Waria (I)
Senin dini
hari, saya sampai di stasiun Wonokromo, Surabaya. Waktu itu sekitar jam 2. Tak lama menunggu, kakak ipar saya datang menjemput. Pagi hari, saya
diajak jalan-jalan ke Tugu Pahlawan dan Museum 10 Nopember. Mendengar namanya, sudah
bisa dipastikan apa yang ada di objek wisata itu. Menuju ke lokasi itu, saya di suguhi pemandangan
kota Surabaya yang serba modern. Jalan aspal yang lebar lengkap dengan
kemacetannya, gedung-gedung bertingkat khas perkotaan, pusat perbelanjaan yang
nyaris semua bertuliskan bahasa asing, dan beberapa patung serta monumen
sebagai ciri bahwa dahulu kala di kota ini pernah terjadi pertempuran dahsyat
melawan bangsa asing. Ya, asing yang dulu ditendang dan asing yang kini
disayang.
Selepas isya,
saya kembali diajak
menyusuri kota Bung Tomo itu. Kali ini Lapangan Makodam V Brawijaya adalah tujuan
pertama kami. Sejak sore, lapangan ini sudah mulai dipenuhi para pedagang.
Mereka bersiap menyambut sekian warga Surabaya dan sekitarnya yang hendak berburu
barang khas pasar malam serupa baju, perabotan rumah tangga, aksesoris
perhiasan, dan lainnya yang tentunya serba murah. Atau para orang tua yang
hendak memanjakan anaknya dengan wahana bermain anak-anak yang serba murah
meriah pula. Ini terjadi
tiap malam. Lapangan Makodam V Brawijaya memang punya banyak fungsi. Sejak sore
hingga sekitar jam 10 malam, tempat ini akan berubah menjadi pasar malam. Orang-orang
sekitarnya cukup menyebut dengan “Lapangan Kodam” saja tanpa embel-embel pasar
malam. Sekitar jam 3 dini hari, entah berapa puluh tentara akan membersihkan lapangan luas itu sampai tak
tersisa sedikit pun kotoran dan sampah, dan ini termasuk tugas dinas. Ajaib.
Usai puas
berkeliling Lapangan Kodam, saya diajak keponakan saya menuju Taman Bungkul,
taman kebanggaan walikota Surabaya yang fenomenal itu, ya, Tri Rismaharini. Saya tak terlalu merasakan
kenikmatan taman ini. Barangkali karena saya terlalu sering nongkrong dan begadang
di tempat ramai nan terbuka, jadi suguhan Taman Bungkul malam hari bukan suatu
yang istimewa. Bicara hal istimewa, salah satu yang istimewa dari suatu daerah
adalah kulinernya. Saya memang tak sempat mencicipi banyak kuliner khas
Surabaya, namun yang masih saya ingat adalah ketika kakak saya membelikan panganan rujak cingur.
Sajian makanan yang aneh menurut saya. Ada toge, tahu, dan lontong. Itu bahan
yang memang wajar bila
disajikan bersama, namun jika ketiga itu disatukan dengan mangga muda yang
asam, ini cukup aneh, saya kira. Belum lagi bumbunya yang terbuat dari bahan
dasar udang, membuatnya agak berbau terasi, dan
rasanya cukup tak biasa. Dan
yang membuat saya enggan memakan habis
rujak cingur itu adalah
ketika mengetahui ternyata pada rujak itu ada lidah dan bibir
sapi. Seperti namanya, cingur yang dalam bahasa Indonesia konon berarti mulut,
panganan ini menjagokan lidah dan bibir sapi sebagai bahan utama. Bagi yang
terbiasa, makanan ini barangkali punya kelezatan yang unik. Namun bagi saya
yang baru mencicipi dan tak menyukai
lidah dan bibir sapi, rujak cingur adalah jenis kuliner yang cukup saya
rasakan sekali saja.
Selain objek
wisata dan kuliner
yang yang sudah dijajal, bagi saya Surabaya masih punya keistimewaan lain,
atau lebih tepatnya keunikan, setidaknya ini dari pandangan saya. Adalah Kembang
Kuning, sebuah komplek pemakaman Kristen yang ada di pinggiran Surabaya. Entah
berapa ratus makam yang ada di sana. Penuh sesak, sama seperti rumah-rumah
orang yang masih hidup di kota ini. Saya dan ponakan mengendarai motor. Di kanan-kiri kami berjejal
makam-makam dengan tanda salib. Ada beberapa warung kopi kecilan yang berjualan
di sela antara makam yang masih agak luas. Dan yang membuat saya terheran sekaligus kagum adalah keberadaan
para waria yang menjajakan jasa pelayanan aktivitas seks. Ya, mereka mangkal di
situ, di atas atau di samping makam-makam itu. Satu nisan, satu waria. Malam
itu ada sekitar 5 atau 7 waria yang saya lihat. Sekilas agaknya boleh jadi
pemandangan itu mirip adegan di film-film horor. Tengah malam, para waria
memenuhi pekuburan dengan dandanan cantik dan pewangi tubuh yang menggairahkan.
Masing-masing mereka stand by di nisan yang berlainan. Dan
warung-warung yang saya ceritakan di atas, bukanlah warung kopi biasa. Tentu
saja, warung itu adalah information centrenya. Konon para pemilik warung itu
juga adalah germo bagi para waria tersebut. Selain waria, ada beberapa WPS
(Wanita Penjaja Seks) tampak nongkrong di komplek kuburan itu juga meski hanya
satu dua yang saya lihat. Persoalan di mana mereka “bermain”, saya sama sekali
tidak tahu. Apakah mereka “bermain” di antara kuburan-kuburan itu, atau mencari
tempat lain? Entahlah.
Membicarakan
waria, saya jadi teringat kawan saya, seorang waria. Anggur Sanjaya, namanya.
Mungkin sudah sekitar setahun saya mengenal ketua Srikandi Panjalu (komunitas
waria di Ciamis) ini. Perjumpaan kami
boleh dibilang sengaja. Waktu itu saya sedang mengadakan semacam riset untuk
kepentingan naskah monolog yang rencananya akan saya susun, namun hingga saat
ini naskah itu malah terbengkalai. Awal jumpa,
jujur saja saya menyimpan sedikit rasa takut. Namun seiring pembicaraan yang
hangat dengan Teh Anggur, rasa takut itu hilang dan berubah jadi kekaguman. Teh
Anggur dengan santun dan akrab menjawab semua pertanyaan saya. Semua bayangan
kengerian saya tentang waria sirna sudah. Usai percakapan hingga dini hari itu,
saya jadi teringat pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Stigma yang disematkan
pada waria boleh jadi karena masyarakat tidak sepenuhnya mengenal mereka. Banyak
teman saya yang takut, geli, jijik jika
bertemu dengan waria. Ketika saya bertanya apa alasannya, mereka nyaris tak
bisa menjawab. Inilah salah satu bentuk irasionalitas manusia. Rasa takut,
geli, dan jijik yang saya pikir adalah hasil kontruksi sosial yang terlanjut merembes ke dalam kepala, menjadi fobia yang tak
terjelaskan. Imej waria pun diperburuk oleh tayangan TV yang terlalu berlebihan
menggambarkan sosok waria. Masyarakat pecandu TV akan menerima segala yang
berasal dari kotak elektronik itu sebagai kebenaran tanpa kritik sama sekali.
TV telah mencekoki dan membangun kontuksi ilusif yang kokoh dalam dalam kepala
tentang banyak hal, waria salah satunya.
Dari satu sudut pandang, saya mengacungi jempol
pada para waria. Mereka berani memperjuangkan apa yang mereka yakini secara
penuh dan total. Perjuangann itu pasti bukan tanpa pengorbanan. Seabrek resiko
musti mereka tanggung akibat pilihan ini. Dikucilkan masyarakat, putus hubungan
dengan keluarga dan teman-teman, mendapat stigma negatif, sulit mencari
lapangan pekerjaan, dan masih banyak lagi. Pengucilan masyarakat dan keluarga,
saya kira masih bisa ditolelir. Hanya saja jika negara malah ikut mengucilkan
bahkan melakukan diskriminasi, saya pikir ini bisa jadi perdebatan panjang. Akses
pekerjaan yang sangat terbatas membuat para transgender ini terpaksa harus
menjadi penjaja seks, pengamen, atau paling beruntung kerja di salon. Untuk urusan
penjaja seks, jika banyak yang bertanya apakah ada yang menggunakan jasa
mereka? Tentu ada. Dunia prostitusi berjalan dengan hukum ekonomi, ada yang membutuhkan
maka pasti ada yang menyediakan. Pelanggan waria dikelompokan ke dalam LSL,
lelaki seks lelaki, jika ditilik dari segi aktivitas seksual. Saya sedang tidak
mengomentari waria dan LSL dari sudut kajian ilmiah tertentu atau agama. Saya hanya
menilik persoalan ini dari sudut saya saja, sebagai saya.
Persoalan waria adalah persoalan yang kompleks,
bukan cuma perkara laki-laki yang berubah penampilan jadi perempuan semata.
Berbagai dimensi akan terlibat jika kita hendak menyoal waria ini. Berdasarkan beberapa
percakapan saya dengan Teh Anggur dan beberapa sumber lain, saya mencoba
membuat kronologi perjalan seorang lelaki menuju waria.
Awalnya, pada masa anak-anak, mister x (bukan nama
sebenarnya) merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Sebagai anak lelaki, ia
lebih nyaman jika mencontoh ibu ketimbang ayah, atau kakak perempuan ketimbang
kakak laki-laki. Ia lebih asik melakukan pekerjaan perempuan ketimbang
laki-laki. Ia lebih nyaman membantu ibu memasak ketimbang mencangkul atau
mengurusi kolam bersama ayah. Ia lebih asik bermain boneka ketimbang
mobil-mobilan atau perang-perangan. Ia lebih senang berpose, berlenggak-lenggok
di depan cermin ketimbang hujan-hujanan main bola bersama anak lelaki lainnya. Tentu saja ini
simpulan yang gegabah, namun setidaknya ini bisa menjadi semacam ilustrasi.
Menginjak remaja, ketika hasrat seks mulai
menyeruak, ketertarikan pada sesama jenisnya mulai ia rasakan. Saya kurang
paham apakah ketertarikan ini dalam konteks romantis atau seksual, atau
keduanya. Pada kasus waria, masih menurut Teh Anggur, mister x selain menyimpan
ketertarikan pada sesama jenisnya, ia pun merasa dirinya sebagai perempuan. Ini
bedanya dengan gay. Gay, tertarik pada laki-laki namun merasa diri laki-laki. Sedang
waria, tertarik pada laki-laki dan merasa diri perempuan. Pada waria, feminin
adalah ekspresi gender yang dominan. Sedang pada gay, jejak maskulin masih
dapat terbaca dengan kadar yang berbeda-beda antara satu gay dan yang lain.
Rasa ketertarikan pada sesama jenis ini akan menemui
sebuah persimpangan. Ada dua jalan yang berbeda, dan mister x harus memilih
satu jalan saja. Gay atau transgender (waria)? Jika ketertarikan mister x pada
lelaki dibarengi dengan perasaan diri sebagai perempuan, maka kemungkinan besar
ia akan memilih jalan waria, dan begitu sebaliknya.
Setelah ia menetapkan jalannya, menetapkan
identitasnya, tinggalah ia melakoni hidupnya dengan identitas barunya itu.
Tentang kronologi yang saya tuliskan di atas,
barangkali lebih seperti simpulan yang gegabah, simplifiksi yang bisa jadi terjerumus
pada simpulan yang prematur dan rumpang. Kita masih belum meninjau faktor
psikologis, sosiologis, agama bahkan biologis dalam kaitannya dengan persoalan
ini.
Waria adalah manusia, individu yang padanya ada
kekhasan personal sekaligus kompleksitas,
seperti manusia lain tanpa judul waria. Masih ada segudang kerumitan lain yang semoga bisa saya coretkan di lain
kesempatan.
Kereta Api
Pasundan – Rengganis
18 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar