Yudas
Akhirnya,
membunuhmu adalah ungkapan cinta yang harus kulakukan.
Kau tahu, cinta
itu sesuatu yang aneh. Misteri. Membuatmu nyaman sekaligus tersiksa. Banyak
kisah tentang orang yang mencintai dan dicintai. Kau pasti sudah lebih akrab
dengan yang seperti itu ketimbang aku. Kau yang mengajariku asmara lewat
kisahmu atau lewat lakuanmu. Kau yang mengajariku memeluk. Kau yang mengajariku
mengecup dan mengucup. Semua kubaca sebagai bahasa asmaramu. Ah, maaf aku
mengatakan asmara. Tak usah kujelaskan mengapa aku lebih memilih kata asmara
ketimbang cinta ketika membahas hal beginian, kau sudah paham, barangkali. Sudah
sekian panjang ucapan dan tulisanku tentang hal
ini.
Tentang bahasa
asmaramu, aku mencoba mengerti. Tak sulit memang, bahkan aku sempat menjadi pengguna bahasamu itu. Bahasa itu sempat jadi bahasa
kita berdua. Kita tenggelam dalam simbol-simbol yang sama. Entah siapa yang
menjebak atau siapa yang terjebak. Yang pasti, kita sempat tenggelam dan
berkelindan bersama kuda hitam yang sama-sama kita kenal. Kuda hitam yang pekat hitamnya. Barangkali kau ingat, kita
pernah menungganginya sampai hampir mampus. Atau barangkali kau, atau aku, lupa sama sekali sebab terlalu sering kita
hampir mampus karenanya.
Aku, atau mungkin
kita, lambat laun merasa ngeri juga dengan kuda hitam itu. Yang kian lama makin
menggila ringkiknya. Yang kian lama makin menghentak derapnya. Yang kian lama
makin kencang larinya. Yang kian lama semakin sering membuat kita nyaris
mampus. Bukan kuda hitam itu yang salah, kurasa. Mungkin aku yang tak pandai
menungganginya hingga kadang sebenarnya aku yang menuruti langkahnya berlari.
Alih-alih mengendalikannya dengan tali kekang, ia membawaku, membawa kita, ke
suatu tempat yang asing sama sekali : oase fatamorgana.
Ah, bahasa asmara
memang mantra. Sihir. Membuat merasa ngapung padahal tak sejengkal pun kaki
mengangkang. Dan kau, atau mungkin kita, sering merasakan yang demikian itu.
Peluk dan kucup serasa sayap yang membawa kita menembus cakrawala. Lagi-lagi,
bukan salah peluk dan kucup, kurasa. Barangkali aku yang keliru menggunakan
kata. Atau mungkin kata-kata ini punya banyak makna, seperti melihat kubus.
Kita tak pernah mampu melihat enam sisi kubus secara bersamaan dan utuh. Apa yang salah
dengan memeluk? Apa salah dengan mencium? Apa yang salah dengan asmara?
Bagiku, yang
salah ialah ketika asmara justru jadi penjara. Asmara justru jadi sangkar besi
yang salah kita kunjungi. Pada
akhirnya, asmara memang adalah sangkar beli, selalu. Sangkar besi yang
seharusnya membuat kita menjadi nyaman dan terjaga. Membuat kita menjadi
merdeka dan menemukan kedirian kita yang sungguh. Selain bagi yang melakoninya, sangkar besi itu akan
selalu terlihat penjara yang jijik dan memuakkan. Menjadi kerangkeng yang
irasonal. Namun bagi para pelakonnya, sangkar besi itu adalah rumah terbaik,
mungkin.
Dan aku melihatmu salah berkunjung. Sebenarnya ini
sudah kukatakan berkali-kali, lewat ucapan dan tulisan, dan kau mendengarnya,
kau membacanya. Betapa pun merajuk, bahkan dengan tubuhmu, meski tubuh kita
berkelindan, aku bergeming saja. Sudah
kukatakan, aku tak begitu padai menunggangi kuda hitam itu. Dan kau pun agaknya
demikian, sampai akhirnya kita sama-sama mampus, seperti sekarang.
Kau mampus dengan sekian luka. Telapak tanganmu,
kanan dan kiri, berlubang, tak henti mengalirkan darah. Kakimu, kanan dan kiri,
yang sudah tak berdaya itu, dihantam paku, dan pasti berdarah pula. Dan perut
kanan mu pun, berlubang, berdarah. Sedang kepalamu musti bermahkota duri. Sudah
kupaku tangan dan kakimu, kubiarkan kau bertelanjang menantang matahari. Kubiarkan
kau bermandi hujan, kubiarkan kau dihantam angin. Ya, aku yang melakukannya. Aku
yang menghujam kau di kayu salib.
Kini kau mampus, akhirnya. Kau mampus dengan sekian
luka, dan aku pun. Aku akhirnya harus mampus juga dengan luka ditambah cacian
sumpah serapah. Kau tahu, kau yang jadi
pahlwannya. Kau yang jadi jagoannya. Kau yang menang. Dan aku yang menyalibmu
ini harus pasrah berperan sebagai Yudas. Kau yang lemah dan irasional selalu jadi
yang baik dan benar. Demikianlah dunia, jagoan itu haruslah lugu atau bahkan
bodoh, dan harus berhati peka, sepertimu, mungkin. Jagoan itu harus lemah dan
tertindas. Sebaliknya, penjahat mustilah gagah berani, kuat dan berkuasa. Yang tertindas,
yang lemah, selalu jadi yang benar dan berdiri di sudut kebaikan. Dan aku yang
kataya kebalikan dari kau itu, harus jadi penjahat. Aku mampus sebagai
penjahat.
Aku mampus dengan iringan sumpah serapah dan caci maki,
bahkan oleh diriku sendiri, bahkan setelah tubuhku tinggal benulang. Aku
mencaci diriku sendiri, biar utuh caci maki ini, biar aku teguh dan kukuh
sebagai penjahat, biar aku yakin.
Bencilah aku sebagaimana orang-orang membenci. Cacilah
aku sebagaimana orang lain mencaci. Akulah Yudas yang menyalibmu. Akulah Yudas
yang melukaimu. Akulah Yudas yang membunuhmu.
Kalaupun kukatakan bahwa perbuatanku itu buat
kemerdekaanmu, demi kau yang harus terus mencari, demi kau yang musti tinggal
di sangkar besi yang tepat, demi kepulanganmu dari oase fatamorgana, demi kau,
demi cintaku padamu, mungkin kau dan semua orang lain akan mengatakan itu hanya
tahayul belaka. Biarlah.
Buatmu yang
harus pulang.
Terbanglah.
Maaf, tangan
dan kakimu musti terluka. Perutmu juga,
dan kepalamu
musti bermahkota duri pula.
Kini, kita
sama-sama mampus.
Kau, dengan
luka-luka itu.
Aku, dengan
luka dan kutukan sumpah serapah.
Aku yang mencintamu,
Yudas.
Rengganis,
1 Nov. 2016
Bodoh sekali dia yang salah berkunjung.
BalasHapusKasihan. Baguslah, kau salib dia. Kalau saja tidak kau salib, barangkali ia akan berkunjung lagi ke tempat yang salah. Tentu saja itu bukan hal mustahil, sebab dia itu bodoh. Dan bodoh itu susah untuk disembuhkan. Jadi, dia memang lebih pantas mati. Baguslah.