“Kelengangan disebabkan perpisahan, terkadang lebih parah
dari kematian itu sendiri.” (dialog
tokoh Kakek dalam RT NOL RW NOL-nya Iwan Simatupang).
Lengang adalah lengang. Kesepian adalah kesepian. Apapun
penyebabnya, pada siapapun menimpa, dibumbui filosofi suci bagaimanapun,
kesepian adalah kesepian. Pada titik tertentu, manusia mustahil mengelak
darinya. Kesepian selalu hinggap kecuali pada ia yang telah tercerahkan,
mungkin. Saya tidak tahu pasti sebab belum pernah mengalaminya.
Konon, orang yang sudah mengalami pencerahan adalah
ia yang telah usai dengan dirinya sendiri, meski saya belum yakin benar adakah
orang demikian di muka bumi ini, tapi anggaplah orang macam begitu memang ada,
atau setidaknya pernah ada. Dari sudut pandang tertentu, Pangeran Siddharta
Gautama barangkali satu dari sekian contoh yang mungkin bisa digolongkan
demikian.
Selain Pangeran Siddharta Gautama dari India masa
lampau, dalam sejarah kerajaan Sunda Galuh dikenal sosok Bunisora Suradipati,
seorang raja yang menggantikan kakaknya, Prabu Linggabuana yang konon gugur di
Palagan Bubat bersama istrinya Ratu Lara Lingsing, anaknya Dewi Citraresmi, dan
puluhan prajurit Sunda Galuh. Mereka yang datang berniat menikahkan Dewi
Citraresmi dan Hayam Wuruk malah gugur dibantai Gajah Mada dan pasukannya. Konon,
karena peristiwa inilah tak ada nama jalan Gajah Mada atau Hayam Wuruk di Jawa Barat
hingga saat ini. Juga dari sinilah mulainya bergulir mitos larangan pernikahan
perempuan Sunda dan lelaki Jawa. Tapi entahlah, saya sendiri tidak pernah cukup
bisa larut dalam sejarah itu, kalau hal tersebut memang fakta sejarah. Lepas dari
faktualitasnya, peristiwa perang Bubat ini memang punya dampak yang
besar, setidaknya di kalangan tertentu. Kisah ini juga telah banyak
menginspirasi seniman-seniman melahirkan karya yang mungkin bisa bersaing
dengan kisah perang Troy. Citraresmi yang dalam salah satu versi dikisahkan
mati bunuh diri dengan menusukkan patremnya (konde) tepat di jantung menjadi sumber karya
seni tak nyaris tak habis digali. Dengan tari, dengan teater, dengan musik,
dengan rupa, dengan sastra, dan media ekspresi lainya kisah ini telah
dihadirkan dengan sekian interpretasi dan sudut pandang yang beragam. Nyaris dalam
banyak karya, Citraresmilah yang menjadi tokoh utama.
Dan pada 2014 (?), Toni Lesmana menghadirkan kisah
ini dari sudut pandang, gaya, dan cita rasa khas melalui cerpennya, Sunyi
Karinding Di Kawali. Dua tahun berselang, cerpen ini lantas diadaptasi, oleh
penulisnya sendiri, menjadi sebuah naskah drama berbahasa Sunda berjudul Simpé
Karinding Di Kawali. Tak cukup melahirkan teks drama, ia kemudian melanjutkan
kehendak teks drama buatannya menjadi realitas panggung pada 19 November 2016
dalam acara Nyiar Lumar 2016 di Astana Gede Kawali. Ia menulis cerpennya,
mengadaptasinya, lantas menyutradarai pertunjukannya. Paripurna sudah. Tapi
bukan karya yang hidup, kiranya, jika tidak membuka ruang tafsir yang kaya. Dan
pada marlam#12 (Rabu, 23 November 2016), majelis membongkar teks naskah
sekaligus pertunjukannya. Dan seperti tradisi marlam sebelumnya, majelis
menarik teks ke ruang-ruang lain, mendedah kata, membedah kalimat dengan
beragam pisau sehingga melahirkan hidangan-hidangan yang bisa lezat bisa pula
tidak.
Saya tidak ahli melabeli sesuatu, tapi kalaupun mau
dikotakkan dalam genre tertentu, naskah ini mungkin tidak masuk kategori
realis, setidaknya menurut standar realisme Eropa. Naskah ini terbagi kedalam 3
bagian. Bagian pertama dibuka oleh koor yang mengulang-ulang penggalan Amanat
Prabu Darmasiksa atau lebih akrab dikenal sebagai Amanat Galunggung. Seorang petapa
tua, Bunisora, masuk mengujarkan Amanat Galunggung dengan lebih lengkap namun
seperti mengingat-ingat. Sejak awal muncul hingga menjelang akhir, Bunisora tak
henti menatah batu, seperti sedang menulis sesuatu. Secara garis besar, bagian
pertama berkisah tentang kesedihan Wastu. Ditengah pertapaannya ia lantas
teringat ayah, ibu, dan kakaknya yang pulang tinggal abu. Ia mempertanyakan
takdir. Kehadiran Citraresmi di bagian 2 yang meredam sedih, agaknya justru
menjadikan kesedihan Wastu makin memuncak. Mereka berdua seperti magnet yang
saling menarik namun tak kunjung berjumpa. Atau justru magnet yang saling bertolak
namun akhirnya berkelindan juga.
Puncak pertarungan Wastu dengan “dirinya” mencapai
klimaks di bagian 3, ketika Wastu, Citraresmi, dan Bunisora saling berbalas dialog.
Wastu yang terus mempertanyakan masa lalu, Citraresmi yang meyakinkan bahwa
ayah, ibu, dan kakaknya tetap bersamanya, dan Bunisora yang tak bosan
mengingatkan hakikat serta filosofi kehidupan jadi satu persenyawaan yang
membawa Wastu pada puncak kesadaran. Kemenangan Wastu atas “dirinya” divisualisasikan
dengan ritual lumpur. Wastu melumuri
tubuh Citraresmi dengan lumpur. Ia membalur tubuh bagian bawah sedang
Citraresmi sendiri melumuri bagian atas. Bagian 3 ditutup oleh epilog Bunisora berupa
nasihat dan filosofi hidup. Kemudian Wastu melontarkan kata-kata Prasasti
Kawali I disusul koor penggalan kata-kata prasasti itu yang mengantar ketiga
tokoh bersujud menghadap penonton.
Ah, saya tidak pandai menceritakan drama ternyata. Saya
sendiri merasa kurang puas dengan ringkasan yang saya tulis. Naskah ini ditulis
begitu detil. Gambaran seting, panggung, petunjuk musik, petunjuk akting, dan
keterangan lainnya dihadirkan dengan teliti dan lengkap. Ini bisa dipahami
karena penulis naskah adalah sekaligus sutradara. Pertunjukan sudah dimulai
sebelumnya dalam kepala penulis.
Tentang bahasa simbol, panggung maupun teks ini memang penuh dengan simbol. Itupun
jika penonton atau pembaca cukup khusuk mengapresiasi dan punya cukup referensi
tentang kisah Palagan Bubat dan dampaknya, filosofi dan agama Sunda, sejarah,
dan hal lain yang terkiat nilai-nilai dalam kebudayaan Sunda. Persoalan simiotik
ini lebih asik jika didedah secara privat, agak lebih intim dan meresap.
Dari persenggamaan saya dengan teks dan pertunjukan
ini, dua amanat penting ada pada Bunisora berbunyi “Nu mulang keun
sina mulang, tingtrim dina asih nu miboga Asih. Nu mekar sing sadrah sangkan
marakbrak ngebrak jadi caang nu gumiwang” dan “Nu teuneung ludeung saéstuna nu léah manah ngahampura”. Meski kedua ungkapan itu tertuju buat (tokoh) Wastu,
namun saya kira kita semua adalah Wastu pada titik dan wujud tertentu.
“Poé katukang saéstuna gambaran jang nangtungkeun adegan,
ngawangun baranang poé ayeuna ngagebur ka poé isuk”, demikian ujar Bunisora. Kondisi Wastu di masa
lampu agaknya masih bisa temukan hari ini. Wastu yang adalah seorang raja
bergelar Resiguru kelak, menjelang pucak pencerahannya musti berhadapan dengan
tantangan terbesar, dirinya sendiri. Ketika segala ilmu telah ditangan maka
pengendalian diri adalah fase terakhir sebelum ia menjadi menjadi raja
menggantikan pamannya Bunisora Suradipati. Dan persoalan pengendalian diri ini
agaknya akan terus relevan hingga zaman kapanpun. Hari ini, para pengurus
negara dan pemerintahan masih sering kesulitan mengendalikan diri dalam
kapasitasnya sebagai pengemban amanat rakyat. Mereka masih terbata-bata membaca
diri mereka sendiri sehingga pemahaman atas maqom menjadi kabur. Mereka masih sering menukar antara
cangkul, pedang, dan keris dalam terminologi Cak Nun. Ketika manusia belum
tuntas dengan dirinya sendiri, segala ilmu yang dimiliki malah akan menjadi
kesia-siaan belaka. Dan gagal paham ini saya kira tak hanya pada aparatur
negara dan pemerintah saja, secara umum persoalan ini melekat pada diri tiap
individu, pun demikian saya. Jika saja Wastu gagal “melepas” Citraresmi mungkin
catatan sejarah Kerajaan Sunda Galuh akan berubah sama sekali.
Kesadaran “léah manah” ini tidak datang sendiri. Ada proses panjang yang
dilakoni Wastu untuk mencapai titik ini. Dan ia pun tak sendirian. Bunisora
dengan segala kebijaksaannnya hadir sebagai pengasuh Wastu hingga ia matang dan
siap mengenakan mahkota Binokasih Sanghyang Paké.
Menyoal Bunisora, ada posisi menarik yang nyaris sulit
ditemukan hari ini, setidaknya di Indonesia. Setelah Prabu Linggabuana gugur di
Bubat, Bunisora menggantikannya sebagai raja. Menurut sistem monarki, tahta
mustinya jatuh pada Wastu Kancana. Namun karena usia Wastu Kancana yang masih
terbilang anak-anak, sang pamanlah yang mengambil alih tahta sambil
mempersiapkan Wastu Kancana kelak. Dan boleh dibilang ia berhasil. Pendidikan dan
pengasuhan Bunisora berbuah hasil cemerlang. Prabu Niskala Wastu Kancana
tercatat memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 103 tahun lamanya dengan
prestasi-prestasi gemilang. Yang menjadi penting dan “mahal” ialah sikap
Bunisora yang memahami maqom. Ketika Wastu
dipandang siap menjabat raja pada usia 23 tahun, Bunisora dengan rela melepas
statusnya sebagai raja. Ia tak silau dan serakah akan kekuasaan. Pilihannya untuk
“mengasuh” adalah cerminan sikap batin yang sulit ditemukan dalam konteks
politik dewasa ini. Meski undang-undang membatasi dua periode saja namun hasrat
berkuasa masih terus menggebu dan dengan segala cara berusaha menciptakan kerajaan
di tengah atmosfer demokrasi. Dan politisi akhirnya menjadi serupa gurita, yang
dengan tentakelnya menggenapi ambisi keserakahan tak berujung.
Sebuah karya seni, pada akhirnya, bisa punya banyak
wajah. Kesepian dan penjara masa lalu adalah hal yang dimiliki tiap manusia. Kegagalan
mentransformasikan energi masa silam akan membuat manusia terus onani dan
terjebak dalam labirin nostalgia. Pada akhirnya kehidupan adalah sungai,
mengalir dan terus mengalir. Dan begitu pula cinta kasih.
“Asih saéstuna walungan nu teu kendat ngamalir. Salawasna ngamalir.” (salah satu dialog Citraresmi)
Rengganis,
24 – 25 Nov. 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar