Aku yakin kamu
pernah mendengar kata itu, Laksmini. Kata awal yang kutulis sebagai judul di
atas. Ya, cinta. Kata misterius yang, sebenarnya, sia-sia kita maknai jika
tanpa kita lakoni. Ah, bicaraku sok dalem padahal aku awam sekali, mualaf,
benar-benar mualaf. Bahkan mualaf pun bukan, mungkin. Aku nyaris masih kafir
dalam hal ini. Tapi bolehlah kiranya kafir cinta macam aku ikut bicara tentang
hal itu, yang sepanjang sejarah manusia tak pernah sepi dibicarakan. Kau tahu
sendiri, tema cinta ini pasti ada dalam tiap perjalanan manusia sejak zaman Adam dan Hawa di taman Eden sampai aku menulis
tulisan ini. Bukankah Hawa diciptakan lantaran Adam kesepian, dan ia butuh
subjek lain sebagai receiver cinta? Bisa kamu bayangkan, Laksmini, jika Adam
tak pernah dipasangkan dengan Hawa.
Yakinlah aku dan kamu takkan pernah ada.
Oh, tentang
inses itu. Ya, aku pernah mendengarnya dari seorang kawan. Aku pun sebetulnya
pernah sedikit membaca tentang hal itu sebelumnya. Katanya, Hawa sebenarnya
adalah “saudara” Adam karena ia tercipta dari tulang rusuk Adam, dari bagian
tubuh Adam. Status Hawa adalah semacam saudara sedarah. Mereka berhubungan
seks, kemudian mereka dihukum Tuhan atas tindakannya itu dengan cara dibuang ke
bumi. Itulah kisah inses pertama di dunia. Dan kita, ya aku dan kamu, adalah
hasil hubungan inses, sedarah. Yak, menjijikan sekali mendengarnya. Tapi
ternyata ada pula yang serius meyakini itu sebagai kebenaran. Mungkin kamu
masih ingat, ada seorang penulis yang masuk rumah sakit jiwa karena menulis hal
ini. Ya, yang orang Solo itu. Aku lupa namanya.
Bagaimana
menurutmu tentang inses? Apakah itu cinta juga? Apakah itu wajar saja? Bukan,
aku bukannya menuduhmu mendukung perbuatan itu. Aku hanya menanyakan
pendapatmu. Aku bertanya tanpa prasangka. Kalaupun ternyata kamu mendukung
inses, ya itu kedaulatanmu. Toh, banyak pula yang mendukung tindakan itu. Yang
memandang inses sebagai wujud cinta kasih yang mengatasi hubungan darah. Kalau suka dan ingin bercinta, ya bercinta saja, tanpa
musti peduli status kekerabatannya. Karena sebenarnya ihwal status kekerabatan
cuma konstruksi semata, bukan alamiah, bukan sesuatu yang azali. Sedang perkara
seks, itu sangat alamiah, natural, lebih murni dan genuine. Tanpa nonton film bokep,
manusia tahu bagaimana caranya senggama.
Laksmini, aku bukan
menuduh. Aku hanya bertanya. Penjelasanku barusan hanya gambaran saja. Itu bukan sebuah pernyataan dukunganku atau menuduhmu
mendukung. Ayolah. Lagi pula, kalaupun kamu sepakat dan aku tidak atau
sebaliknya, kita toh tak harus bertengkar karena perbedaan pendapat. Jangan
kamu contoh orang-orang di televisi itu, yang gemar bertengkar bermusuhan hanya
karena pendapat mereka tidak sama. Dangkal sekali peradaban macam itu.
Baik, baiklah.
Kita tinggalkan inses jika kamu enggan membahasnya, padahal tadi kamu sendiri
yang kali pertama melontar itu padaku. Tapi, sudahlah. Memang kadang merasa
jijik sendiri. Tapi kita pun musti legowo juga, Laksmini. Di luaran sana ada orang-orang yang memang berpandangan
demikian. Manusia memang mengherankan. Setelah kupikir-pikir, nyaris tak ada sesuatu
yang absolut di dunia ini kecuali lahir dan mati. Lahir dan mati itu pasti, dan
dua hal itu nyata. Sedang hal-hal lainnya seperti bahagia, sedih, marah,
kecewa, keadilan, kepedulian, disiplin, keteguhan, kesetiaan, cinta, iba, kebijaksanaan,
dan hal lainnya adalah tak pasti. Tiap orang punya standar bahagianya
sendiri-sendiri. Ketika kupikir
kamu bahagia bisa lulus kuliah dengan nilai tertinggi, mungkin kamu
malah merasa sedih sebab kamu yakin angka-angka itu cuma omong kosong belaka.
Angka-angka itu pada akhirnya hanyalah keyakinan palsu yang dibungkus judul cantik, dirangkai gelar-gelar membanggakan.
Angka-angka itu bisa membunuhmu dan orang-orang lain suatu ketika. Atau bisa
saja kamu melihatku ditinggal mati saudara atau kerabatku, kamu kira aku
bersedih padahal aku sangat bahagia. Bahagia sebab ia lebih cepat mengakhiri
deritanya di dunia fisik ini. Ketika kematian adalah jalan terbaik untuk sebuah
kenikmatan, apa alasanku
untuk tidak bahagia? Ah, aneh sekali memang para manusia itu. Kamu pun dan
aku juga.
Membicarakan
manusia memang tak akan habisnya, Laksmini. Kamu tahu betul itu. Jangankan
bicara mengenai manusia lain, seperti yang
biasa dilakukan orang-orang yang katanya pintar itu, bercakap tentang dirimu
saja aku tak pernah kehabisan kata-kata. Pun ketika aku harus menjabarkan
diriku pada orang lain
atau pada diri sendiri. Ah, itu adalah
hal melelahkan yang kadang sia-sia saja. Seperti cinta. Memaknai cinta tanpa
meyakini dan melakoninya mungkin adalah hal terbodoh dan sia-sia yang pernah
dilakukan umat manusia. Hahaha..... Konyol memang. Cinta itu konyol tapi
dahsyat. Saking dahsyatnya, sekelas filsuf besar macam Plato pun sering
dikaitkan dengan hal ini. Kamu mungkin pernah mendengar tentang Cinta Platonis? Entahlah. Aku
tak yakin istilah itu muncul langsung dari mulut Plato atau dari tulisannya.
Aku hanya tahu orang Yunani Kuno punya empat kata berbeda untuk menyatakan
cinta : Eros, Stroge, Philia, dan Agape.
Eros itu
semacam cinta yang pondasinya hasrat seksual. Ya, konon kata erotika atau
erotis itu bersumber dari kata Yunani Kuno itu. Orientasinya ketubuhan sekali. Ketika
aku eros pada padamu, berarti ada keinginanku untuk berhubungan seks denganmu.
Stroge, ini
digunakan orang-orang Hellen itu untuk menggambarkan cinta kasih karena
pertautan darah. Ayah mencintai anak, anak mencintai ibu, kakak mencintai adik,
adik mencintai paman, kakek, nenek, sepupu, dan seterusnya. Seperti cintamu
pada keponakanmu, ya itu namanya Stroge. Tapi zaman sekarang agaknya menjadi
kabur. Ah, kamu pahamkan maksudku? Iya, sekarang banyak berita menceritakan
seorang ayah menghamili anaknya, anak lelaki menghamili ibunya, dan seterusnya.
Tapi yang jelas, Stroge bukan cinta macam itu, bukan cinta yang berlendir.
Tentang Philia,
katanya ini semacam cinta yang hadir antar teman, sahabat. Cinta jenis ini
resiprok dan bersyarat. Aku
mencintaimu jika kamu mencintaiku. Ini cinta yang realistis sekali, mungkin.
Kamu mungkin akrab dengan kata filsasfat, filosofi, filosofia. Banyak yang mengatakan
kata ini berakar dari Philia dan Sophia. Philia itu cinta, Shopia itu kebijaksanaan. Kenapa tidak
Agapesophia atau Erossophia? Buat Plato dan kawan-kawan sezamannya dulu, Sophia
itu harus dicintai karena kebijaksanaan itu akan balik “mencintai” kita ketika
kita mencintainya. Ketika kita mecintai ilmu, kebijaksanaan, keadilan, dan
sekian kebaikan lainnya, niscaya kebaikan itu akan balik mencintai kita. Ini
dalam arti, semua kebaikan yang kita cintai itu akan memberi kebaikan buat diri
kita dalam kehidupan. Karena manusia mencintai kebijaksanaan maka ia akan
mendapat manfaat balik dari yang dicintainya itu. Manusia itu akan bijaksana.
Jadi hubungan timbal balik.
Dan yang
terkahir, orang-orang Yunani Kuno menggunakan kata Agape untuk menggambarkan
cinta tertinggi, cinta yang total, cinta tak bersyarat, yang tak mementingkan diri sendiri, cinta tanpa karena, unconditional love. Hei, jangan tertawa
begitu. Tawamu seperti meledek. Dengar dulu penjelasanku. Orang Yunani Kuno
percaya bahwa ada kondisi ketika manusia, atau hal lain yang bisa mencintai dan
dicintai, mencintai sesuatu tanpa syarat apapun dan akhirnya tanpa alasan
apapun. Jika aku Agape padamu, aku sudah tak mempedulikan rupa fisikmu, status sosialmu, timbal balikmu. Aku tak peduli apakah kamu mencintaiku atau tidak, dan
bahkan aku tak peduli kamu laki-laki atau perempuan. Penis atau vagina, itu
sama sekali tak penting. Bisa berhubungan seks denganmu atau tidak, tak penting
pula. Aku akan memberi segala, berkorban segala tanpa meminta sedikit pun
darimu. Kamu bajingan atau baik budi, aku tak peduli. Hingga aku tak peduli
kamu manusia atau bukan, aku hanya mencintaimu, titik. Orang-orang Kristen
generasi awal lantas mengambil alih kata ini untuk menggambarkan cinta Tuhan
pada manusia. Kasih Allah.
Nah, kamu
tertawa lagi. Aku tahu kamu berpikir begitu. Bahwa cinta jenis ini mustahil ada
antar manusia, maka hanya Tuhanlah yang mampu melakoni Agape. Begitukah
pendapatmu? Aku? Entahlah. Tapi,
meski dengan keyakinan yang kecil sekali, tapi aku percaya cinta jenis ini
mampu dilakukan manusia. Mungkin istilah welas asih bisa bersanding dengan
dengan Agape. Tapi, entahah. Ini simpulan yang sembarang saja. Oh, tentu. Kita
masih bisa berdebat panjang tentang hal ini. Tapi sebaiknya ijinkan aku
menuntaskan satu hal lagi. Ya, judul tulisan ini. Cinta Platonis.
Seperti yang
pernah kamu dengar tentang dunia ide-nya Plato, Cinta Platonis ini lahir dari
pemahaman itu. Plato mengatakan bahwa segala yang ada di dunia realitas adalah
tiruan tak sempurna dari dunia ide. Segala yang ada di dunia ide pasti ideal,
sempurna. Sedang segala yang ada di dunia realitas hanyalah tiruan yang cacat,
tak sempurna. Kita tahu bahwa kenari, beo,
perkutut, merpati, elang, dan semua burung yang ada di dunia adalah burung karena
jauh sebelumnya telah ada gagasan burung ideal yang ada di dunia ide, burung
yang sempurna. Segala yang di dunia hanyalah prototipe dari arketipe yang telah
ada sebelumnya. Begitu pun cinta.
Cinta Platonis
adalah cinta yang ideal, yang hanya ada di dunia arketipe. Cinta yang sudah
diutarakan sudah bukan lagi
Cinta Platonis sebab dengan mengatakannya berarti ia telah masuk dunia
realitas. Kata
adalah tiruan dari gagasan ideal. Cinta dalam dunia ide sebenarnya hanya gagasan. Ketika gagasan cinta yang murni itu diutarakan
baik pada yang dicintai atau orang lain, atau sekedar di-kata-kan, rusaklah
kemurnian itu.
Wah, kalau itu aku pun masih bingung. Bagaimana jika
aku menumpahkan rasa Cinta Platonis-ku ke dalam puisi, prosa, atau karya seni
lainnya? Apakah tidakanku menggagalkan Cinta Platonis-ku itu? Begitu pertanyaanmu?
Hmm. Mungkin sah-sah saja. Cinta itu masih bisa dibilang Platonis barangkali
selama tidak kamu pamer-pamerkan pada yang kamu cintai, atau kamu umumkan pada
orang lain. Ada juga orang yang berpendapat bahwa esensi Cinta Platonis adalah
cinta yang tak harus saling memiliki. Cinta yang hanya dirasakan si pelakonnya
saja tanpa harus diumumkan pada khalayak. Barangkali semacam cinta terpendam,
tak seorang pun tahu, dan kalaupun ada yang mengetahui, selama rasa cinta itu
tak pudar, masih Platonis namanya. Yang tak bersyarat, melintasi ruang waktu,
apalagi sebatas pernikahan. Ayolah, Laksmini. Lembaga pernikahan itu konstruksi
sosial. Wilayahnya sudah nurture. Sedang cinta,
jenis apapun, aku pikir lebih azali. Oh, tentu. Rumah tangga bukan penjara bagi
pengembaraan cinta. Kamu pikir kenapa orang-orang yang sudah menikah itu
selingkuh, punya simpanan, atau bercerai karena orang ketiga? Atau banyak juga suami
yang diam-diam masih mencintai pacar pertamanya yang telah jadi istri orang? Ya,
aku sepakat bahwa pondasi pernikahan yang ideal itu adalah cinta kasih. Tetapi
rumah tangga bukan benteng besar yang mampu memenjarakan cinta. Barangkali memang membatasi, tapi yang dibatasi
hanya tataran praktik, itu pun ciptaan moral dan agama. Wilayah rasa dan isi
kepala tak pernah bisa dipenjara oleh apapun. Tidak ada jaminan jika suami atau
istrimu hanya akan mencintaimu selamanya meski kamu dan pasanganmu mengucapkan
itu di altar gereja di hari pernikahanmu. Kecuali kamu orang yang telah selasai
dengan dirimu, sumpah hanyalah rangkaian kalimat belaka.
Ah, Laksmini, ceramahku seolah aku sudah menikah
saja. Sok tahu sekali aku. Ada satu hal lagi yang ingin ku sampaikan. Ini penting.
Masih tentang Cinta Plato. Ada sebagian orang
yang punya pendapat lain tentang Platonic Love ini. Kataya, Platonic Love itu
dipopulerkan oleh seorang filsuf dari Florence, Italia bernama Marsilio Ficino
di abad 15. Kamu pasti ingat, itu zaman Renainsance. Amor Plutonicus istilah
Latinnya. Terminologi ini adalah simpulan dari dialog Socrates dan Diotema of
Mantinea tentang cinta yang ada dalam buku Plato yang terkenal itu, Symposium. Karena
tokoh yang berdialog adalah Sokrates maka adapula yang menyebut cinta macam ini
adalah Amor Socraticus, Cinta Sokratik.
Sederhananya, cinta ini adalah cinta tanpa hasrat
seks, cinta yang agung, yang sakral, yang tak berharap balasan. Semacam Agape? Mungkin
lebih general, Laksmini. Sebab makna lain dari Platonic Love juga adalah
mencintai dunia ide. Kecintaan terhadap ide adalah yang teragung. Mencintai kebaikan
dan kebijaksanaan adalah yang terutama. Sedang kita tahu bahwa Philia adalah
padanan untuk Sophia. Cinta Platonis lebih pada ekstraksi Plato untuk semua jenis
cinta yang biasa dipahami orang Yunani Kuno.
Ah, Laksmini, lepas dari pendapat orang-orang itu,
segala istilah itu rumit itu : Eros, Stroge, Philia, Agape, Amor Plutonicus, Amor
Socraticus, pada akhirnya hanya kita sendiri yang merasakan dan melakoni cinta.
Seperti kubilang, adalah sia-sia jika kita hanya sibuk memaknai cinta tanpa
meyakini dan melakoninya.
Ciamis,
30 November - 1 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar