Kamis, 01 Desember 2016

Cinta Platonis


Aku yakin kamu pernah mendengar kata itu, Laksmini. Kata awal yang kutulis sebagai judul di atas. Ya, cinta. Kata misterius yang, sebenarnya, sia-sia kita maknai jika tanpa kita lakoni. Ah, bicaraku sok dalem padahal aku awam sekali, mualaf, benar-benar mualaf. Bahkan mualaf pun bukan, mungkin. Aku nyaris masih kafir dalam hal ini. Tapi bolehlah kiranya kafir cinta macam aku ikut bicara tentang hal itu, yang sepanjang sejarah manusia tak pernah sepi dibicarakan. Kau tahu sendiri, tema cinta ini pasti ada dalam tiap perjalanan manusia sejak zaman Adam dan Hawa di taman Eden sampai aku menulis tulisan ini. Bukankah Hawa diciptakan lantaran Adam kesepian, dan ia butuh subjek lain sebagai receiver cinta? Bisa kamu bayangkan, Laksmini, jika Adam tak pernah dipasangkan dengan Hawa. Yakinlah aku dan kamu takkan pernah ada.

Oh, tentang inses itu. Ya, aku pernah mendengarnya dari seorang kawan. Aku pun sebetulnya pernah sedikit membaca tentang hal itu sebelumnya. Katanya, Hawa sebenarnya adalah “saudara” Adam karena ia tercipta dari tulang rusuk Adam, dari bagian tubuh Adam. Status Hawa adalah semacam saudara sedarah. Mereka berhubungan seks, kemudian mereka dihukum Tuhan atas tindakannya itu dengan cara dibuang ke bumi. Itulah kisah inses pertama di dunia. Dan kita, ya aku dan kamu, adalah hasil hubungan inses, sedarah. Yak, menjijikan sekali mendengarnya. Tapi ternyata ada pula yang serius meyakini itu sebagai kebenaran. Mungkin kamu masih ingat, ada seorang penulis yang masuk rumah sakit jiwa karena menulis hal ini. Ya, yang orang Solo itu. Aku lupa namanya.

Bagaimana menurutmu tentang inses? Apakah itu cinta juga? Apakah itu wajar saja? Bukan, aku bukannya menuduhmu mendukung perbuatan itu. Aku hanya menanyakan pendapatmu. Aku bertanya tanpa prasangka. Kalaupun ternyata kamu mendukung inses, ya itu kedaulatanmu. Toh, banyak pula yang mendukung tindakan itu. Yang memandang inses sebagai wujud cinta kasih yang mengatasi hubungan darah. Kalau suka dan ingin bercinta, ya bercinta saja, tanpa musti peduli status kekerabatannya. Karena sebenarnya ihwal status kekerabatan cuma konstruksi semata, bukan alamiah, bukan sesuatu yang azali. Sedang perkara seks, itu sangat alamiah, natural, lebih murni dan genuine. Tanpa nonton film bokep, manusia tahu bagaimana caranya senggama. 

Laksmini, aku bukan menuduh. Aku hanya bertanya. Penjelasanku barusan hanya gambaran saja. Itu bukan sebuah pernyataan dukunganku atau menuduhmu mendukung. Ayolah. Lagi pula, kalaupun kamu sepakat dan aku tidak atau sebaliknya, kita toh tak harus bertengkar karena perbedaan pendapat. Jangan kamu contoh orang-orang di televisi itu, yang gemar bertengkar bermusuhan hanya karena pendapat mereka tidak sama. Dangkal sekali peradaban macam itu.

Baik, baiklah. Kita tinggalkan inses jika kamu enggan membahasnya, padahal tadi kamu sendiri yang kali pertama melontar itu padaku. Tapi, sudahlah. Memang kadang merasa jijik sendiri. Tapi kita pun musti legowo juga, Laksmini. Di luaran sana  ada orang-orang yang memang berpandangan demikian. Manusia memang mengherankan. Setelah kupikir-pikir, nyaris tak ada sesuatu yang absolut di dunia ini kecuali lahir dan mati. Lahir dan mati itu pasti, dan dua hal itu nyata. Sedang hal-hal lainnya seperti bahagia, sedih, marah, kecewa, keadilan, kepedulian, disiplin, keteguhan, kesetiaan, cinta, iba, kebijaksanaan, dan hal lainnya adalah tak pasti. Tiap orang punya standar bahagianya sendiri-sendiri. Ketika kupikir kamu bahagia bisa lulus kuliah dengan nilai tertinggi, mungkin kamu malah merasa sedih sebab kamu yakin angka-angka itu cuma omong kosong belaka. Angka-angka itu pada akhirnya hanyalah keyakinan palsu yang dibungkus judul cantik, dirangkai gelar-gelar membanggakan. Angka-angka itu bisa membunuhmu dan orang-orang lain suatu ketika. Atau bisa saja kamu melihatku ditinggal mati saudara atau kerabatku, kamu kira aku bersedih padahal aku sangat bahagia. Bahagia sebab ia lebih cepat mengakhiri deritanya di dunia fisik ini. Ketika kematian adalah jalan terbaik untuk sebuah kenikmatan, apa alasanku untuk tidak bahagia? Ah, aneh sekali memang para manusia itu. Kamu pun dan aku juga.

Membicarakan manusia memang tak akan habisnya, Laksmini. Kamu tahu betul itu. Jangankan bicara mengenai manusia lain, seperti yang biasa dilakukan orang-orang yang katanya pintar itu, bercakap tentang dirimu saja aku tak pernah kehabisan kata-kata. Pun ketika aku harus menjabarkan diriku pada orang lain atau pada diri sendiri. Ah, itu adalah hal melelahkan yang kadang sia-sia saja. Seperti cinta. Memaknai cinta tanpa meyakini dan melakoninya mungkin adalah hal terbodoh dan sia-sia yang pernah dilakukan umat manusia. Hahaha..... Konyol memang. Cinta itu konyol tapi dahsyat. Saking dahsyatnya, sekelas filsuf besar macam Plato pun sering dikaitkan dengan hal ini. Kamu mungkin pernah mendengar tentang Cinta Platonis? Entahlah. Aku tak yakin istilah itu muncul langsung dari mulut Plato atau dari tulisannya. Aku hanya tahu orang Yunani Kuno punya empat kata berbeda untuk menyatakan cinta : Eros, Stroge, Philia, dan Agape.

Eros itu semacam cinta yang pondasinya hasrat seksual. Ya, konon kata erotika atau erotis itu bersumber dari kata Yunani Kuno itu. Orientasinya ketubuhan sekali. Ketika aku eros pada padamu, berarti ada keinginanku untuk berhubungan seks denganmu.

Stroge, ini digunakan orang-orang Hellen itu untuk menggambarkan cinta kasih karena pertautan darah. Ayah mencintai anak, anak mencintai ibu, kakak mencintai adik, adik mencintai paman, kakek, nenek, sepupu, dan seterusnya. Seperti cintamu pada keponakanmu, ya itu namanya Stroge. Tapi zaman sekarang agaknya menjadi kabur. Ah, kamu pahamkan maksudku? Iya, sekarang banyak berita menceritakan seorang ayah menghamili anaknya, anak lelaki menghamili ibunya, dan seterusnya. Tapi yang jelas, Stroge bukan cinta macam itu, bukan cinta yang berlendir.

Tentang Philia, katanya ini semacam cinta yang hadir antar teman, sahabat. Cinta jenis ini resiprok dan bersyarat. Aku mencintaimu jika kamu mencintaiku. Ini cinta yang realistis sekali, mungkin. Kamu mungkin akrab dengan kata filsasfat, filosofi, filosofia. Banyak yang mengatakan kata ini berakar dari Philia dan Sophia. Philia itu cinta, Shopia itu kebijaksanaan. Kenapa tidak Agapesophia atau Erossophia? Buat Plato dan kawan-kawan sezamannya dulu, Sophia itu harus dicintai karena kebijaksanaan itu akan balik “mencintai” kita ketika kita mencintainya. Ketika kita mecintai ilmu, kebijaksanaan, keadilan, dan sekian kebaikan lainnya, niscaya kebaikan itu akan balik mencintai kita. Ini dalam arti, semua kebaikan yang kita cintai itu akan memberi kebaikan buat diri kita dalam kehidupan. Karena manusia mencintai kebijaksanaan maka ia akan mendapat manfaat balik dari yang dicintainya itu. Manusia itu akan bijaksana. Jadi hubungan timbal balik.

Dan yang terkahir, orang-orang Yunani Kuno menggunakan kata Agape untuk menggambarkan cinta tertinggi, cinta yang total, cinta tak bersyarat, yang tak mementingkan diri sendiri, cinta tanpa karena, unconditional love. Hei, jangan tertawa begitu. Tawamu seperti meledek. Dengar dulu penjelasanku. Orang Yunani Kuno percaya bahwa ada kondisi ketika manusia, atau hal lain yang bisa mencintai dan dicintai, mencintai sesuatu tanpa syarat apapun dan akhirnya tanpa alasan apapun. Jika aku Agape padamu, aku sudah tak mempedulikan rupa fisikmu, status sosialmu, timbal balikmu. Aku tak peduli apakah kamu mencintaiku atau tidak, dan bahkan aku tak peduli kamu laki-laki atau perempuan. Penis atau vagina, itu sama sekali tak penting. Bisa berhubungan seks denganmu atau tidak, tak penting pula. Aku akan memberi segala, berkorban segala tanpa meminta sedikit pun darimu. Kamu bajingan atau baik budi, aku tak peduli. Hingga aku tak peduli kamu manusia atau bukan, aku hanya mencintaimu, titik. Orang-orang Kristen generasi awal lantas mengambil alih kata ini untuk menggambarkan cinta Tuhan pada manusia. Kasih Allah.

Nah, kamu tertawa lagi. Aku tahu kamu berpikir begitu. Bahwa cinta jenis ini mustahil ada antar manusia, maka hanya Tuhanlah yang mampu melakoni Agape. Begitukah pendapatmu? Aku? Entahlah. Tapi, meski dengan keyakinan yang kecil sekali, tapi aku percaya cinta jenis ini mampu dilakukan manusia. Mungkin istilah welas asih bisa bersanding dengan dengan Agape. Tapi, entahah. Ini simpulan yang sembarang saja. Oh, tentu. Kita masih bisa berdebat panjang tentang hal ini. Tapi sebaiknya ijinkan aku menuntaskan satu hal lagi. Ya, judul tulisan ini. Cinta Platonis.

Seperti yang pernah kamu dengar tentang dunia ide-nya Plato, Cinta Platonis ini lahir dari pemahaman itu. Plato mengatakan bahwa segala yang ada di dunia realitas adalah tiruan tak sempurna dari dunia ide. Segala yang ada di dunia ide pasti ideal, sempurna. Sedang segala yang ada di dunia realitas hanyalah tiruan yang cacat, tak sempurna. Kita tahu bahwa kenari, beo, perkutut, merpati, elang, dan semua burung yang ada di dunia adalah burung karena jauh sebelumnya telah ada gagasan burung ideal yang ada di dunia ide, burung yang sempurna. Segala yang di dunia hanyalah prototipe dari arketipe yang telah ada sebelumnya. Begitu pun cinta.

Cinta Platonis adalah cinta yang ideal, yang hanya ada di dunia arketipe. Cinta yang sudah diutarakan sudah bukan lagi Cinta Platonis sebab dengan mengatakannya berarti ia telah masuk dunia realitas. Kata adalah tiruan dari gagasan ideal. Cinta dalam dunia ide sebenarnya hanya gagasan. Ketika gagasan cinta yang murni itu diutarakan baik pada yang dicintai atau orang lain, atau sekedar di-kata-kan, rusaklah kemurnian itu.

Wah, kalau itu aku pun masih bingung. Bagaimana jika aku menumpahkan rasa Cinta Platonis-ku ke dalam puisi, prosa, atau karya seni lainnya? Apakah tidakanku menggagalkan Cinta Platonis-ku itu? Begitu pertanyaanmu? Hmm. Mungkin sah-sah saja. Cinta itu masih bisa dibilang Platonis barangkali selama tidak kamu pamer-pamerkan pada yang kamu cintai, atau kamu umumkan pada orang lain. Ada juga orang yang berpendapat bahwa esensi Cinta Platonis adalah cinta yang tak harus saling memiliki. Cinta yang hanya dirasakan si pelakonnya saja tanpa harus diumumkan pada khalayak. Barangkali semacam cinta terpendam, tak seorang pun tahu, dan kalaupun ada yang mengetahui, selama rasa cinta itu tak pudar, masih Platonis namanya. Yang tak bersyarat, melintasi ruang waktu, apalagi sebatas pernikahan. Ayolah, Laksmini. Lembaga pernikahan itu konstruksi sosial. Wilayahnya sudah nurture. Sedang cinta, jenis apapun, aku pikir lebih azali. Oh, tentu. Rumah tangga bukan penjara bagi pengembaraan cinta. Kamu pikir kenapa orang-orang yang sudah menikah itu selingkuh, punya simpanan, atau bercerai karena orang ketiga? Atau banyak juga suami yang diam-diam masih mencintai pacar pertamanya yang telah jadi istri orang? Ya, aku sepakat bahwa pondasi pernikahan yang ideal itu adalah cinta kasih. Tetapi rumah tangga bukan benteng besar yang mampu memenjarakan cinta. Barangkali memang membatasi, tapi yang dibatasi hanya tataran praktik, itu pun ciptaan moral dan agama. Wilayah rasa dan isi kepala tak pernah bisa dipenjara oleh apapun. Tidak ada jaminan jika suami atau istrimu hanya akan mencintaimu selamanya meski kamu dan pasanganmu mengucapkan itu di altar gereja di hari pernikahanmu. Kecuali kamu orang yang telah selasai dengan dirimu, sumpah hanyalah rangkaian kalimat belaka.

Ah, Laksmini, ceramahku seolah aku sudah menikah saja. Sok tahu sekali aku. Ada satu hal lagi yang ingin ku sampaikan. Ini penting. Masih tentang Cinta Plato.  Ada sebagian orang yang punya pendapat lain tentang Platonic Love ini. Kataya, Platonic Love itu dipopulerkan oleh seorang filsuf dari Florence, Italia bernama Marsilio Ficino di abad 15. Kamu pasti ingat, itu zaman Renainsance. Amor Plutonicus istilah Latinnya. Terminologi ini adalah simpulan dari dialog Socrates dan Diotema of Mantinea tentang cinta yang ada dalam buku Plato yang terkenal itu, Symposium. Karena tokoh yang berdialog adalah Sokrates maka adapula yang menyebut cinta macam ini adalah Amor Socraticus, Cinta Sokratik.

Sederhananya, cinta ini adalah cinta tanpa hasrat seks, cinta yang agung, yang sakral, yang tak berharap balasan. Semacam Agape? Mungkin lebih general, Laksmini. Sebab makna lain dari Platonic Love juga adalah mencintai dunia ide. Kecintaan terhadap ide adalah yang teragung. Mencintai kebaikan dan kebijaksanaan adalah yang terutama. Sedang kita tahu bahwa Philia adalah padanan untuk Sophia. Cinta Platonis lebih pada ekstraksi Plato untuk semua jenis cinta yang biasa dipahami orang Yunani Kuno.

Ah, Laksmini, lepas dari pendapat orang-orang itu, segala istilah itu rumit itu : Eros, Stroge, Philia, Agape, Amor Plutonicus, Amor Socraticus, pada akhirnya hanya kita sendiri yang merasakan dan melakoni cinta. Seperti kubilang, adalah sia-sia jika kita hanya sibuk memaknai cinta tanpa meyakini dan melakoninya.

Ciamis,
  30 November - 1 Desember 2016   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...