Kamis, 13 Oktober 2016

Kematian


Kematian

Berapa yang telah meniggalkan dan berapa yang telah ditinggalkan?

Kematian sebenarnya bukan hal yang aneh, yang luar biasa. Seperti kelahiran, ia biasa-biasa saja sebenarnya. Yang membuatnya jadi luar biasa ialah ketika mereka berdua, kematian dan kelahiran itu, hadir berdekatan dengan kita. Entah mengapa, kita, atau setidaknya aku, harus merasakannya sebagai sesuatu yang luar biasa padahal lahir dan mati sudah ada sejak lama dan aku pun mengenalnya sejak lama pula. Manusia sudah sejak lama mengalami lahir, mengalami mati. Dan tak cuma manusia, tiap yang hidup pasti mengalami dua hal itu. Kelahiran kerap kali diidentikkan dengan kebahagiaan dan sebaliknya kematian bertaut dekat dengan kesedihan. Benarkah demikian adanya? Apakah selalu seperti itu? Selalu saja kematian, yang merupakan keharusan, harus dilebeli dengan sedih dan penderitaan?

Sejak aku tinggal di Rengganis, setidaknya empat kali aku mengantar jenazah sampai ke liang lahat. Pertama adalah tetangga sanggar, Kang Endang Sadur. Meninggalnya terbilang mendadak. Kedua, ibunda dari Bah Wawan, guruku. Ia memang sudah sangat sepuh. Sehari-hari pun ia sering sakit-sakitan dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena tak kuasa berjalan jauh. Ketiga, kakanda dari Bah Wawan, seorang janda tua yang akhir hidupnya ia habiskan mengurusi ibundanya tercinta. Tengah malam ia meninggal. Pagi hari jasadnya baru dikebumikan. Yang terakhir, yang baru saja, Haryawan Raksa Manggala, Arya sapaan akrabnya. Anak cikal Bah Wawan. Usianya baru 20an. Ia meninggal karena kecelakaan. Motornya menabrak pohon di kiri jalan. Ia terpental. Belum sempat bangun, mobil truk pengangkut ayam menggilasnya hingga tubuhnya berantakan. Ia tewas di tempat. Detil kejadiannya masih simpang siur. Nyaris tak ada saksi mata. Kejadiaannya hanya diketahui dengan mengadalkan rekaman CCTV milik RM Mergosari yang kini sudah di tangan Polisi. Jam 00.28 WIB kejadian itu berlangsung menurut rekaman CCTV. Sebenarnya ada satu orang lagi, tapi aku tak turut mengantar jenazahnya. Mang Wiwin namanya, suami Teh Omih. Ia adalah adik ipar Bah Wawan. Kematiannya pun terbilang mendadak. Memang ia sakit-sakitan, namun hari itu, ia tampak biasa saja, tak menunjukan sakit yang teramat sangat. Mendadak ia pingsan. Seketika ia dibawa ke RSUD Ciamis. Selang sejurus saja dokter lantas menyatakan ia meninggal. Kabarnya angin duduk menjadi penyebab kematiannya. Aku sendiri tak begitu paham apa itu angin duduk. Setahuku memang ia punya penyakit jantung, namun bukan itu penyebab kematiannya.

Dua orang yang sebut terakhir, Arya dan Mang Wiwin, yang kematiannya kurasa cukup luar biasa. Barangkali karena mendadak dan juga karena dengan keduanya aku terbilang akrab, terlebih dengan Mang Wiwin. Aku paham betul kebiasaannya tiap subuh. Menyalakan pompa air lantas menunggui anak-anaknya mandi di kamar mandi sanggar. Tak jarang kami berbagi rokok. Atau ia dengan sengaja mengunjungiku di kamar sekedar untuk nonton film di laptopku. Ketika komputer masih terparkir di sanggar, Spider Soliter dan Zuma adalah game favoritnya. Setahun sudah ia meninggalkanku, meninggalkan Teh Omih dan ketiga anaknya, Ari, Fidi, dan Abi. Hampir seminggu setelah ia tiada, aku baru benar-banar sadar bahwa ia memang telah meninggal. Selama seminggu itu, aku sering melihatnya di tempat biasa ia menunggui anak-anaknya mandi, atau di taman depan sanggar, atau di kursi warung tempat biasa ia menyantap masakan buatan istrinya. Ada sedikit sesalku padanya. Tak sempat ku mengantarnya ke liang lahat, ke rumah terakhirnya. Tapi sudah begitu jadinya. Kini, hanya doa yang mampu kuantar buatnya.

Arya, ah, Arya. Aku kenal ia sejak kelas 6 SD. Kami memang tak begitu akrab seperti aku dan adik perempuannya, Novina, yang adalah patnerku menari. Meski ayahnya seorang koreografer namun ia agaknya tak tertarik sama sekali dengan dunia seni tari. Ia lebih akrab dengan sepak bola. Ia pun seorang yang tergolong aktif di masyarakat. Tiap kali ada acara masyarakat semacam 17 Agustusan, atau apa pun, ia hampir tak pernah absen. Kenangan kami tak begitu banyak karena memang jarang jumpa, jarang bersama. Namun meski begitu, seseorang yang kukenal sejak kelas 6 SD pada 2009 kemudian pada 12 Oktober 2016 ia tewas dengan tragis, ini bukan suatu hal biasa yang bisa begitu saja berlalu di ingatan. Sekitar jam setengah dua dini hari kudapat kabarnya dari Bah Wawan. Di penghujung terjaga, di gerbang kantuk, Android-ku berbunyi tanda panggilan masuk. Ada apa Bah Wawan menghubungiku dini hari begini, pikirku. Tangisan histeris meledak diujung telpon seketika sejak baru sejurus ku ucap “Halo”. Bah Wawan menangis setengah berteriak. Ia mengabarkan bahwa Arya menginggal akibat kecelakaan motor. Entah apa yang harus kukatakan selain “Inna Lillahi’ dan “Sabar”. Jangankan menenangkan Bah Wawan, aku pun harus menenangkan diriku sendiri. Berita itu begitu menghajarku ibarat halilitar di cuaca cerah bersinar.

Lalu, apa yang bisa dapatkan dari kisah kematian?

Kita ditinggalkan. Kita kehilangan. Kita tak bisa jumpa lagi dengannya selain dalam mimpi. Melihat foto, video, atau lukisan wajahnya takkan membuat kehendak jumpa terpuaskan, kurasa. Tempat terbaik berjumpa dengan mereka adalah ingatan dan doa.

Pada akhirnya kematian demi kematian akan menghampiri kita sampai akhirnya kita yang dapat giliran meninggalkan yang hidup. Kematian tidak terjadi secara random. Ada kepastian  yang tak kuasa kita tentang. Hanya karena kepastian itu adalah sebuah misteri, maka manusia membuat sekian pengetahuan dan teknologi agar terhindar dari kepastian itu. Ketakutan akan kematian adalah salah satu motovasi besar yang menggerakkan peradaban manusia. Berbagai ilmu lahir disebabkan oleh ketakutan ini. Sekian pemikiran muncul menguak misteri kematian.

Tapi betapa pun itu, kematian adalah musti.


Ciamis, 13 Oktober 2016   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...