(Teater Epidaurus, Yunani. Dibangun sekitar abad IV SM)
Teater
Di Ciamis
Catatan Seorang Mualaf Teater
Teater, kata
dengan definisi yang kompleks. Teater sebagai kata benda pun sudah punya banyak
pengertian, batasannya nyaris tak jelas. Apalagi jika ditambah teater sebagai
kata kerja. Definisi ala KBBI atau kamus mana pun saya kira tak mampu mewadahi
secara utuh. Di kampus-kampus, boleh jadi teater masih punya sekian batasan
yang cukup jelas, namun ketika ia mengalir ke masyarakat luas,
definisi-definisi ala kampus itu sudah tak mampu lagi membatasi peristiwa yang
terjadi. Saya kira ini tak hanya terjadi pada teater saja. Segala hal produk
keilmuan (sosial budaya) jika telah merembes ke masyarakat, boleh jadi
mengalami perubahan begitu rupa yang bahkan bisa sangat jauh dari pengertian
awal. Namun saya tidak bermaksud memaparkan pengertian teater sebab saya pun
masih kerap dibingungkan olehnya.
Saya tinggal di
wilayah selatan Jawa Barat. Kabupaten Ciamis, namanya. Konon, dahulu kala,
Ciamis ini merupakan pusat kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda. Ciamis pun pernah
menjadi “jajahan” Mataram Islam pada awal abad 17 M. Sebagai daerah yang punya
sejarah panjang, Ciamis kaya akan beragam kesenian dan adat istiadat. Salah
satu bentuk kesenian yang ada adalah teater tradisional. Di beberapa daerah di
Ciamis, sandirwara dulu sempat mengalami masa jaya. Bahkan di daerah
Banjarsari, ada kesenian Manorék,
semacam sandiwara namun dimainkan dengan dwi bahasa, Sunda dan Jawa Banyumasan.
Akulturasi ini hadir karena daerah Banjarsari bisa digolongkan daerah perbatasan.
Bahkan ada beberapa kampung di Banjarsari yang menggunakan bahasa Jawa
Banyumasan sebagai bahasa sehari-hari.
Bagaimana
dengan nasib kesenian modern? Sama seperti daerah lain, kesenian modern di
Ciamis pun punya tempat tersendiri. Bahkan banyak bentuk kesenian tradisi yang
telah memberi sentuhan seni modern pada tiap pagelarannya. Lantas bagaimana
dengan teater modern?
Membicarakan
teater modern di Ciamis, saya tak bisa bicara banyak, apalagi ihwal sejarah.
Saya masih terbilang awam, baru, mualaf di teater Ciamis. Barangkali ada pula
yang memandang tulisan ini sebagai wujud kelancangan dari saya yang ingusan
ini. Itu jika mau berprasangka buruk. Tapi, biarlah. Saya enggan memusingkan
diri dengan prasangka-prasangka yang malah menjadi penjara.
Entah sejak
kapan teater modern lahir di Ciamis. Pengertian lahir dalam hal ini adalah
pertama kali adanya pentas teater modern di Ciamis yang diproduksi oleh
kelompok teater yang ada di Ciamis pula. Jika sebatas pentas teater modern,
bisa saja kelompok teater dari luar Ciamis berkunjung dan menggelar
pementasannya di kota Galendo ini. Sependek yang saya ketahui, dahulu konon ada
kelompok teater bernama Teater AIU, yang sering beraktivitas di daerah Ciamis
Kota. Tersebutlah nama Wawan S. Arifien sebagai salah seorang penggiat di kelompok
ini. Saat aktif di AIU, beliau berprofesi sebagai guru di salah satu SD di
Ciamis. Kini beliau saya kenal sebagai Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan
Transmigrasi Kabupaten Ciamis. Saya tidak tahu tahun berapa kelompok ini eksis dan
tidak mengetahui pula jenis pertunjukan teater macam bagaimana yang menjadi
kekhususan mereka. Saya hanya mengenal kelompok ini dari cerita-cerita para
penggiat seni yang sempat mengenalnya, Noer JM salah satunya. Konon, beliau
adalah salah satu penggiat di kelompok ini. Ia sering menyebut-nyebut nama
Teater AIU sebagai salah satu kelompok yang pernah mewarnai dunia teater modern
Ciamis.
Pernah pula
saya mendengar nama Teater Korsi, kelompok teater yang pernah juga terpatri
namanya, setidaknya dalam ingatan para mantan penggiatnya. Masih Noer JM, yang
sering bercerita tentang hal ini. Konon, ia dan beberapa kawanlah yang mendirikan Teater Korsi. Sama seperti
Teater AIU, saya kurang mengetahui jejak karya Teater Korsi. Entah foto, video,
atau berita di koran, saya belum sempat menemukannya karena memang belum sempat
pula saya menelusuri secara lebih mendalam terkait hal ini. Saya hanya sempat
mendengar kedua nama itu terselip dalam pembicaraan Noer JM, Dadang Q’most (Dan’Q),
Toni Lesmana, Godi Suwarna, atau para sesepuh lain yang pada masa mudanya
adalah aktivis teater di Ciamis. Bahkan beberapa dari mereka masih sering
terlibat aktif dalam beberapa produksi teater atau kegiatan kesenian lainnya di
Ciamis. Meski usia tak lagi muda, namun
kecintaan mereka pada dunia seni masih kentara meski dengan wujud dan kadar
yang berbeda dibanding saat mereka masih bugar belasan tahun lalu.
Teater
Balangatrang adalah nama lain yang sempat saya dengar. Konon, Dadang Q’most
adalah salah satu yang membidani kelahirannya. Sebelum Universitas Galuh
(UNIGAL) menjadi seperti sekarang, dahulu STKIP Galuh adalah cikal bakalnya.
Pada masa itulah Teater Balangantrang lahir sebagai teater berbasis kampus.
Entah atas alasan apa, nama Balangantrang berganti menjadi Teater Titik Dua.
Nama itu kemudian diubah kembali menjadi Teatet Tangtutilu. Anggie Sri Wilujeng konon sempat membina kelompok ini untuk beberapa saat. Teater Tangtutilu
saat ini berstatus sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UNIGAL, Ciamis.
Saya memang miskin informasi dan wawasan ihwal Teater Balangantrang, Teater
Titik Dua, atau Teater Tangtutilu periode awal. Sama dengan dua kelompok teater
yang lebih dulu disebut, profil, identitas, madzhab teater serta karya-karya
kelompok teater kampus ini tidak saya ketahui kecuali Teater Tangtutilu sejak
tahun 2010. Sejak tahun itu, mulailah saya mengenal kelompok ini secara langsung dan tergabung
di dalamnya (tak lebih dari dari satu tahun) selama menyandang status mahasiswa
tingkat satu di kampus ungu itu.
Dalam waktu
singkat itu, sempat saya menggarap lakon Ben Go Tun (Saini KM). Hanya saja
proses itu terhenti hanya pada fase reading. Sukarnya kawan-kawan Tangtutilu
mengatur waktu dan energi serta asingnya mereka akan “tradisi teater modern” adalah
faktor utama gagalnya lakon itu dipentaskan disamping kualitas mental dan
motivasi mereka yang rendah.
Sependek
perkenalan saya, hanya dua lakon teater indoor otonom (tidak menempel pada
kegiatan lain) yang pernah saya ketahui diproduksi oleh mereka. Yang satu
adalah naskah buatan mereka sendiri. Yang lain adalah naskah karya Yoyo C.
Durachman. Jika tak keliru mengingat, judulnya Dunia Seolah-Olah. Pada
perkembangannya kini, agaknya Tangtutilu lebih berorientasi pada format teater
oratorium ketimbang pertunjukan teater modern yang biasa hadir di auditorium gedung-gedung
pertunjukan. Malah belakangan, mereka lebih terkonsentrasi pada garapan tari prosesi untuk kepentingan acara-acara
formal universitas. Saya kurang tahu juga, sebagai sebuah kelompok teater,
mengapa mereka lebih asik latihan menari dan menabuh gamelan ketimbang mencumbui
teater secara lebih intim dan khusuk.
Adalah Teater
Jagat, sebuah nama kelompok teater yang gaungnya masih terdengar hingga kini.
Kelompok ini bermarkas di Kawali, sebuah daerah di Utara Ciamis yang memang
kaya akan potensi seni. Melacak sejarah teater ini agaknya Dadang Q’most, Pandu
Radea, Didon Nurdani, Otong Durahim, Abdul Halim, dan sekian nama lain keluarga
besar SMAN 1 Kawali tentunya yang paling fasih bicara. Sependek pengetahuan
saya, nama-nama yang saya tuliskan itu merupakan aktivis teater generasi-generasi
awal yang melahirkan Teater Jagat. Nama sesepuh kesenian Godi Suwarna pun konon
tercatat sebagai tokoh yang turut andil dalam kelahiran dan perkembangannya. Keberadaan
situs Astana Gede yang berdekatan dengan SMAN 1 Kawali menjadi stimulus
tersendiri bagi perkembangan mereka. Acara dua tahunan, Nyiar Lumar, adalah
stimulus lain yang boleh jadi menyumbang besar selama perjalanan kelompok ini,
jika tidak dikatakan sebagai dialektika Teater Jagat dan Astana Gede. Pada 2011
saya pernah menyutradari di Teater Jagat SMAN 1 Kawali. Séksa, sebuah drama bahasa Sunda karya Dhipa Galuh Purba kami pilih
sebagai sajian lakon pada Festival Drama Basa Sunda (FDBS) tingkat pelajar. Nasib
saya di Jagat hanya seumur jagung. Jika tak keliru, usai garapan itu hingga
kini, Emam Hermansyah Sastrapraja adalah yang membina teater ini. Beliau adalah
alumni jurusan teater STSI Bandung. Sedikit bernostalgia, beliau adalah orang
yang kali pertama memperkenalkan saya dengan teater modern. Jika saya pandang
sekarang, waktu itu beliau agaknya meminjam gagasan Brechtian yang sering
dimiripkan dengan bentuk teater tradisional Sunda, Longser. Lakon Kumbakarna Gugur
adalah awal mula saya manggung sebagai aktor.
Mendengar kabar
angin, selain menggeluti teater, Jagat kini pun merambah ke dunia perfilman dan
pertelevisian. Persoalan kacenderungan bentuk dan karya-karya Teater Jagat,
saya masih perlu banyak mengkaji lagi. Hingga saat ini, saya belum mampu
menyimpulkan mengenai hal ini sebab masing-masing tangan sutradara punya bentuk
dan gaya yang berlainan, sedang Jagat sudah ditangani sekian sutradara dengan
sekian kecenderungan pula. Sebagai yang pernah menyutradari di Teater Jagat, the teste of Teater Jagat bagi saya
agaknya masih bergantung pada the teste
of directornya. Dalam kasus ini, cita rasa kelompok pada akhirnya
bergantung pada cita rasa penggarapnya, meski ada pula beberapa kelompok teater
lain yang punya cita rasa khas kelompok terlepas dari siapapun
sutradaranya.
Denyut teater
Ciamis erat dengan dunia sekolahan. Seperti Teater Jagat yang merupakan
ekstrakulikuler di SMAN 1 Kawali, ada pula beberapa kelompok teater lainnya
dengan status yang sama, Teater Luhur misalnya. Kelompok ini merupakan ekstrakulikuler
di SMPN 1 Ciamis. Nama teater ini tak bisa lepas dari sosok Dadang Q’most
(Dan’Q) sebagai salah satu tenaga pengajar serta motor penggerak kesenian di
sekolah tersebut. Selain beliau, patut pula dicatat nama Jaro X Yus, sebuah
nama yang sangat familiar di peta kesenian Ciamis. Alumni jurusan teater STSI
Bandung ini lebih dari 8 tahun membina teater di SMPN 1 Ciamis (jika saya tak
keliru mengingat tahun). Entah berapa banyak anak didiknya yang melanjutkan
minat keseniannya ke jenjang yang lebih serius. Sepeninggalan Jaro X Yus dari
Luhur, kini Aris Didu Sanjaya menggantikannya mengomandani kelompok ini. Selain
sempat di Teater Luhur, Jaro X Yus juga
membina teater di Teater Doea milik SMAN 2 Ciamis dan Teater Tanah Merah SMAN 1
Baregbeg. Untuk Teater Tanah Merah, saya kurang begitu tahu, apakah masih
diasuh olehnya atau tidak. Sedang Teater Doea hingga kini masih menjadi
asuhannya.
SMAN 1 (Sanggar
Seni Nuansa) dan SMAN 3 Ciamis agaknya lebih asik dalam bidang seni lain
dibanding teater. Sedang SMKN 1 dengan Sanggar Kharisma-nya meski rutin
mengadakan pertunjukan setahun sekali, namun perkenalannya dengan “tradisi
teater modern” masih jauh dari kata akrab. Sedang SMKN 2 Ciamis, belum pernah saya dengar geliat
teater modernya secara kelembagaan meski beberapa siswanya secara pribadi punya
potensi di bidang ini.
SMPN 2, 3, 5, 6
dan 8 belum sempat saya cium aroma teater modernnya, sependek perkenalan saya,
entah di masa lampau mereka. Sedang SMPN 4 Ciamis punya Erwin Tejasomantri.
Alumni Teater Lakon UPI Bandung yang menjadi pengajar komputer ini, meski
dengan geliat yang tak terlalu menonjol namun layak dicatat sebagai penjaga
gawang Teater Sempat yang setia membina anak didiknya. Kesetiaan itu kadang
muncul berwujud pertunjukan singkat pada acara-acara sekolah atau mengisi
acara-acara umum lainnya, atau setidaknya rajin apresiasi baik pemetasan teater
maupun acara kesenian lain. Menyoal SMPN 7 Ciamis, tatkala Bambang Yudiana
masih tercatat sebagai keluarga besar SMPN 7 Ciamis, nafas teater setidaknya
masih bisa dirasakan meski dengan kondisi terengah-engah. Beliau adalah salah
satu deklamator yang jarang absen pada tiap panggung festival atau lomba baca
puisi di beberapa daerah.
Di wilayah
sekolah berbendera Islam Ciamis, teater modern agaknya belum menemukan maqomya. MAN 2 Ciamis yang pernah
tercatat ikut meramaikan Festival Monolog Nasional tingkat pelajar di UNES,
Semarang, Jawa Tengah dan Festival Teater Remaja di STSI Bandung, tak lagi
terdengar deru teaternya. Padahal pada awal tahun 2000an, Teater Sangkala terbilang
cukup khusuk bergiat di bawah asuhan Eman Hendarsyah Sastrapraja di MAN 2
Ciamis. Pernah pula, sekali saja saya melihat pementasan dari kelompok Teater Faslah,
kelompok teater di bawah bendera Ponpes Darussalam Ciamis. Tahun 2007, kalau
tak salah. Saya lupa lagi judul lakon yang mereka bawakan. Yang masih mampu
saya ingat adalah lakon itu bernafas kritik sosial. Sayangnya pertunjukan itu
menjadi pertunjukan Teater Faslah pertama dan terakhir yang sempat saya tonton
hingga kini. Di bawah asuhan Abdul Halim (Halim Shinobu), seorang alumni
jurusan teater STSI Bandung, kabarnya, kini dunia film menjadi wadah ekspresi
yang lebih diminati oleh Teater Faslah.
Status sebagai ektrakulikuler
sekolah, membuat kelompok-kelompok yang saya sebut di atas agaknya lebih
memfokuskan pergerakannya di ruang domestik kampus masing-masing. Adapun
keikutsertaan mereka dalam kompetisi teater masih terbatas pada even-even plat
merah walaupun ada beberapa yang pernah keluar dari tradisi “dinas”.
Di penghujung
2009, Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC) lahir dan agaknya cukup menyumbangkan darah
segar pada nadi teater di Tatar Galuh. TTMC merupakan kelompok non-lemdik
(lembaga pendidikan; non-kampus, non-sekolah, non-ponpes) yang didirikan
beberapa penggiat seni di Ciamis. Sejak kelahirannya hingga saat ini, eksistensinya
masih tetap terjaga setidaknya dengan rutin menggelar pertunjukan teater tiap
tahun, ada atau tidak ada even disamping menggelar Marlam (Majelis Sore Malam),
sebuah ruang diskusi yang berpijak pada cerpen yang diadakan secara periodik
dua minggu sekali.
Tak bisa
dipungkiri, adanya even-even kesenian serupa festival teater atau proyek-proyek
pemerintah bisa jadi stimulus untuk melahirkan sebuah kelompok teater, TTMC
salah satunya. Kelompok ini lahir untuk kepentingan FDBS, pada awalnya. Setelah
tiga lakon pertama diproduksi untuk kepentingan festival (FDBS dan FNK Teater
Remaja), baru sejak 2011 TTMC berhasil melepaskan diri dari belenggu proyek dan
festival-festival itu. Meski demikian, keikutsertaan kelompok ini dalam FDBS
masih tetap dipertahankan sebagai napak
tilas dan ajang silaturraheim, selain mengukur langkah dalam kerja kreatif
teater. Saya kira, kelompok serupa TTMC (dalam hal stimulus kelahiran) cukuplah
banyak. Ini sehat–sehat saja selama tidak kecanduan. Jika tak mampu lepas dari stimulus
eksternal ini, kelompok hanya akan jadi perkumpulan selebritis semata, yang
hadir pada hajatan-hajatan saja atau akan jadi fenomena obor karari dalam istilah bahasa Sunda, sekali berarti setelah itu hangus
mampus. Ketergantungan pada festival atau kegiatan-kegiatan serupa saja malah
akan jadi kecenderungan yang kurang sehat bagi perkembangan teater modern itu
sendiri, khususnya di Ciamis. Independensi sebuah kelompok (non lembaga
pendidikan) dan pertunjukan teater harus diupayakan sedemikan rupa agar artikulasi
kreatifnya tidak tersendat, gagap, dan terbata-bata.
Validitas data nama-nama
kelompok, nama tokoh berikut kisahnya yang saya tulis di atas masih sangat
layak disangsikan. Nama Teater Dalit yang sempat saya tangkap dari beberapa tuturan Noer JM, luput dari ingatan mengenai detil
kisah dan identitasnya. Saya hanya mendasarkan “catatan sejarah” ini dari
cerita-cerita nostalgia para sesepuh dan sedikit pengalaman saya sendiri.
Nama-nama itu pun belumlah mencakup seluruh wilayah Kabupaten Ciamis yang 27
kecamatan ini (menjadi 41 jika ditambah Kota Banar dan Kabupaten Pangandaran
sebagai eks wilayah kabupaten Ciamis). Boleh jadi pernah ada kelompok teater
modern di Panawangan, Sukamantri, Rancah. Lakbok, Rajadesa, Lumbung, Pamarican,
atau daerah lainnya yang luput dari pantauan. Wawasan saya akan hal ini
masihlah terlampau dangkal.
Menyoal bentuk
pertunjukan teater yang menjadi kecederungan di Ciamis, di luar kelompok TTMC, saya
belum mampu bicara banyak. Sebagian besar kelompok teater yang saya sebut di atas
notabene adalah kelompok berbasis sekolahan, dan saya bukanlah seorang yang
terlibat aktif di sekolah manapun di Ciamis. Hanya sesekali saya menonton aksi
mereka, itu pun di ruang yang terbatas. Jadi agaknya membicarakan bentuk
pertunjukan teater ala kelompok ekstrakulikuler sekolah atau UKM kampus di
Ciamis masih perlu kajian yang lebih komprehensif. Selain nyaris tidak adanya
pertunjukan otonom dari kelompok-kelompok teater tersebut, pergaulan saya yang kuper (kurang pergaulan) dan kudet (kurang up date), wawasan dan pengalaman yang masih sangat dangkal, serta fakirnya
pemahaman saya akan teater adalah kendala pasti bagi bahasan ini.
Akhirnya,
tulisan ini boleh jadi sebagai wujud harapan saya akan hidupnya nafas teater
modern di Ciamis yang sinambung. Saya sebagai genarasi hijau nan miskin ilmu terpaksa
puas hanya dengan mendengar kisah-kisah nostalgia dari para pendahulu teater
Ciamis, meskipun beberapa jejaknya masih
dapat saya cercap hingga kini. Walau tak sempat sejaman dan terasuh, namun tak
berlebihan kiranya jika saya haturkan terima kasih pada mereka yang lebih dulu
memantik api teater modern di Tatar Galuh ini. Tanpa mereka, barangkali Ciamis
akan benar-benar ada dalam the dark ages.
Saya yakin mereka masih gagah, masih mencintai, dan bersemangat, hanya saja
barangkali usia dan yang turut serta dengannya, membuat mereka memilih wujud
cinta yang lain.
Lihatkah! Sembilan puluh tahun penuh warna.
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi
koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
(bait 9, puisi
Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya karya W. S. Rendra)
Ciamis – Cijulang
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar