendadak lompat. Penjual bajigur tanpa sebab yang
jelas tiba-tiba saja masuk ke dalam panci basar berisi bajigur (buleng). Si
kawan hendak menariknya tapi hanya sendalnya saja yang mampu ia raih.
Seorang nenek
tiba-tiba datang memesan bajigur. Sangkanya si kawan penjual bajigur adalah si
penjual itu. Usai membayar dengan uang yang kurang, ia pergi, bungkusan
bawaannya tertinggal. Lantas ia tertabrak motor. Tubuhnya terpental, menabrak
gerobak bajigur. Sebelum benar-benar tewas, ia masih sempat mengambil
bungkusannya yang tertinggal di gerobak bajigur. Warga berhamburan keluar dan
menghajar si kawan penjual bajigur. Mereka marah, menuduh pemuda itu ialah penyebab kematian si nenek.
Karena menabrak gerobaknyalah si nenek tewas. Dalam kondisi yang babak belur
dan tersungkur, tiba-tiba saja lewat tukang beling (pemulung rongsok). Dengan
santainya ia mengambil sendiri bajidur hingga 17 gelas tanpa membayar.
Tukang beling
pergi dan tukang bajigur tiba-tiba muncul dari buleng, tanpa mata kiri. “Halah,
teuing, ngarambang jeung cangkaléng sigana mah” jawabnya tatkala ditanya kemana
mata kirinya yang hampir copot itu. Usai berterima kasih pada pemuda itu, ia
pun pergi. Dari tangannya tiba-tiba muncul golok. Ia pergi dan ujung jalan
mendadak gelap lantaran listrik tak mengalir.
Sejak paragraf
awal, pembaca disambut dengan kondisi surrealis. Ini semacam gerbang. Atmosfer
janggal ini berlangsung hingga akhir cerita. Kahadiran beberapa tokoh seolah
tanpa kausalitas. Nenek dan tukang beling muncul dengan tiba-tiba. Konflik ini
hadir justru karena kehadiran si nenek. Tukang bajigurya sendiri malah tak
terlibat dalam konflik sama sekali karena selama kejadian berlangsung, ia pergi
ke dalam wadah besar itu. Ia hanya muncul di awal dan akhir saja, membuka dan
menutup cerita saja. Tokoh pemuda berkaca mata seperti kena batunya dan tukang
bajigur seolah lempar batu sembunyi tangan, meski sebenarnya ia tak memulai
masalah. Masalah bermula dari kedatangan si nenek yang lantas tertabrak itu.
Semua jemaah
marlam#15 sepakat bahwa carpon ini sarat dengan simbol. Membacanya tanpa kaca
mata semiotik malah akan membuat rieut. Lantas
simbol-simbol apakah ini : Penjual bajigur yang mata kirinya hampir copot,
pemuda berkaca mata kawan penjual bajigur, buleng, nenek-nenek, warga dan cucu
ci nenek (seorang pemuda dengan kostum berkolor dan telajang dada yang ikut
menggebuki si pemuda), tukang beling, sendal capit, mata kiri, 17 gelas bajigur
yang diminum tukang beling tanpa membayar, cangkaleng, golok yang tiba-tiba
muncul dari tangan penjual bajigur, dan lain-lain, dan lain-lain.
Belum lagi
makna-makna peristiwa : masuk dan keluarnya tukang bajigur ke dan dari dalam buleng,
nenek-nenek yang tiba-tiba tertabrak, pengeroyokan, tukang beling yang
memanfaatan situasi, tukang bajigur yang keluar dari buleng sambil jumpalitan
mirip pahlwan bertopeng, yang lantas menutup dagangannya dan pergi, juga yang
lainnya, juga yang lainnya.
Perebutan
tafsir simbol ini nyaris tak menemukan konsensus. Ada yang menariknya ke tragedi 1965. Ada pula yang menyeretnya ke peristiwa
1998. Bahwa keseluruhan cerita adalah gambaran situasi reformasi. Tokoh dan
peristiwa adalah kata ganti untuk aktor dan adegan-adegan 1998. Bahwa mata kiri
adalah simbol dari sosialisme yang “menenggelamkan diri” untuk kemudian muncul
kembali di saat yang tepat. Ketika mata kiri si tukang bajigur bercampur dengan
cangkaleng, itulah momentum saat sosialisme justru makin mengakar di masyarakat
yang di analogikan dengan cangkaleng. Dengan seting reformasi, yang menjadi
menarik adalah posisi tukang beling. Setidaknya dua tafsir yang berkembang.
Pertama tukang beling adalah intelijen, kedua ia adalah kelompok masyarakat
yang sengaja dibentuk pada momentum ’98 dan bersifat oportunis. Tukang beling
bukanlah perorangan, tapi sebuah kelompok yang tertata.
Tafsir lain
mecoba melepaskan diri dari belenggu ’98. Ia menarik diri malah menjadi lebih
luas pada kondisi manusia postmodern, bahkan ada pula yang menariknya ke kondisi postmodernitas jeprut. Kondisi anti kausalitas,
individualisme yang bertabrakan dengan komunalisme di satu sisi menjadi
gambaran yang cukup relevan pula dengan kondisi second city serupa Ciamis. Ini
tentu dari sudut lain. Bajigur yang melokal, namun dengan rangkaian
ke-bajigur-an yang anti kausalitas, chaos. Di
lain pihak masih bisa ditemukan “gotong royong” yang jadi salah
satu ciri budaya
rural. Perjumpaan kondisi postmo dan lokalitas ini menghasilkan sitesa yang
endemik, hanya terjadi di
tempat-tempat “nanggung”, meski konon postmodern sendiri adalah perjumpaan
modernitas dan tradisi.
Yang cukup
menjadi sorotan menarik lainnya dari carpon ini adalah kalimat “Ngeunah
neunggeulan batur téh. Nyandu!”. Kalimat yang meluncur dari salah satu mulut
warga yang asik menggebuki si pemuda berkaca mata. Kalimat yang disepakati
sebagai wakil gambaran kondisi masyarakat kekinian, khususnya di Indonesia, dan
mungkin juga dunia. Masyarakat yang katanya sudah tak lagi mempercayai cara “beradab” lama, musyawarah, sebagai media
penyelesaian masalah. Orang-orang, karena
sudah tak puas dengan cara demikian, akhirnya memilih cara paling purba, perang
fisik. Kekerasan. Bahkan ini bukan jadi pilihan penyesaian masalah, ini sudah
menjadi candu. Kebutuhan. Jika tak ada musabab berkekerasan ria, orang-orang
akan sengaja membuatnya, agar hasratnya terpenuhi. Menghajar orang jadi serupa kebutuhan makan dan seks. Harus,
wajib disalurkan dan dengan bagaimana pun caranya harus menemukan pemuasannya.
Mencari objek tinju sama dengan mencari makan atau pemuas seks.
Transformasi figur adalah hal lain yang hendak disampaikan carpon. Sosok yang mata kiriya busuk dan nyaris copot itu yang awalnya “preman”, kini “hijrah” menjadi
penjual bajigur, yang meski misterius, toh ia sudah lama tak kudak-kadék.
Lantas, siapa sebenarna tukang bajugur itu?
Renggannis,
Januari
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar