Kamis, 03 November 2016

Multiple Identity; sebuah gejala dehumanisasi


Multiple Identity
Sebuah Gejala Dehumanisasi

Suatu gerakan kebudayaan 250 tahun lalu yang berawal di Eropa sana, agaknya mampu mengubah wajah seluruh dunia dengan cukup drastis sampai hari ini. Revolusi indutri agaknya telah memberi banyak warisan penting bagi perkembangan kehidupan modern. Dan cybernet adalah salah satu warisan revolusi indutri yang paling akrab dengan manusia dalam kesehariannya. Berkatnya, komunikasi virtual agaknya menjadi media interaksi manusia yang paling mainstream di abad XXI ini. Untuk sekedar bercakap, mungkin hari ini orang-orang lebih nyaman chating ketimbang harus berjumpa langsung dengan lawan bicaranya. Cybernet memang belum ditemukan pada era revolusi industri, namun sejak saat itulah wajah dunia berubah total, umat manusia memasuki zaman baru. Industrialisasi serta penggunaan teknologi modern menjadi semacam syarat untuk hidup. Dampaknya menjalar ke seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan spiritualitas. Dan anak cucu lain dari revolusi industri ialah teknologi informasi.

Sejak penemuan pesawat telpon pada tahun 1800an oleh Antonio Meucci (yang kemudian “diambil alih” oleh Alexander Graham Bell), dunia teknologi komunikasi terus memperbarui dirinya dengan segudang temuan-temuan. Terlebih setelah Leonard Kleinrock “menciptakan” internet pada 1969, jarak nyaris tidak lagi jadi persoalan dalam dunia komunikasi. Ketakterbatasan akses komunikasi dan informasi ini  berpengaruh cukup besar pada paradigma manusia modern kini. Modernitas yang makin likuid menjadikan segalanya nyaris mencair dan bahkan luber tak tertahankan. Kini, pada waktu yang sama, seseorang mampu bercakap dengan banyak orang di berbagai tempat berbeda dengan jarak ratusan bahkan ribuan mil jauhnya. Saya yang di Ciamis ini bisa langsung bercakap dengan Presiden Republik Angola nan jauh di sana, jika diinginkan. Sembari itu pula, “diri saya yang lain” bisa dengan mudah menulis pesan pada kekasih di Paris sana, atau mengunduh anime episode teranyar, atau mengunggah foto diri saya yang sedang berlibur di Situ Lengkong Panjalu, sembari  mengunggah sebuah tulisan semcam ini, misalnya.  

Lebarnya akses pada dunia via dunia virtual, membuat seseorang mampu melakukan banyak hal dalam satu waktu. Kemampuan ini pula barangkali yang menyebabkan manusia modern tertarik memiliki lebih dari satu “diri”. Banyaknya bidang yang mungkin dilakoni seseorang menyebabkan ia memilih “membelah” dirinya menjadi kepingan-kepingan diri. Kemudian, ia tinggal memilih kepingan mana  yang dipandang sesuai dengan bidang yang ia lakoni. Dengan cybernet, manusia mampu menjadi mahluk multidimensional dalam arti yang lain.

Sebagai mahluk akting, manusia punya kemampuan mengubah-ubah dirinya sesuai dengan ruang dan waktu yang sedang ia lakoni. Manusia mampu mengubah intonasi suara, eskpresi, gestur, sikap tubuh, serta perangkat akting lainnya sesuai dengan situasi yang menghendakinya. Beribu topeng tersedia di lemari kita masing-masing untuk berbagai kepentingan yang berbeda. Ada topeng keep smile yang biasa digunakan tatkala berjumpa dengan bos atau atasan. Ada topeng wajah batu tatkala kita berjumpa dengan anak buah, agar tampak dewasa dan berwibawa. Ada pula topeng sedih penuh derita yang biasanya gemar dipakai ketika sedang berdo’a. Dan berjuta topeng lain dengan kegunaannya sendiri-sendiri yang kesemua itu menubuh pada tubuh yang satu, nyawiji.

Pada manusia tanpa gangguan kejiwaan, topeng-topeng psikis itu adalah keutuhan identitas manusia. Artinya, sebanyak apapun topeng yang ia miliki, ia tetap utuh dalam kesatuan jiwa dan badan, berkelindan dan saling mengenal. Yang dinamakan identitas, ya adalah harmonitas antara topeng-topeng tersebut. Karena ada dalam tubuh dan jiwa yang satu, maka topeng-topeng itu tidaklah terpisah. Ia muncul secara adaptif setelah membaca alam luar dan alam dalam dari si empunya jiwa raga. Lantas, bagaimana jika topeng-topeng itu, wajah-wajah itu, terpisah-pisah? Terbelah jadi kepingingan-kepingan?  Pecah? Kisah Sybil dan Billy Milligan yang melegenda itu boleh jadi gambaran yang cukup jelas tentang identitas yang terpecah belah. Lantas, apakah kepemilikan “multiple identity” dalam dunia virtual macam hari ini adalah wujud lain gangguang jiwa serupa yang diidap Sybil dan Billy? Multiple Personality Disorder itu?

Dalam dunia komunikasi berbasis teknologi modern, representasi diri sudah beralih dari nama diri (kata) menjadi nomor (angka), alamat virtual, bahkan identitas diri sudah bertransformasi menjadi kode-kode yang hanya mampu dibaca oleh mesin pemindai dengan sistem tertentu, mata telanjang manusia tak mampu membaca barcode BBM, sebagai contoh. Barcode kemudian itu mewakili diri dalam ranah sosial virtual.

Memiliki lebih dari dua “identitas” di zaman sekarang bukanlah hal aneh. Sudah sangat lazim ada dua atau tiga nomor telepon selular yang dimiliki satu orang. Ada dua atau tiga alamat surat elektronik, sekian account Facebook, sekian pin BBM, id Line, dan sekian identitas lain untuk masing-masing media komunikasi yang dimiliki oleh satu tubuh manusia. Jika mau ditelusur, efisiensi adalah alasan yang akan sering dilontar ketika ditanya alasan memiliki representasi identitas yang multi itu, mungkin.

Awalnya, mungkin pemecahan identitas itu jadi semacam segmentasi untuk mempermudah seseorang dalam memainkan perannya di lakon yang berbeda dalam waktu yang nyaris bersamaan. Satu nomor ponsel untuk urusan keluarga, satu lagi untuk urusan pekerjaan, satu lagi untuk urusan hobi, dan lainnya. Satu nama Fb untuk berhubungan dengan kawan-kawan SMA, satu untuk urusan bisnis, satu untuk propaganda, satu untuk kekasih, satu untuk narsis, dan sekian wajah lainnya. Segmentasi yang barangkali akhirnya dapat pula menjadi segregasi. Manusia menjaga ketat topeng virtual satu dan topeng lainnya agak tak saling jumpa. Atau bahkan, dalam jejaring sosial, adapula yang sengaja dipertemukan seolah mereka adalah avatar dari orang yang berlainan. Nama-nama Fb itu saling berkomentar padahal ia dikendalikan oleh satu tangan yang sama. Apakah ini iseng belaka? Suatu strategi jebakan? Ataukah gejala gangguan mental?

Apakah hal seperti ini merupakan modernisasi dari topeng-topeng psikis itu? Wajah-wajah itu? Wajah yang dulu, betapapun banyanya, masihlah melekat pada tubuh yang satu. Lain dengan wajah virtual yang hanyalah avatar, tak melekat pada tubuh. Wajah-wajah itu seolah adalah satu diri utuh yang berlainan. Satu orang dengan wajah yang berlainan sama sekali, yang terpisah dari tubuh, tersekat satu sama lain, atau sengaja disekat. Mungkin ada beberapa orang yang dengan ketat menyekat masing-masing “diri”. Keluarga sebaiknya tak menghubungi nomor bisnis, kawan SMA dianjurkan untuk tidak berkunjung ke alamat virtual tempat bernarsis ria, kekasih dilarang keras mengetuk pintu avatar urusan hobi.

Sah saja, saya kira, jika ada sekian tuduhan terkait gejala multiple identity. Barangkali fenomena ini merupakan wujud profesionalisme dan proporsionalitas dalam era modern. Namun, satu sisi boleh jadi ini adalah sikap ketidakpercayaan diri. Ia tak percaya pada kediriannya yang utuh. Bahwa dirinya punya segala wajah begitu rupa, ia seakan menolaknya. Ia menolak dirinya sendiri. Avatar-avatar virtul telah memantik alter ego seseorang untuk bangkit dan eksis.

Manusia yang pada dasarnya adalah mahluk campur aduk, chaos, berkelindan antara rasionalitas, hasrat, emosi, dan segala hal kediriannya, luar dalam. Dibawah panji modernitas, kedirian yang gado-gado ini lantas ditertibkan dengan segmentasi-segmentasi yang nyaris rigid. Melalui avatar yang  berlain-lainan itu, seseorang seakan ingin menampilkan citra dirinya yang hanya satu wajah saja, yang sempurna. Rekanan bisnisnya tak boleh tahu bahwa ia kerap menumpahkan kesedihannya ditinggal kekasih lewat status-status Fb-nya. Ia ingin selalu terlihat tanpa cacat dari satu sudut. Ia ingin tampil religius, pintar, dewasa, dan rendah hati di satu sisi, dan tanpa diketahui sisi satunya, ia ingin pula menumpahkan hasrat narsistiknya yang menggelora, atau mengumbar kehendak hedonistiknya yang menggebu-gebu. Dalam skala parah, multiple identity boleh jadi adalah gejala robotisasi, sebuah proses dehumanisasi.

Sementara manusia merendah kepercayaan dirinya, saat itu pula ia terjebak pada pola pikir robotik yang terkotak-kotak. Lambat laun, ia akan mengalami kemiskinan identitas. Identitas kemanusiaannya yang kaya, kompleks, dan utuh akan tercerai berai jadi serpihan kecil. Manusia mengalami krisis identitas, hilang kecampur adukan khas manusianya. Perlahan, manusia akan dijadikan mesin oleh mesin buatannya sendiri.

Ataukah fenomena ini merupakan reaksi hiruk pikuk sosial yang makin menekan? Manusia tertekan hingga dirinya terpaksa pecah sebagai usaha penyelamatan diri, pecah kedalam avatar-avatar virtual. Alih-alih memenuhi kebutuhan, identitas yang beragam itu lebih merupakan tempat pelarian.

Ah, ini semua hanya sangkaan saja. Sebuah kegelisahan.

Rengganis,

2 – 3 Nov. 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...