Sabtu, 10 Desember 2016

Wastu


Wastu, kukira kita takkan pernah semesra ini. Membayangkan pun aku tak pernah. Kali pertama jumpa, aku sudah lupa. Entah kapan waktu itu. Mungkin karena sudah terlalu lama atau mungkin karena perjumpaan kita yang pertama itu kurang berkesan buatku. Biasa-biasa saja. Biasanya aku memang begitu, memberi porsi cukup besar pada kesan ketimbang hitung-hitungan. Aku kenal kau seperti kata orang kebanyakan. Kau begini, kau begitu, dan aku percaya saja tanpa hasrat mengenalmu lebih mesra.

Aku pernah sedikit membaca tentangmu. Kau pemimpin  yang sangat segalanya. Kau cerdas, sakti, dan berhati mulia. Kau tak mendendam pada orang yang telah membantai habis keluargamu di tempat yang belum pernah kau ketahui. Ya, banyak yang mengelu-elukanmu sebagai seorang tanpa cacat. Semacam manusia super, barangkali.

Perjumpaan macam itulah perjumpaan kita yang pertama itu. Perjumpaan yang biasa-biasa saja, yang aku pun tak sanggup mengingatnya. Padahal biasanya aku mampu mengingat perjumpaan pertamaku dengan apa pun. Aku ingat kali pertama berjumpa dengan sutradaraku, meski itu telah berlalu bertahun lamanya. Aku ingat betul kali pertama berjumpa kawan-kawan semasa kecil di sekolah dasar. Aku ingat perjumpaan pertama dengan wujud metafisika. Aku takkan mengatakan aku ingat perjumpaan pertama dengan pacarku karena aku memang belum pernah mengalaminya.

Lewat seseorang, aku kembali dikenalkan padamu. Ia bercerita banyak tentangmu dari kaca matanya. Ia berkisah tentang kau yang kanak-kanak. Yang dengan segala kekanak-kanakanmu musti melakoni takdir sebagai yatim piatu. Memang, sejak lama aku tahu Ayah, Ibu, dan Kakak Perempuanmu yang cantik itu mati mengenaskan di suatu tempat. Niat pernikahan malah harus dibalas darah. Kau yang waktu itu masih belasan tahun harus menerima kenyataan bahwa ketiga keluargamu dan sanak saudara lainnya tewas dalam peperangan tak imbang. Dulu aku memanggilmu lengkap dengan gelarmu yang panjang dan ribet itu. Setelah aku diperkenalkan kembali oleh seorang penyair, maaf, kini aku lebih suka memanggilmu Wastu saja. Mesra.

Ah, Wastu.
Malang sekali gurat masa kecilmu. Kau pasti paham betul arti kehilangan. Kesepian. Sendiri. Kelengangan. Bayang-bayang Ayah, Ibu, atau Kakak Perempuanmu pasti sering berkelebat dalam ingatan. Sesekali mereka datang menyapa dengan tubuh penuh merah. Darah. Sesekali pula mereka datang dengan senyum dan cahaya. Ya, itulah hidup, Wastu. Kita terkadang sulit menerima kenyataan dan masa lalu. Kita sering menciptakan keyakinan-keyakinan palsu hanya untuk memuaskan diri lantaran  tak kuasa mengikuti irama waktu. Kuasanya yang sangat, sering gagal kita imani sebagai sebuah perjalanan. Kita kerap berusaha keras mengahapus jejak. Melupakan detik-detik masa silam yang menyedihkan. Dan akhirnya sekuat apa kita melawan, sekuat itu pula kita dihantam. Waktu memang misteri, Wastu.

Mungkin kau sering bertanya, mengapa saat itu kau tak ikut serta. Jika saja kau turut Ayah dan Ibumu pergi, mungkin kau tak pernah dirundung sedih sebab kau pasti mati turut serta. Aku jadi ingat kata-kata seorang tokoh dalam sebuah naskah drama :”Kelengangan disebabkan perpisahan terkadang lebih parah dari kematian itu sendiri”. Mungkin pernah terbersit dalam benakmu, lebih baik mati ketimbang musti merasa sepi. Lengang.

Aku tak separah laku hidupmu, Wastu. Aku masih cukup beruntung, mungkin. Ayahku mangkat ketika usiaku belasan. Ia meninggal karena sakit. Tiga belas tahun ia menahan nyeri. Kaki, tangan, dan seluruh tubuh bagian kanannya lumpuh. Matanya perlahan-lahan rabun dan memutih. Bicaranya tak pernah bisa jelas karena lidah dan otot wajahnya lumpuh sebagian. Tangan kanannya menekuk, selalu menekuk. Ke mana pergi, Ibu selalu menuntunnya sebelum akhirnya ia menggunakan kursi roda hingga akhir hayatnya. Jika Ibu pergi ke pasar atau sedang berkebun, aku atau kakak perempuanku yang mengurusinya. Menuntunnya, mengantarnya ke kamar mandi, mengurusinya buang air kecil atau buang air besar.

Ayahku orang yang bertempramen tinggi. Katanya, sejak muda pun Ayah memang demikian. Ditambah penyakit saraf yang menyerang pembuluh darah di otaknya, ia kadang makin sulit mengendalikan diri. Kami yang berada di rumah sudah tak terhitung kena bentaknya. Kakak-kakakku boleh dikata masih lebih beruntung, masih sempat melihat dan menikmati Ayah yang sehat. Sejak lahir aku tak pernah ingat Ayah yang mampu berjalan tegap. Ia mulai sakit berbarengan dengan kelahiranku. Usia penyaitnya sama dengan usiaku. Ayah di mataku adalah seorang lelaki tua yang tak mampu mengurusi dirinya sendiri. Teronggok tak berdaya di kursi roda.

Ketika Ayah masih hidup, aku sering mengutuknya. Tak ada satu pun kelakuannya yang bisa aku mengerti. Ia kadang memanggilku hanya untuk membelai dan menciumiku di pangkuannya. Ia bicara hal-hal yang tak bisa kucerna. Akal anak-anakku tak mampu mencerna kata-katanya yang kini aku pahami sebagai do’a, harapan. Aku ingat betul, suatu ketika Ayah pernah mengatakan bahwa ia takkan melihatku mengenakan seragam putih biru. Ibu buru-buru mengalihkan pembicaraan dan mengingatkan bahwa tak seorang pun tahu rahasia umur. Tapi itu memang terjadi. Ayah meninggal tepat ketika aku ujian akhir di sekolah dasar, hanya beberapa saat sebelum aku mengenakan seragam itu.

Ibu? Ah, ia memang wanita perkasa. Tiga puluh enam tahun menemani Ayah hingga nafasnya yang terakhir. Semoga surga adalah tempat yang terbaik baginya kelak,  dan kembali berjumpa dengan Ayah di sana.

Penyakit Ayah tak hanya membunuh Ayah dalam kepalaku sejak aku mampu mengingat. Ibu pun turut direnggutnya. Ibu berbagi antara mengurusi aku yang masih kanak dan Ayah yang sakitnya tak kunjung usai. Ayah dan Ibuku tak seperti ayah dan ibu lainnya. Tak ada liburan keluarga di tanggal merah. Tak ada cengkrama hangat di ruang keluarga. Yang mampu kukenang manis adalah perjumpaan kami di ruang makan. Semua kami makan dengan tertib di kursi masing-masing. Kami tidak boleh ribut atau bercanda. Pelototan Ayah sudah cukup untuk menenangkan anak-anak yang berisik saat makan.

Kita punya kesamaan lain, Wastu. Kita sama-sama punya kakak perempuan. Ya, itu menyenangkan. Kakak perempuan kadang bisa lebih menerima diri kita tanpa banyak bertanya. Hanya saja kakak perempuanku masih bisa kutemui di rumahnya sedang kakak perempuanmu sudah lebih dulu mangkat. Aku mungkin bisa meraba kesedihanmu ditinggal kakak perempuan. Ada kehilangan  yang tak tergantikan.

Aku kecil hanya kuasa berbagi kisah dengan mainan-mainan usang. Boneka, robot-robotan rumpang, mobil-mobilan, dan benda-benda lain yang kadang kujadikan sahabat mengusir sepi. Kakak perempuanku kadang hadir menjadi pendengar yang baik. Tapi aku asyik hidup dalam kepala. Anak-anak memang selalu demikian. Tapi aku merasa melakukannya sebagai pelarian. Semacam eskapisme, mungkin.

Wastu, pernahkan kau menyesali perbuatanmu? Aku kadang demikian, sering kali. Kenapa dulu aku selalu enggan dibelai Ayah? Diciuminya? Dido’akannya? Jika aku bisa jumpa dengannya barang sesaat saja, itulah yang ingin kupinta. Aku ingin dibelainya lagi, diciuminya lagi, dan tentu dido’akannya. Aku rindu aku  yang kanak-kanak. Yang tak perlu diterkam lengang. Yang  tak perlu merasa kesepian yang aku sendiri nyaris tak mampu menerjemahkannya.

Aku paham betul kalimat itu. Kalimat seorang tokoh yang aku bilang padamu barusan. Kelengangan itu menyakitkan, Wastu. Lengang adalah ketika kau sepi dalam ramai. Kau tak mampu larut meski kau ingin. Lengang adalah lengang. Sekuat apa pun kau mempercantik itu dengan kata-kata puitis dan filosofis, lengang tetaplah lengang. Sepi tetaplah sepi.

Dan sempurnalah sepimu ketika tak seorang pun mampu memahami. Ketika orang hanya mampu memberimu kata-kata, kalimat-kalimat panjang yang katanya nasihat atau ucapan simpati, barangkali itu hanya akan jadi sekedar bunyi-bunyi tanp arti belaka. Kata memang mewakili rasa, namun sebenarnya kata tak cukup kuasa untuk itu. Selalu saja, rasa meluber, meluap, meleleh melintasi kata. Mungkin diam adalah wakil rasa lebih sungguh. Entahlah.

Wastu, akhirnya sepi hanyalah milik kita sendiri. Setidaknya itu yang kurasakan. Berbagi sepi adalah perkara jodoh. Terkadang, ada orang yang mampu menerima tumpahan sepimu namun kau enggan. Kau sebut ia salah berkunjung. Atau kadang pula sebaliknya. Kau pikir lubang hitam itu bisa ditutupi oleh seseorang yang kau harapkan tapi nyatanya sepi masih engga pergi. Ia hadir sebagai ia, bukan sebagai pelipur lengangmu.

Wastu, terima kasih untuk segala perjumpaan mesra ini.      

Astana Gede Kawali,

10 Des. 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...