Sabtu, 29 Oktober 2016

Waria (II)


(Toilet di sebuah kampus di Inggris)

Waria (II)

Sore tadi, seorang kawan datang mengunjungi saya. Cukup lama kami tak jumpa. Kami memang jarang jumpa kecuali ada hal yang perlu dibicarakan. Ia seorang ketua sebuah organisasi di Ciamis. Dalam kurun waktu sekarang-sekarang ini kami memang sedang bekerjasama dalam sebuah pekerjaan kecil. Tak biasanya ia lama duduk berbincang. Biasanya hanya sebentar saja, asal sudah mengutarakan maksud, ia biasanya langsung pulang. Istri sudah menunggunya di rumah, katanya. Namun sore ini, karena memang hujan sedari siang turun tak henti, ia duduk cukup lama. kami berbincang banyak hal, sedari hal yang menyangkut pekerjaan kami hingga meluas ke topik yang sama sekali tak ada hubungannya dengan bidang kerjasama kami.

Dari sekian panjang kami bercakap, ada hal yang membuat saya tertawa terbahak-bahak. Ia bercerita bahwa seorang kawannya pernah bertanya apakah saya seorang bencong (waria) atau gay? Pertanyaan serupa pun sempat terlontar dari istrinya sendiri. Alasan sang istri bertanya ialah karena suatu ketika tatkala usai ia menyaksikan saya berakting dalam sebuah pementasan teater, ia mengunggah foto dirinya (dan beberapa orang lain) bersama saya, lantas seorang kawannya bertanya tentang saya, bencong atau gay? Mendengar kisah itu dari kawan yang lama tak jumpa, pecahlah tawa saya terbahak-bahak. Usai habis tertawa, barulah saya menjelasan tentang keakraban saya dengan beberapa kawan waria yang berawal dari sebuah riset kecil-kecilan untuk kepentingan pembuatan naskah drama sekitar setahun yang lalu (hingga kini, naskah itu belum kunjung rampung). Beberapa kali pula saya terlibat dalam acara ihwal HIV/AIDS yang sebagian para penggiatnya adalah kawan-kawan waria. Keakraban ini memang saya unggah di beberapa media sosial. Dengan beberapa kawan waria, kami sering saling berbalas komentar atau sekedar memberi jempol di Facebook. Barangkali dari media sosial itulah asal mula pertanyaan tentang “identitas” saya.

Untuk pertanyaan-pertanyaan itu, saya anggap sebagai dampak yang wajar dari keakraban dengan dunia waria, khususnya yang saya sebarluaskan di media sosial. Tentang dampak medsos, pada bulan puasa tahun ini, ketika saya ribut dengan beberapa kawan dari sebuah ormas keagamaan, serta merta mereka melabeli saya dengan “aktivis LGBT”, “PKI”, “Komunis”, “Liberal”, dan label lainnya yang menurut mereka layak disematkan. Yang menggelitik ialah label “Komunis” dan “Liberal” yang disematkan berbarengan pada saya oleh kawan-kawan itu, sungguh luar biasa. Baiklah, ini sekedar intermezo saja, atau boleh jadi ini bahan renungan bahwa media sosial ternyata sangat berpotensi mendeviasi identitas. Apa-apa yang kita unggah di medsos ternyata kerap dibaca lain oleh masyarakat dumay (dunia  maya). Dan memang ada pula masyarakat dumay yang sengaja mengkaburkan identitasnya untuk tujuan tertentu. Sebetulnya itu wajar saja jika kita merujuk pada kata maya yang menurut KBBI berarti : hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan-angan; khayalan. Anehnya, orang-orang di era tekno seperti sekarang ini lebih menganggap dunia maya sebagai realitas yang sesungguhnya.

Dari kawan itu pula lantas kami sedikit membicarakan waria. Ia bercerita, pernah suatu ketika ia mendapat tawaran kerjasama dari para penggiat HIV/AIDS di Ciamis. Ia tidak menceritakan detil kegiatan yang dimaksud, namun barangkali para penggiat HIV/AIDS itu berniat mengadakan semacam sosialisasi seputar HIV/AIDS. Tawaran dari para penggiat HIV/AIDS yang beberapa adalah waria itu ditolak oleh kawan saya ini. Belum siap, katanya. Ia, dan kelompoknya, belum siap jika suatu ketika masyarakat memandang miring padanya dan kelompoknya karena bergaul dengan waria, karena terlibat dalam suatu kegiatan dengan waria. Ia belum siap menerima dampak buruk akibat persinggunganya dengan waria meski dalam bentuk kegiatan yang boleh dikata positif. Ia bilang bahwa masyarakat Ciamis belum siap menerima waria secara terbuka. Itu pendapatnya, dan saya kira sah-sah saja meski pengatasnamaan masyarakat Ciamis barangkali perlu tinjauan yang lebih mendalam.

Benarkah demikian? Entahlah. Saya agak berat jika musti bersuara mengatasanamakan masyarakat. Kalaupun harus, paling berani saya hanya menduga-duga saja, tentu dengan pijakan argumen yang lebih dulu saya olah masak-masak.

Di Ciamis, atau barangkali di Indonesia, membicarakan waria memang belum selugas membicarakan WPS (wanita penjaja seks), misalnya. Identitas mereka yang dipandang abu-abu aganya menjadi sebab gagapnya kebanyakan masyarakat tatkala membahas waria. Kalaupun dibahas, sekian label buruk cenderung lebih dulu melekat ketimbang melihat waria secara bersih, tanpa prasangka. Apriori ini kerap menjali ganjalan untuk sebuah pandangan utuh dan jernih mengenai waria dan persoalan-persoalan mereka. Jika saja prasangka ini bisa sedikit pudar dan lebih mengedepankan akal sehat, agaknya waria akan lebih punya tempat yang cukup layak di masyarakat.

Melihat dandanannya saja, mungkin orang-orang sudah punya sekian tafsir yang berkonotasi negatif. Dan ketimbang tabayyun, konfirmasi, klarifikasi, atau mengkaji lebih dalam, barangkali orang-orang akan lebih suka tenggelam dalam prasangka buruk mereka dan meyakininya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Prasangka bahwa waria adalah mahluk terkutuk, kotor, manusia kelas dua, amoral, sampah masyarakat, penentang kodrat, hina, dan predikat buruk lainnya telah terpatri menjadi keyakinan, keyakinan palsu, saya kira. Keyakinan yang berangkat dari prasangka prematur tanpa verifikasi adalah keyakinan palsu. Meski berstatus keyakinan palsu namun keyakinan ini terlanjur diimani mendalam oleh sebagian masyarakat. Mereka, yang mengimani keyakinan palsu itu, biasanya lebih suka menghakimi ketimbang memberi solusi.

Jika keyakinan ini terhujam dalam, wajar saja jika sebagian lelaki akan lari terbirit-birit ketika satu atau dua waria mendekatinya, bahkan untuk sekedar ngamen. Sering saya menyaksikan beberapa lelaki yang tengah nongkrong di alun-alun Ciamis lari tunggang langgang, ketakutan, jika ada waria yang hendak menghampiri. Kalau saja kita tanya alasan ketakutannya, barangkali ia akan kebingunan sendiri, mengapa ia ketakutan. Usai bingung, mereka barangkali dengan sederhana akan menjawab ngeuleuh (jijik). Dan jika kita bertanya kembali, kenapa jijik? Apanya yang membuat jijik? Kebanyakan mereka akan hanya diam tanda kebingungan.

Mereka yang kebingungan tatkala ditanya alasan ketakutannya, juga sama bingungnya dengan saya melihat kelakuan mereka. Jika saja waria itu membawa senjata tajam, ketakutan mereka barangkali cukup masuk akal. Kalau para lelaki yang terbirit-birit itu takut diperkosa waria, saya kira itu ketakutan yang ultra-hiperlebay. Berdasar percakapan saya dengan Teh Anggur Sanjaya, ketua komunitas waria Ciamis, film-film menyumbang cukup banyak bagi citra (buruk) waria di masyarakat. Pada film-film tertentu sering kita saksikan adegan waria yang menodongkan silet, pisau, atau senjata tajam lainnya pada para lelaki yang mereka santroni. Senjata-senjata itu biasanya mereka sembunyikan dalam tas. Adegan ini memang terjadi, hanya saja tidak di semua tempat. Ketimbang waria rampok begitu, waria tanpa senjata tajam masih jauh lebih banyak jumlahnya. Di beberapa daerah, khususnya di perkotaan, kawasan pelabuhan, kawasan-kawasan yang terkenal garang, memang kejadian bak di film-film itu pernah terjadi. Tetapi gambaran itu bukanlah representasi yang bisa mewakili karakter dan kehidupan waria secara umum. Berbicara perampok, saya kira tidak berkaitan dengan identitas gender seseorang. Adegan-adegan film, yang adalah bohongan itu, sudah terlanjur menjadi bagian dari keyakinan palsu sebagian masyarakat. Inilah dahsyatnya dampak film. Selain sebagai karya seni, film juga punya andil besar dalam menggiring persepsi masyarakat dalam memandang suatu persoalan. Film-film yang bisa ditonton berjuta-juta pasang mata dengan biaya relatif murah menjadi alat hipnotis yang cukup manjur terlebih dengan kehadiran pesawat televisi macam hari ini. Kotak kaca itu telah jadi media sihir murah meriah yang cukup efektif.

Agaknya keyakian palsu ini sudah menghujam hingga ke alam bawah sadar sehingga ketika ada waria mendekat, tanpa harus berpikir, para lelaki itu lari tunggang langgang atau sekedar bergidik tanda jijik. Jika hendak ditelaah, apa yang jijik dari waria? Mereka toh adalah manusia, lengkap dengan cipta, rasa dan karsa. Mereka terpaksa menjadi manusia kelas dua karena konstruksi sosial tidak memberi ruang yang cukup buat mereka beraktualisasi. Mengapa tidak waria menjadi PNS, pegawai bank, pembalap, pilot, tentara, guru, dokter, politisi, menteri, atau profesi lainnya.

Sudah menjadi formula umum jika suatu hal yang berada diluar mainstream pastilah dibilang aneh, tak lazim, dan lebih parah lagi, mereka yang out of the box ini lantas mendapat kutukan dan caci maki hanya karena mereka berbeda dari yang banyak. Agaknya, di abad XXI ini, setidaknya di Ciamis, identitas gender masih bisa menjadi senjata diskriminasi yang masih sering digaungkan. Jangankan identitas gender, ekspresi gender saja masih kerap menjadi bahan gosip yang sering berkelanjutan menjadi tuduhan bernada miring, lagi-lagi keyakinan palsu.

Saya tidak membayangkan Indonesia kelak seperti Thailand yang punya ratu waria yang mendunia atau seperti AS yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Saya hanya membayangkan jika waria bisa seperti masyarakat lainnya dalam mengakses pekerjaan, pendidikan, fasilitas kesehatan dan bidang lainnya. Saya membayangkan ketika negara tidak lagi mempersoalkan identitas dan ekspresi gender. Dan saya berharap kelak mereka mendapat tempat yang layak dalam jalinan hubungan antar manusia, sebab mereka adalah manusia.

Rengganis
28 – 29 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...