I
Hingga saat
kemarin, sudah delapan produksi teater indoor yang kulakoni bersama TTMC,
kelomok teater yang kudirikan bersama Gusjur Mahesa, Zibod Panyawungan, dan Nko
Kusnandi. Kami berempat merencanakan embrio kelompok ini sejak di Bandung, November
2009. Waktu itu kami sedang terlibat sebuah garapan teater dalam rangka
mengenang 100 hari wafatnya W. S. Rendra, lakon Kisah Perjuangan Suku Naga. Di
sela penggarapan, Gusjur melontar keinginanya untuk menyutradari teater di
Ciamis. Tujuannya buat mengikuti Festival Drama Basa Sunda. Ia barangkali ingin
menjajal kemampuannya. Menggarap teater di Bandung dan jadi juara, itu bukan
suatu yang istimewa sebab di Bandung segala hal kebutuhan teater sudah banyak
tersedia. Aktor-aktor handal, penata artistik, musik, lampu, kostum, make up,
dan lainnya kebutuhan teater sudah sangat bertebaran. Teater bukanlah hal asing
di sana. Sedang Ciamis masihlah hutan belantara untuk teater.
Selain bercakap
dengan kami bertiga, Gusjur ternyata bercakap dengan kawan lain di Ciamis.
Hasilnya terkumpulah kami bertiga, Salim, Jaro X Yus, Wida Waridah, Tatang
Kentang, Ipah Latifah (yang kini istri Nur JM), Devi, dan Didon Nurdani.
Ditambah Pa Iyan dan Teh Yani (Almh) yang masuk di tengah jalan. Kang Didon pun
sebenarnya tidak terlibat sejak awal. Ia mengantikan posisi Bah Ugih yang urung
terlibat dalam produksi perdana kami. Ada pula Kang Dian, saudara Bah Ugih,
yang sama mengundurkan diri. Ahmad Greg datang menyusul memperkuat divisi
musik. Ia didaulat sebagai penata musik. Teguh adalah nama lain yang menyususl
belakangan. Pa Imank dengan apik mendokumentasi pertunjukan kami yang digelar
di Rengganis, Jumat dan Sabtu, 5 & 6 Maret 2010. Ada pula Kang Bayu dari
Banjar TV yang mendokumentasikan dan menyiarkannya di stasiun TV yang ia
pimpin. Selain nama-nama di atas, Kang Nur JM, Kang Toni, Teh Anggie, Ogie, dan
beberapa kawan lain pun turut membantu meski bukan sebagai pemain.
Waktu itu, tempat
latihan kami berpindah-pindah. Sekali waktu kami latihan di kantor Kelurahan Sindangrasa,
yang dekat dengan kosan Teh Wida dan Kang Toni. Teh Wida sempat mengundurkan
diri karena rahimnya mengandung jabang bayi yang kelak akan dinamai Iqbal. Ini
hamil pertamanya. Ia sempat menghilang selama hampir satu bulan dan selama
mencari penggantinya, aku menjadi pemeran Nini Odih berpasang dengan Kang Didon
yang memerankan Aki Onay. Namun mungkin karena iba, atau karena tak rela naskah
suaminya “diacak-acak”, akhirnya Teh Wida kembali bergabung sambil ia
mengandung jabang bayi.
Selain kantor
Kelurahan Sindangrasa, kantor Galuh TV pun pernah kami jadikan tempat latihan,
meski sebatas hanya pada proses reading saja. Pernah pula kami latihan di GOR
Koperasi Tumbal, samping kantor Polsek Ciamis. Untuk penggarapan bloking, kami
lebih sering latihan di Padepokan Seni Budaya Rengganis. Latihan kami yang
nomaden bukan tanpa alasan. Ada motif politis di balik langkah-langkah seorang
Gusjur Mahesa. Gusjur sengaja mengunjungi banyak tempat buat menyambungkan tali
energi, juga menjaga hubungan baik dengan semua pihak, sebab keberadaannya yang
terhitung baru di Ciamis harus ia mulai dengan langkah yang baik. Sowan.
Jangankan berbicara sebuah kelahiran kelompok teater, teaternya saja masih
sangat asing di Ciamis ini. Atas pertimbangan ini maka Gusjur dan kami rajin
sowan ke berbagai tempat. Dengan langkah ini, kehadiran teater diharapkan akan
diterima dengan baik. Melelahkan? Pastinya. Namun berkat itu pula,
silaturrahiem itu masih berdampak hingga hari ini, setelah 6 tahun TTMC berdiri
dan terus berkarya.
Selain tempat
latihan yang nomaden, jika dilihat komposisi pasukan yang tergabung, Gusjur
seolah mencoba menyatukan berbagai polar yang selama ini cenderung terpisah-pisah,
jika tidak dikatakan bertolak belakang. Ia mencoba mencairkan kebekuan yang
sejak lama terjadi, entah karena apa. Aku yang masih hijau ini kadang bingung
jika musti terseret polaritas warisan sepuh yang terlanjur jadi normalitas. Langkah-langkah
pembentukan kelompok dan pemilihan tempat latihan buatku sarat motif politik.
Nadi silaturrahiem coba untuk didenyutkan kembali lewat teater. Sebuah tujuan mulia, namun.....
Tindakan Gusjur
bukan tanpa resiko. Karena komposisi pasukan yang beragam dan tak saling kenal
sebelumnya, kekakuan, saling raba, saling curiga, bahkan benturan tak bisa terhindar.
Namun bukan proses teater namanya jika tanpa konflik, bukankah konflik adalah
hakekat drama? Sekian konflik itu akhirnya terbalas Piala Juara Umum FDBS 2010.
TTMC dengan lakon Bandéra! Bandéra! Bandéra! berhasil menyabet Juara Umum
dengan Teh Wida sebagai Aktris Pinunjul dikala usia kandungannya 4 bulan,
Gusjur Mahesa sebagai Sutradara Pinunjul, dan pementasan kami diganjar Pémentasan
Pinunjul I usai kami tempur di Rumentangsiang pada 8 Maret 2010.
II
Konsekuansi
dari kemenangan TTMC di FDBS adalah kami harus kembali mengikuti kompetisi
teater di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Festival Kesenian Nasional
Teater Remaja. Acara ini diadakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
RI. Acara plat merah yang agak aneh. Pesertanya merupakan perwakilan dari tiap
propinsi se-Indonesia, dan kami mewakili Jawa Barat.
Karena
terbentur aturan yang membatasi usia para aktor, maka TTMC musti merombak
pasukan. Khusus aktor, pasukan senior sudah pasti tak bisa ikut bertempur. Di
pasukan remaja ini, yang tersisa dari pertempuran lama hanya aku, Devi, dan Salim. Bahkan awalnya Salim pun
sempat menolak bergabung sebab ia harus bekerja menuruti perintah keluarga.
Namun, karena pekerjaan yang dijanjikan tak kunjung tiba, Salim kembali
memperkokoh pasukan kedua ini. Selain kami bertiga, ada Fahmi, Dewa, Arif,
Desi, Dela, Imin, Imam, dan Yoga. Kang Zibod absen untuk garapan kali ini sebab
harus merawat ibunda tercinta yang sudah udzur dan sakit-sakitan. Meski para
senior tak andil berakting, namun mereka masih memperkokoh pasukan di lini
lain. Kang Didon di multimedia, Kang Iyus di stage manager, Kang Toni, dan
lainnya masih turut membantu. Teh Neng Peking dimintai bantuan sebagai penata
gerak dan make up. Pada garapan pertama pun, beliau memperkokoh lini make up. Kang
Nko masih setia mendampingi di tata cahaya. Ahmad Greg tak sempat ikut
berproses namun pada keberangkatan ke Jakarta, ia turut serta dan memberi
beberapa masukan. Ada pula Doni M. Noor, Wa Uty, dan Gondres yang ikut bersama
kami ke TMII. Selain beliau-beliau itu, ada juga kawan Gusjur yang membantu di
sana.
Garapan ini
terbilang yang paling royal dari segi materi. Untuk biaya produksi dan
lain-lain, kami dibekali 63 juta dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar.
Sebagian besar Gusjur alokasikan untuk honorarium dan mengantar rezeki ke sana
ke mari. Sepulang dari kompetisi yang aneh itu, kami pentas pula di CCL Bandung
dan Gedung Kesenian Tasik.
Kami membawa
lakon Seribu Sang Saka yang merupakan adaptasi dari Bandéra! Bandéra! Bandéra!.
Lakon berbahasa Indonesia yang sangat aneh dan janggal kurasa. Gusjur sendiri
yang mengadaptasinya. Pertama kumembacanya, aneh sekali, serasa bukan bahasa
yang natural. Aku sempat memprotes namun Gusjur dengan santai berkata “Itu
karena kamu belum biasa.”
Sebelum pentas
di Jakarta pada 2 November 2010, lebih dulu kami pentas di Aula KODIM Ciamis
pada 26 – 28 Oktober 2010. 4 hari kami pentas,. Kami bekerjasama dengan KODIM
karena materi lakon yang menyoal nasionalisme juga karena waktu pentas yang
berdekatan dengan peringatan Hari Pahlawan.
Di garapan
kedua ini, Gusjur menumpahkan nyaris seluruh ilmu Bengkel Teater Rendra-nya,
barangkali. Kami, yang mayoritas adalah mualaf teater, harus belajar gerayang rogo, gerayang dunyo, gerayang
sukmo, dasar silat Bangau Putih, dan bermacam meditasi lainnya. Metode latihan dan penyutradaraan pun
cenderung otoriter. Gusjur bertransformasi menjadi mahluk mengerikan yang tak
sepi dari bentak membentak dengan selingan lontaran nama-nama hewan. Ini
terjadi ketika hari makin dekat menjelang keberangkatan kami ke Jakarta. Selain
bentakan, kami juga diajarkan filosofi-filosofi ihwal kehidupan. Bagiku sendiri,
banyak hal yang bisa dipetik dari garapan itu, entah yang lain.
Puncak kegilaan
Gusjur ialah ketika sehari menjelang pementasan di Jakarta. Kami dimarahi
habis-habisan. Kami dicaci-maki dan sentuhan fisik tak terelakkan. Bagi Gusjur,
itu adalah saat yang tepat untuk ledakan puncak, untuk menggenjot semangat dan
jiwa pasukan. Namun kiranya perhitungan itu keliru, setidkanya buatku. Saat
berada di panggung, aku malah tegang dan fokusku kabur. Sangat jauh dari kata
menikmati peran, menikmati permainan, menikmati pertunjukan. Aku ibarat tentara
kacangan yang terjun tempur ke PD II. Meski kita tak punya kesalahan,
menyanggah Gusjur adalah petaka. Saat itu, menjadi pintar atau dungu sama saja
di hadapan Gusjur, sama-sama dibentak. Usai pementasan, baru kupahami, yang
dilakukan Gusjur boleh jadi merupakan wujud totalitasnya mengejar tujuan,
mengejar victory dalam sebuah
pertempuran.
Bencana dan
keberuntungan sama saja, kata Rendra. Sesaat setelah garapan berakhir, aku,
Salim, dan Imam mendapat materi ekstra dari Gusjur. Kami berempat berlatih di
pantai Madasari, Cimerak. Di sanalah ia memuntahkan sisa ilmu yang tak sempat
ia berikan saat garapan. Ia mengajak kami memahami dan menghayati alam. Kami
diajarkan menyapa alam, menyapa diri, menyapa Tuhan dengan cara yang belum
pernah kami dapati di sekolah-sekolah agama. Ia menjelaskan banyak hal termasuk
filosofi Tri Puroso, filosofi “tiga
gunung memeluk rembulan”, dan banyak hal lain.
III
Produksi
berikutnya adalah ketika TTMC harus mempertanggungjawabkan Piala Juara Umum
yang merupakan piala bergilir. Karena kami adalah juara umum FDBS 2010, pada
FDBS kategori umum berikutnya kami musti kembali bertanding dengan dua pilihan
: mempertahankan gelar atau melepasnya. 2012 kami kembali mengikuti FDBS, tanpa
Gusjur Mahesa. Kesibukannya sebagai dosen dan hal lain membuatnya lebih memilih
menyutradarai di Bandung. Tak tanggung-tanggung, 3 kelompok sekaligus ia
sutradarai dan tak satu pun piala yang nyangkut di tangannya, jika aku tak
salah mengingat. Sedang TTMC hanya diganjar nominasi artistik pinunjul saja.
Awal garapan,
kami kebingungan luar bisa ihwal siapa yang akan menyutradarai untuk produksi
kali ini. Kursi sutradara ditawarkan pada beberapa nama hingga akhirnya
jatuhlah pilihan pada Kang Didon Nurdani. Aku sendiri masih jauh dari kata
mumpuni. Aku yang seorang mualaf teater ini, jangankan menyutradari sebuah
pertunjukan teater, mencicipi panggung saja masih bisa dihitung jari. Entah
terpaksa atau dengan lapang dada, Kang Didon akhirnya mau menyutradari. Lakon
Kawin Ucing jadi pilihan untuk bertempur di Rumentangsiang. Zibod kembali
memperkuat pasukan TTMC di wilayah artistik.
Usai dari
Gusjur yang sedemikian perangainya, beralih ke Didon yang berlainan sangat. Aku
pribadi cukup berat menyesuaikan diri. Ritme yang lahir sangat berbeda dan aku
sekuat tenaga menyesuaikan meski dengan terpontang-panting penuh luka. Yang
tersisa dari produksi ke dua hanya aku, Salim, Imam, dan Yoga saja. Yang lain
entah kemana. Belakangan ada Dewa yang membantu sebagai “pemain cahaya kucing”
bersama kawannya, Diki. Dinar, Dewi, Sintia, dan Diki A. adalah segenap pemain
baru yang tergabung dalam pasukan Kawin Ucing. Aku tak mampu menghindar dari
polaritas. Ada blok-blok yang terbangun karena ritme yang tak kunjung harmonis.
Aku, Salim, Imam, dan Zibod v.s. yang lain. Ku lihat Yoga masih lebih memilih
netral meski akhirnya terseret dalam “kubu anak lama” di penghujung proses. Waktu
itu, aku dan kawan sekubu adalah pencercap masa silam yang belum pandai berdialog
dengan mentalitas masa kini. Kubu anak lama makin solid karena kami berempat
tinggal satu atap di kosan Imam di Sindangrasa. Banyak kegelisan kami yang
gagap tersampaikan saat latihan malah tumpah di kosan itu.
Bah Wawan, sang
pemilik Rengganis, kali pertama terlibat dalam produksi TTMC, setelah dua
produksi ia hanya menjadi penonton. Kang Didon mempercayakan ihwal tata rias
padanya. Sedang Nko Kusnandi, guruku yang lain, absen untuk garapan kali ini.
Zibod sepertinya lebih menikmati kesendiriannya ketimbang musti bermitra dengan
Kang Nko, meski ada pertimbangan lain selain sentimen pribadi. Zibod juga
barangkali ingin menguji kemampuannya di wilayah tata cahaya. Bagi Zibod,
panggung adalah laboratorium dan tiap proses garapan teater adalah eksperiemen,
eksperimen yang pondasi besarnya adalah intuisi.
Namun sebuah
pengaturan produksi teater tak bisa hanya bertumpu pada intuisi belaka,
terlebih menentukan tempat pentas. Dan untuk kali ini kami pentas di beberapa
tempat. Rengganis pada 16 – 21 Februari, Aula MAN 2 Ciamis pada 24 Februari, GOR
di Cipaku pada 28 – 29 Februari, dan Auditorium UNIGAL pada 2 Maret 2016. Ini
dalam rangka mencari ongkos buat kami berangkat ke Bandung. 12 Maret 2016 kami
pentas di Rumentangsiang. Banyak panggung yang kami sambangi, namun aku tetap
saja tak bergairah, padahal aku yang memegang kendali manajemen sekaligus
menjadi aktor utama.
Aku sendiri
masih sering bermasalah dengan diriku sendiri, seperti saat ini. Jangankan
mendalami tokoh, dengan karakter tokohnya pun aku menolak. Aku membenci
karakter tokoh yang kumainkan. Dan kebencian itu menjadi benteng kokoh sukar
terjangkau, jangankan alam batin tokoh, alam lahirnya pun aku tak sanggup. Aku
belum mampu jadi tanah lempung. Namun justru dari lakon inilah aku belajar
menahan, belajar patuh pada teks serta pakem pemeranan realis. Hal yang belum
pernah kulakukan secara penuh sebelumnya.
IV
Pasukan yang
tersisa dari puing-puing pertempuran hanya aku, Salim, Imam, dan Yoga. Kang
Zibod tak lagi bisa bergabung, hingga saat ini. Zibod Panyawungan adalah satu
dari sedikit seniman idealis yang kukenal. Belum pernah kutemukan yang macam
begitu lagi di hutan belantara teater daerah macam Ciamis. Aku pun jauh dari
kata idealis macam demikian. Totalitasnya sering membuatku malu. Dengan usianya
yang jauh lebih tua dariku, totalitasnya masih membara bak api abadi. Aku
banyak belajar banyak darinya, tentang seni dan kehidupan.
Aku dan tiga
kawan lain lantas berniat untuk mementaskan sebuah lakon tanpa kepentingan
lomba. TTMC harus terbebas dari predikat teater festival, yang berproduksi
untuk kepentingan lomba saja. Ini tidak sehat, kurasa. Mengapa berkarya harus
untuk selalu beradu? Tidak adakah motivasi lain selain kompetisi? Nyatanya,
ada. Dan kami, aku dan tiga kawan itu, sepakat berproses. Itulah kali perdana
aku menyutradarai di TTMC. Aku sutradara dan Salim penata artistiknya. Itu judul
kerennya saja, sebenarnya tidak demikian. Karena kekurangan pemain, kami
mencari orang lain yang tertarik bergabung dan bersedia berproses. Fany Triani,
Lilis, Ahmad, Dita, dan Winardi adalah orang baru yang tergabung dalam produksi
ke empat TTMC. Teh Wida bersedia membantu di wilayah pemeranan. Ia tergabung
menjadi aktris untuk tokoh Istri Camat yang tak bicara sepatah pun karena
naskah mengguratkan demikian. Ia terkisahkan bisu. Sedang Bah Wawan masih setia
membantuku di lini tata rias. Tatang Kentang turut membantu di wilayah musik
sebagai pemusik.
Aku jatuh hati
pada naskah Nagara Angar karya Dadan Sutisna. Satir nan imajinatif. Aku
memandangnya sebagai surrealisme dan bentuk pertunjukannya pun aku arahkan
demikian. Lagi-lagi itu judul kerennya, biar tak begitu nampak bodohnya aku,
maka istilah-istilah asing begitu aku sematkan dalam konsep. Sekedar agar
nampak pintar saja, padahal aku masih sangat primitif dan dungu ihwal teater,
hingga kini. Bahkan motivasiku menuliskan kisah TTMC ini adalah karena aku baru
menyadari ternyata aku tak berguna, dungu, dan hanya modal bacot saja.
Nagara Angar
kurencanakan akan keliling ke desa-desa di Ciamis. Judul kegiatannya “TTMC Saba
Desa”. Beberapa titik kusurvey, ribuan lembar tiket kupesan sebagai amunisi
petualangan kami, dan hasilnya tak satu tempat pun kami sambangi. Kami hanya
pentas di Rengganis saja, seperti biasa. 6 – 9 Februari 2013 adalah tanggal
kami gelar di Rengganis. Karena gagal keliling, ratusan lembar tiket pun teronggok
di lemari kamarku, hingga kini.
Produksi ke
empat ini, pertama kali aku menyutradarai merangkap manajer, merangkap aktor,
merangkap penata musik, dan membuat kerangka konsep artistik. Pertama
menyutradai dan langsung menggarap banyak hal sekaligus. Melelahkan sekaligus
menyenangkan. Tempat latihan kami berpindah-pindah. Kadang di Rengganis, kadang
di pelataran Islamic Centre, pernah juga di UNIGAL.
Sebagai mualaf
sutradara, aku barangkali terlalu banyak memuntahkan isi kepala hingga
pertunjukan malah jadi amburadul. Namun keamburadulan itu masih kututupi dengan
sekian filosofi yang aku sendiri belum tentu paham. Paralon kujadikan bahan
dasar artistik. Hingga undangan pementasan pun terbuat dari paralon. Jargon
kami, “Paralon Bingkeng”.
Sayangnya, di
penghujung proses ada insiden yang cukup mempengaruhi garapan dan kehidupanku
di luar panggung. Aku berseteru dengan Imam gara-gara kutegor ia saat
bertengkar hebat dengan pacarnya. Sejak hari itu hingga beberapa bulan lamanya,
hubunganku dan Imam memburuk. Namun begitulah seharusnya, menjauh agar lebih
saling memahami. Perseteruan kami berakhir dengan bahagia hingga kembali
terlibat di garapan berikutnya.
V
RT NOL RW NOL
bisa kubanggakan sebagai salah satu garapan yang monmental, setidaknya bagiku.
Garapan yang menyisakan banyak rasa. Beberapa pencapaian baru, aku dapatkan di garapan itu. Pertama kali kami
membuat kaos produksi, pertama kali kami membuat baliho dan poster pertunjukan
dengan cukup serius, pertama kalinya aku tak jadi manajer untuk garapan TTMC.
Manajerial kuserahkan pada Yoga, meski aku masih terlibat memandu. Pertama kali
pula Ebel terlibat garapan TTMC. Ya, Ebel yang itu, yang teman seperjuangan
dulu waktu kami masih berseragam putih abu. Kawan seperjuangan kala kami
mendirikan ekstrakulikuler seni di MAN 2 Ciamis, almamater kami.
Hingga saat
ini, RT NOL RW NOL masih menjadi kenangan terindah buatku selama sejak aku
merintis TTMC. Saat itulah aku dan kawan lain kali pertama melakonkan naskah
dengan disiplin realis yang cukup ketat, meski dalam segi pemanggungan, aku
membuatnya agak murtad. Kawin Ucing memang naskah realis, tapi seting simbolik
cukup menguras tenagaku saat bermain di panggung. Sedang di RT NOL RW NOL
artistik begitu megah hingga mendekati realitasnya dalam kehidupan luar
panggung. Naskah ini mengisahkan tentang kehidupan di kolong jembatan di tahun
60an. Ada Kakek yang diperankan Hendi
Godin, Pincang oleh Salim, Bopeng oleh Imam, Ina oleh Fany, Ani oleh Iim, dan
Ati oleh Novina. Peter Hayat mengomandani musik dan Ebel terlibat sebagai
pemusik. Winardi yang datang di penghujung proses mengatasi ihwal penonton
merangkap menjadi pemusik tatkala pementasan berlangsung. Kang Nko masih setia
di wilayah tata cahaya, begitu pun Bah Wawan.
Proses latihan
kami lakukan dengan riang gembira meski tetap agak mencekam karena kadang
tempramenku fluktuatif. Demi menyerap atmosfer pertunjukan, kami beberapa kali
latihan di kolong jembatan, meski tak semirip kolong jembatan yang dikehendaki
naskah.
Sejak awal penggarapan
hingga menjelang hari terakhir pementasan, nyaris tak ada kendala berarti.
Namun, entah hari pentas ke berapa, Iim tiba-tiba saja tak datang. Ternyata ia
terjebak dalam sebuah interview kerja. Interview yang dipikir akan usai sekitar
tengah hari nyatanya molor hingga menjelang Asar. Sehari itu, aku serasa
disambar petir di tengah hari bolong, tanpa mendung apalagi hujan. Akhirnya
Novina memerankan peran ganda sebagai Ati dan Ani.
Dan yang sangat
berharga dari kejadian itu ialah keteguhan Iim. Meski sudah kuusir dari garapan
sore itu juga, ia tetap datang hanya selang beberapa menit usai kukirim SMS
pemecatan itu saat pementasan baru saja berakhir. Ia datang dengan wajah lelah
campur sesal. Lelah fisik dan batin. Sesal karena mengecewakan kami. Ia minta maaf dengan jantan dan aku terkagum
padanya. Ini jiwa ksatria, gumamku sembari menahan gengsi untuk menerimanya
kembali sebagai pemain untuk dua kali pentas lagi. Diam-diam aku kagum padanya.
Jika hal serupa terjadi padaku, belum tentu aku bisa seberani dan seteguh
Iim. Ia datang untuk minta maaf dan
pasrah pada putusan apa pun atasnya. Aku terketuk dan akhirnya mengizinkannya
kembali bermain hingga hari akhir pementasan. Namun ibarat kertas yang telah
diremas, meski Iim telah meminta maaf, atmosfer kekecewaan masih berbekas
hingga hari akhir pementasan, khususnya pada Fany sebagai lawan mainnya yang
paling intens bersinggungan di panggung.
Dan buatku
sendiri, hal lain yang masih membekas manis ialah pementasan hari terakhir.
Hari terakhir kami main dua kali. Di pementasan yang ke dua, aku main
menggantikan Godin. Aku memilih main sebagai kado perpisahan buat Imam yang
telah lulus S1 dan harus segera pergi meninggalkan panggung setelah 3 tahun
bercumbu dengannya. Ia harus pergi ke kota jauh untuk melanjutkan studinya.
Sejak awal memang Imam telah peka. Baginya, tokoh Kakek adalah aku, seseorang
yang akhirnya mati dalam kesepian. Ditinggalkan, sebab nyatanya TTMC sama saja
dengan kolong jembatan, tempat manusia tak punya identitas, miskin dan tak
bertujuan. Di pementasan itu, aku tak
kuasa menahan air mata. Ya, mataku terus berair hampir selama 1 jam pementasan
berlangsung. Naskah ini berbicara tentang eksistensialisme yang berakhir dengan
kesepian. Sebuah lakon yang dahsyat.
Dalam arsipku,
kami pentas sejak 1 hingga 9 November 2013. Tanggal 3 dan 5 kami libur, entah
karena apa.
VI
Jeda antara RT
NOL RW NOL dan produksi selanjutnya lumayan cukup lama. Produksi ke 6 TTMC
digarap untuk kepentingan FDBS 2014. Sastra Jendra kupilih lakon yang akan kami
sajikan di depan juri-juri FDBS di Rumentangsiang. Produksi inilah barangkali
yang buatku paling melelahkan, lelah batin. Aku terlampau dalam menerobos
hingga sering terjebak dalam kabut ambisi yang kadang membuat gelap. Aku
pribadi sangat berambisi untuk menyabet piala sutradara pinunjul. Ambisi itulah
yang menjadi pondasi garapan ke 6 ini. Saat itu aku serasa Rahwana yang begitu
berambisi mendapat Shinta hingga lupa segala.
Ada delapan
tokoh yang bermain. Selain Fany sebagai Durga, ada pula Ceby sebagai Wira,
Denny sebagai Santa, Winardi sebagai Sanjaya, Orin sebagai Sukesi, Irfan
sebagai Danapati, Salim sebagai Wisrawa, dan aku menjadi Wa Surti. Di musik ada
Ebel sebagai komandan, Ryan, dan Benyo dan datang belakangan. Bah Wawan dan
Kang Nko masih sertia di posnya masing-masing.
Aku bermain
sebagai aktor, sutradara juga, manajer pun, dan stage manager. Porsi bermainku
di panggung cukup dominan. Aku memerankan Wa Surti waktu itu. Awalnya Fany yang
kudaulat menjadi pemeran Nini Surti, namun karena banyak pertimbangan akhirnya
ia kujadikan Durga. Salim masih setia mengawal artistik meski awalnya aku
sempat berseteru dengannya.
Aku egois dan
otoriter. Dan puncak dari otoritarianisme ini ada pada garapan kali ini.
Suasana latihan selalu terasa tegang. Latihan teater buatku adalah latihan
perang. Lebih baik mandi keringat ketika latihan ketimbang bersimbah darah saat
pertempuan. Seperti biasa, latihan kami berpindah-pindah. Kadang di Rengganis,
di Jamban Sari, kadang di Taman Kota di dekat Pajagalan, kadang pula di
Imbanagara, di tempat pengolahan pasir.
Aku merasa
mempersiapkan banyak hal untuk garapan kali ini. Proses interpretasi naskah
memakan banyak waktu dan energi hingga Sastra Jendra versi TTMC punya bentuk
yang, menurut penonton di Rumentang, cukup aneh dibanding dengan kelompok lain
yang menggarap naskah serupa. Untuk semua kerja keras dan kegilaan di Sastra
Jendra, TTMC diganjar nominasi artistik dan aktor terbaik. Aku yang mengejar
piala sutradara malah mendapat nominasi aktor terbaik, padahal niatku bermain
hanya karena kurang pemain saja.
Pentas kami di
Rengganis pada 25 – 29 Maret 2016 cukup memperihatinkan, khususnya wilayah
kostum. Keuangan kami melarat sangat waktu itu. Kostum kami adakan dengan
sangat sederhana bahkan jauh sama sekali dari bayangan di kepala. Usai pentas
di Rengganis, dari uang hasil tiket yang kami dapatkan, kami baru mampu
memperbaiki ini itu, khususnya kostum. Maka saat pentas pada 24 April 2016 di
Rumentangsiang, kami tampil cukup percaya diri dengan kostum lumayan layak.
Banyak yang
terjadi ketika Sastra Jendra. Terlalu banyak hingga aku malas menuliskannya.
Intinya, ya, seperti yang sudah kuceritakan di atas, puncak keegoisan dan
otoritarianisme Ridwan Hasyimi.
VII
Sang Manarah
adalah lakon selanjutnya yang kugarap. Sejak lama aku sudah mengenal naskah
ini, naskah karya Nur JM ini. Sejak lama pula Nur JM mencita-citakan
memanggungkan naskah ini. Namun sejak ditulis pada 2005, baru pada 2016 naskah
ini dipanggungkan secara utuh pada 13 – 20 Februari 2016 di Rengganis, dan TTMC
yang kali pertama melakukannya.
Dari Sastra
Jendra, aku banyak belajar tentang diriku sendiri dan orang lain. Buatku,
proses teater dan peristiwa teater adalah perpustakaan raksasa yang menyediakan
berjuta buku. Kita bisa membaca apa saja asal ingin dan bersedia. Ia
menyediakan pengetahuan dan penghayatan yang baru, terus menerus. Karena
romantika Sastra Jendra yang amat sangat dan memberi efek traumatik bagi
beberapa pemain (termasuk aku sendiri), aku mengubah banyak hal dalam garapan
Sang Manarah ini. Mengubah metode latihan, sikap, paradigma, bahkan orientasi.
Dari Sastra Jendra aku belajar bahwa sedalam apa kita menyelam, sejauh itu pula
kita kembali. Maka itu, awalnya tak kuniatkan ini terlampau dalam, di permukaan
saja.
Melihat
komposisi pasukan yang ada, aku makin yakin untuk tidak terlalu dalam. Aku
justru menekankan riset sejarah sebagai bagian yang musti cukup diseriusi sebab
lakon yang kugarap menyangkut sejarah yang, bagi orang Ciamis khususnya, merupakan sejarah yang “sakral”. Aku
mengumpulkan banyak bahan literasi juga wawancara dengan berbagai pihak yang
barangkali bisa memberiku bahan tambahan buat karya ini. Aku membawa Sang
Manarah ke bentuk yang kontemporer.
Ada Amel,
Keysah, Fauzi, Galuh, Devi, Oky, Egi, Eep, Orin, Fany, Salim, Zamzam, dan aku
sebagai aktor. Komandan divisi musik, lighting, dan make up masih oleh orang
yang sama. Salim seperti biasa merangkap menjadi penata artistik sedang aku
merangkap sutradara dan general manager. Pasukan musik diperkuat Ryan dan Ojem.
Untuk produksi
Sang Manarah ini, wilayah publikasi agak serius kugarap. Memang ini atas saran
dari Kang Nur JM. Ia punya rasa keterlibatan tersendiri sebab karyanya yang dimainkan.
Untuk kali pertama TTMC membuat 4 baliho. Undangan kami buat khusus, disebarkan
ke komunitas-komunitas pecinta kerajaan Galuh dan penggiat sejarah. Leaflet pun
untuk kali pertama kami buat. Pada pentas sebelum-sebelumnya leaflet hanya
selembar kertas foto copian saja. Publikasi koran pun tak luput dari jangkuan.
Dan untuk kali pertama pula Kang Godi Suwarna menonton pertunjukanku, maksudnya
pertunjukan yang kusutradari, suatu kebanggaan dan kehormatan. Beliau pun
sempat mengomtari pementasan. Beliau lebih tertarik menyoal tafsir teks yang
“gila” tatkala Ciung Wanara kutampilkan dengan busana cowboy. Kami pentas selama 6 hari dengan 7 pertunjukan pada 15 – 20
Februari 2016. Penonton, saat malam pentas undangan, begitu padat hingga banyak
yang tak mendapat ruang duduk. Banyak yang kecewa pada pementasan kami
khususnya dari komunitas pecinta kerajaan Galuh. Baru saja pertunjukan usai,
mereka langsung hengkang, mungkin dengan wajah kecut sebab kecewa, kerajaan
mereka di”acak-acak”.
VIII
Produksi TTMC
yang ke 8 ini dibuat untuk kepentingan FDBS, pada awalnya. Namun selang sekitar
hampir 5 bulan setelah lakon ini dipentaskan di Bandung, kami menggelar kembali
lakon ini di Rengganis pada 13 – 22 September 2016 dan Gedung Kesenian Kota
Tasikmalaya pada 30 September 2016 . Mementaskan lakon yang sama, buatku adalah
hal baru. Sebelumnya, Seribu Sang Saka pernah dipentaskan di Bandung dan Tasik
sepulang kami bertanding di Jakarta, namun tanpa selang waktu yang panjang, hanya beberapa hari saja.
Sedang untuk lakon ini, ada jeda 5 bulan sejak pentas kami di Rumentangsiang
pada 28 April 2016. Sebelum berangkat ke Bandung, kami hanya sempat sekali saja
mementaskan Kalangkang, itu pun statusnya Gladi Resik hanya saja dengan
ditonton oleh beberapa orang pada 23 April 2016 di Rengganis.
Untuk yang ke 8
ini, Teh Wida yang menjenderali. Awalnya kursi sutradara di tawarkan pada Kang
Yuyus namun beliau menolak. Dan kenapa bukan aku, adalah karena aku baru saja
selesai tempur di Sang Manarah. Para senior menimbang itu. Maka Teh Wida
menduduki kursi sutradara.
Selain Teh Wida
sebagai sutradara, ia juga memerankan Isah. Aku sebagai Darma, Orin sebagai Rahmi,
Salim sebagai Darma 1, Kang Iyus sebagai Darma 2, dan Irfan memerankan Darma 3.
Darma 1, 2, dan 3 adalah bayang-bayang Darma. Pasukan musik pada awalanya cukup
kokoh dengan 5 pasukan, Egi, Eja, Nugroho, Rindi, dan Widia. Ebel masih
memegang komando di sana. Namun pada pentas paruh ke dua pada September 2016,
hanya Nugroho yang tersisa. Kemudian untuk di Tasik, barulah Ryan bergabung di
musik. Kang Ayi Itah, seorang seniman musik jebolan UPI Bandung bergabung di
pasukan musik untuk pentas di Tasik. Beliau adalah kawan Teh Wida dan Bah Ugih.
Ia pernah memusiki Gusjur pada Jeblog di 2008. Kang Nko dan Bah Wawan masih
setia menduduki kursi masing-masing. Fany baru kali ini absen selaku aktris,
namun ia membantu mengurusi tiket, penonton, dan keuangan bersama Orin. Kali
ini Ryan absen sebagai pemusik. Irfan malah yang nyaris koma dari kehidupan
panggung, kembali dan total sebagai aktor.
Pentas ini
boleh jadi pentas reuni. Kang Iyus kembali naik panggung, begitu pun Teh Wida
bahkan ia yang menjadi komandan kami. Kang Toni pun banyak mencurahkan idenya
di panggung Kalangkang. Bah Ugih yang sejak Sang Manarah mulai intens
berkunjung ke Rengganis, kini benar-benar terlibat. Ia membuatkan tongkat
properti Darma, Darma 1, 2, dan 3. Ia pun banyak memberi saran dan curahan ide.
Dan seorang
lagi yang berjasa besar adalah Teh Omih, sang menteri ketahanan pangan. Sejak
RT NOL RW NOL ia menjadi penyedia konsumsi, baik makanan berat maupun maupun
jajanan lain. Bahkan ia membantu banyak hal tatkala kami pentas di GKKT.
Dan
keberangkatan TTMC ke Bandung kali ini boleh dibilang cukup monumental. Untuk
kali pertama, TTMC diberangkatkan secara resmi oleh Bupati Ciamis Drs. H. Iing
Syam Arifin. Ia juga membekali kami amplop, 5 juta. Ini memang bukan tanpa
tangan orang lain. Pa Asep, namanya. Ia seorang wartawan kawan Bah Wawan. Ia
“memaksa” kami minta bantuan pemerintah, kami enggan, kecuali jika itu adalah
bantuan pribadi. Ia, Pa Asep itu, mengajak kami menemui si A, B, C, dan yang
lain hingga Bupati. Memang kondisi keuangan kami sedang babak belur. Usai Sang
Manarah, uang kas hanya tersisa kurang dari satu juta. Hanya itu modal
finansial kelompok kami, sisanya, uang masing-masing. Dengan 5 juta itu, kami
melaju ke Bandung dan uang sebegitu, pas-pasan sekali, dengan uang segitu kami
tak mampu membuat kaos produksi, sebuah tradisi yang kupandang wajib dalam
garapan TTMC sejak RT NOL RW NOL.
Menyikapi hal
ini, aku dilematis. Aku pribadi bukannya anti pemerintah, hanya saja sebisa
mungkin jika TTMC mampu berdikari, mengapa musti minta uang sana-sini. Aku
lebih nyaman dengan TTMC yang punya independensi dalam hal keuangan. Namun,
situasi kemarin cukup gawat. Darurat. Dan setelah aku mengalaminya, “sowan” ke
sana ke mari, aku sama sekali tak ingin melakukannya lagi. Bagaimana kita,
rakyat ini, begitu dipandang miskin ketika melakukan itu, padahal hekekatnya
justru kitalah yang memberi mereka makan. Semustinya, kedatangan rakyat dipandang
sebagai penuntutan hak, bukan mengemis belas kasihan.
IX
Lantas apa lagi
setelah ini? Entahlah. Masih akan adakah yang setia menggauli panggung dengan
khusuk? Entah pula. Banyak yang datang dan pergi. Pada akhirnya, masing-masing
dari kami menempuh jalan yang berbeda-beda. Panggung kembali sepi usai syukuran
pementasan dilaksanakan, selalu seperti itu. Laku teater kami, redup kembali.
Kami kembali ke ruang pribadi. Aku kembali mencumbui panggung dalam
kesendirian, dan yang lain kembali pada kesendiriannya pula, kembali pada jalan
yang mereka pilih sebab panggung TTMC hanyalah stasiun persinggahan, atau
tempat reuni.
Rengganis
September – Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar