Multiple Identity
Sebuah Gejala Dehumanisasi
Suatu gerakan kebudayaan 250 tahun lalu yang
berawal di Eropa sana, agaknya mampu mengubah wajah seluruh dunia dengan cukup
drastis sampai hari ini. Revolusi indutri agaknya telah memberi banyak warisan penting
bagi perkembangan kehidupan modern. Dan cybernet adalah salah satu warisan revolusi indutri yang
paling akrab dengan manusia dalam kesehariannya. Berkatnya, komunikasi virtual agaknya
menjadi media interaksi manusia yang paling mainstream di abad XXI ini. Untuk sekedar bercakap, mungkin
hari ini orang-orang lebih nyaman chating ketimbang harus berjumpa langsung dengan lawan
bicaranya. Cybernet memang
belum ditemukan pada era revolusi industri, namun sejak saat itulah wajah dunia
berubah total, umat manusia memasuki zaman baru. Industrialisasi serta
penggunaan teknologi modern menjadi semacam syarat untuk hidup. Dampaknya menjalar
ke seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan spiritualitas. Dan anak cucu
lain dari revolusi industri ialah teknologi informasi.
Sejak penemuan pesawat telpon pada tahun 1800an
oleh Antonio Meucci (yang kemudian “diambil alih” oleh Alexander Graham Bell),
dunia teknologi komunikasi terus memperbarui dirinya dengan segudang
temuan-temuan. Terlebih setelah Leonard Kleinrock “menciptakan” internet pada
1969, jarak nyaris tidak lagi jadi persoalan dalam dunia komunikasi. Ketakterbatasan
akses komunikasi dan informasi ini berpengaruh cukup besar pada paradigma manusia
modern kini. Modernitas yang makin likuid menjadikan segalanya nyaris mencair
dan bahkan luber tak tertahankan. Kini, pada waktu yang sama, seseorang mampu
bercakap dengan banyak orang di berbagai tempat berbeda dengan jarak ratusan
bahkan ribuan mil jauhnya. Saya yang di Ciamis ini bisa langsung bercakap
dengan Presiden Republik Angola nan jauh di sana, jika diinginkan. Sembari itu
pula, “diri saya yang lain” bisa dengan mudah menulis pesan pada kekasih di
Paris sana, atau mengunduh anime episode teranyar, atau mengunggah foto diri
saya yang sedang berlibur di Situ Lengkong Panjalu, sembari mengunggah sebuah tulisan semcam ini,
misalnya.
Lebarnya akses pada dunia via dunia virtual,
membuat seseorang mampu melakukan banyak hal dalam satu waktu. Kemampuan ini
pula barangkali yang menyebabkan manusia modern tertarik memiliki lebih dari
satu “diri”. Banyaknya bidang yang mungkin dilakoni seseorang menyebabkan ia memilih
“membelah” dirinya menjadi kepingan-kepingan diri. Kemudian, ia tinggal memilih
kepingan mana yang dipandang sesuai
dengan bidang yang ia lakoni. Dengan cybernet, manusia mampu menjadi mahluk multidimensional
dalam arti yang lain.
Sebagai mahluk akting, manusia punya kemampuan
mengubah-ubah dirinya sesuai dengan ruang dan waktu yang sedang ia lakoni. Manusia
mampu mengubah intonasi suara, eskpresi, gestur, sikap tubuh, serta perangkat
akting lainnya sesuai dengan situasi yang menghendakinya. Beribu topeng
tersedia di lemari kita masing-masing untuk berbagai kepentingan yang berbeda.
Ada topeng keep smile yang biasa
digunakan tatkala berjumpa dengan bos atau atasan. Ada topeng wajah batu
tatkala kita berjumpa dengan anak buah, agar tampak dewasa dan berwibawa. Ada pula
topeng sedih penuh derita yang biasanya gemar dipakai ketika sedang berdo’a. Dan
berjuta topeng lain dengan kegunaannya sendiri-sendiri yang kesemua itu menubuh
pada tubuh yang satu, nyawiji.
Pada manusia tanpa gangguan kejiwaan, topeng-topeng
psikis itu adalah keutuhan identitas manusia. Artinya, sebanyak apapun topeng
yang ia miliki, ia tetap utuh dalam kesatuan jiwa dan badan, berkelindan dan
saling mengenal. Yang dinamakan identitas, ya adalah harmonitas antara
topeng-topeng tersebut. Karena ada dalam tubuh dan jiwa yang satu, maka
topeng-topeng itu tidaklah terpisah. Ia muncul secara adaptif setelah membaca
alam luar dan alam dalam dari si empunya jiwa raga. Lantas, bagaimana jika
topeng-topeng itu, wajah-wajah itu, terpisah-pisah? Terbelah jadi
kepingingan-kepingan? Pecah? Kisah Sybil
dan Billy Milligan yang melegenda itu boleh jadi gambaran yang cukup jelas
tentang identitas yang terpecah belah. Lantas, apakah kepemilikan “multiple
identity” dalam dunia
virtual macam hari ini adalah wujud lain gangguang jiwa serupa yang diidap
Sybil dan Billy? Multiple Personality Disorder itu?
Dalam dunia komunikasi berbasis teknologi modern, representasi
diri sudah beralih dari nama diri (kata) menjadi nomor (angka), alamat virtual,
bahkan identitas diri sudah bertransformasi menjadi kode-kode yang hanya mampu
dibaca oleh mesin pemindai dengan sistem tertentu, mata telanjang manusia tak
mampu membaca barcode BBM,
sebagai contoh. Barcode kemudian itu
mewakili diri dalam ranah sosial virtual.
Memiliki lebih dari dua “identitas” di zaman sekarang
bukanlah hal aneh. Sudah sangat lazim ada dua atau tiga nomor telepon selular
yang dimiliki satu orang. Ada dua atau tiga alamat surat elektronik, sekian account Facebook, sekian pin BBM, id Line, dan sekian identitas lain untuk
masing-masing media komunikasi yang dimiliki oleh satu tubuh manusia. Jika mau
ditelusur, efisiensi adalah alasan yang akan sering dilontar ketika ditanya
alasan memiliki representasi identitas yang multi itu, mungkin.
Awalnya, mungkin pemecahan identitas itu jadi
semacam segmentasi untuk mempermudah seseorang dalam memainkan perannya di
lakon yang berbeda dalam waktu yang nyaris bersamaan. Satu nomor ponsel untuk
urusan keluarga, satu lagi untuk urusan pekerjaan, satu lagi untuk urusan hobi,
dan lainnya. Satu nama Fb untuk berhubungan dengan kawan-kawan SMA, satu untuk
urusan bisnis, satu untuk propaganda, satu untuk kekasih, satu untuk narsis, dan
sekian wajah lainnya. Segmentasi yang barangkali akhirnya dapat pula menjadi
segregasi. Manusia menjaga ketat topeng virtual satu dan topeng lainnya agak
tak saling jumpa. Atau bahkan, dalam jejaring sosial, adapula yang sengaja
dipertemukan seolah mereka adalah avatar dari orang yang berlainan. Nama-nama
Fb itu saling berkomentar padahal ia dikendalikan oleh satu tangan yang sama. Apakah
ini iseng belaka? Suatu strategi jebakan? Ataukah gejala gangguan mental?
Apakah hal seperti ini merupakan modernisasi dari
topeng-topeng psikis itu? Wajah-wajah itu? Wajah yang dulu, betapapun banyanya,
masihlah melekat pada tubuh yang satu. Lain dengan wajah virtual yang hanyalah
avatar, tak melekat pada tubuh. Wajah-wajah itu seolah adalah satu diri utuh
yang berlainan. Satu orang dengan wajah yang berlainan sama sekali, yang
terpisah dari tubuh, tersekat satu sama lain, atau sengaja disekat. Mungkin ada
beberapa orang yang dengan ketat menyekat masing-masing “diri”. Keluarga sebaiknya
tak menghubungi nomor bisnis, kawan SMA dianjurkan untuk tidak berkunjung ke
alamat virtual tempat bernarsis ria, kekasih dilarang keras mengetuk pintu avatar
urusan hobi.
Sah saja, saya kira, jika ada sekian tuduhan
terkait gejala multiple identity. Barangkali fenomena ini merupakan wujud profesionalisme dan
proporsionalitas dalam era modern. Namun, satu sisi boleh jadi ini adalah sikap
ketidakpercayaan diri. Ia tak percaya pada kediriannya yang utuh. Bahwa dirinya
punya segala wajah begitu rupa, ia seakan menolaknya. Ia menolak dirinya
sendiri. Avatar-avatar virtul telah memantik alter ego seseorang untuk bangkit
dan eksis.
Manusia yang pada dasarnya adalah mahluk campur
aduk, chaos, berkelindan
antara rasionalitas, hasrat, emosi, dan segala hal kediriannya, luar dalam. Dibawah
panji modernitas, kedirian yang gado-gado ini lantas ditertibkan dengan
segmentasi-segmentasi yang nyaris rigid. Melalui avatar yang berlain-lainan itu, seseorang seakan ingin
menampilkan citra dirinya yang hanya satu wajah saja, yang sempurna. Rekanan bisnisnya
tak boleh tahu bahwa ia kerap menumpahkan kesedihannya ditinggal kekasih lewat
status-status Fb-nya. Ia ingin selalu terlihat tanpa cacat dari satu sudut. Ia ingin
tampil religius, pintar, dewasa, dan rendah hati di satu sisi, dan tanpa
diketahui sisi satunya, ia ingin pula menumpahkan hasrat narsistiknya yang
menggelora, atau mengumbar kehendak hedonistiknya yang menggebu-gebu. Dalam skala
parah, multiple identity boleh jadi adalah gejala robotisasi, sebuah proses dehumanisasi.
Sementara manusia merendah kepercayaan dirinya, saat
itu pula ia terjebak pada pola pikir robotik yang terkotak-kotak. Lambat laun,
ia akan mengalami kemiskinan identitas. Identitas kemanusiaannya yang kaya, kompleks,
dan utuh akan tercerai berai jadi serpihan kecil. Manusia mengalami krisis
identitas, hilang kecampur adukan khas manusianya. Perlahan, manusia akan
dijadikan mesin oleh mesin buatannya sendiri.
Ataukah fenomena ini merupakan reaksi hiruk pikuk
sosial yang makin menekan? Manusia tertekan hingga dirinya terpaksa pecah
sebagai usaha penyelamatan diri, pecah kedalam avatar-avatar virtual. Alih-alih
memenuhi kebutuhan, identitas yang beragam itu lebih merupakan tempat pelarian.
Ah, ini semua hanya sangkaan saja. Sebuah kegelisahan.
Rengganis,
2 – 3 Nov. 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar