Rabu, 19 Oktober 2016

WARIA (I)


Waria (I)

Senin dini hari, saya sampai di stasiun Wonokromo, Surabaya. Waktu itu sekitar jam 2. Tak lama menunggu, kakak ipar saya datang menjemput. Pagi hari, saya diajak jalan-jalan ke Tugu Pahlawan dan Museum 10 Nopember. Mendengar namanya, sudah bisa dipastikan apa yang ada di objek wisata itu. Menuju ke lokasi itu, saya di suguhi pemandangan kota Surabaya yang serba modern. Jalan aspal yang lebar lengkap dengan kemacetannya, gedung-gedung bertingkat khas perkotaan, pusat perbelanjaan yang nyaris semua bertuliskan bahasa asing, dan beberapa patung serta monumen sebagai ciri bahwa dahulu kala di kota ini pernah terjadi pertempuran dahsyat melawan bangsa asing. Ya, asing yang dulu ditendang dan asing yang kini disayang.

Selepas isya, saya kembali diajak menyusuri kota Bung Tomo itu. Kali ini Lapangan Makodam V Brawijaya adalah tujuan pertama kami. Sejak sore, lapangan ini sudah mulai dipenuhi para pedagang. Mereka bersiap menyambut sekian warga Surabaya dan sekitarnya yang hendak berburu barang khas pasar malam serupa baju, perabotan rumah tangga, aksesoris perhiasan, dan lainnya yang tentunya serba murah. Atau para orang tua yang hendak memanjakan anaknya dengan wahana bermain anak-anak yang serba murah meriah pula. Ini terjadi tiap malam. Lapangan Makodam V Brawijaya memang punya banyak fungsi. Sejak sore hingga sekitar jam 10 malam, tempat ini akan berubah menjadi pasar malam. Orang-orang sekitarnya cukup menyebut dengan “Lapangan Kodam” saja tanpa embel-embel pasar malam. Sekitar jam 3 dini hari, entah berapa puluh tentara akan membersihkan lapangan luas itu sampai tak tersisa sedikit pun kotoran dan sampah, dan ini termasuk tugas dinas. Ajaib.

Usai puas berkeliling Lapangan Kodam, saya diajak keponakan saya menuju Taman Bungkul, taman kebanggaan walikota Surabaya yang fenomenal itu, ya, Tri Rismaharini. Saya tak terlalu merasakan kenikmatan taman ini. Barangkali karena saya terlalu sering nongkrong dan begadang di tempat ramai nan terbuka, jadi suguhan Taman Bungkul malam hari bukan suatu yang istimewa. Bicara hal istimewa, salah satu yang istimewa dari suatu daerah adalah kulinernya. Saya memang tak sempat mencicipi banyak kuliner khas Surabaya, namun yang masih saya ingat adalah ketika kakak saya membelikan panganan rujak cingur. Sajian makanan yang aneh menurut saya. Ada toge, tahu, dan lontong. Itu bahan yang memang wajar bila disajikan bersama, namun jika ketiga itu disatukan dengan mangga muda yang asam, ini cukup aneh, saya kira. Belum lagi bumbunya yang terbuat dari bahan dasar udang, membuatnya agak berbau terasi, dan rasanya cukup tak biasa. Dan yang membuat saya enggan memakan habis rujak cingur itu adalah ketika mengetahui ternyata pada rujak itu ada lidah dan bibir sapi. Seperti namanya, cingur yang dalam bahasa Indonesia konon berarti mulut, panganan ini menjagokan lidah dan bibir sapi sebagai bahan utama. Bagi yang terbiasa, makanan ini barangkali punya kelezatan yang unik. Namun bagi saya yang baru mencicipi dan tak menyukai lidah dan bibir sapi, rujak cingur adalah jenis kuliner yang cukup saya rasakan sekali saja.

Selain objek wisata dan kuliner yang yang sudah dijajal, bagi saya Surabaya masih punya keistimewaan lain, atau lebih tepatnya keunikan, setidaknya ini dari pandangan saya. Adalah Kembang Kuning, sebuah komplek pemakaman Kristen yang ada di pinggiran Surabaya. Entah berapa ratus makam yang ada di sana. Penuh sesak, sama seperti rumah-rumah orang yang masih hidup di kota ini. Saya dan ponakan mengendarai motor. Di kanan-kiri kami berjejal makam-makam dengan tanda salib. Ada beberapa warung kopi kecilan yang berjualan di sela antara makam yang masih agak luas. Dan yang membuat saya terheran sekaligus kagum adalah keberadaan para waria yang menjajakan jasa pelayanan aktivitas seks. Ya, mereka mangkal di situ, di atas atau di samping makam-makam itu. Satu nisan, satu waria. Malam itu ada sekitar 5 atau 7 waria yang saya lihat. Sekilas agaknya boleh jadi pemandangan itu mirip adegan di film-film horor. Tengah malam, para waria memenuhi pekuburan dengan dandanan cantik dan pewangi tubuh yang menggairahkan. Masing-masing mereka stand by di nisan yang berlainan. Dan warung-warung yang saya ceritakan di atas, bukanlah warung kopi biasa. Tentu saja, warung itu adalah information centrenya. Konon para pemilik warung itu juga adalah germo bagi para waria tersebut. Selain waria, ada beberapa WPS (Wanita Penjaja Seks) tampak nongkrong di komplek kuburan itu juga meski hanya satu dua yang saya lihat. Persoalan di mana mereka “bermain”, saya sama sekali tidak tahu. Apakah mereka “bermain” di antara kuburan-kuburan itu, atau mencari tempat lain? Entahlah.

Membicarakan waria, saya jadi teringat kawan saya, seorang waria. Anggur Sanjaya, namanya. Mungkin sudah sekitar setahun saya mengenal ketua Srikandi Panjalu (komunitas waria di Ciamis) ini. Perjumpaan kami boleh dibilang sengaja. Waktu itu saya sedang mengadakan semacam riset untuk kepentingan naskah monolog yang rencananya akan saya susun, namun hingga saat ini naskah itu malah  terbengkalai. Awal jumpa, jujur saja saya menyimpan sedikit rasa takut. Namun seiring pembicaraan yang hangat dengan Teh Anggur, rasa takut itu hilang dan berubah jadi kekaguman. Teh Anggur dengan santun dan akrab menjawab semua pertanyaan saya. Semua bayangan kengerian saya tentang waria sirna sudah. Usai percakapan hingga dini hari itu, saya jadi teringat pepatah “tak kenal maka tak sayang”. Stigma yang disematkan pada waria boleh jadi karena masyarakat tidak sepenuhnya mengenal mereka. Banyak teman saya yang takut, geli, jijik jika bertemu dengan waria. Ketika saya bertanya apa alasannya, mereka nyaris tak bisa menjawab. Inilah salah satu bentuk irasionalitas manusia. Rasa takut, geli, dan jijik yang saya pikir adalah hasil kontruksi sosial yang terlanjut merembes ke dalam kepala, menjadi fobia yang tak terjelaskan. Imej waria pun diperburuk oleh tayangan TV yang terlalu berlebihan menggambarkan sosok waria. Masyarakat pecandu TV akan menerima segala yang berasal dari kotak elektronik itu sebagai kebenaran tanpa kritik sama sekali. TV telah mencekoki dan membangun kontuksi ilusif yang kokoh dalam dalam kepala tentang banyak hal, waria salah satunya.     

Dari satu sudut pandang, saya mengacungi jempol pada para waria. Mereka berani memperjuangkan apa yang mereka yakini secara penuh dan total. Perjuangann itu pasti bukan tanpa pengorbanan. Seabrek resiko musti mereka tanggung akibat pilihan ini. Dikucilkan masyarakat, putus hubungan dengan keluarga dan teman-teman, mendapat stigma negatif, sulit mencari lapangan pekerjaan, dan masih banyak lagi. Pengucilan masyarakat dan keluarga, saya kira masih bisa ditolelir. Hanya saja jika negara malah ikut mengucilkan bahkan melakukan diskriminasi, saya pikir ini bisa jadi perdebatan panjang. Akses pekerjaan yang sangat terbatas membuat para transgender ini terpaksa harus menjadi penjaja seks, pengamen, atau paling beruntung kerja di salon. Untuk urusan penjaja seks, jika banyak yang bertanya apakah ada yang menggunakan jasa mereka? Tentu ada. Dunia prostitusi berjalan dengan hukum ekonomi, ada yang membutuhkan maka pasti ada yang menyediakan. Pelanggan waria dikelompokan ke dalam LSL, lelaki seks lelaki, jika ditilik dari segi aktivitas seksual. Saya sedang tidak mengomentari waria dan LSL dari sudut kajian ilmiah tertentu atau agama. Saya hanya menilik persoalan ini dari sudut saya saja, sebagai saya.

Persoalan waria adalah persoalan yang kompleks, bukan cuma perkara laki-laki yang berubah penampilan jadi perempuan semata. Berbagai dimensi akan terlibat jika kita hendak menyoal waria ini. Berdasarkan beberapa percakapan saya dengan Teh Anggur dan beberapa sumber lain, saya mencoba membuat kronologi perjalan seorang lelaki menuju waria.

Awalnya, pada masa anak-anak, mister x (bukan nama sebenarnya) merasa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Sebagai anak lelaki, ia lebih nyaman jika mencontoh ibu ketimbang ayah, atau kakak perempuan ketimbang kakak laki-laki. Ia lebih asik melakukan pekerjaan perempuan ketimbang laki-laki. Ia lebih nyaman membantu ibu memasak ketimbang mencangkul atau mengurusi kolam bersama ayah. Ia lebih asik bermain boneka ketimbang mobil-mobilan atau perang-perangan. Ia lebih senang berpose, berlenggak-lenggok di depan cermin ketimbang hujan-hujanan main bola  bersama anak lelaki lainnya. Tentu saja ini simpulan yang gegabah, namun setidaknya ini bisa menjadi semacam ilustrasi.

Menginjak remaja, ketika hasrat seks mulai menyeruak, ketertarikan pada sesama jenisnya mulai ia rasakan. Saya kurang paham apakah ketertarikan ini dalam konteks romantis atau seksual, atau keduanya. Pada kasus waria, masih menurut Teh Anggur, mister x selain menyimpan ketertarikan pada sesama jenisnya, ia pun merasa dirinya sebagai perempuan. Ini bedanya dengan gay. Gay, tertarik pada laki-laki namun merasa diri laki-laki. Sedang waria, tertarik pada laki-laki dan merasa diri perempuan. Pada waria, feminin adalah ekspresi gender yang dominan. Sedang pada gay, jejak maskulin masih dapat terbaca dengan kadar yang berbeda-beda antara satu gay dan yang lain.

Rasa ketertarikan pada sesama jenis ini akan menemui sebuah persimpangan. Ada dua jalan yang berbeda, dan mister x harus memilih satu jalan saja. Gay atau transgender (waria)? Jika ketertarikan mister x pada lelaki dibarengi dengan perasaan diri sebagai perempuan, maka kemungkinan besar ia akan memilih jalan waria, dan begitu sebaliknya.

Setelah ia menetapkan jalannya, menetapkan identitasnya, tinggalah ia melakoni hidupnya dengan identitas barunya itu.

Tentang kronologi yang saya tuliskan di atas, barangkali lebih seperti simpulan yang gegabah, simplifiksi yang bisa jadi terjerumus pada simpulan yang prematur dan rumpang. Kita masih belum meninjau faktor psikologis, sosiologis, agama bahkan biologis dalam kaitannya dengan persoalan ini.

Waria adalah manusia, individu yang padanya ada kekhasan personal sekaligus  kompleksitas, seperti manusia lain tanpa judul waria. Masih ada segudang kerumitan  lain yang semoga bisa saya coretkan di lain kesempatan.

Kereta Api Pasundan – Rengganis
18 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...