Kamis, 06 Oktober 2016

TTMC dan Aku; catatan singkat perjalanan 8 panggung TTMC

I



Hingga saat kemarin, sudah delapan produksi teater indoor yang kulakoni bersama TTMC, kelomok teater yang kudirikan bersama Gusjur Mahesa, Zibod Panyawungan, dan Nko Kusnandi. Kami berempat merencanakan embrio kelompok ini sejak di Bandung, November 2009. Waktu itu kami sedang terlibat sebuah garapan teater dalam rangka mengenang 100 hari wafatnya W. S. Rendra, lakon Kisah Perjuangan Suku Naga. Di sela penggarapan, Gusjur melontar keinginanya untuk menyutradari teater di Ciamis. Tujuannya buat mengikuti Festival Drama Basa Sunda. Ia barangkali ingin menjajal kemampuannya. Menggarap teater di Bandung dan jadi juara, itu bukan suatu yang istimewa sebab di Bandung segala hal kebutuhan teater sudah banyak tersedia. Aktor-aktor handal, penata artistik, musik, lampu, kostum, make up, dan lainnya kebutuhan teater sudah sangat bertebaran. Teater bukanlah hal asing di sana. Sedang Ciamis masihlah hutan belantara untuk teater.

Selain bercakap dengan kami bertiga, Gusjur ternyata bercakap dengan kawan lain di Ciamis. Hasilnya terkumpulah kami bertiga, Salim, Jaro X Yus, Wida Waridah, Tatang Kentang, Ipah Latifah (yang kini istri Nur JM), Devi, dan Didon Nurdani. Ditambah Pa Iyan dan Teh Yani (Almh) yang masuk di tengah jalan. Kang Didon pun sebenarnya tidak terlibat sejak awal. Ia mengantikan posisi Bah Ugih yang urung terlibat dalam produksi perdana kami. Ada pula Kang Dian, saudara Bah Ugih, yang sama mengundurkan diri. Ahmad Greg datang menyusul memperkuat divisi musik. Ia didaulat sebagai penata musik. Teguh adalah nama lain yang menyususl belakangan. Pa Imank dengan apik mendokumentasi pertunjukan kami yang digelar di Rengganis, Jumat dan Sabtu, 5 & 6 Maret 2010. Ada pula Kang Bayu dari Banjar TV yang mendokumentasikan dan menyiarkannya di stasiun TV yang ia pimpin. Selain nama-nama di atas, Kang Nur JM, Kang Toni, Teh Anggie, Ogie, dan beberapa kawan lain pun turut membantu meski bukan sebagai pemain.

Waktu itu, tempat latihan kami berpindah-pindah. Sekali waktu kami latihan di kantor Kelurahan Sindangrasa, yang dekat dengan kosan Teh Wida dan Kang Toni. Teh Wida sempat mengundurkan diri karena rahimnya mengandung jabang bayi yang kelak akan dinamai Iqbal. Ini hamil pertamanya. Ia sempat menghilang selama hampir satu bulan dan selama mencari penggantinya, aku menjadi pemeran Nini Odih berpasang dengan Kang Didon yang memerankan Aki Onay. Namun mungkin karena iba, atau karena tak rela naskah suaminya “diacak-acak”, akhirnya Teh Wida kembali bergabung sambil ia mengandung jabang bayi.

Selain kantor Kelurahan Sindangrasa, kantor Galuh TV pun pernah kami jadikan tempat latihan, meski sebatas hanya pada proses reading saja. Pernah pula kami latihan di GOR Koperasi Tumbal, samping kantor Polsek Ciamis. Untuk penggarapan bloking, kami lebih sering latihan di Padepokan Seni Budaya Rengganis. Latihan kami yang nomaden bukan tanpa alasan. Ada motif politis di balik langkah-langkah seorang Gusjur Mahesa. Gusjur sengaja mengunjungi banyak tempat buat menyambungkan tali energi, juga menjaga hubungan baik dengan semua pihak, sebab keberadaannya yang terhitung baru di Ciamis harus ia mulai dengan langkah yang baik. Sowan. Jangankan berbicara sebuah kelahiran kelompok teater, teaternya saja masih sangat asing di Ciamis ini. Atas pertimbangan ini maka Gusjur dan kami rajin sowan ke berbagai tempat. Dengan langkah ini, kehadiran teater diharapkan akan diterima dengan baik. Melelahkan? Pastinya. Namun berkat itu pula, silaturrahiem itu masih berdampak hingga hari ini, setelah 6 tahun TTMC berdiri dan terus berkarya.

Selain tempat latihan yang nomaden, jika dilihat komposisi pasukan yang tergabung, Gusjur seolah mencoba menyatukan berbagai polar yang selama ini cenderung terpisah-pisah, jika tidak dikatakan bertolak belakang. Ia mencoba mencairkan kebekuan yang sejak lama terjadi, entah karena apa. Aku yang masih hijau ini kadang bingung jika musti terseret polaritas warisan sepuh yang terlanjur jadi normalitas. Langkah-langkah pembentukan kelompok dan pemilihan tempat latihan buatku sarat motif politik. Nadi silaturrahiem coba untuk didenyutkan kembali lewat teater.  Sebuah tujuan mulia, namun.....

Tindakan Gusjur bukan tanpa resiko. Karena komposisi pasukan yang beragam dan tak saling kenal sebelumnya, kekakuan, saling raba, saling curiga, bahkan benturan tak bisa terhindar. Namun bukan proses teater namanya jika tanpa konflik, bukankah konflik adalah hakekat drama? Sekian konflik itu akhirnya terbalas Piala Juara Umum FDBS 2010. TTMC dengan lakon Bandéra! Bandéra! Bandéra! berhasil menyabet Juara Umum dengan Teh Wida sebagai Aktris Pinunjul dikala usia kandungannya 4 bulan, Gusjur Mahesa sebagai Sutradara Pinunjul, dan pementasan kami diganjar Pémentasan Pinunjul I usai kami tempur di Rumentangsiang pada 8 Maret 2010.

II



Konsekuansi dari kemenangan TTMC di FDBS adalah kami harus kembali mengikuti kompetisi teater di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Festival Kesenian Nasional Teater Remaja. Acara ini diadakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Acara plat merah yang agak aneh. Pesertanya merupakan perwakilan dari tiap propinsi se-Indonesia, dan kami mewakili Jawa Barat.

Karena terbentur aturan yang membatasi usia para aktor, maka TTMC musti merombak pasukan. Khusus aktor, pasukan senior sudah pasti tak bisa ikut bertempur. Di pasukan remaja ini, yang tersisa dari pertempuran lama hanya  aku, Devi, dan Salim. Bahkan awalnya Salim pun sempat menolak bergabung sebab ia harus bekerja menuruti perintah keluarga. Namun, karena pekerjaan yang dijanjikan tak kunjung tiba, Salim kembali memperkokoh pasukan kedua ini. Selain kami bertiga, ada Fahmi, Dewa, Arif, Desi, Dela, Imin, Imam, dan Yoga. Kang Zibod absen untuk garapan kali ini sebab harus merawat ibunda tercinta yang sudah udzur dan sakit-sakitan. Meski para senior tak andil berakting, namun mereka masih memperkokoh pasukan di lini lain. Kang Didon di multimedia, Kang Iyus di stage manager, Kang Toni, dan lainnya masih turut membantu. Teh Neng Peking dimintai bantuan sebagai penata gerak dan make up. Pada garapan pertama pun, beliau memperkokoh lini make up. Kang Nko masih setia mendampingi di tata cahaya. Ahmad Greg tak sempat ikut berproses namun pada keberangkatan ke Jakarta, ia turut serta dan memberi beberapa masukan. Ada pula Doni M. Noor, Wa Uty, dan Gondres yang ikut bersama kami ke TMII. Selain beliau-beliau itu, ada juga kawan Gusjur yang membantu di sana.

Garapan ini terbilang yang paling royal dari segi materi. Untuk biaya produksi dan lain-lain, kami dibekali 63 juta dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar. Sebagian besar Gusjur alokasikan untuk honorarium dan mengantar rezeki ke sana ke mari. Sepulang dari kompetisi yang aneh itu, kami pentas pula di CCL Bandung dan Gedung Kesenian Tasik.

Kami membawa lakon Seribu Sang Saka yang merupakan adaptasi dari Bandéra! Bandéra! Bandéra!. Lakon berbahasa Indonesia yang sangat aneh dan janggal kurasa. Gusjur sendiri yang mengadaptasinya. Pertama kumembacanya, aneh sekali, serasa bukan bahasa yang natural. Aku sempat memprotes namun Gusjur dengan santai berkata “Itu karena kamu belum biasa.”

Sebelum pentas di Jakarta pada 2 November 2010, lebih dulu kami pentas di Aula KODIM Ciamis pada 26 – 28 Oktober 2010. 4 hari kami pentas,. Kami bekerjasama dengan KODIM karena materi lakon yang menyoal nasionalisme juga karena waktu pentas yang berdekatan dengan peringatan Hari Pahlawan.

Di garapan kedua ini, Gusjur menumpahkan nyaris seluruh ilmu Bengkel Teater Rendra-nya, barangkali. Kami, yang mayoritas adalah mualaf teater, harus belajar gerayang rogo, gerayang dunyo, gerayang sukmo, dasar silat Bangau Putih, dan bermacam meditasi lainnya.  Metode latihan dan penyutradaraan pun cenderung otoriter. Gusjur bertransformasi menjadi mahluk mengerikan yang tak sepi dari bentak membentak dengan selingan lontaran nama-nama hewan. Ini terjadi ketika hari makin dekat menjelang keberangkatan kami ke Jakarta. Selain bentakan, kami juga diajarkan filosofi-filosofi ihwal kehidupan. Bagiku sendiri, banyak hal yang bisa dipetik dari garapan itu, entah yang lain.

Puncak kegilaan Gusjur ialah ketika sehari menjelang pementasan di Jakarta. Kami dimarahi habis-habisan. Kami dicaci-maki dan sentuhan fisik tak terelakkan. Bagi Gusjur, itu adalah saat yang tepat untuk ledakan puncak, untuk menggenjot semangat dan jiwa pasukan. Namun kiranya perhitungan itu keliru, setidkanya buatku. Saat berada di panggung, aku malah tegang dan fokusku kabur. Sangat jauh dari kata menikmati peran, menikmati permainan, menikmati pertunjukan. Aku ibarat tentara kacangan yang terjun tempur ke PD II. Meski kita tak punya kesalahan, menyanggah Gusjur adalah petaka. Saat itu, menjadi pintar atau dungu sama saja di hadapan Gusjur, sama-sama dibentak. Usai pementasan, baru kupahami, yang dilakukan Gusjur boleh jadi merupakan wujud totalitasnya mengejar tujuan, mengejar victory dalam sebuah pertempuran.

Bencana dan keberuntungan sama saja, kata Rendra. Sesaat setelah garapan berakhir, aku, Salim, dan Imam mendapat materi ekstra dari Gusjur. Kami berempat berlatih di pantai Madasari, Cimerak. Di sanalah ia memuntahkan sisa ilmu yang tak sempat ia berikan saat garapan. Ia mengajak kami memahami dan menghayati alam. Kami diajarkan menyapa alam, menyapa diri, menyapa Tuhan dengan cara yang belum pernah kami dapati di sekolah-sekolah agama. Ia menjelaskan banyak hal termasuk filosofi Tri Puroso, filosofi “tiga gunung memeluk rembulan”, dan banyak hal lain. 

III



Produksi berikutnya adalah ketika TTMC harus mempertanggungjawabkan Piala Juara Umum yang merupakan piala bergilir. Karena kami adalah juara umum FDBS 2010, pada FDBS kategori umum berikutnya kami musti kembali bertanding dengan dua pilihan : mempertahankan gelar atau melepasnya. 2012 kami kembali mengikuti FDBS, tanpa Gusjur Mahesa. Kesibukannya sebagai dosen dan hal lain membuatnya lebih memilih menyutradarai di Bandung. Tak tanggung-tanggung, 3 kelompok sekaligus ia sutradarai dan tak satu pun piala yang nyangkut di tangannya, jika aku tak salah mengingat. Sedang TTMC hanya diganjar nominasi artistik pinunjul saja.

Awal garapan, kami kebingungan luar bisa ihwal siapa yang akan menyutradarai untuk produksi kali ini. Kursi sutradara ditawarkan pada beberapa nama hingga akhirnya jatuhlah pilihan pada Kang Didon Nurdani. Aku sendiri masih jauh dari kata mumpuni. Aku yang seorang mualaf teater ini, jangankan menyutradari sebuah pertunjukan teater, mencicipi panggung saja masih bisa dihitung jari. Entah terpaksa atau dengan lapang dada, Kang Didon akhirnya mau menyutradari. Lakon Kawin Ucing jadi pilihan untuk bertempur di Rumentangsiang. Zibod kembali memperkuat pasukan TTMC di wilayah artistik.

Usai dari Gusjur yang sedemikian perangainya, beralih ke Didon yang berlainan sangat. Aku pribadi cukup berat menyesuaikan diri. Ritme yang lahir sangat berbeda dan aku sekuat tenaga menyesuaikan meski dengan terpontang-panting penuh luka. Yang tersisa dari produksi ke dua hanya aku, Salim, Imam, dan Yoga saja. Yang lain entah kemana. Belakangan ada Dewa yang membantu sebagai “pemain cahaya kucing” bersama kawannya, Diki. Dinar, Dewi, Sintia, dan Diki A. adalah segenap pemain baru yang tergabung dalam pasukan Kawin Ucing. Aku tak mampu menghindar dari polaritas. Ada blok-blok yang terbangun karena ritme yang tak kunjung harmonis. Aku, Salim, Imam, dan Zibod v.s. yang lain. Ku lihat Yoga masih lebih memilih netral meski akhirnya terseret dalam “kubu anak lama” di penghujung proses. Waktu itu, aku dan kawan sekubu adalah pencercap masa silam yang belum pandai berdialog dengan mentalitas masa kini. Kubu anak lama makin solid karena kami berempat tinggal satu atap di kosan Imam di Sindangrasa. Banyak kegelisan kami yang gagap tersampaikan saat latihan malah tumpah di kosan itu.

Bah Wawan, sang pemilik Rengganis, kali pertama terlibat dalam produksi TTMC, setelah dua produksi ia hanya menjadi penonton. Kang Didon mempercayakan ihwal tata rias padanya. Sedang Nko Kusnandi, guruku yang lain, absen untuk garapan kali ini. Zibod sepertinya lebih menikmati kesendiriannya ketimbang musti bermitra dengan Kang Nko, meski ada pertimbangan lain selain sentimen pribadi. Zibod juga barangkali ingin menguji kemampuannya di wilayah tata cahaya. Bagi Zibod, panggung adalah laboratorium dan tiap proses garapan teater adalah eksperiemen, eksperimen yang pondasi besarnya adalah intuisi.

Namun sebuah pengaturan produksi teater tak bisa hanya bertumpu pada intuisi belaka, terlebih menentukan tempat pentas. Dan untuk kali ini kami pentas di beberapa tempat. Rengganis pada 16 – 21 Februari, Aula MAN 2 Ciamis pada 24 Februari, GOR di Cipaku pada 28 – 29 Februari, dan Auditorium UNIGAL pada 2 Maret 2016. Ini dalam rangka mencari ongkos buat kami berangkat ke Bandung. 12 Maret 2016 kami pentas di Rumentangsiang. Banyak panggung yang kami sambangi, namun aku tetap saja tak bergairah, padahal aku yang memegang kendali manajemen sekaligus menjadi aktor utama.

Aku sendiri masih sering bermasalah dengan diriku sendiri, seperti saat ini. Jangankan mendalami tokoh, dengan karakter tokohnya pun aku menolak. Aku membenci karakter tokoh yang kumainkan. Dan kebencian itu menjadi benteng kokoh sukar terjangkau, jangankan alam batin tokoh, alam lahirnya pun aku tak sanggup. Aku belum mampu jadi tanah lempung. Namun justru dari lakon inilah aku belajar menahan, belajar patuh pada teks serta pakem pemeranan realis. Hal yang belum pernah kulakukan secara penuh sebelumnya.

IV



Pasukan yang tersisa dari puing-puing pertempuran hanya aku, Salim, Imam, dan Yoga. Kang Zibod tak lagi bisa bergabung, hingga saat ini. Zibod Panyawungan adalah satu dari sedikit seniman idealis yang kukenal. Belum pernah kutemukan yang macam begitu lagi di hutan belantara teater daerah macam Ciamis. Aku pun jauh dari kata idealis macam demikian. Totalitasnya sering membuatku malu. Dengan usianya yang jauh lebih tua dariku, totalitasnya masih membara bak api abadi. Aku banyak belajar banyak darinya, tentang seni dan kehidupan.

Aku dan tiga kawan lain lantas berniat untuk mementaskan sebuah lakon tanpa kepentingan lomba. TTMC harus terbebas dari predikat teater festival, yang berproduksi untuk kepentingan lomba saja. Ini tidak sehat, kurasa. Mengapa berkarya harus untuk selalu beradu? Tidak adakah motivasi lain selain kompetisi? Nyatanya, ada. Dan kami, aku dan tiga kawan itu, sepakat berproses. Itulah kali perdana aku menyutradarai di TTMC. Aku sutradara dan Salim penata artistiknya. Itu judul kerennya saja, sebenarnya tidak demikian. Karena kekurangan pemain, kami mencari orang lain yang tertarik bergabung dan bersedia berproses. Fany Triani, Lilis, Ahmad, Dita, dan Winardi adalah orang baru yang tergabung dalam produksi ke empat TTMC. Teh Wida bersedia membantu di wilayah pemeranan. Ia tergabung menjadi aktris untuk tokoh Istri Camat yang tak bicara sepatah pun karena naskah mengguratkan demikian. Ia terkisahkan bisu. Sedang Bah Wawan masih setia membantuku di lini tata rias. Tatang Kentang turut membantu di wilayah musik sebagai pemusik.

Aku jatuh hati pada naskah Nagara Angar karya Dadan Sutisna. Satir nan imajinatif. Aku memandangnya sebagai surrealisme dan bentuk pertunjukannya pun aku arahkan demikian. Lagi-lagi itu judul kerennya, biar tak begitu nampak bodohnya aku, maka istilah-istilah asing begitu aku sematkan dalam konsep. Sekedar agar nampak pintar saja, padahal aku masih sangat primitif dan dungu ihwal teater, hingga kini. Bahkan motivasiku menuliskan kisah TTMC ini adalah karena aku baru menyadari ternyata aku tak berguna, dungu, dan hanya modal bacot saja.

Nagara Angar kurencanakan akan keliling ke desa-desa di Ciamis. Judul kegiatannya “TTMC Saba Desa”. Beberapa titik kusurvey, ribuan lembar tiket kupesan sebagai amunisi petualangan kami, dan hasilnya tak satu tempat pun kami sambangi. Kami hanya pentas di Rengganis saja, seperti biasa. 6 – 9 Februari 2013 adalah tanggal kami gelar di Rengganis. Karena gagal keliling, ratusan lembar tiket pun teronggok di lemari kamarku, hingga kini.

Produksi ke empat ini, pertama kali aku menyutradarai merangkap manajer, merangkap aktor, merangkap penata musik, dan membuat kerangka konsep artistik. Pertama menyutradai dan langsung menggarap banyak hal sekaligus. Melelahkan sekaligus menyenangkan. Tempat latihan kami berpindah-pindah. Kadang di Rengganis, kadang di pelataran Islamic Centre, pernah juga di UNIGAL.

Sebagai mualaf sutradara, aku barangkali terlalu banyak memuntahkan isi kepala hingga pertunjukan malah jadi amburadul. Namun keamburadulan itu masih kututupi dengan sekian filosofi yang aku sendiri belum tentu paham. Paralon kujadikan bahan dasar artistik. Hingga undangan pementasan pun terbuat dari paralon. Jargon kami, “Paralon Bingkeng”.

Sayangnya, di penghujung proses ada insiden yang cukup mempengaruhi garapan dan kehidupanku di luar panggung. Aku berseteru dengan Imam gara-gara kutegor ia saat bertengkar hebat dengan pacarnya. Sejak hari itu hingga beberapa bulan lamanya, hubunganku dan Imam memburuk. Namun begitulah seharusnya, menjauh agar lebih saling memahami. Perseteruan kami berakhir dengan bahagia hingga kembali terlibat di garapan berikutnya.

V



RT NOL RW NOL bisa kubanggakan sebagai salah satu garapan yang monmental, setidaknya bagiku. Garapan yang menyisakan banyak rasa. Beberapa pencapaian baru,  aku dapatkan di garapan itu. Pertama kali kami membuat kaos produksi, pertama kali kami membuat baliho dan poster pertunjukan dengan cukup serius, pertama kalinya aku tak jadi manajer untuk garapan TTMC. Manajerial kuserahkan pada Yoga, meski aku masih terlibat memandu. Pertama kali pula Ebel terlibat garapan TTMC. Ya, Ebel yang itu, yang teman seperjuangan dulu waktu kami masih berseragam putih abu. Kawan seperjuangan kala kami mendirikan ekstrakulikuler seni di MAN 2 Ciamis, almamater kami.

Hingga saat ini, RT NOL RW NOL masih menjadi kenangan terindah buatku selama sejak aku merintis TTMC. Saat itulah aku dan kawan lain kali pertama melakonkan naskah dengan disiplin realis yang cukup ketat, meski dalam segi pemanggungan, aku membuatnya agak murtad. Kawin Ucing memang naskah realis, tapi seting simbolik cukup menguras tenagaku saat bermain di panggung. Sedang di RT NOL RW NOL artistik begitu megah hingga mendekati realitasnya dalam kehidupan luar panggung. Naskah ini mengisahkan tentang kehidupan di kolong jembatan di tahun 60an.  Ada Kakek yang diperankan Hendi Godin, Pincang oleh Salim, Bopeng oleh Imam, Ina oleh Fany, Ani oleh Iim, dan Ati oleh Novina. Peter Hayat mengomandani musik dan Ebel terlibat sebagai pemusik. Winardi yang datang di penghujung proses mengatasi ihwal penonton merangkap menjadi pemusik tatkala pementasan berlangsung. Kang Nko masih setia di wilayah tata cahaya, begitu pun Bah Wawan.

Proses latihan kami lakukan dengan riang gembira meski tetap agak mencekam karena kadang tempramenku fluktuatif. Demi menyerap atmosfer pertunjukan, kami beberapa kali latihan di kolong jembatan, meski tak semirip kolong jembatan yang dikehendaki naskah.

Sejak awal penggarapan hingga menjelang hari terakhir pementasan, nyaris tak ada kendala berarti. Namun, entah hari pentas ke berapa, Iim tiba-tiba saja tak datang. Ternyata ia terjebak dalam sebuah interview kerja. Interview yang dipikir akan usai sekitar tengah hari nyatanya molor hingga menjelang Asar. Sehari itu, aku serasa disambar petir di tengah hari bolong, tanpa mendung apalagi hujan. Akhirnya Novina memerankan peran ganda sebagai Ati dan Ani.

Dan yang sangat berharga dari kejadian itu ialah keteguhan Iim. Meski sudah kuusir dari garapan sore itu juga, ia tetap datang hanya selang beberapa menit usai kukirim SMS pemecatan itu saat pementasan baru saja berakhir. Ia datang dengan wajah lelah campur sesal. Lelah fisik dan batin. Sesal karena mengecewakan kami.  Ia minta maaf dengan jantan dan aku terkagum padanya. Ini jiwa ksatria, gumamku sembari menahan gengsi untuk menerimanya kembali sebagai pemain untuk dua kali pentas lagi. Diam-diam aku kagum padanya. Jika hal serupa terjadi padaku, belum tentu aku bisa seberani dan seteguh Iim.  Ia datang untuk minta maaf dan pasrah pada putusan apa pun atasnya. Aku terketuk dan akhirnya mengizinkannya kembali bermain hingga hari akhir pementasan. Namun ibarat kertas yang telah diremas, meski Iim telah meminta maaf, atmosfer kekecewaan masih berbekas hingga hari akhir pementasan, khususnya pada Fany sebagai lawan mainnya yang paling intens bersinggungan di panggung.

Dan buatku sendiri, hal lain yang masih membekas manis ialah pementasan hari terakhir. Hari terakhir kami main dua kali. Di pementasan yang ke dua, aku main menggantikan Godin. Aku memilih main sebagai kado perpisahan buat Imam yang telah lulus S1 dan harus segera pergi meninggalkan panggung setelah 3 tahun bercumbu dengannya. Ia harus pergi ke kota jauh untuk melanjutkan studinya. Sejak awal memang Imam telah peka. Baginya, tokoh Kakek adalah aku, seseorang yang akhirnya mati dalam kesepian. Ditinggalkan, sebab nyatanya TTMC sama saja dengan kolong jembatan, tempat manusia tak punya identitas, miskin dan tak bertujuan.  Di pementasan itu, aku tak kuasa menahan air mata. Ya, mataku terus berair hampir selama 1 jam pementasan berlangsung. Naskah ini berbicara tentang eksistensialisme yang berakhir dengan kesepian. Sebuah lakon yang dahsyat.

Dalam arsipku, kami pentas sejak 1 hingga 9 November 2013. Tanggal 3 dan 5 kami libur, entah karena apa.
VI



Jeda antara RT NOL RW NOL dan produksi selanjutnya lumayan cukup lama. Produksi ke 6 TTMC digarap untuk kepentingan FDBS 2014. Sastra Jendra kupilih lakon yang akan kami sajikan di depan juri-juri FDBS di Rumentangsiang. Produksi inilah barangkali yang buatku paling melelahkan, lelah batin. Aku terlampau dalam menerobos hingga sering terjebak dalam kabut ambisi yang kadang membuat gelap. Aku pribadi sangat berambisi untuk menyabet piala sutradara pinunjul. Ambisi itulah yang menjadi pondasi garapan ke 6 ini. Saat itu aku serasa Rahwana yang begitu berambisi mendapat Shinta hingga lupa segala.

Ada delapan tokoh yang bermain. Selain Fany sebagai Durga, ada pula Ceby sebagai Wira, Denny sebagai Santa, Winardi sebagai Sanjaya, Orin sebagai Sukesi, Irfan sebagai Danapati, Salim sebagai Wisrawa, dan aku menjadi Wa Surti. Di musik ada Ebel sebagai komandan, Ryan, dan Benyo dan datang belakangan. Bah Wawan dan Kang Nko masih sertia di posnya masing-masing.

Aku bermain sebagai aktor, sutradara juga, manajer pun, dan stage manager. Porsi bermainku di panggung cukup dominan. Aku memerankan Wa Surti waktu itu. Awalnya Fany yang kudaulat menjadi pemeran Nini Surti, namun karena banyak pertimbangan akhirnya ia kujadikan Durga. Salim masih setia mengawal artistik meski awalnya aku sempat berseteru dengannya.

Aku egois dan otoriter. Dan puncak dari otoritarianisme ini ada pada garapan kali ini. Suasana latihan selalu terasa tegang. Latihan teater buatku adalah latihan perang. Lebih baik mandi keringat ketika latihan ketimbang bersimbah darah saat pertempuan. Seperti biasa, latihan kami berpindah-pindah. Kadang di Rengganis, di Jamban Sari, kadang di Taman Kota di dekat Pajagalan, kadang pula di Imbanagara, di tempat pengolahan pasir.

Aku merasa mempersiapkan banyak hal untuk garapan kali ini. Proses interpretasi naskah memakan banyak waktu dan energi hingga Sastra Jendra versi TTMC punya bentuk yang, menurut penonton di Rumentang, cukup aneh dibanding dengan kelompok lain yang menggarap naskah serupa. Untuk semua kerja keras dan kegilaan di Sastra Jendra, TTMC diganjar nominasi artistik dan aktor terbaik. Aku yang mengejar piala sutradara malah mendapat nominasi aktor terbaik, padahal niatku bermain hanya karena kurang pemain saja.

Pentas kami di Rengganis pada 25 – 29 Maret 2016 cukup memperihatinkan, khususnya wilayah kostum. Keuangan kami melarat sangat waktu itu. Kostum kami adakan dengan sangat sederhana bahkan jauh sama sekali dari bayangan di kepala. Usai pentas di Rengganis, dari uang hasil tiket yang kami dapatkan, kami baru mampu memperbaiki ini itu, khususnya kostum. Maka saat pentas pada 24 April 2016 di Rumentangsiang, kami tampil cukup percaya diri dengan kostum lumayan layak.

Banyak yang terjadi ketika Sastra Jendra. Terlalu banyak hingga aku malas menuliskannya. Intinya, ya, seperti yang sudah kuceritakan di atas, puncak keegoisan dan otoritarianisme Ridwan Hasyimi.

VII




Sang Manarah adalah lakon selanjutnya yang kugarap. Sejak lama aku sudah mengenal naskah ini, naskah karya Nur JM ini. Sejak lama pula Nur JM mencita-citakan memanggungkan naskah ini. Namun sejak ditulis pada 2005, baru pada 2016 naskah ini dipanggungkan secara utuh pada 13 – 20 Februari 2016 di Rengganis, dan TTMC yang kali pertama melakukannya.

Dari Sastra Jendra, aku banyak belajar tentang diriku sendiri dan orang lain. Buatku, proses teater dan peristiwa teater adalah perpustakaan raksasa yang menyediakan berjuta buku. Kita bisa membaca apa saja asal ingin dan bersedia. Ia menyediakan pengetahuan dan penghayatan yang baru, terus menerus. Karena romantika Sastra Jendra yang amat sangat dan memberi efek traumatik bagi beberapa pemain (termasuk aku sendiri), aku mengubah banyak hal dalam garapan Sang Manarah ini. Mengubah metode latihan, sikap, paradigma, bahkan orientasi. Dari Sastra Jendra aku belajar bahwa sedalam apa kita menyelam, sejauh itu pula kita kembali. Maka itu, awalnya tak kuniatkan ini terlampau dalam, di permukaan saja.

Melihat komposisi pasukan yang ada, aku makin yakin untuk tidak terlalu dalam. Aku justru menekankan riset sejarah sebagai bagian yang musti cukup diseriusi sebab lakon yang kugarap menyangkut sejarah yang, bagi orang Ciamis khususnya,  merupakan sejarah yang “sakral”. Aku mengumpulkan banyak bahan literasi juga wawancara dengan berbagai pihak yang barangkali bisa memberiku bahan tambahan buat karya ini. Aku membawa Sang Manarah ke bentuk yang kontemporer.

Ada Amel, Keysah, Fauzi, Galuh, Devi, Oky, Egi, Eep, Orin, Fany, Salim, Zamzam, dan aku sebagai aktor. Komandan divisi musik, lighting, dan make up masih oleh orang yang sama. Salim seperti biasa merangkap menjadi penata artistik sedang aku merangkap sutradara dan general manager. Pasukan musik diperkuat Ryan dan Ojem.  

Untuk produksi Sang Manarah ini, wilayah publikasi agak serius kugarap. Memang ini atas saran dari Kang Nur JM. Ia punya rasa keterlibatan tersendiri sebab karyanya yang dimainkan. Untuk kali pertama TTMC membuat 4 baliho. Undangan kami buat khusus, disebarkan ke komunitas-komunitas pecinta kerajaan Galuh dan penggiat sejarah. Leaflet pun untuk kali pertama kami buat. Pada pentas sebelum-sebelumnya leaflet hanya selembar kertas foto copian saja. Publikasi koran pun tak luput dari jangkuan. Dan untuk kali pertama pula Kang Godi Suwarna menonton pertunjukanku, maksudnya pertunjukan yang kusutradari, suatu kebanggaan dan kehormatan. Beliau pun sempat mengomtari pementasan. Beliau lebih tertarik menyoal tafsir teks yang “gila” tatkala Ciung Wanara kutampilkan dengan busana cowboy. Kami pentas selama 6 hari dengan 7 pertunjukan pada 15 – 20 Februari 2016. Penonton, saat malam pentas undangan, begitu padat hingga banyak yang tak mendapat ruang duduk. Banyak yang kecewa pada pementasan kami khususnya dari komunitas pecinta kerajaan Galuh. Baru saja pertunjukan usai, mereka langsung hengkang, mungkin dengan wajah kecut sebab kecewa, kerajaan mereka di”acak-acak”.  

VIII



Produksi TTMC yang ke 8 ini dibuat untuk kepentingan FDBS, pada awalnya. Namun selang sekitar hampir 5 bulan setelah lakon ini dipentaskan di Bandung, kami menggelar kembali lakon ini di Rengganis pada 13 – 22 September 2016 dan Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya pada 30 September 2016 . Mementaskan lakon yang sama, buatku adalah hal baru. Sebelumnya, Seribu Sang Saka pernah dipentaskan di Bandung dan Tasik sepulang kami bertanding di Jakarta, namun tanpa selang waktu  yang panjang, hanya beberapa hari saja. Sedang untuk lakon ini, ada jeda 5 bulan sejak pentas kami di Rumentangsiang pada 28 April 2016. Sebelum berangkat ke Bandung, kami hanya sempat sekali saja mementaskan Kalangkang, itu pun statusnya Gladi Resik hanya saja dengan ditonton oleh beberapa orang pada 23 April 2016 di Rengganis.

Untuk yang ke 8 ini, Teh Wida yang menjenderali. Awalnya kursi sutradara di tawarkan pada Kang Yuyus namun beliau menolak. Dan kenapa bukan aku, adalah karena aku baru saja selesai tempur di Sang Manarah. Para senior menimbang itu. Maka Teh Wida menduduki kursi sutradara.

Selain Teh Wida sebagai sutradara, ia juga memerankan Isah. Aku sebagai Darma, Orin sebagai Rahmi, Salim sebagai Darma 1, Kang Iyus sebagai Darma 2, dan Irfan memerankan Darma 3. Darma 1, 2, dan 3 adalah bayang-bayang Darma. Pasukan musik pada awalanya cukup kokoh dengan 5 pasukan, Egi, Eja, Nugroho, Rindi, dan Widia. Ebel masih memegang komando di sana. Namun pada pentas paruh ke dua pada September 2016, hanya Nugroho yang tersisa. Kemudian untuk di Tasik, barulah Ryan bergabung di musik. Kang Ayi Itah, seorang seniman musik jebolan UPI Bandung bergabung di pasukan musik untuk pentas di Tasik. Beliau adalah kawan Teh Wida dan Bah Ugih. Ia pernah memusiki Gusjur pada Jeblog di 2008. Kang Nko dan Bah Wawan masih setia menduduki kursi masing-masing. Fany baru kali ini absen selaku aktris, namun ia membantu mengurusi tiket, penonton, dan keuangan bersama Orin. Kali ini Ryan absen sebagai pemusik. Irfan malah yang nyaris koma dari kehidupan panggung, kembali dan total sebagai aktor.

Pentas ini boleh jadi pentas reuni. Kang Iyus kembali naik panggung, begitu pun Teh Wida bahkan ia yang menjadi komandan kami. Kang Toni pun banyak mencurahkan idenya di panggung Kalangkang. Bah Ugih yang sejak Sang Manarah mulai intens berkunjung ke Rengganis, kini benar-benar terlibat. Ia membuatkan tongkat properti Darma, Darma 1, 2, dan 3. Ia pun banyak memberi saran dan curahan ide.

Dan seorang lagi yang berjasa besar adalah Teh Omih, sang menteri ketahanan pangan. Sejak RT NOL RW NOL ia menjadi penyedia konsumsi, baik makanan berat maupun maupun jajanan lain. Bahkan ia membantu banyak hal tatkala kami pentas di GKKT.

Dan keberangkatan TTMC ke Bandung kali ini boleh dibilang cukup monumental. Untuk kali pertama, TTMC diberangkatkan secara resmi oleh Bupati Ciamis Drs. H. Iing Syam Arifin. Ia juga membekali kami amplop, 5 juta. Ini memang bukan tanpa tangan orang lain. Pa Asep, namanya. Ia seorang wartawan kawan Bah Wawan. Ia “memaksa” kami minta bantuan pemerintah, kami enggan, kecuali jika itu adalah bantuan pribadi. Ia, Pa Asep itu, mengajak kami menemui si A, B, C, dan yang lain hingga Bupati. Memang kondisi keuangan kami sedang babak belur. Usai Sang Manarah, uang kas hanya tersisa kurang dari satu juta. Hanya itu modal finansial kelompok kami, sisanya, uang masing-masing. Dengan 5 juta itu, kami melaju ke Bandung dan uang sebegitu, pas-pasan sekali, dengan uang segitu kami tak mampu membuat kaos produksi, sebuah tradisi yang kupandang wajib dalam garapan TTMC sejak RT NOL RW NOL. 

Menyikapi hal ini, aku dilematis. Aku pribadi bukannya anti pemerintah, hanya saja sebisa mungkin jika TTMC mampu berdikari, mengapa musti minta uang sana-sini. Aku lebih nyaman dengan TTMC yang punya independensi dalam hal keuangan. Namun, situasi kemarin cukup gawat. Darurat. Dan setelah aku mengalaminya, “sowan” ke sana ke mari, aku sama sekali tak ingin melakukannya lagi. Bagaimana kita, rakyat ini, begitu dipandang miskin ketika melakukan itu, padahal hekekatnya justru kitalah yang memberi mereka makan. Semustinya, kedatangan rakyat dipandang sebagai penuntutan hak, bukan mengemis belas kasihan.

IX

Lantas apa lagi setelah ini? Entahlah. Masih akan adakah yang setia menggauli panggung dengan khusuk? Entah pula. Banyak yang datang dan pergi. Pada akhirnya, masing-masing dari kami menempuh jalan yang berbeda-beda. Panggung kembali sepi usai syukuran pementasan dilaksanakan, selalu seperti itu. Laku teater kami, redup kembali. Kami kembali ke ruang pribadi. Aku kembali mencumbui panggung dalam kesendirian, dan yang lain kembali pada kesendiriannya pula, kembali pada jalan yang mereka pilih sebab panggung TTMC hanyalah stasiun persinggahan, atau tempat reuni.



Rengganis
September – Oktober 2016
  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...