Selasa, 01 November 2016

Yudas


Yudas

Akhirnya, membunuhmu adalah ungkapan cinta yang harus kulakukan.

Kau tahu, cinta itu sesuatu yang aneh. Misteri. Membuatmu nyaman sekaligus tersiksa. Banyak kisah tentang orang yang mencintai dan dicintai. Kau pasti sudah lebih akrab dengan yang seperti itu ketimbang aku. Kau yang mengajariku asmara lewat kisahmu atau lewat lakuanmu. Kau yang mengajariku memeluk. Kau yang mengajariku mengecup dan mengucup. Semua kubaca sebagai bahasa asmaramu. Ah, maaf aku mengatakan asmara. Tak usah kujelaskan mengapa aku lebih memilih kata asmara ketimbang cinta ketika membahas hal beginian, kau sudah paham, barangkali. Sudah sekian panjang ucapan dan tulisanku tentang hal  ini.

Tentang bahasa asmaramu, aku mencoba mengerti. Tak sulit memang, bahkan aku sempat menjadi pengguna bahasamu itu. Bahasa itu sempat jadi bahasa kita berdua. Kita tenggelam dalam simbol-simbol yang sama. Entah siapa yang menjebak atau siapa yang terjebak. Yang pasti, kita sempat tenggelam dan berkelindan bersama kuda hitam yang sama-sama kita kenal. Kuda hitam yang pekat hitamnya. Barangkali kau ingat, kita pernah menungganginya sampai hampir mampus. Atau barangkali kau, atau aku, lupa sama sekali sebab terlalu sering kita hampir mampus karenanya.

Aku, atau mungkin kita, lambat laun merasa ngeri juga dengan kuda hitam itu. Yang kian lama makin menggila ringkiknya. Yang kian lama makin menghentak derapnya. Yang kian lama makin kencang larinya. Yang kian lama semakin sering membuat kita nyaris mampus. Bukan kuda hitam itu yang salah, kurasa. Mungkin aku yang tak pandai menungganginya hingga kadang sebenarnya aku yang menuruti langkahnya berlari. Alih-alih mengendalikannya dengan tali kekang, ia membawaku, membawa kita, ke suatu tempat yang asing sama sekali : oase fatamorgana.

Ah, bahasa asmara memang mantra. Sihir. Membuat merasa ngapung padahal tak sejengkal pun kaki mengangkang. Dan kau, atau mungkin kita, sering merasakan yang demikian itu. Peluk dan kucup serasa sayap yang membawa kita menembus cakrawala. Lagi-lagi, bukan salah peluk dan kucup, kurasa. Barangkali aku yang keliru menggunakan kata. Atau mungkin kata-kata ini punya banyak makna, seperti melihat kubus. Kita tak pernah mampu melihat enam sisi kubus secara bersamaan dan utuh.  Apa yang salah dengan memeluk? Apa salah dengan mencium? Apa yang salah dengan asmara?

Bagiku, yang salah ialah ketika asmara justru jadi penjara. Asmara justru jadi sangkar besi yang salah kita kunjungi. Pada akhirnya, asmara memang adalah sangkar beli, selalu. Sangkar besi yang seharusnya membuat kita menjadi nyaman dan terjaga. Membuat kita menjadi merdeka dan menemukan kedirian kita yang sungguh. Selain bagi yang melakoninya, sangkar besi itu akan selalu terlihat penjara yang jijik dan memuakkan. Menjadi kerangkeng yang irasonal. Namun bagi para pelakonnya, sangkar besi itu adalah rumah terbaik, mungkin.

Dan aku melihatmu salah berkunjung. Sebenarnya ini sudah kukatakan berkali-kali, lewat ucapan dan tulisan, dan kau mendengarnya, kau membacanya. Betapa pun merajuk, bahkan dengan tubuhmu, meski tubuh kita berkelindan, aku bergeming saja.  Sudah kukatakan, aku tak begitu padai menunggangi kuda hitam itu. Dan kau pun agaknya demikian, sampai akhirnya kita sama-sama mampus, seperti sekarang.

Kau mampus dengan sekian luka. Telapak tanganmu, kanan dan kiri, berlubang, tak henti mengalirkan darah. Kakimu, kanan dan kiri, yang sudah tak berdaya itu, dihantam paku, dan pasti berdarah pula. Dan perut kanan mu pun, berlubang, berdarah. Sedang kepalamu musti bermahkota duri. Sudah kupaku tangan dan kakimu, kubiarkan kau bertelanjang menantang matahari. Kubiarkan kau bermandi hujan, kubiarkan kau dihantam angin. Ya, aku yang melakukannya. Aku yang menghujam kau di kayu salib.

Kini kau mampus, akhirnya. Kau mampus dengan sekian luka, dan aku pun. Aku akhirnya harus mampus juga dengan luka ditambah cacian sumpah serapah. Kau tahu, kau  yang jadi pahlwannya. Kau yang jadi jagoannya. Kau yang menang. Dan aku yang menyalibmu ini harus pasrah berperan sebagai Yudas. Kau yang lemah dan irasional selalu jadi yang baik dan benar. Demikianlah dunia, jagoan itu haruslah lugu atau bahkan bodoh, dan harus berhati peka, sepertimu, mungkin. Jagoan itu harus lemah dan tertindas. Sebaliknya, penjahat mustilah gagah berani, kuat dan berkuasa. Yang tertindas, yang lemah, selalu jadi yang benar dan berdiri di sudut kebaikan. Dan aku yang kataya kebalikan dari kau itu, harus jadi penjahat. Aku mampus sebagai penjahat.

Aku mampus dengan iringan sumpah serapah dan caci maki, bahkan oleh diriku sendiri, bahkan setelah tubuhku tinggal benulang. Aku mencaci diriku sendiri, biar utuh caci maki ini, biar aku teguh dan kukuh sebagai penjahat, biar aku yakin.

Bencilah aku sebagaimana orang-orang membenci. Cacilah aku sebagaimana orang lain mencaci. Akulah Yudas yang menyalibmu. Akulah Yudas yang melukaimu. Akulah Yudas yang membunuhmu.

Kalaupun kukatakan bahwa perbuatanku itu buat kemerdekaanmu, demi kau yang harus terus mencari, demi kau yang musti tinggal di sangkar besi yang tepat, demi kepulanganmu dari oase fatamorgana, demi kau, demi cintaku padamu, mungkin kau dan semua orang lain akan mengatakan itu hanya tahayul belaka. Biarlah.

Buatmu yang harus pulang.

Terbanglah.
Maaf, tangan dan kakimu musti terluka. Perutmu juga,
dan kepalamu musti bermahkota duri pula.

Kini, kita sama-sama mampus.
Kau, dengan luka-luka itu.
Aku, dengan luka dan kutukan sumpah serapah.

Aku yang mencintamu,
Yudas.   

Rengganis,

1 Nov. 2016

1 komentar:

  1. Bodoh sekali dia yang salah berkunjung.
    Kasihan. Baguslah, kau salib dia. Kalau saja tidak kau salib, barangkali ia akan berkunjung lagi ke tempat yang salah. Tentu saja itu bukan hal mustahil, sebab dia itu bodoh. Dan bodoh itu susah untuk disembuhkan. Jadi, dia memang lebih pantas mati. Baguslah.

    BalasHapus

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...