Sabtu, 21 Januari 2017

Candu Tinju; Ekstraksi Marlam#15


Dan seperti biasa, marlam tak pernah menjanjikan solusi atau tafsir tunggal nan mutlak atas satu karya sastra. Kepala-kepala yang bening dan dingin sangat berpotensi menjadi chaos dan panas untuk kemudian kembali dingin dan bening dengan kesadaran baru. Demikian dengan marlam#15 pula.

Sudah dua carpon (carita pondok) dibahas di dua marlam, #14 dan yang terakhir kemarin #15. Setelah carpon karya Lugiena De berjudul Jeruk, kini gilaran Wahyu Heryadi yang carponnya menjadi kekasih yang dimesrai di pengajian Majelis Sore Malam. Judulnya Balad Tukang Bajigur. Sekilas dari judul, karya ini terkesan lembur sekali. Ketika hanya membaca judul, pembaca mungkin punya gambaran yang sederhana saja. Kisah tentang balad (teman) seorang penjual bajigur, dan kemungkinan terbesar, kisah ini tak jauh dari menceritakan tentang bajigur, minuman hangat yang banyak di temukan Jawa Barat itu. Dengan bahasa Sunda, judul karya ini boleh jadi menjebak penonton pada lokalitas Sunda saja. Dan memang begitulah. Carpon ini memang menceritakan tentang seorang kawan penjual bajigur, tapi bukan tukang bajigur biasa. Tukang bajigur tanpa nama, tukang bajigur yang mata kirinya busuk dan bisa dengan mudah dicopot dan dipasang kembali. Tukang bajigur yang mantan tukang kudak-kadék. Tukang bajigur yang mendadak menghilang, masuk ke dalam panci besar tempat ia memasak bajigur dan muncul kembali di akhir cerita.

Pada paragraf awal, pembaca sudah dikejutkan dengan kondisi tubuh yang tak lazim, “nu sabeulah kénca panonna rada buruk, jaba bisa dicoplokkeun tuluy diasupkeun deui panonna téa”. Ini semacam kode keras, atau anjuran, untuk membuang jauh-jauh kaca mata realis jika hendak mengunyah kisah ini lebih lanjut. Di awal saja, rasionalitas pembaca sudah dihantam habis-habisan lewat kalimat itu. Kalimat itu semacam ucapan selamat datang, selamat datang di dunia antah berantah.

Kisah berlanjut pada balad (teman) si penjual bajigur yang dipilih penulis sebagai si aku. Semua kejadian yang hadir adalah sudut pandang si balad tukang bajigur, seorang pemuda berkaca mata. Kisah mendadak lompat. Penjual bajigur tanpa sebab yang jelas tiba-tiba saja masuk ke dalam panci basar berisi bajigur (buleng). Si kawan hendak menariknya tapi hanya sendalnya saja yang mampu ia raih.

Seorang nenek tiba-tiba datang memesan bajigur. Sangkanya si kawan penjual bajigur adalah si penjual itu. Usai membayar dengan uang yang kurang, ia pergi, bungkusan bawaannya tertinggal. Lantas ia tertabrak motor. Tubuhnya terpental, menabrak gerobak bajigur. Sebelum benar-benar tewas, ia masih sempat mengambil bungkusannya yang tertinggal di gerobak bajigur. Warga berhamburan keluar dan menghajar si kawan penjual bajigur. Mereka marah, menuduh pemuda itu ialah penyebab kematian si nenek. Karena menabrak gerobaknyalah si nenek tewas. Dalam kondisi yang babak belur dan tersungkur, tiba-tiba saja lewat tukang beling (pemulung rongsok). Dengan santainya ia mengambil sendiri bajidur hingga 17 gelas tanpa membayar.

Tukang beling pergi dan tukang bajigur tiba-tiba muncul dari buleng, tanpa mata kiri. “Halah, teuing, ngarambang jeung cangkaléng sigana mah” jawabnya tatkala ditanya kemana mata kirinya yang hampir copot itu. Usai berterima kasih pada pemuda itu, ia pun pergi. Dari tangannya tiba-tiba muncul golok. Ia pergi dan ujung jalan mendadak gelap lantaran listrik tak mengalir.

Sejak paragraf awal, pembaca disambut dengan kondisi surrealis. Ini semacam gerbang. Atmosfer janggal ini berlangsung hingga akhir cerita. Kahadiran beberapa tokoh seolah tanpa kausalitas. Nenek dan tukang beling muncul dengan tiba-tiba. Konflik ini hadir justru karena kehadiran si nenek. Tukang bajigurya sendiri malah tak terlibat dalam konflik sama sekali karena selama kejadian berlangsung, ia pergi ke dalam wadah besar itu. Ia hanya muncul di awal dan akhir saja, membuka dan menutup cerita saja. Tokoh pemuda berkaca mata seperti kena batunya dan tukang bajigur seolah lempar batu sembunyi tangan, meski sebenarnya ia tak memulai masalah. Masalah bermula dari kedatangan si nenek yang lantas tertabrak itu.

Semua jemaah marlam#15 sepakat bahwa carpon ini sarat dengan simbol. Membacanya tanpa kaca mata semiotik malah akan membuat rieut. Lantas simbol-simbol apakah ini : Penjual bajigur yang mata kirinya hampir copot, pemuda berkaca mata kawan penjual bajigur, buleng, nenek-nenek, warga dan cucu ci nenek (seorang pemuda dengan kostum berkolor dan telajang dada yang ikut menggebuki si pemuda), tukang beling, sendal capit, mata kiri, 17 gelas bajigur yang diminum tukang beling tanpa membayar, cangkaleng, golok yang tiba-tiba muncul dari tangan penjual bajigur, dan lain-lain, dan lain-lain.    

Belum lagi makna-makna peristiwa : masuk dan keluarnya tukang bajigur ke dan dari dalam buleng, nenek-nenek yang tiba-tiba tertabrak, pengeroyokan, tukang beling yang memanfaatan situasi, tukang bajigur yang keluar dari buleng sambil jumpalitan mirip pahlwan bertopeng, yang lantas menutup dagangannya dan pergi, juga yang lainnya, juga yang lainnya.

Perebutan tafsir simbol ini nyaris tak menemukan konsensus. Ada yang menariknya ke tragedi 1965. Ada pula yang menyeretnya ke peristiwa 1998. Bahwa keseluruhan cerita adalah gambaran situasi reformasi. Tokoh dan peristiwa adalah kata ganti untuk aktor dan adegan-adegan 1998. Bahwa mata kiri adalah simbol dari sosialisme yang “menenggelamkan diri” untuk kemudian muncul kembali di saat yang tepat. Ketika mata kiri si tukang bajigur bercampur dengan cangkaleng, itulah momentum saat sosialisme justru makin mengakar di masyarakat yang di analogikan dengan cangkaleng. Dengan seting reformasi, yang menjadi menarik adalah posisi tukang beling. Setidaknya dua tafsir yang berkembang. Pertama tukang beling adalah intelijen, kedua ia adalah kelompok masyarakat yang sengaja dibentuk pada momentum ’98 dan bersifat oportunis. Tukang beling bukanlah perorangan, tapi sebuah kelompok yang tertata.

Tafsir lain mecoba melepaskan diri dari belenggu ’98. Ia menarik diri malah menjadi lebih luas pada kondisi manusia postmodern, bahkan ada pula yang menariknya ke kondisi postmodernitas jeprut. Kondisi anti kausalitas, individualisme yang bertabrakan dengan komunalisme di satu sisi menjadi gambaran yang cukup relevan pula dengan kondisi second city serupa Ciamis. Ini tentu dari sudut lain. Bajigur yang melokal, namun dengan rangkaian ke-bajigur-an yang anti kausalitas, chaos. Di lain pihak masih bisa ditemukan “gotong royong” yang jadi salah satu ciri budaya rural. Perjumpaan kondisi postmo dan lokalitas ini menghasilkan sitesa yang endemik, hanya terjadi di tempat-tempat “nanggung”, meski konon postmodern sendiri adalah perjumpaan modernitas dan tradisi.

Yang cukup menjadi sorotan menarik lainnya dari carpon ini adalah kalimat “Ngeunah neunggeulan batur téh. Nyandu!”. Kalimat yang meluncur dari salah satu mulut warga yang asik menggebuki si pemuda berkaca mata. Kalimat yang disepakati sebagai wakil gambaran kondisi masyarakat kekinian, khususnya di Indonesia, dan mungkin juga dunia. Masyarakat yang katanya sudah tak lagi mempercayai cara “beradab” lama, musyawarah, sebagai media penyelesaian masalah. Orang-orang, karena sudah tak puas dengan cara demikian, akhirnya memilih cara paling purba, perang fisik. Kekerasan. Bahkan ini bukan jadi pilihan penyesaian masalah, ini sudah menjadi candu. Kebutuhan. Jika tak ada musabab berkekerasan ria, orang-orang akan sengaja membuatnya, agar hasratnya terpenuhi. Menghajar orang jadi serupa kebutuhan makan dan seks. Harus, wajib disalurkan dan dengan bagaimana pun caranya harus menemukan pemuasannya. Mencari objek tinju sama dengan mencari makan atau pemuas seks.

Transformasi figur adalah hal lain yang hendak disampaikan carpon. Sosok yang mata kiriya busuk dan nyaris copot itu yang awalnya “preman”, kini “hijrah” menjadi penjual bajigur, yang meski misterius, toh ia sudah lama tak kudak-kadék.

Lantas, siapa sebenarna tukang bajugur itu?

Renggannis,
Januari 2017 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...