Sabtu, 22 Oktober 2016

Teater Di Ciamis; Catatan Seorang Mualaf Teater


(Teater Epidaurus, Yunani. Dibangun sekitar abad IV SM)

Teater Di Ciamis
Catatan Seorang Mualaf Teater

Teater, kata dengan definisi yang kompleks. Teater sebagai kata benda pun sudah punya banyak pengertian, batasannya nyaris tak jelas. Apalagi jika ditambah teater sebagai kata kerja. Definisi ala KBBI atau kamus mana pun saya kira tak mampu mewadahi secara utuh. Di kampus-kampus, boleh jadi teater masih punya sekian batasan yang cukup jelas, namun ketika ia mengalir ke masyarakat luas, definisi-definisi ala kampus itu sudah tak mampu lagi membatasi peristiwa yang terjadi. Saya kira ini tak hanya terjadi pada teater saja. Segala hal produk keilmuan (sosial budaya) jika telah merembes ke masyarakat, boleh jadi mengalami perubahan begitu rupa yang bahkan bisa sangat jauh dari pengertian awal. Namun saya tidak bermaksud memaparkan pengertian teater sebab saya pun masih kerap dibingungkan olehnya.

Saya tinggal di wilayah selatan Jawa Barat. Kabupaten Ciamis, namanya. Konon, dahulu kala, Ciamis ini merupakan pusat kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda. Ciamis pun pernah menjadi “jajahan” Mataram Islam pada awal abad 17 M. Sebagai daerah yang punya sejarah panjang, Ciamis kaya akan beragam kesenian dan adat istiadat. Salah satu bentuk kesenian yang ada adalah teater tradisional. Di beberapa daerah di Ciamis, sandirwara dulu sempat mengalami masa jaya. Bahkan di daerah Banjarsari, ada kesenian Manorék, semacam sandiwara namun dimainkan dengan dwi bahasa, Sunda dan Jawa Banyumasan. Akulturasi ini hadir karena daerah Banjarsari bisa digolongkan daerah perbatasan. Bahkan ada beberapa kampung di Banjarsari yang menggunakan bahasa Jawa Banyumasan sebagai bahasa sehari-hari.

Bagaimana dengan nasib kesenian modern? Sama seperti daerah lain, kesenian modern di Ciamis pun punya tempat tersendiri. Bahkan banyak bentuk kesenian tradisi yang telah memberi sentuhan seni modern pada tiap pagelarannya. Lantas bagaimana dengan teater modern?

Membicarakan teater modern di Ciamis, saya tak bisa bicara banyak, apalagi ihwal sejarah. Saya masih terbilang awam, baru, mualaf di teater Ciamis. Barangkali ada pula yang memandang tulisan ini sebagai wujud kelancangan dari saya yang ingusan ini. Itu jika mau berprasangka buruk. Tapi, biarlah. Saya enggan memusingkan diri dengan prasangka-prasangka yang malah menjadi penjara.

Entah sejak kapan teater modern lahir di Ciamis. Pengertian lahir dalam hal ini adalah pertama kali adanya pentas teater modern di Ciamis yang diproduksi oleh kelompok teater yang ada di Ciamis pula. Jika sebatas pentas teater modern, bisa saja kelompok teater dari luar Ciamis berkunjung dan menggelar pementasannya di kota Galendo ini. Sependek yang saya ketahui, dahulu konon ada kelompok teater bernama Teater AIU, yang sering beraktivitas di daerah Ciamis Kota. Tersebutlah nama Wawan S. Arifien sebagai salah seorang penggiat di kelompok ini. Saat aktif di AIU, beliau berprofesi sebagai guru di salah satu SD di Ciamis. Kini beliau saya kenal sebagai Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Ciamis. Saya tidak tahu tahun berapa kelompok ini eksis dan tidak mengetahui pula jenis pertunjukan teater macam bagaimana yang menjadi kekhususan mereka. Saya hanya mengenal kelompok ini dari cerita-cerita para penggiat seni yang sempat mengenalnya, Noer JM salah satunya. Konon, beliau adalah salah satu penggiat di kelompok ini. Ia sering menyebut-nyebut nama Teater AIU sebagai salah satu kelompok yang pernah mewarnai dunia teater modern Ciamis.

Pernah pula saya mendengar nama Teater Korsi, kelompok teater yang pernah juga terpatri namanya, setidaknya dalam ingatan para mantan penggiatnya. Masih Noer JM, yang sering bercerita tentang hal ini. Konon, ia dan beberapa kawanlah  yang mendirikan Teater Korsi. Sama seperti Teater AIU, saya kurang mengetahui jejak karya Teater Korsi. Entah foto, video, atau berita di koran, saya belum sempat menemukannya karena memang belum sempat pula saya menelusuri secara lebih mendalam terkait hal ini. Saya hanya sempat mendengar kedua nama itu terselip dalam pembicaraan Noer JM, Dadang Q’most (Dan’Q), Toni Lesmana, Godi Suwarna, atau para sesepuh lain yang pada masa mudanya adalah aktivis teater di Ciamis. Bahkan beberapa dari mereka masih sering terlibat aktif dalam beberapa produksi teater atau kegiatan kesenian lainnya di Ciamis.  Meski usia tak lagi muda, namun kecintaan mereka pada dunia seni masih kentara meski dengan wujud dan kadar yang berbeda dibanding saat mereka masih bugar belasan tahun lalu.

Teater Balangatrang adalah nama lain yang sempat saya dengar. Konon, Dadang Q’most adalah salah satu yang membidani kelahirannya. Sebelum Universitas Galuh (UNIGAL) menjadi seperti sekarang, dahulu STKIP Galuh adalah cikal bakalnya. Pada masa itulah Teater Balangantrang lahir sebagai teater berbasis kampus. Entah atas alasan apa, nama Balangantrang berganti menjadi Teater Titik Dua. Nama itu kemudian diubah kembali menjadi Teatet Tangtutilu. Anggie Sri Wilujeng konon sempat membina kelompok ini untuk beberapa saat. Teater Tangtutilu saat ini berstatus sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UNIGAL, Ciamis. Saya memang miskin informasi dan wawasan ihwal Teater Balangantrang, Teater Titik Dua, atau Teater Tangtutilu periode awal. Sama dengan dua kelompok teater yang lebih dulu disebut, profil, identitas, madzhab teater serta karya-karya kelompok teater kampus ini tidak saya ketahui kecuali Teater Tangtutilu sejak tahun 2010. Sejak tahun itu, mulailah saya  mengenal kelompok ini secara langsung dan tergabung di dalamnya (tak lebih dari dari satu tahun) selama menyandang status mahasiswa tingkat satu di kampus ungu itu.

Dalam waktu singkat itu, sempat saya menggarap lakon Ben Go Tun (Saini KM). Hanya saja proses itu terhenti hanya pada fase reading. Sukarnya kawan-kawan Tangtutilu mengatur waktu dan energi serta asingnya mereka akan “tradisi teater modern” adalah faktor utama gagalnya lakon itu dipentaskan disamping kualitas mental dan motivasi mereka yang rendah.

Sependek perkenalan saya, hanya dua lakon teater indoor otonom (tidak menempel pada kegiatan lain) yang pernah saya ketahui diproduksi oleh mereka. Yang satu adalah naskah buatan mereka sendiri. Yang lain adalah naskah karya Yoyo C. Durachman. Jika tak keliru mengingat, judulnya Dunia Seolah-Olah. Pada perkembangannya kini, agaknya Tangtutilu lebih berorientasi pada format teater oratorium ketimbang pertunjukan teater modern yang biasa hadir di auditorium gedung-gedung pertunjukan. Malah belakangan, mereka lebih terkonsentrasi pada  garapan tari prosesi untuk kepentingan acara-acara formal universitas. Saya kurang tahu juga, sebagai sebuah kelompok teater, mengapa mereka lebih asik latihan menari dan menabuh gamelan ketimbang mencumbui teater secara lebih intim dan khusuk.

Adalah Teater Jagat, sebuah nama kelompok teater yang gaungnya masih terdengar hingga kini. Kelompok ini bermarkas di Kawali, sebuah daerah di Utara Ciamis yang memang kaya akan potensi seni. Melacak sejarah teater ini agaknya Dadang Q’most, Pandu Radea, Didon Nurdani, Otong Durahim, Abdul Halim, dan sekian nama lain keluarga besar SMAN 1 Kawali tentunya yang paling fasih bicara. Sependek pengetahuan saya, nama-nama yang saya tuliskan itu merupakan aktivis teater generasi-generasi awal yang melahirkan Teater Jagat. Nama sesepuh kesenian Godi Suwarna pun konon tercatat sebagai tokoh yang turut andil dalam kelahiran dan perkembangannya. Keberadaan situs Astana Gede yang berdekatan dengan SMAN 1 Kawali menjadi stimulus tersendiri bagi perkembangan mereka. Acara dua tahunan, Nyiar Lumar, adalah stimulus lain yang boleh jadi menyumbang besar selama perjalanan kelompok ini, jika tidak dikatakan sebagai dialektika Teater Jagat dan Astana Gede. Pada 2011 saya pernah menyutradari di Teater Jagat SMAN 1 Kawali. Séksa, sebuah drama bahasa Sunda karya Dhipa Galuh Purba kami pilih sebagai sajian lakon pada Festival Drama Basa Sunda (FDBS) tingkat pelajar. Nasib saya di Jagat hanya seumur jagung. Jika tak keliru, usai garapan itu hingga kini, Emam Hermansyah Sastrapraja adalah yang membina teater ini. Beliau adalah alumni jurusan teater STSI Bandung. Sedikit bernostalgia, beliau adalah orang yang kali pertama memperkenalkan saya dengan teater modern. Jika saya pandang sekarang, waktu itu beliau agaknya meminjam gagasan Brechtian yang sering dimiripkan dengan bentuk teater tradisional Sunda, Longser. Lakon Kumbakarna Gugur adalah awal mula saya manggung sebagai aktor.

Mendengar kabar angin, selain menggeluti teater, Jagat kini pun merambah ke dunia perfilman dan pertelevisian. Persoalan kacenderungan bentuk dan karya-karya Teater Jagat, saya masih perlu banyak mengkaji lagi. Hingga saat ini, saya belum mampu menyimpulkan mengenai hal ini sebab masing-masing tangan sutradara punya bentuk dan gaya yang berlainan, sedang Jagat sudah ditangani sekian sutradara dengan sekian kecenderungan pula. Sebagai yang pernah menyutradari di Teater Jagat, the teste of Teater Jagat bagi saya agaknya masih bergantung pada the teste of directornya. Dalam kasus ini, cita rasa kelompok pada akhirnya bergantung pada cita rasa penggarapnya, meski ada pula beberapa kelompok teater lain yang punya cita rasa khas kelompok terlepas dari siapapun sutradaranya.   

Denyut teater Ciamis erat dengan dunia sekolahan. Seperti Teater Jagat yang merupakan ekstrakulikuler di SMAN 1 Kawali, ada pula beberapa kelompok teater lainnya dengan status yang sama, Teater Luhur misalnya. Kelompok ini merupakan ekstrakulikuler di SMPN 1 Ciamis. Nama teater ini tak bisa lepas dari sosok Dadang Q’most (Dan’Q) sebagai salah satu tenaga pengajar serta motor penggerak kesenian di sekolah tersebut. Selain beliau, patut pula dicatat nama Jaro X Yus, sebuah nama yang sangat familiar di peta kesenian Ciamis. Alumni jurusan teater STSI Bandung ini lebih dari 8 tahun membina teater di SMPN 1 Ciamis (jika saya tak keliru mengingat tahun). Entah berapa banyak anak didiknya yang melanjutkan minat keseniannya ke jenjang yang lebih serius. Sepeninggalan Jaro X Yus dari Luhur, kini Aris Didu Sanjaya menggantikannya mengomandani kelompok ini. Selain sempat di  Teater Luhur, Jaro X Yus juga membina teater di Teater Doea milik SMAN 2 Ciamis dan Teater Tanah Merah SMAN 1 Baregbeg. Untuk Teater Tanah Merah, saya kurang begitu tahu, apakah masih diasuh olehnya atau tidak. Sedang Teater Doea hingga kini masih menjadi asuhannya.

SMAN 1 (Sanggar Seni Nuansa) dan SMAN 3 Ciamis agaknya lebih asik dalam bidang seni lain dibanding teater. Sedang SMKN 1 dengan Sanggar Kharisma-nya meski rutin mengadakan pertunjukan setahun sekali, namun perkenalannya dengan “tradisi teater modern” masih jauh dari kata akrab. Sedang SMKN 2  Ciamis, belum pernah saya dengar geliat teater modernya secara kelembagaan meski beberapa siswanya secara pribadi punya potensi di bidang ini.

SMPN 2, 3, 5, 6 dan 8 belum sempat saya cium aroma teater modernnya, sependek perkenalan saya, entah di masa lampau mereka. Sedang SMPN 4 Ciamis punya Erwin Tejasomantri. Alumni Teater Lakon UPI Bandung yang menjadi pengajar komputer ini, meski dengan geliat yang tak terlalu menonjol namun layak dicatat sebagai penjaga gawang Teater Sempat yang setia membina anak didiknya. Kesetiaan itu kadang muncul berwujud pertunjukan singkat pada acara-acara sekolah atau mengisi acara-acara umum lainnya, atau setidaknya rajin apresiasi baik pemetasan teater maupun acara kesenian lain. Menyoal SMPN 7 Ciamis, tatkala Bambang Yudiana masih tercatat sebagai keluarga besar SMPN 7 Ciamis, nafas teater setidaknya masih bisa dirasakan meski dengan kondisi terengah-engah. Beliau adalah salah satu deklamator yang jarang absen pada tiap panggung festival atau lomba baca puisi di beberapa daerah.

Di wilayah sekolah berbendera Islam Ciamis, teater modern agaknya belum menemukan maqomya. MAN 2 Ciamis yang pernah tercatat ikut meramaikan Festival Monolog Nasional tingkat pelajar di UNES, Semarang, Jawa Tengah dan Festival Teater Remaja di STSI Bandung, tak lagi terdengar deru teaternya. Padahal pada awal tahun 2000an, Teater Sangkala terbilang cukup khusuk bergiat di bawah asuhan Eman Hendarsyah Sastrapraja di MAN 2 Ciamis. Pernah pula, sekali saja saya melihat pementasan dari kelompok Teater Faslah, kelompok teater di bawah bendera Ponpes Darussalam Ciamis. Tahun 2007, kalau tak salah. Saya lupa lagi judul lakon yang mereka bawakan. Yang masih mampu saya ingat adalah lakon itu bernafas kritik sosial. Sayangnya pertunjukan itu menjadi pertunjukan Teater Faslah pertama dan terakhir yang sempat saya tonton hingga kini. Di bawah asuhan Abdul Halim (Halim Shinobu), seorang alumni jurusan teater STSI Bandung, kabarnya, kini dunia film menjadi wadah ekspresi yang lebih diminati oleh Teater Faslah.

Status sebagai ektrakulikuler sekolah, membuat kelompok-kelompok yang saya sebut di atas agaknya lebih memfokuskan pergerakannya di ruang domestik kampus masing-masing. Adapun keikutsertaan mereka dalam kompetisi teater masih terbatas pada even-even plat merah walaupun ada beberapa yang pernah keluar dari tradisi “dinas”.

Di penghujung 2009, Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) lahir dan agaknya cukup menyumbangkan darah segar pada nadi teater di Tatar Galuh. TTMC merupakan kelompok non-lemdik (lembaga pendidikan; non-kampus, non-sekolah, non-ponpes) yang didirikan beberapa penggiat seni di Ciamis. Sejak kelahirannya hingga saat ini, eksistensinya masih tetap terjaga setidaknya dengan rutin menggelar pertunjukan teater tiap tahun, ada atau tidak ada even disamping menggelar Marlam (Majelis Sore Malam), sebuah ruang diskusi yang berpijak pada cerpen yang diadakan secara periodik dua minggu sekali.

Tak bisa dipungkiri, adanya even-even kesenian serupa festival teater atau proyek-proyek pemerintah bisa jadi stimulus untuk melahirkan sebuah kelompok teater, TTMC salah satunya. Kelompok ini lahir untuk kepentingan FDBS, pada awalnya. Setelah tiga lakon pertama diproduksi untuk kepentingan festival (FDBS dan FNK Teater Remaja), baru sejak 2011 TTMC berhasil melepaskan diri dari belenggu proyek dan festival-festival itu. Meski demikian, keikutsertaan kelompok ini dalam FDBS masih tetap dipertahankan sebagai napak tilas dan ajang silaturraheim, selain mengukur langkah dalam kerja kreatif teater. Saya kira, kelompok serupa TTMC (dalam hal stimulus kelahiran) cukuplah banyak. Ini sehat–sehat saja selama tidak  kecanduan. Jika tak mampu lepas dari stimulus eksternal ini, kelompok hanya akan jadi perkumpulan selebritis semata, yang hadir pada hajatan-hajatan saja atau akan jadi fenomena obor karari dalam istilah bahasa Sunda, sekali berarti setelah itu hangus mampus. Ketergantungan pada festival atau kegiatan-kegiatan serupa saja malah akan jadi kecenderungan yang kurang sehat bagi perkembangan teater modern itu sendiri, khususnya di Ciamis. Independensi sebuah kelompok (non lembaga pendidikan) dan pertunjukan teater harus diupayakan sedemikan rupa agar artikulasi kreatifnya tidak tersendat, gagap, dan terbata-bata.  

Validitas data nama-nama kelompok, nama tokoh berikut kisahnya yang saya tulis di atas masih sangat layak disangsikan. Nama Teater Dalit yang sempat saya tangkap dari beberapa  tuturan Noer JM, luput dari ingatan mengenai detil kisah dan identitasnya. Saya hanya mendasarkan “catatan sejarah” ini dari cerita-cerita nostalgia para sesepuh dan sedikit pengalaman saya sendiri. Nama-nama itu pun belumlah mencakup seluruh wilayah Kabupaten Ciamis yang 27 kecamatan ini (menjadi 41 jika ditambah Kota Banar dan Kabupaten Pangandaran sebagai eks wilayah kabupaten Ciamis). Boleh jadi pernah ada kelompok teater modern di Panawangan, Sukamantri, Rancah. Lakbok, Rajadesa, Lumbung, Pamarican, atau daerah lainnya yang luput dari pantauan. Wawasan saya akan hal ini masihlah terlampau dangkal.

Menyoal bentuk pertunjukan teater yang menjadi kecederungan di Ciamis, di luar kelompok TTMC, saya belum mampu bicara banyak. Sebagian besar kelompok teater yang saya sebut di atas notabene adalah kelompok berbasis sekolahan, dan saya bukanlah seorang yang terlibat aktif di sekolah manapun di Ciamis. Hanya sesekali saya menonton aksi mereka, itu pun di ruang yang terbatas. Jadi agaknya membicarakan bentuk pertunjukan teater ala kelompok ekstrakulikuler sekolah atau UKM kampus di Ciamis masih perlu kajian yang lebih komprehensif. Selain nyaris tidak adanya pertunjukan otonom dari kelompok-kelompok teater tersebut, pergaulan saya yang kuper (kurang pergaulan) dan kudet (kurang up date), wawasan dan pengalaman yang masih sangat dangkal, serta fakirnya pemahaman saya akan teater adalah kendala pasti bagi bahasan ini.

Akhirnya, tulisan ini boleh jadi sebagai wujud harapan saya akan hidupnya nafas teater modern di Ciamis yang sinambung. Saya sebagai genarasi hijau nan miskin ilmu terpaksa puas hanya dengan mendengar kisah-kisah nostalgia dari para pendahulu teater Ciamis, meskipun  beberapa jejaknya masih dapat saya cercap hingga kini. Walau tak sempat sejaman dan terasuh, namun tak berlebihan kiranya jika saya haturkan terima kasih pada mereka yang lebih dulu memantik api teater modern di Tatar Galuh ini. Tanpa mereka, barangkali Ciamis akan benar-benar ada dalam the dark ages. Saya yakin mereka masih gagah, masih mencintai, dan bersemangat, hanya saja barangkali usia dan yang turut serta dengannya, membuat mereka memilih wujud cinta yang lain.

Lihatkah! Sembilan puluh tahun penuh warna.
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.   

(bait 9, puisi Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya karya W. S. Rendra)

Ciamis – Cijulang
2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...