Jumat, 25 November 2016

The Expensive Bunisora; Esktraksi Marlam#12


Kelengangan disebabkan perpisahan, terkadang lebih parah dari kematian itu sendiri.” (dialog tokoh Kakek dalam RT NOL RW NOL-nya Iwan Simatupang).

Lengang adalah lengang. Kesepian adalah kesepian. Apapun penyebabnya, pada siapapun menimpa, dibumbui filosofi suci bagaimanapun, kesepian adalah kesepian. Pada titik tertentu, manusia mustahil mengelak darinya. Kesepian selalu hinggap kecuali pada ia yang telah tercerahkan, mungkin. Saya tidak tahu pasti sebab belum pernah mengalaminya.

Konon, orang yang sudah mengalami pencerahan adalah ia yang telah usai dengan dirinya sendiri, meski saya belum yakin benar adakah orang demikian di muka bumi ini, tapi anggaplah orang macam begitu memang ada, atau setidaknya pernah ada. Dari sudut pandang tertentu, Pangeran Siddharta Gautama barangkali satu dari sekian contoh yang mungkin bisa digolongkan demikian.

Selain Pangeran Siddharta Gautama dari India masa lampau, dalam sejarah kerajaan Sunda Galuh dikenal sosok Bunisora Suradipati, seorang raja yang menggantikan kakaknya, Prabu Linggabuana yang konon gugur di Palagan Bubat bersama istrinya Ratu Lara Lingsing, anaknya Dewi Citraresmi, dan puluhan prajurit Sunda Galuh. Mereka yang datang berniat menikahkan Dewi Citraresmi dan Hayam Wuruk malah gugur dibantai Gajah Mada dan pasukannya. Konon, karena peristiwa inilah tak ada nama jalan Gajah Mada atau Hayam Wuruk di Jawa Barat hingga saat ini. Juga dari sinilah mulainya bergulir mitos larangan pernikahan perempuan Sunda dan lelaki Jawa. Tapi entahlah, saya sendiri tidak pernah cukup bisa larut dalam sejarah itu, kalau hal tersebut memang fakta sejarah. Lepas dari faktualitasnya, peristiwa perang Bubat ini memang punya dampak  yang  besar, setidaknya di kalangan tertentu. Kisah ini juga telah banyak menginspirasi seniman-seniman melahirkan karya yang mungkin bisa bersaing dengan kisah perang Troy. Citraresmi yang dalam salah satu versi dikisahkan mati bunuh diri dengan menusukkan patremnya (konde) tepat di jantung menjadi sumber karya seni tak nyaris tak habis digali. Dengan tari, dengan teater, dengan musik, dengan rupa, dengan sastra, dan media ekspresi lainya kisah ini telah dihadirkan dengan sekian interpretasi dan sudut pandang yang beragam. Nyaris dalam banyak karya, Citraresmilah yang menjadi tokoh utama.

Dan pada 2014 (?), Toni Lesmana menghadirkan kisah ini dari sudut pandang, gaya, dan cita rasa khas melalui cerpennya, Sunyi Karinding Di Kawali. Dua tahun berselang, cerpen ini lantas diadaptasi, oleh penulisnya sendiri, menjadi sebuah naskah drama berbahasa Sunda berjudul Simpé Karinding Di Kawali. Tak cukup melahirkan teks drama, ia kemudian melanjutkan kehendak teks drama buatannya menjadi realitas panggung pada 19 November 2016 dalam acara Nyiar Lumar 2016 di Astana Gede Kawali. Ia menulis cerpennya, mengadaptasinya, lantas menyutradarai pertunjukannya. Paripurna sudah. Tapi bukan karya yang hidup, kiranya, jika tidak membuka ruang tafsir yang kaya. Dan pada marlam#12 (Rabu, 23 November 2016), majelis membongkar teks naskah sekaligus pertunjukannya. Dan seperti tradisi marlam sebelumnya, majelis menarik teks ke ruang-ruang lain, mendedah kata, membedah kalimat dengan beragam pisau sehingga melahirkan hidangan-hidangan yang bisa lezat bisa pula tidak.

Saya tidak ahli melabeli sesuatu, tapi kalaupun mau dikotakkan dalam genre tertentu, naskah ini mungkin tidak masuk kategori realis, setidaknya menurut standar realisme Eropa. Naskah ini terbagi kedalam 3 bagian. Bagian pertama dibuka oleh koor yang mengulang-ulang penggalan Amanat Prabu Darmasiksa atau lebih akrab dikenal sebagai Amanat Galunggung. Seorang petapa tua, Bunisora, masuk mengujarkan Amanat Galunggung dengan lebih lengkap namun seperti mengingat-ingat. Sejak awal muncul hingga menjelang akhir, Bunisora tak henti menatah batu, seperti sedang menulis sesuatu. Secara garis besar, bagian pertama berkisah tentang kesedihan Wastu. Ditengah pertapaannya ia lantas teringat ayah, ibu, dan kakaknya yang pulang tinggal abu. Ia mempertanyakan takdir. Kehadiran Citraresmi di bagian 2 yang meredam sedih, agaknya justru menjadikan kesedihan Wastu makin memuncak. Mereka berdua seperti magnet yang saling menarik namun tak kunjung berjumpa. Atau justru magnet yang saling bertolak namun akhirnya berkelindan juga.

Puncak pertarungan Wastu dengan “dirinya” mencapai klimaks di bagian 3, ketika Wastu, Citraresmi, dan Bunisora saling berbalas dialog. Wastu yang terus mempertanyakan masa lalu, Citraresmi yang meyakinkan bahwa ayah, ibu, dan kakaknya tetap bersamanya, dan Bunisora yang tak bosan mengingatkan hakikat serta filosofi kehidupan jadi satu persenyawaan yang membawa Wastu pada puncak kesadaran. Kemenangan Wastu atas “dirinya” divisualisasikan dengan  ritual lumpur. Wastu melumuri tubuh Citraresmi dengan lumpur. Ia membalur tubuh bagian bawah sedang Citraresmi sendiri melumuri bagian atas. Bagian 3 ditutup oleh epilog Bunisora berupa nasihat dan filosofi hidup. Kemudian Wastu melontarkan kata-kata Prasasti Kawali I disusul koor penggalan kata-kata prasasti itu yang mengantar ketiga tokoh bersujud menghadap penonton.

Ah, saya tidak pandai menceritakan drama ternyata. Saya sendiri merasa kurang puas dengan ringkasan yang saya tulis. Naskah ini ditulis begitu detil. Gambaran seting, panggung, petunjuk musik, petunjuk akting, dan keterangan lainnya dihadirkan dengan teliti dan lengkap. Ini bisa dipahami karena penulis naskah adalah sekaligus sutradara. Pertunjukan sudah dimulai sebelumnya dalam kepala penulis.

Tentang bahasa simbol, panggung  maupun teks ini memang penuh dengan simbol. Itupun jika penonton atau pembaca cukup khusuk mengapresiasi dan punya cukup referensi tentang kisah Palagan Bubat dan dampaknya, filosofi dan agama Sunda, sejarah, dan hal lain yang terkiat nilai-nilai dalam kebudayaan Sunda. Persoalan simiotik ini lebih asik jika didedah secara privat, agak lebih intim dan meresap.

Dari persenggamaan saya dengan teks dan pertunjukan ini, dua amanat penting ada pada Bunisora berbunyi “Nu mulang keun sina mulang, tingtrim dina asih nu miboga Asih. Nu mekar sing sadrah sangkan marakbrak ngebrak jadi caang nu gumiwang” dan “Nu teuneung ludeung saéstuna nu léah manah ngahampura”. Meski kedua ungkapan itu tertuju buat (tokoh) Wastu, namun saya kira kita semua adalah Wastu pada titik dan wujud tertentu.

Poé katukang saéstuna gambaran jang nangtungkeun adegan, ngawangun baranang poé ayeuna ngagebur ka poé isuk”, demikian ujar Bunisora. Kondisi Wastu di masa lampu agaknya masih bisa temukan hari ini. Wastu yang adalah seorang raja bergelar Resiguru kelak, menjelang pucak pencerahannya musti berhadapan dengan tantangan terbesar, dirinya sendiri. Ketika segala ilmu telah ditangan maka pengendalian diri adalah fase terakhir sebelum ia menjadi menjadi raja menggantikan pamannya Bunisora Suradipati. Dan persoalan pengendalian diri ini agaknya akan terus relevan hingga zaman kapanpun. Hari ini, para pengurus negara dan pemerintahan masih sering kesulitan mengendalikan diri dalam kapasitasnya sebagai pengemban amanat rakyat. Mereka masih terbata-bata membaca diri mereka sendiri sehingga pemahaman atas maqom menjadi kabur. Mereka masih sering menukar antara cangkul, pedang, dan keris dalam terminologi Cak Nun. Ketika manusia belum tuntas dengan dirinya sendiri, segala ilmu yang dimiliki malah akan menjadi kesia-siaan belaka. Dan gagal paham ini saya kira tak hanya pada aparatur negara dan pemerintah saja, secara umum persoalan ini melekat pada diri tiap individu, pun demikian saya. Jika saja Wastu gagal “melepas” Citraresmi mungkin catatan sejarah Kerajaan Sunda Galuh akan berubah sama sekali.

Kesadaran “léah manah” ini tidak datang sendiri. Ada proses panjang yang dilakoni Wastu untuk mencapai titik ini. Dan ia pun tak sendirian. Bunisora dengan segala kebijaksaannnya hadir sebagai pengasuh Wastu hingga ia matang dan siap mengenakan mahkota Binokasih Sanghyang Paké.

Menyoal Bunisora, ada posisi menarik yang nyaris sulit ditemukan hari ini, setidaknya di Indonesia. Setelah Prabu Linggabuana gugur di Bubat, Bunisora menggantikannya sebagai raja. Menurut sistem monarki, tahta mustinya jatuh pada Wastu Kancana. Namun karena usia Wastu Kancana yang masih terbilang anak-anak, sang pamanlah yang mengambil alih tahta sambil mempersiapkan Wastu Kancana kelak. Dan boleh dibilang ia berhasil. Pendidikan dan pengasuhan Bunisora berbuah hasil cemerlang. Prabu Niskala Wastu Kancana tercatat memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 103 tahun lamanya dengan prestasi-prestasi gemilang. Yang menjadi penting dan “mahal” ialah sikap Bunisora yang memahami maqom. Ketika Wastu dipandang siap menjabat raja pada usia 23 tahun, Bunisora dengan rela melepas statusnya sebagai raja. Ia tak silau dan serakah akan kekuasaan. Pilihannya untuk “mengasuh” adalah cerminan sikap batin yang sulit ditemukan dalam konteks politik dewasa ini. Meski undang-undang membatasi dua periode saja namun hasrat berkuasa masih terus menggebu dan dengan segala cara berusaha menciptakan kerajaan di tengah atmosfer demokrasi. Dan politisi akhirnya menjadi serupa gurita, yang dengan tentakelnya menggenapi ambisi keserakahan tak berujung.

Sebuah karya seni, pada akhirnya, bisa punya banyak wajah. Kesepian dan penjara masa lalu adalah hal yang dimiliki tiap manusia. Kegagalan mentransformasikan energi masa silam akan membuat manusia terus onani dan terjebak dalam labirin nostalgia. Pada akhirnya kehidupan adalah sungai, mengalir dan terus mengalir. Dan begitu pula cinta kasih.

Asih saéstuna walungan nu teu kendat ngamalir. Salawasna ngamalir.” (salah satu dialog Citraresmi)
         
Rengganis,

24 – 25 Nov. 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...