Jumat, 14 Oktober 2016

Perempuan


Perempuan

.................................................
Wanita dijajah pria sejak dulu
Dijadikan perhiasan sangkar madu
Namun ada kala pria tak berdaya
Tekuk lutut di sudut kerling wanita

Begitulah petikan lirik lagu Sabda Alam karya Ismail Marzuki yang hingga kini masih sering dinyanyikan dalam berbagai versi. Bagi Ismail, keberadaan dan hubungan pria dan wanita merupakan sabda alam, kehendak alam, kehendak Tuhan, dan begitu adanya dan memang  sudah begitu adanya. Ini tentu saja bisa mememiliki banyak interpretasi, dan yang dikemukakan di atas adalah salah satu tafsir atas teks lirik lagu tersebut, tafsir saya pribadi.

Wanita dalam KBBI berarti perempuan dewasa. Sedang perempuan, masih menurut KBBI, ialah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Arti lainnya adalah istri; bini dan betina (masih menurut KBBI). Sedang masih  menurut KBBI, puki adalah kemaluan perempuan. Barangkali istilah puki untuk mewakili kemaluan perempuan masih agak asing. Masyarakat kebanyakan masih lebih akrab dengan istilah vagina untuk mewakili kemaluan perempuan meski menurut kamus besar itu vagina adalah saluran antara leher rahim dan alat kelamin perempuan; liang senggama pada perempuan. Vagina adalah bagian dari puki. Namun baiklah, pada tulisan ini saya bukan hendak membahas terminologi yang merujuk pada alat kelamin perempuan. Saya ingin sedikit berbagi ihwal perempuan itu sendiri. Ini lebih pada refleksi saya tentang perempuan. Sudah tentu banyak sekali tulisan yang memuat gagasan besar tentang perempuan, gagasan-gagasan penting. Refleksi filosofis tentang perempuan pun sudah banyak dilontar para filsuf. Dan yang tertarik membahas ihwal perempuan tentu bukan saja manusia yang memiliki puki, tetapi manusia yang memiliki penis pun punya pandangannya atas parempuan, seperti Ismail Marzuki, manusia dengan penis, yang menyoal wanita (perempuan) dalam lagunya.

Dulu saya sedikit memandang miring pada perempuan. Perempuan adalah mahluk lemah, lebih mengedepankan perasaan dari akalnya, cengeng, manja, dan sekian predikat miring lainnya yang saya sematkan pada perempuan. Terlebih dalam agama yang saya anut, ada semacam ajaran bahwa lelaki lebih berhak jadi pemimpin. Ini menambah pandangan miring saya terhadap perempuan. Mungkin bukan teks agamanya yang keliru, namun saya barangkali yang masih dangkal pemahaman dalam hal ini. Di lingkungan tempat tinggal saya pun, perempuan tak banyak memiliki peran penting. Sebatas dapur, kasur, sumur. Sedang jenis kelamin lainnya, laki-laki, adalah mahluk paling sempurna, superior, lebih dari perempuan dalam segalanya. Saya agak sulit menghormati perempuan, bahkan mungkin ibu saya sendiri.

Perjumpaan saya dengan orang-orang, bacaan, dan peristiwa-peristiwa yang saya lakoni akhirnya membentur pandangan saya itu. Pandangan yang picik, saya kira. Perempuan, tidak lagi semiring yang saya kira sebelumnya. Bahkan tidak miring sama sekali. Tegak lurus.

Jika kita lihat perjalanan perempuan sedari lahir hingga dewasa, setidaknya ada beberapa momentum yang membuat saya memberikan predikat tangguh dan kagum pada mereka.

Pertama, menstruasi.
Momen ini harus dan pasti dilewati perempuan. Dalam agama Islam, momentum ini menjadi penanda berawalnya fase akil baligh. Fase utuhnya ia sebagai muslimah. Terikatlah ia secara utuh dengan hukum-hukum Islam. Ia sudah bukan anak-anak lagi. Beberapa teman perempuan  pernah saya tanyai ihwal momentum ini, khususnya perasannya. Memang beragam hasil yang saya dapat. Ada yang biasa-biasa saja. Ada panik, ada yang malu, dan beragam respon lainnya. Menstruasi ini pula yang konon menjadikan perempuan mendapat posisi inferior dalam masyarakat. Beberapa pemikiran misoginis memandang perempuan adalah mahluk kotor karena ia mengeluarkan darah kotor dari tubuhnya, rutin. Perempuan selalu mengalami masa kotor. Bahkan dalam sebagian aliran agama yang saya anut, perempuan dalam kondisi menstruasi dilarang masuk tempat ibadah, memegang dan membaca kitab suci, dan melakukan ibadah-ibadah tertentu karena dipandang kotor dan tak semestinya mahluk kotor mendekati hal-hal suci semacam kitab suci dan tempat ibadah. Ini memang bukan keyakinan universal. Banyak pendapat lain tentang hukum ini dalam agama saya. Menstruasi yang merupakan hal biologis, alamiah namun memiliki banyak dampak yang jauh kaitannya sama sekali dengan dasar akarnya.

Pada menstruasi ada istilah PMS, Pre Menstruate Syndrome. Semacam serangkaian gejala yang biasa hadir menjelang menstruasi. Gejala-gejala yang menyakitkan serupa rasa nyeri  pada bagian tubuh tertentu, emosi yang tak stabil akibat perubahan hormon, sensitivitas meningkat, dan ketidaknyamanan lainnya. Sindrom ini tak hanya menyoal fisik saja, wilayah psikis pun turut terpengaruh karena ada perubahan hormon yang terjadi pada tubuh perempuan. Setidaknya itulah yang saya ketahui dari beberapa orang teman perempuan saya dan sedikit pelajaran biologi yang saya lahap ketika SMA. Saya lantas membayangkan bagaimana jika saya, atau lelaki lainnya, harus melewati fase ini tiap bulan selama sekitar lebih kurang 30 - 40 tahun. Sanggupkah kami? Kami, kaum lelaki, yang terkenal memiliki kekuatan fisik lebih dari perempuan, yang konon memiliki mental baja, keberanian, ketangguhan, keadilan, kebijaksanaan, dan segala kehebatan lain, sanggupkah? Entahlah. Imajinasi saya belum cukup canggih untuk menjangkau itu.    

Di lain pihak, berkat menstruasi pula manusia lantas mengembangkan teknologi pembalut wanita, yang kini menjadi bisnis dengan oplah miliyaran. Ribuan, bahkan jutaan, orang bisa menggantungkan hidup dari pembalut wanita, dari menstruasi, dari “darah kotor” perempuan. Dari penalaran sederhana semacam ini saja, masihkan perempuan harus dipandang kotor karena kehendak alam-nya? Padahal hal itu menjadi pintu penghidupan banyak manusia?

Kedua, proses kelahiran.
Ini hal lain yang menjadikan saya kagum pada kaum Hawa. 9 bulan lamanya ia musti membawa-bawa janin dalam tubuhnya, mengalami serangkaian gejala menyakitkan pada bulan-bulan tertentu pada fase kehamilannya. Perempuan menanggung hasil perbuatan laki-laki dan perempuan sekaligus. Ia menanggung akibat dari perjumpaan dua manusia. Satu orang menanggung hasil perbuatan tak hanya dirinya sendiri. Secara alamiah, kehamilan mustahil terjadi jika tanpa pembuahan, dan pembuahan terjadi lewat hubungan intim antara laki-laki dan perempuan. Ada keterlibatan orang lain dalam suatu sebab kehamilan yang akan ditanggung hanya oleh perempuan. Saya katakan secara alamiah sebab di era tekno sekarang ini, rekayasa kehamilan sangat mungkin dilakukan melalui tangan-tangan dokter.

Pada fase ini, lagi-lagi tubuh dan psikis perempuan harus mengalami turbulensi. Dahsyatnya turbulensi pada fase kehamilan agaknya sudah sangat akrab di masyarakat. Bahkan sering jadi bahan cerita, candaan, dan kekonyolan. Bagaimana ibu hamil yang menyidam menginginkan hal yang tak lazim kerap jadi bahan obrolan baik di warung kopi atau dalam suatu kajian serius.

Usai derita 9 bulan, seorang perempuan musti menghadapi momen penentuan, melahirkan. Peristiwa dahsyat ini boleh jadi merupakan hal paling krusial dalam proses kehidupan, kelahiran. Keluarnya bayi baik via vagina atau operasi sesar, kerap disebut awal kehidupan seorang manusia. Momentum melahirkan ini sangat penting baik bagi sang perempuan (ibu) maupun sang anak (bayi). Dua nyawa bertarung hebat dalam peristiwa ini. Bertarung, sebab ini boleh jadi momen dengan resiko kematian baik bagi ibu, bayi atau keduanya. Dan pertarungan ini hanya dilakoni oleh perempuan semata. Laki-laki (ayah) cukup menunggu dan berdo’a, bagi yang percaya do’a.
    
Melahirkan bukan akhir dari lakon perempuan sebagai mahluk yang mampu berpreprodusi. Sebagai kelompok mamalia, secara biologis, ada fase sapih, fase menyusui yang harus dilalui sebagian besar anak mamalia. Sependek pengetahuan saya, idealnya fase menyusui anak manusia adalah selama lebih kurang 24 bulan. Ini memang bukan suatu hal yang musti. Dalam beberapa kebudayaan, ada profesi ibu susu yang bertugas menyusui anak manusia. Ibu susu ini adalah seorang perempuan, yang bukan ibu biologis si anak, yang ditugasi menyusui selama fase anak menyusui. Namun di kebudayaan lain, kenyataan bahwa ibu biologis masih menyusui sendiri anaknya masih bisa kita jumpai. Terlebih dengan kemajuan ilmu psikologi, konon kegiatan menyusui oleh ibu biologis ini sangat dianjurkan untuk membentuk alam psikis anak agar kelak sang anak menjadi manusia yang ajeg.

Ihwal menyusui ini kiranya bisa sangat panjang dibahas. Jika dilhat dari segi kesehatan si ibu, kegiatan menyusui ini konon justru bisa membuat si ibu lebih sehat dan bahkan terhindar dari kanker payudara. Namun meski begitu, banyak pula ibu yang memilih menyusui anaknya menggunakan susu buatan atau lazim disebut susu formula. Hal ini dilakukannya entah karena kesadaran atau keterpaksaan.

Menyoal prodak susu buatan, entah berapa merek susu yang diperuntukan bagi ibu hamil dan menyusui. Entah berapa juta orang yang menggantungkan hidupnya dari susu ini. Belum lagi dokter dan sekian tenaga medis lain yang sama menggantungkan hidup dari perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui. Sejak pembalut hingga susu, berapa rupiah, berapa dollar yang dihasilkan dari tubuh perempuan? Dan dengan tubuhnya yang “berharga” itu, perempuan masih sering anggap mahluk setengah manusia.

Ketiga, menopause.
Meski kaum berpenis pun mengalami hal semacam ini, yang biasa disebut Andropause, namun menopause pada perempuan agaknya lebih signifikan. Sekilas peristiwa berhentinya siklus menstruasi ini bisa saja terdengar sederhana. Yang biasanya menstruasi kemudian tidak, ringan saja terdengarnya. Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Berhentinya siklus menstruasi adalah juga berhentinya produksi sel telur dan merupakan peristiwa perubahan hormon yang bertahap. Perubahan hormon ini berdampak signifikan bagi perempuan. Wilayah mental pun turut terdampak oleh hal ini. Mental perempuan menopause cenderung kurang stabil, sensitif, dan sederet lainnya. Ada semacam turbulensi pada perempuan ketika masuk tahapan ini, seperti ketika ia masuk tahap mestruasi.

Dari tiga hal di atas, saya kira sudah cukup menggambarkan ketangguhan perempuan. Sekian “deirta alamiah” harus dilewati namun ia masih mampu tersenyum dan menyiapkan sarapan pagi buat anak dan suami. Masih mampu meniti karier. Masih mampu berkiprah di berbagai bidang meski dengan berbagai rintangan berbau bias gender.

Dan dari sekian pertistiwa badaniyah perempuan, ia masih harus dibebani secara kultural oleh sekian lagi tugas-tugas domestik. Hegemoni kaum adam selama sekian ribu tahun peradaban manusia telah menjadikan perempuan seolah menerima diri mereka sebagai mahluk lemah tak berdaya. Penerimaan ini akhirnya terartikulasi secara sadar oleh diri mereka sendiri. Mereka, karena konstruksi sosial, akhirnya mengimani bahwa diri mereka inferior, mahluk subordinat, manusia kelas dua. Bahasa-bahasa tertentu cukup menjadi representasi bagaimana perempuan menjadi kaum kedua.

Pada perkembangan kekinian, ketika kesadaran mulai menyebar menjadi kekuatan komunal,  banyak gerakan yang menginginkan perbaikan nasib kaum perempuan. Kini kita mengenalnya dengan nama umum gerakan feminisme. Saya tak terlalu membaca feminisme, namun agaknya  meski pada tahap awal gerakan ini lahir dari kesadaran ketertindasan dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan, toh pada perkembangannya, feminisme menjelma menjadi semacam madzhab pemikiran yang mampu mewadahi berbagai persoalan, tidak hanya menyeoal perempuan semata, namun ihwal ketertindasan secara umum.

Perempuanisasi.
Membuat segala sesuatu serba perempuan semisal majalah perempuan, perkumpulan-perkumpulan khusus perempuan, dan ihwal perempuan lainnya barangkali adalah upaya membuat konstruksi yang memungkinkan diri mereka beraktualisasi secara utuh sebagai perempuan. Awalnya saya pikir upaya ini justru membuat kaum perempuan makin termarginalkan. Perempuanisasi berbagai hal bisa pula kita pandang sebagai upaya eksklusifikasi. Alih-alih menuntut kesejajaran, perempuan membuat dunia mereka sendiri, dunia perempuan. Kaum hawa agaknya lebih memilih membuat segregrasi ketimbang harus menceburkan diri secara penuh ke dalam “dunia yang sudah ada”, dunia lelaki, dunia maskulin.

Apakah perempuanisasi adalah wujud ketidakberdayaan? Wujud kekalahan?

Awalnya saya pikir demikian. Namun belakangan, saya justru memandang segregasi ini sebagai upaya perlawanan terhadap hegemoni maskulin. Dunia sudah terlanjur lelaki, maka dekonstruksi kultural boleh jadi adalah cita-cita final dari perempuanisasi. Pada akhirnya perempuanisasi akan sirna seiring penerimaan kaum lelaki yang kian wajar pada perempuan. Segregasi sosial dan politik adam hawa pada akhirnya tak perlu ada. Tak perlu lagi ada istilah POLWAN (Polisi Wanita) yang bagi saya adalah wujud penindasan melalui bahasa. Mengapa tak disebut POLISI saja, tanpa perlu ada tambahan wanita?

Apakah ramalan saya ini terlampau ngawur, jika melihat panjangnya imperium maskulin menguasai dunia ini? Entahlah.

Akhirnya, hari ini saya hanya baru mampu mengagumi dan menghormati perempuan seyogianya, setidaknya berdasar pencarian serta keyakinan yang saya imani. Dan saya percaya waktu akan mengajarkan kita banyak hal. Saya pun tak bosan memperbaiki cara pandang dan gagasan saya akan hal ini. Tulisan kecil ini hanya refleksi pribadi saya setelah sekian saya mengenal perempuan.


Ciamis – Tanggerang

September – Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...