(Toilet di sebuah kampus di Inggris)
Waria (II)
Sore tadi,
seorang kawan datang mengunjungi saya. Cukup lama kami tak jumpa. Kami memang jarang jumpa kecuali ada hal yang
perlu dibicarakan. Ia seorang ketua sebuah organisasi di Ciamis. Dalam kurun
waktu sekarang-sekarang ini kami
memang sedang bekerjasama dalam sebuah pekerjaan kecil. Tak biasanya ia lama
duduk berbincang. Biasanya hanya sebentar
saja, asal sudah mengutarakan maksud, ia biasanya langsung pulang. Istri sudah
menunggunya di rumah, katanya. Namun sore ini, karena memang hujan sedari siang
turun tak henti, ia duduk cukup lama. kami berbincang banyak hal, sedari hal
yang menyangkut pekerjaan kami hingga meluas ke topik yang sama sekali tak ada
hubungannya dengan bidang kerjasama kami.
Dari sekian
panjang kami bercakap, ada hal yang membuat saya tertawa terbahak-bahak. Ia
bercerita bahwa seorang kawannya pernah bertanya apakah saya seorang bencong
(waria) atau gay? Pertanyaan serupa pun sempat terlontar dari istrinya sendiri. Alasan sang istri bertanya
ialah karena suatu ketika tatkala usai ia menyaksikan saya berakting dalam
sebuah pementasan teater, ia mengunggah foto dirinya (dan beberapa orang lain)
bersama saya, lantas seorang kawannya bertanya tentang saya, bencong atau gay?
Mendengar kisah itu dari kawan
yang lama tak jumpa, pecahlah tawa saya terbahak-bahak. Usai habis tertawa, barulah saya
menjelasan tentang keakraban saya dengan beberapa kawan waria yang berawal dari
sebuah riset kecil-kecilan untuk kepentingan pembuatan naskah drama sekitar
setahun yang lalu (hingga kini, naskah itu belum kunjung rampung). Beberapa
kali pula saya terlibat dalam acara ihwal HIV/AIDS yang sebagian para
penggiatnya adalah kawan-kawan waria. Keakraban ini memang saya unggah di
beberapa media sosial. Dengan beberapa kawan waria, kami sering saling berbalas
komentar atau sekedar memberi jempol di Facebook. Barangkali dari media sosial
itulah asal mula pertanyaan tentang “identitas” saya.
Untuk
pertanyaan-pertanyaan itu, saya anggap sebagai dampak yang wajar dari keakraban dengan dunia
waria, khususnya
yang saya sebarluaskan di media sosial. Tentang dampak medsos, pada bulan puasa
tahun ini, ketika saya ribut dengan beberapa kawan dari sebuah ormas keagamaan,
serta merta mereka melabeli saya dengan “aktivis LGBT”, “PKI”, “Komunis”,
“Liberal”, dan label lainnya yang menurut mereka layak disematkan. Yang
menggelitik ialah label “Komunis” dan “Liberal” yang disematkan berbarengan
pada saya oleh kawan-kawan itu, sungguh luar biasa. Baiklah, ini sekedar
intermezo saja, atau boleh jadi ini bahan renungan bahwa media sosial ternyata sangat berpotensi mendeviasi identitas. Apa-apa yang
kita unggah di medsos ternyata kerap dibaca lain oleh masyarakat dumay
(dunia maya). Dan memang ada pula masyarakat dumay yang sengaja
mengkaburkan identitasnya untuk tujuan tertentu. Sebetulnya itu
wajar saja jika kita merujuk pada kata “maya” yang menurut
KBBI berarti : hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam
angan-angan; khayalan. Anehnya, orang-orang di era tekno seperti sekarang ini
lebih menganggap dunia maya sebagai realitas yang sesungguhnya.
Dari kawan itu
pula lantas kami sedikit membicarakan waria. Ia bercerita, pernah suatu ketika
ia mendapat tawaran kerjasama dari para penggiat HIV/AIDS di Ciamis. Ia tidak
menceritakan detil kegiatan yang dimaksud, namun barangkali para penggiat HIV/AIDS itu berniat mengadakan semacam
sosialisasi seputar HIV/AIDS. Tawaran dari para penggiat HIV/AIDS yang beberapa
adalah waria itu ditolak oleh kawan saya ini. Belum siap, katanya. Ia, dan
kelompoknya, belum siap jika suatu ketika masyarakat memandang miring padanya
dan kelompoknya karena bergaul dengan waria, karena terlibat dalam suatu
kegiatan dengan waria. Ia belum siap menerima dampak buruk akibat
persinggunganya dengan waria meski dalam bentuk kegiatan yang boleh dikata positif. Ia bilang bahwa masyarakat Ciamis
belum siap menerima waria secara terbuka. Itu pendapatnya, dan saya kira sah-sah
saja meski pengatasnamaan masyarakat Ciamis barangkali perlu tinjauan yang
lebih mendalam.
Benarkah
demikian? Entahlah. Saya agak berat jika musti bersuara
mengatasanamakan masyarakat. Kalaupun harus, paling berani saya hanya
menduga-duga saja, tentu dengan pijakan argumen yang lebih dulu saya olah
masak-masak.
Di Ciamis, atau barangkali di Indonesia, membicarakan
waria memang belum selugas membicarakan WPS (wanita penjaja seks), misalnya. Identitas
mereka yang dipandang abu-abu aganya menjadi sebab gagapnya kebanyakan
masyarakat tatkala membahas waria. Kalaupun dibahas, sekian label buruk
cenderung lebih dulu melekat ketimbang melihat waria secara bersih, tanpa
prasangka. Apriori ini kerap menjali ganjalan untuk sebuah pandangan utuh dan
jernih mengenai waria dan persoalan-persoalan mereka. Jika saja prasangka ini
bisa sedikit pudar dan lebih mengedepankan akal sehat, agaknya waria akan lebih
punya tempat yang cukup layak di masyarakat.
Melihat dandanannya saja, mungkin orang-orang sudah
punya sekian tafsir yang berkonotasi negatif. Dan ketimbang tabayyun, konfirmasi, klarifikasi, atau mengkaji lebih
dalam, barangkali orang-orang akan lebih suka tenggelam dalam prasangka buruk
mereka dan meyakininya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Prasangka bahwa waria
adalah mahluk terkutuk, kotor, manusia kelas dua, amoral, sampah masyarakat,
penentang kodrat, hina, dan predikat buruk lainnya telah terpatri menjadi
keyakinan, keyakinan palsu, saya kira. Keyakinan yang berangkat dari prasangka
prematur tanpa verifikasi adalah keyakinan palsu. Meski berstatus keyakinan
palsu namun keyakinan ini terlanjur diimani mendalam oleh sebagian masyarakat. Mereka,
yang mengimani keyakinan palsu itu, biasanya lebih suka menghakimi ketimbang
memberi solusi.
Jika keyakinan ini terhujam dalam, wajar saja jika
sebagian lelaki akan lari terbirit-birit ketika satu atau dua waria
mendekatinya, bahkan untuk sekedar ngamen. Sering saya menyaksikan beberapa
lelaki yang tengah nongkrong di alun-alun Ciamis lari tunggang langgang,
ketakutan, jika ada waria yang hendak menghampiri. Kalau saja kita tanya alasan
ketakutannya, barangkali ia akan kebingunan sendiri, mengapa ia ketakutan. Usai
bingung, mereka barangkali dengan sederhana akan menjawab ngeuleuh (jijik). Dan jika kita bertanya kembali, kenapa
jijik? Apanya yang membuat jijik? Kebanyakan mereka akan hanya diam tanda
kebingungan.
Mereka yang kebingungan tatkala ditanya alasan
ketakutannya, juga sama bingungnya dengan saya melihat kelakuan mereka. Jika saja
waria itu membawa senjata tajam, ketakutan mereka barangkali cukup masuk akal. Kalau
para lelaki yang terbirit-birit itu takut diperkosa waria, saya kira itu
ketakutan yang ultra-hiperlebay. Berdasar percakapan saya dengan Teh Anggur Sanjaya,
ketua komunitas waria Ciamis, film-film menyumbang cukup banyak bagi citra
(buruk) waria di masyarakat. Pada film-film tertentu sering kita saksikan
adegan waria yang menodongkan silet, pisau, atau senjata tajam lainnya pada
para lelaki yang mereka santroni. Senjata-senjata itu biasanya mereka
sembunyikan dalam tas. Adegan ini memang terjadi, hanya saja tidak di semua
tempat. Ketimbang waria rampok begitu, waria tanpa senjata tajam masih jauh
lebih banyak jumlahnya. Di beberapa daerah, khususnya di perkotaan, kawasan pelabuhan,
kawasan-kawasan yang terkenal garang, memang
kejadian bak di film-film itu pernah terjadi. Tetapi gambaran itu bukanlah
representasi yang bisa mewakili karakter dan kehidupan waria secara umum. Berbicara
perampok, saya kira tidak berkaitan dengan identitas gender seseorang. Adegan-adegan
film, yang adalah bohongan itu, sudah terlanjur menjadi bagian dari keyakinan
palsu sebagian masyarakat. Inilah dahsyatnya dampak film. Selain sebagai karya
seni, film juga punya andil besar dalam menggiring persepsi masyarakat dalam
memandang suatu persoalan. Film-film yang bisa ditonton berjuta-juta pasang
mata dengan biaya relatif murah menjadi alat hipnotis yang cukup manjur
terlebih dengan kehadiran pesawat televisi macam hari ini. Kotak kaca itu telah
jadi media sihir murah meriah yang cukup efektif.
Agaknya keyakian palsu ini sudah menghujam hingga
ke alam bawah sadar sehingga ketika ada waria mendekat, tanpa harus berpikir,
para lelaki itu lari tunggang langgang atau sekedar bergidik tanda jijik. Jika
hendak ditelaah, apa yang jijik dari waria? Mereka toh adalah manusia, lengkap
dengan cipta, rasa dan karsa. Mereka terpaksa menjadi manusia kelas dua karena
konstruksi sosial tidak memberi ruang yang cukup buat mereka beraktualisasi. Mengapa
tidak waria menjadi PNS, pegawai bank, pembalap, pilot, tentara, guru, dokter, politisi,
menteri, atau profesi lainnya.
Sudah menjadi formula umum jika suatu hal yang
berada diluar mainstream pastilah
dibilang aneh, tak lazim, dan lebih parah lagi, mereka yang out of the box ini lantas mendapat kutukan dan caci maki hanya
karena mereka berbeda dari yang banyak. Agaknya, di abad XXI ini, setidaknya di
Ciamis, identitas gender masih bisa menjadi senjata diskriminasi yang masih
sering digaungkan. Jangankan identitas gender, ekspresi gender saja masih kerap
menjadi bahan gosip yang sering
berkelanjutan menjadi tuduhan bernada miring, lagi-lagi keyakinan palsu.
Saya tidak membayangkan Indonesia kelak seperti
Thailand yang punya ratu waria yang mendunia
atau seperti AS yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Saya hanya
membayangkan jika waria bisa seperti masyarakat lainnya dalam mengakses
pekerjaan, pendidikan, fasilitas kesehatan dan bidang lainnya. Saya membayangkan
ketika negara tidak lagi mempersoalkan identitas dan ekspresi gender. Dan saya
berharap kelak mereka mendapat tempat yang layak dalam jalinan hubungan antar
manusia, sebab mereka adalah manusia.
Rengganis
28 – 29 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar