Kematian
Berapa yang
telah meniggalkan dan berapa yang telah ditinggalkan?
Kematian sebenarnya
bukan hal yang aneh, yang luar biasa. Seperti kelahiran, ia biasa-biasa saja
sebenarnya. Yang membuatnya jadi luar biasa ialah ketika mereka berdua,
kematian dan kelahiran itu, hadir berdekatan dengan kita. Entah mengapa, kita,
atau setidaknya aku, harus merasakannya sebagai sesuatu yang luar biasa padahal
lahir dan mati sudah ada sejak lama dan aku pun mengenalnya sejak lama pula. Manusia
sudah sejak lama mengalami lahir, mengalami mati. Dan tak cuma manusia, tiap
yang hidup pasti mengalami dua hal itu. Kelahiran kerap kali diidentikkan
dengan kebahagiaan dan sebaliknya kematian bertaut dekat dengan kesedihan. Benarkah
demikian adanya? Apakah selalu seperti itu? Selalu saja kematian, yang
merupakan keharusan, harus dilebeli dengan sedih dan penderitaan?
Sejak aku
tinggal di Rengganis, setidaknya empat kali aku mengantar jenazah sampai ke
liang lahat. Pertama adalah tetangga sanggar, Kang Endang Sadur. Meninggalnya terbilang
mendadak. Kedua, ibunda dari Bah Wawan, guruku. Ia memang sudah sangat sepuh. Sehari-hari
pun ia sering sakit-sakitan dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena
tak kuasa berjalan jauh. Ketiga, kakanda dari Bah Wawan, seorang janda tua yang
akhir hidupnya ia habiskan mengurusi ibundanya tercinta. Tengah malam ia
meninggal. Pagi hari jasadnya baru dikebumikan. Yang terakhir, yang baru saja,
Haryawan Raksa Manggala, Arya sapaan akrabnya. Anak cikal Bah Wawan. Usianya baru
20an. Ia meninggal karena kecelakaan. Motornya menabrak pohon di kiri jalan. Ia
terpental. Belum sempat bangun, mobil truk pengangkut ayam menggilasnya hingga
tubuhnya berantakan. Ia tewas di tempat. Detil kejadiannya masih simpang siur. Nyaris
tak ada saksi mata. Kejadiaannya hanya diketahui dengan mengadalkan rekaman
CCTV milik RM Mergosari yang kini sudah di tangan Polisi. Jam 00.28 WIB
kejadian itu berlangsung menurut rekaman CCTV. Sebenarnya ada satu orang lagi,
tapi aku tak turut mengantar jenazahnya. Mang Wiwin namanya, suami Teh Omih. Ia
adalah adik ipar Bah Wawan. Kematiannya pun terbilang mendadak. Memang ia
sakit-sakitan, namun hari itu, ia tampak biasa saja, tak menunjukan sakit yang
teramat sangat. Mendadak ia pingsan. Seketika ia dibawa ke RSUD Ciamis. Selang sejurus
saja dokter lantas menyatakan ia meninggal. Kabarnya angin duduk menjadi
penyebab kematiannya. Aku sendiri tak begitu paham apa itu angin duduk. Setahuku
memang ia punya penyakit jantung, namun bukan itu penyebab kematiannya.
Dua orang yang
sebut terakhir, Arya dan Mang Wiwin, yang kematiannya kurasa cukup luar biasa. Barangkali
karena mendadak dan juga karena dengan keduanya aku terbilang akrab, terlebih
dengan Mang Wiwin. Aku paham betul kebiasaannya tiap subuh. Menyalakan pompa
air lantas menunggui anak-anaknya mandi di kamar mandi sanggar. Tak jarang kami
berbagi rokok. Atau ia dengan sengaja mengunjungiku di kamar sekedar untuk
nonton film di laptopku. Ketika komputer masih terparkir di sanggar, Spider Soliter dan Zuma adalah game favoritnya. Setahun sudah ia meninggalkanku,
meninggalkan Teh Omih dan ketiga anaknya, Ari, Fidi, dan Abi. Hampir seminggu
setelah ia tiada, aku baru benar-banar sadar bahwa ia memang telah meninggal. Selama
seminggu itu, aku sering melihatnya di tempat biasa ia menunggui anak-anaknya
mandi, atau di taman depan sanggar, atau di kursi warung tempat biasa ia
menyantap masakan buatan istrinya. Ada sedikit sesalku padanya. Tak sempat ku mengantarnya
ke liang lahat, ke rumah terakhirnya. Tapi sudah begitu jadinya. Kini, hanya
doa yang mampu kuantar buatnya.
Arya, ah, Arya.
Aku kenal ia sejak kelas 6 SD. Kami memang tak begitu akrab seperti aku dan
adik perempuannya, Novina, yang adalah patnerku menari. Meski ayahnya seorang
koreografer namun ia agaknya tak tertarik sama sekali dengan dunia seni tari. Ia
lebih akrab dengan sepak bola. Ia pun seorang yang tergolong aktif di
masyarakat. Tiap kali ada acara masyarakat semacam 17 Agustusan, atau apa pun,
ia hampir tak pernah absen. Kenangan kami tak begitu banyak karena memang
jarang jumpa, jarang bersama. Namun meski begitu, seseorang yang kukenal sejak
kelas 6 SD pada 2009 kemudian pada 12 Oktober 2016 ia tewas dengan tragis, ini
bukan suatu hal biasa yang bisa begitu saja berlalu di ingatan. Sekitar jam
setengah dua dini hari kudapat kabarnya dari Bah Wawan. Di penghujung terjaga,
di gerbang kantuk, Android-ku berbunyi tanda panggilan masuk. Ada apa Bah Wawan
menghubungiku dini hari begini, pikirku. Tangisan histeris meledak diujung
telpon seketika sejak baru sejurus ku ucap “Halo”. Bah Wawan menangis setengah
berteriak. Ia mengabarkan bahwa Arya menginggal akibat kecelakaan motor. Entah apa
yang harus kukatakan selain “Inna Lillahi’ dan “Sabar”. Jangankan menenangkan
Bah Wawan, aku pun harus menenangkan diriku sendiri. Berita itu begitu
menghajarku ibarat halilitar di cuaca cerah bersinar.
Lalu, apa yang
bisa dapatkan dari kisah kematian?
Kita ditinggalkan.
Kita kehilangan. Kita tak bisa jumpa lagi dengannya selain dalam mimpi. Melihat
foto, video, atau lukisan wajahnya takkan membuat kehendak jumpa terpuaskan,
kurasa. Tempat terbaik berjumpa dengan mereka adalah ingatan dan doa.
Pada akhirnya
kematian demi kematian akan menghampiri kita sampai akhirnya kita yang dapat giliran
meninggalkan yang hidup. Kematian tidak terjadi secara random. Ada kepastian yang
tak kuasa kita tentang. Hanya karena kepastian itu adalah sebuah misteri, maka
manusia membuat sekian pengetahuan dan teknologi agar terhindar dari kepastian
itu. Ketakutan akan kematian adalah salah satu motovasi besar yang menggerakkan
peradaban manusia. Berbagai ilmu lahir disebabkan oleh ketakutan ini. Sekian pemikiran
muncul menguak misteri kematian.
Tapi betapa pun
itu, kematian adalah musti.
Ciamis, 13
Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar