Wastu, kukira kita takkan pernah semesra ini. Membayangkan
pun aku tak pernah. Kali pertama jumpa, aku sudah lupa. Entah kapan waktu itu. Mungkin
karena sudah terlalu lama atau mungkin karena perjumpaan kita yang pertama itu kurang berkesan buatku. Biasa-biasa
saja. Biasanya
aku memang begitu, memberi porsi cukup besar pada kesan ketimbang
hitung-hitungan. Aku kenal kau seperti kata orang kebanyakan. Kau begini,
kau begitu, dan aku percaya saja tanpa hasrat mengenalmu lebih mesra.
Aku pernah
sedikit membaca tentangmu. Kau pemimpin
yang sangat segalanya. Kau cerdas, sakti, dan berhati mulia. Kau tak mendendam pada
orang yang telah membantai habis keluargamu di tempat yang belum pernah kau
ketahui. Ya, banyak yang mengelu-elukanmu sebagai seorang tanpa cacat. Semacam
manusia super, barangkali.
Perjumpaan
macam itulah perjumpaan kita yang pertama itu. Perjumpaan yang biasa-biasa
saja, yang aku pun tak sanggup mengingatnya. Padahal biasanya aku mampu
mengingat perjumpaan pertamaku dengan apa pun. Aku ingat kali pertama berjumpa
dengan sutradaraku, meski itu telah berlalu bertahun lamanya. Aku ingat betul
kali pertama berjumpa kawan-kawan semasa kecil di sekolah dasar. Aku ingat
perjumpaan pertama dengan wujud metafisika. Aku takkan mengatakan aku ingat
perjumpaan pertama dengan pacarku karena aku memang belum pernah mengalaminya.
Lewat
seseorang, aku kembali dikenalkan padamu. Ia bercerita banyak tentangmu dari
kaca matanya. Ia
berkisah tentang kau yang kanak-kanak. Yang dengan segala kekanak-kanakanmu musti melakoni takdir sebagai yatim piatu. Memang, sejak lama aku tahu
Ayah, Ibu, dan Kakak Perempuanmu yang cantik itu mati mengenaskan di suatu
tempat. Niat pernikahan malah harus dibalas darah. Kau yang waktu itu masih belasan
tahun harus menerima kenyataan bahwa ketiga keluargamu dan sanak saudara
lainnya tewas dalam peperangan tak imbang. Dulu aku memanggilmu lengkap dengan
gelarmu yang panjang dan ribet itu. Setelah aku diperkenalkan kembali oleh seorang
penyair, maaf, kini aku lebih suka memanggilmu Wastu saja. Mesra.
Ah, Wastu.
Malang sekali gurat masa kecilmu. Kau pasti paham
betul arti kehilangan. Kesepian. Sendiri. Kelengangan. Bayang-bayang Ayah, Ibu,
atau Kakak Perempuanmu pasti sering berkelebat dalam ingatan. Sesekali mereka
datang menyapa dengan tubuh penuh merah. Darah. Sesekali pula mereka datang
dengan senyum dan cahaya. Ya, itulah hidup, Wastu. Kita terkadang sulit
menerima kenyataan dan masa lalu. Kita sering menciptakan keyakinan-keyakinan palsu
hanya untuk memuaskan diri lantaran tak
kuasa mengikuti irama waktu. Kuasanya yang sangat, sering gagal kita imani
sebagai sebuah perjalanan. Kita kerap berusaha keras mengahapus jejak. Melupakan
detik-detik masa silam yang menyedihkan. Dan akhirnya sekuat apa kita melawan,
sekuat itu pula kita dihantam. Waktu memang misteri, Wastu.
Mungkin kau sering bertanya, mengapa saat itu kau
tak ikut serta. Jika saja kau turut Ayah dan Ibumu pergi, mungkin kau tak
pernah dirundung sedih sebab kau pasti mati turut serta. Aku jadi ingat
kata-kata seorang tokoh dalam sebuah naskah drama :”Kelengangan disebabkan perpisahan
terkadang lebih parah dari kematian itu sendiri”. Mungkin pernah terbersit
dalam benakmu, lebih baik mati ketimbang musti merasa sepi. Lengang.
Aku tak separah laku hidupmu, Wastu. Aku masih
cukup beruntung, mungkin. Ayahku mangkat ketika usiaku belasan. Ia meninggal
karena sakit. Tiga belas tahun ia menahan nyeri. Kaki, tangan, dan seluruh
tubuh bagian kanannya lumpuh. Matanya perlahan-lahan rabun dan memutih. Bicaranya
tak pernah bisa jelas karena lidah dan otot wajahnya lumpuh sebagian. Tangan kanannya
menekuk, selalu menekuk. Ke mana pergi, Ibu selalu menuntunnya sebelum akhirnya
ia menggunakan kursi roda hingga akhir hayatnya. Jika Ibu pergi ke pasar atau
sedang berkebun, aku atau kakak perempuanku yang mengurusinya. Menuntunnya,
mengantarnya ke kamar mandi, mengurusinya buang air kecil atau buang air besar.
Ayahku orang yang bertempramen tinggi. Katanya,
sejak muda pun Ayah memang demikian. Ditambah penyakit saraf yang menyerang
pembuluh darah di otaknya, ia kadang makin sulit mengendalikan diri. Kami yang
berada di rumah sudah tak terhitung kena bentaknya. Kakak-kakakku boleh dikata
masih lebih beruntung, masih sempat melihat dan menikmati Ayah yang sehat. Sejak
lahir aku tak pernah ingat Ayah yang mampu berjalan tegap. Ia mulai sakit
berbarengan dengan kelahiranku. Usia penyaitnya sama dengan usiaku. Ayah di
mataku adalah seorang lelaki tua yang tak mampu mengurusi dirinya sendiri. Teronggok
tak berdaya di kursi roda.
Ketika Ayah masih hidup, aku sering mengutuknya. Tak
ada satu pun kelakuannya yang bisa aku mengerti. Ia kadang memanggilku hanya
untuk membelai dan menciumiku di pangkuannya. Ia bicara hal-hal yang tak bisa
kucerna. Akal anak-anakku tak mampu mencerna kata-katanya yang kini aku pahami
sebagai do’a, harapan. Aku ingat betul, suatu ketika Ayah pernah mengatakan
bahwa ia takkan melihatku mengenakan seragam putih biru. Ibu buru-buru
mengalihkan pembicaraan dan mengingatkan bahwa tak seorang pun tahu rahasia
umur. Tapi itu memang terjadi. Ayah meninggal tepat ketika aku ujian akhir di
sekolah dasar, hanya beberapa saat sebelum aku mengenakan seragam itu.
Ibu? Ah, ia memang wanita perkasa. Tiga puluh enam
tahun menemani Ayah hingga nafasnya yang terakhir. Semoga surga adalah tempat
yang terbaik baginya kelak, dan kembali
berjumpa dengan Ayah di sana.
Penyakit Ayah tak hanya membunuh Ayah dalam
kepalaku sejak aku mampu mengingat. Ibu pun turut direnggutnya. Ibu berbagi
antara mengurusi aku yang masih kanak dan Ayah yang sakitnya tak kunjung usai. Ayah
dan Ibuku tak seperti ayah dan ibu lainnya. Tak ada liburan keluarga di tanggal
merah. Tak ada cengkrama hangat di ruang keluarga. Yang mampu kukenang manis
adalah perjumpaan kami di ruang makan. Semua kami makan dengan tertib di kursi
masing-masing. Kami tidak boleh ribut atau bercanda. Pelototan Ayah sudah cukup
untuk menenangkan anak-anak yang berisik saat makan.
Kita punya kesamaan lain, Wastu. Kita sama-sama
punya kakak perempuan. Ya, itu menyenangkan. Kakak perempuan kadang bisa lebih
menerima diri kita tanpa banyak bertanya. Hanya saja kakak perempuanku masih
bisa kutemui di rumahnya sedang kakak perempuanmu sudah lebih dulu mangkat. Aku
mungkin bisa meraba kesedihanmu ditinggal kakak perempuan. Ada kehilangan yang tak tergantikan.
Aku kecil hanya kuasa berbagi kisah dengan
mainan-mainan usang. Boneka, robot-robotan rumpang, mobil-mobilan, dan
benda-benda lain yang kadang kujadikan sahabat mengusir sepi. Kakak perempuanku
kadang hadir menjadi pendengar yang baik. Tapi aku asyik hidup dalam kepala. Anak-anak
memang selalu demikian. Tapi aku merasa melakukannya sebagai pelarian. Semacam eskapisme,
mungkin.
Wastu, pernahkan kau menyesali perbuatanmu? Aku kadang
demikian, sering kali. Kenapa dulu aku selalu enggan dibelai Ayah? Diciuminya? Dido’akannya?
Jika aku bisa jumpa dengannya barang sesaat saja, itulah yang ingin kupinta. Aku
ingin dibelainya lagi, diciuminya lagi, dan tentu dido’akannya. Aku rindu
aku yang kanak-kanak. Yang tak perlu diterkam
lengang. Yang tak perlu merasa kesepian
yang aku sendiri nyaris tak mampu menerjemahkannya.
Aku paham betul kalimat itu. Kalimat seorang tokoh
yang aku bilang padamu barusan. Kelengangan itu menyakitkan, Wastu. Lengang adalah
ketika kau sepi dalam ramai. Kau tak mampu larut meski kau ingin. Lengang adalah
lengang. Sekuat apa pun kau mempercantik itu dengan kata-kata puitis dan
filosofis, lengang tetaplah lengang. Sepi tetaplah sepi.
Dan sempurnalah sepimu ketika tak seorang pun mampu
memahami. Ketika orang hanya mampu memberimu kata-kata, kalimat-kalimat panjang
yang katanya nasihat atau ucapan simpati, barangkali itu hanya akan jadi
sekedar bunyi-bunyi tanp arti belaka. Kata memang mewakili rasa, namun
sebenarnya kata tak cukup kuasa untuk itu. Selalu saja, rasa meluber, meluap,
meleleh melintasi kata. Mungkin diam adalah wakil rasa lebih sungguh. Entahlah.
Wastu, akhirnya sepi hanyalah milik kita sendiri. Setidaknya
itu yang kurasakan. Berbagi sepi adalah perkara jodoh. Terkadang, ada orang
yang mampu menerima tumpahan sepimu namun kau enggan. Kau sebut ia salah
berkunjung. Atau kadang pula sebaliknya. Kau pikir lubang hitam itu bisa
ditutupi oleh seseorang yang kau harapkan tapi nyatanya sepi masih engga pergi.
Ia hadir sebagai ia, bukan sebagai pelipur lengangmu.
Wastu, terima kasih untuk segala perjumpaan mesra
ini.
Astana Gede Kawali,
10 Des. 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar