Perempuan
.................................................
Wanita
dijajah pria sejak dulu
Dijadikan
perhiasan sangkar madu
Namun ada
kala pria tak berdaya
Tekuk
lutut di sudut kerling wanita
Begitulah petikan lirik lagu Sabda Alam karya
Ismail Marzuki yang hingga kini masih sering dinyanyikan dalam berbagai versi.
Bagi Ismail, keberadaan dan hubungan pria dan wanita merupakan sabda alam,
kehendak alam, kehendak Tuhan, dan begitu adanya dan memang sudah begitu adanya. Ini tentu saja bisa
mememiliki banyak interpretasi, dan yang dikemukakan di atas adalah salah satu
tafsir atas teks lirik lagu tersebut, tafsir saya pribadi.
Wanita dalam KBBI berarti perempuan dewasa. Sedang
perempuan, masih menurut KBBI, ialah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat
menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Arti lainnya adalah istri;
bini dan betina (masih menurut KBBI). Sedang masih menurut KBBI, puki adalah kemaluan perempuan.
Barangkali istilah puki untuk mewakili kemaluan perempuan masih agak asing.
Masyarakat kebanyakan masih lebih akrab dengan istilah vagina untuk mewakili
kemaluan perempuan meski menurut kamus besar itu vagina adalah saluran antara
leher rahim dan alat kelamin perempuan; liang senggama pada perempuan. Vagina
adalah bagian dari puki. Namun baiklah, pada tulisan ini saya bukan hendak
membahas terminologi yang merujuk pada alat kelamin perempuan. Saya ingin
sedikit berbagi ihwal perempuan itu sendiri. Ini lebih pada refleksi saya
tentang perempuan. Sudah tentu banyak sekali tulisan yang memuat gagasan besar
tentang perempuan, gagasan-gagasan penting. Refleksi filosofis tentang
perempuan pun sudah banyak dilontar para filsuf. Dan yang tertarik membahas
ihwal perempuan tentu bukan saja manusia yang memiliki puki, tetapi manusia
yang memiliki penis pun punya pandangannya atas parempuan, seperti Ismail
Marzuki, manusia dengan penis, yang menyoal wanita (perempuan) dalam lagunya.
Dulu saya sedikit memandang miring pada perempuan.
Perempuan adalah mahluk lemah, lebih mengedepankan perasaan dari akalnya, cengeng,
manja, dan sekian predikat miring lainnya yang saya sematkan pada perempuan.
Terlebih dalam agama yang saya anut, ada semacam ajaran bahwa lelaki lebih
berhak jadi pemimpin. Ini menambah pandangan miring saya terhadap perempuan. Mungkin
bukan teks agamanya yang keliru, namun saya barangkali yang masih dangkal
pemahaman dalam hal ini. Di lingkungan tempat tinggal saya pun, perempuan tak
banyak memiliki peran penting. Sebatas dapur, kasur, sumur. Sedang jenis
kelamin lainnya, laki-laki, adalah mahluk paling sempurna, superior, lebih dari
perempuan dalam segalanya. Saya agak sulit menghormati perempuan, bahkan
mungkin ibu saya sendiri.
Perjumpaan saya dengan orang-orang, bacaan, dan
peristiwa-peristiwa yang saya lakoni akhirnya membentur pandangan saya itu.
Pandangan yang picik, saya kira. Perempuan, tidak lagi semiring yang saya kira
sebelumnya. Bahkan tidak miring sama sekali. Tegak lurus.
Jika kita lihat perjalanan perempuan sedari lahir
hingga dewasa, setidaknya ada beberapa momentum yang membuat saya memberikan
predikat tangguh dan kagum pada mereka.
Pertama, menstruasi.
Momen ini harus dan pasti dilewati perempuan.
Dalam agama Islam, momentum ini menjadi penanda berawalnya fase akil baligh. Fase utuhnya ia sebagai
muslimah. Terikatlah ia secara utuh dengan hukum-hukum Islam. Ia sudah bukan
anak-anak lagi. Beberapa teman perempuan pernah saya tanyai ihwal momentum ini,
khususnya perasannya. Memang beragam hasil yang saya dapat. Ada yang
biasa-biasa saja. Ada panik, ada yang malu, dan beragam respon lainnya. Menstruasi
ini pula yang konon menjadikan perempuan mendapat posisi inferior dalam
masyarakat. Beberapa pemikiran misoginis memandang perempuan adalah mahluk
kotor karena ia mengeluarkan darah kotor dari tubuhnya, rutin. Perempuan selalu
mengalami masa kotor. Bahkan dalam sebagian aliran agama yang saya anut,
perempuan dalam kondisi menstruasi dilarang masuk tempat ibadah, memegang dan
membaca kitab suci, dan melakukan ibadah-ibadah tertentu karena dipandang kotor
dan tak semestinya mahluk kotor mendekati hal-hal suci semacam kitab suci dan
tempat ibadah. Ini memang bukan keyakinan universal. Banyak pendapat lain
tentang hukum ini dalam agama saya. Menstruasi yang merupakan hal biologis,
alamiah namun memiliki banyak dampak yang jauh kaitannya sama sekali dengan
dasar akarnya.
Pada menstruasi ada istilah PMS, Pre Menstruate Syndrome. Semacam
serangkaian gejala yang biasa hadir menjelang menstruasi. Gejala-gejala yang
menyakitkan serupa rasa nyeri pada
bagian tubuh tertentu, emosi yang tak stabil akibat perubahan hormon, sensitivitas
meningkat, dan ketidaknyamanan lainnya. Sindrom ini tak hanya menyoal fisik
saja, wilayah psikis pun turut terpengaruh karena ada perubahan hormon yang
terjadi pada tubuh perempuan. Setidaknya itulah yang saya ketahui dari beberapa
orang teman perempuan saya dan sedikit pelajaran biologi yang saya lahap ketika
SMA. Saya lantas membayangkan bagaimana jika saya, atau lelaki lainnya, harus
melewati fase ini tiap bulan selama sekitar lebih kurang 30 - 40 tahun.
Sanggupkah kami? Kami, kaum lelaki, yang terkenal memiliki kekuatan fisik lebih
dari perempuan, yang konon memiliki mental baja, keberanian, ketangguhan,
keadilan, kebijaksanaan, dan segala kehebatan lain, sanggupkah? Entahlah.
Imajinasi saya belum cukup canggih untuk menjangkau itu.
Di lain pihak, berkat menstruasi pula manusia
lantas mengembangkan teknologi pembalut wanita, yang kini menjadi bisnis dengan
oplah miliyaran. Ribuan, bahkan jutaan, orang bisa menggantungkan hidup dari
pembalut wanita, dari menstruasi, dari “darah kotor” perempuan. Dari penalaran
sederhana semacam ini saja, masihkan perempuan harus dipandang kotor karena
kehendak alam-nya? Padahal hal itu menjadi pintu penghidupan banyak manusia?
Kedua, proses kelahiran.
Ini hal lain yang menjadikan saya kagum pada kaum
Hawa. 9 bulan lamanya ia musti membawa-bawa janin dalam tubuhnya, mengalami
serangkaian gejala menyakitkan pada bulan-bulan tertentu pada fase
kehamilannya. Perempuan menanggung hasil perbuatan laki-laki dan perempuan
sekaligus. Ia menanggung akibat dari perjumpaan dua manusia. Satu orang
menanggung hasil perbuatan tak hanya dirinya sendiri. Secara alamiah, kehamilan
mustahil terjadi jika tanpa pembuahan, dan pembuahan terjadi lewat hubungan
intim antara laki-laki dan perempuan. Ada keterlibatan orang lain dalam suatu
sebab kehamilan yang akan ditanggung hanya oleh perempuan. Saya katakan secara
alamiah sebab di era tekno sekarang ini, rekayasa kehamilan sangat mungkin
dilakukan melalui tangan-tangan dokter.
Pada fase ini, lagi-lagi tubuh dan psikis
perempuan harus mengalami turbulensi. Dahsyatnya turbulensi pada fase kehamilan
agaknya sudah sangat akrab di masyarakat. Bahkan sering jadi bahan cerita,
candaan, dan kekonyolan. Bagaimana ibu hamil yang menyidam menginginkan hal
yang tak lazim kerap jadi bahan obrolan baik di warung kopi atau dalam suatu
kajian serius.
Usai derita 9 bulan, seorang perempuan musti
menghadapi momen penentuan, melahirkan. Peristiwa dahsyat ini boleh jadi
merupakan hal paling krusial dalam proses kehidupan, kelahiran. Keluarnya bayi
baik via vagina atau operasi sesar, kerap disebut awal kehidupan seorang
manusia. Momentum melahirkan ini sangat penting baik bagi sang perempuan (ibu)
maupun sang anak (bayi). Dua nyawa bertarung hebat dalam peristiwa ini.
Bertarung, sebab ini boleh jadi momen dengan resiko kematian baik bagi ibu,
bayi atau keduanya. Dan pertarungan ini hanya dilakoni oleh perempuan semata.
Laki-laki (ayah) cukup menunggu dan berdo’a, bagi yang percaya do’a.
Melahirkan bukan akhir dari lakon perempuan
sebagai mahluk yang mampu berpreprodusi. Sebagai kelompok mamalia, secara
biologis, ada fase sapih, fase menyusui yang harus dilalui sebagian besar anak
mamalia. Sependek pengetahuan saya, idealnya fase menyusui anak manusia adalah
selama lebih kurang 24 bulan. Ini memang bukan suatu hal yang musti. Dalam
beberapa kebudayaan, ada profesi ibu susu yang bertugas menyusui anak manusia.
Ibu susu ini adalah seorang perempuan, yang bukan ibu biologis si anak, yang
ditugasi menyusui selama fase anak menyusui. Namun di kebudayaan lain,
kenyataan bahwa ibu biologis masih menyusui sendiri anaknya masih bisa kita
jumpai. Terlebih dengan kemajuan ilmu psikologi, konon kegiatan menyusui oleh
ibu biologis ini sangat dianjurkan untuk membentuk alam psikis anak agar kelak
sang anak menjadi manusia yang ajeg.
Ihwal menyusui ini kiranya bisa sangat panjang
dibahas. Jika dilhat dari segi kesehatan si ibu, kegiatan menyusui ini konon
justru bisa membuat si ibu lebih sehat dan bahkan terhindar dari kanker
payudara. Namun meski begitu, banyak pula ibu yang memilih menyusui anaknya
menggunakan susu buatan atau lazim disebut susu formula. Hal ini dilakukannya
entah karena kesadaran atau keterpaksaan.
Menyoal prodak susu buatan, entah berapa merek
susu yang diperuntukan bagi ibu hamil dan menyusui. Entah berapa juta orang
yang menggantungkan hidupnya dari susu ini. Belum lagi dokter dan sekian tenaga
medis lain yang sama menggantungkan hidup dari perempuan hamil, melahirkan, dan
menyusui. Sejak pembalut hingga susu, berapa rupiah, berapa dollar yang
dihasilkan dari tubuh perempuan? Dan dengan tubuhnya yang “berharga” itu,
perempuan masih sering anggap mahluk setengah manusia.
Ketiga, menopause.
Meski kaum berpenis pun mengalami hal semacam ini,
yang biasa disebut Andropause, namun menopause pada perempuan agaknya lebih
signifikan. Sekilas peristiwa berhentinya siklus menstruasi ini bisa saja
terdengar sederhana. Yang biasanya menstruasi kemudian tidak, ringan saja
terdengarnya. Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Berhentinya siklus
menstruasi adalah juga berhentinya produksi sel telur dan merupakan peristiwa
perubahan hormon yang bertahap. Perubahan hormon ini berdampak signifikan bagi
perempuan. Wilayah mental pun turut terdampak oleh hal ini. Mental perempuan
menopause cenderung kurang stabil, sensitif, dan sederet lainnya. Ada semacam
turbulensi pada perempuan ketika masuk tahapan ini, seperti ketika ia masuk
tahap mestruasi.
Dari tiga hal di atas, saya kira sudah cukup
menggambarkan ketangguhan perempuan. Sekian “deirta alamiah” harus dilewati
namun ia masih mampu tersenyum dan menyiapkan sarapan pagi buat anak dan suami.
Masih mampu meniti karier. Masih mampu berkiprah di berbagai bidang meski
dengan berbagai rintangan berbau bias gender.
Dan dari sekian pertistiwa badaniyah perempuan, ia masih harus dibebani secara kultural oleh
sekian lagi tugas-tugas domestik. Hegemoni kaum adam selama sekian ribu tahun
peradaban manusia telah menjadikan perempuan seolah menerima diri mereka
sebagai mahluk lemah tak berdaya. Penerimaan ini akhirnya terartikulasi secara
sadar oleh diri mereka sendiri. Mereka, karena konstruksi sosial, akhirnya mengimani
bahwa diri mereka inferior, mahluk subordinat, manusia kelas dua. Bahasa-bahasa
tertentu cukup menjadi representasi bagaimana perempuan menjadi kaum kedua.
Pada perkembangan kekinian, ketika kesadaran mulai
menyebar menjadi kekuatan komunal, banyak gerakan yang menginginkan perbaikan
nasib kaum perempuan. Kini kita mengenalnya dengan nama umum gerakan feminisme.
Saya tak terlalu membaca feminisme, namun agaknya meski pada tahap awal gerakan ini lahir dari
kesadaran ketertindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan, toh pada
perkembangannya, feminisme menjelma menjadi semacam madzhab pemikiran yang
mampu mewadahi berbagai persoalan, tidak hanya menyeoal perempuan semata, namun
ihwal ketertindasan secara umum.
Perempuanisasi.
Membuat segala sesuatu serba perempuan semisal
majalah perempuan, perkumpulan-perkumpulan khusus perempuan, dan ihwal
perempuan lainnya barangkali adalah upaya membuat konstruksi yang memungkinkan
diri mereka beraktualisasi secara utuh sebagai perempuan. Awalnya saya pikir
upaya ini justru membuat kaum perempuan makin termarginalkan. Perempuanisasi
berbagai hal bisa pula kita pandang sebagai upaya eksklusifikasi. Alih-alih
menuntut kesejajaran, perempuan membuat dunia mereka sendiri, dunia perempuan.
Kaum hawa agaknya lebih memilih membuat segregrasi ketimbang harus menceburkan
diri secara penuh ke dalam “dunia yang sudah ada”, dunia lelaki, dunia
maskulin.
Apakah perempuanisasi adalah wujud
ketidakberdayaan? Wujud kekalahan?
Awalnya saya pikir demikian. Namun belakangan,
saya justru memandang segregasi ini sebagai upaya perlawanan terhadap hegemoni
maskulin. Dunia sudah terlanjur lelaki, maka dekonstruksi kultural boleh jadi
adalah cita-cita final dari perempuanisasi. Pada akhirnya perempuanisasi akan
sirna seiring penerimaan kaum lelaki yang kian wajar pada perempuan. Segregasi
sosial dan politik adam hawa pada akhirnya tak perlu ada. Tak perlu lagi ada
istilah POLWAN (Polisi Wanita) yang bagi saya adalah wujud penindasan melalui
bahasa. Mengapa tak disebut POLISI saja, tanpa perlu ada tambahan wanita?
Apakah ramalan saya ini terlampau ngawur, jika
melihat panjangnya imperium maskulin menguasai dunia ini? Entahlah.
Akhirnya, hari ini saya hanya baru mampu mengagumi
dan menghormati perempuan seyogianya, setidaknya berdasar pencarian serta
keyakinan yang saya imani. Dan saya percaya waktu akan mengajarkan kita banyak
hal. Saya pun tak bosan memperbaiki cara pandang dan gagasan saya akan hal ini.
Tulisan kecil ini hanya refleksi pribadi saya setelah sekian saya mengenal
perempuan.
Ciamis – Tanggerang
September – Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar