Seorang lelaki usia kepala lima
terkulai di lantai. Tubuhnya jatuh tepat ketika lampu menyala. Ia menggeliat,
seperti hendak mengerang tapi tak kuasa. Samar-samar terdengar suara orang bernyanyi
lagu bahasa Muna, salah satu ragam bahasa di propinsi Sulawesi Tenggara.
Perempuan berkerudung merah bersuara membacakan dialog demi dialog. Mereka
seperti berbicara tapi tak pernah saling benar-benar jumpa. Mereka hanya mampu
saling membayang tanpa wajah saling jumpa. Mereka suami istri yang terpisah lantaran
fitnah. Sama-sama menunggu kebenaran, kebenaran yang selalu datang terlambat.
Adalah “Kesaksian”, sebuah monolog
produksi Teater Sendiri yang meruang di Padepokan Seni Budaya Rengganis Ciamis
pada Rabu, 22 Maret 2017. Ini kali merupakan pentasnya yang ke 26 usai meruang di
berbagai titik di Sumatra dan beberapa tempat lain. Teater Sendiri didirikan
tahun 1992 di Kota Kedari, Sulawesi Tenggara. Achmad Zain (AZ), pendiri
komunitas ini yang juga bermain sebagai aktor merangkap sutradara sekaligus
penulis naskah pada monolog kali ini. Ditemani seorang kawannya, Roy, Kak Stone,
demikian sapaan akrab AZ, melakukan pentas monolog keliling ke berbagai tempat
di Sulawesi, Sumatra, dan Jawa.
“Kesaksian” berkisah tentang seorang
Bupati Buton yang dituduh terlibat PKI dan harus mati tanpa kejelasan. Lakon
ini terilhami dari sebuah puisi karya Irianto Ibrahim berjudul Repostase
Kematian. Konon cerita ini merupakan kisah nyata yang diketahui lewat kesaksian
istri sang Bupati. Berawal dari suatu malam ketika sang tertuduh PKI ditangkap
paksa oleh militer pada tahun 1969 di Baubau, Sulawesi Tenggara. Pentas ini
berakhir dengan kesan sebuah keputusasaan usai penantian panjang menunggu
kebenaran yang rupanya selalu datang belakangan. Hingga akhir hayatnya, sang
Bupati tak pernah diketahui makam dan sisa jejaknya.
Berkisah tentang PKI memang selalu
seksi. Selain memang mengundang dan mengandung banyak kontroversi, berkisah
tentang hal satu ini selalu menyuguhkan banyak pembacaan dari pelbagai kaca mata.
“Kesaksian” AZ agaknya tidak bermaksud membaca PKI dari sudut ideologi, bukan
persoalan isme komunis atau gerakan kepartaiannya, apalagi bermaksud
membangkitkan kembali semangat palu arit. “Kesaksian” lebih merupakan sebuah
reproduksi realitas Buton masa lampau. AZ ingin berbagi kisah dan kepedihan
seorang manusia yang akhirnya musti jadi santapan manusia lain, homo homini
lupus. Si Aku tokoh akhirnya harus puas dengan kebenaran yang datang terlambat.
Tuduhan yang tak pernah terbukti namun mampu membuatnya berkalang tanah, mampu membuat
istrinya enggan menaikan bendera kecuali setengah tiang.
Menyoal homo homini lupus, sejak
zaman Habil Qabil hingga era digital dewasa ini, tema ini tak pernah usang
dimakan zaman. Manusia yang memangsa manusia lain selalu jadi benang merah yang
mampu menyambungkan perbagai peristiwa di sekian ruang dan waktu. Dunia politik
adalah salah satu alam yang mana praktik manusia adalah serigala bagi manusia
lain merupakan hal yang lumrah, biasa-biasa saja. Masa-masa menjelang pesta
demokrasi adalah waktu terbaik menonton bagaimana manusia memangsa manusia lain
demi kekuasaan. Bagaimana segala hal seolah tunduk tanpa wibawa di bawah kaki
politik demi perampokan yang terstruktur, sistematis, dan masif. “In war, you
can only be killed once, but in politics, many times”, demikian Winston
Churchill berkata.
Selain materi kisah yang seksi, AZ
agaknya berupaya menawarkan teater yang kompromisik. Ia tak mau memberatkan
diri dengan persoalan gedung pertunjukan, tata cahaya panggung, perangkat
suara, dan hal lain yang sebenarnya bersifat menunjang saja, yang bukan
substasi. Bahwa selama ini masih banyak insan atau kelompok teater yang
menjadikan fasilitas pentas sebagai kendala dan hambatan sebuah pertunjukan
teater, hal ini tidak berlaku bagi Teater Sendiri. Atmosfer teater Kendari
sebagai rahim Teater Mandiri menjadi ilham utama bagi gagasan konsep
pertunjukan teater yang kompromistik dan meruang. Selain selalu berusaha
meruang, menggunakan place apa pun menjadi stage, lelaki 53 tahun ini pun
selalu melibatkan penduduk setempat sebagai lawan main. Tokoh istri dalam
monolognya selalu dimainkan oleh perempuan setempat di mana ia pentas.
Menariknya, justru ia kerap meminta pemain perempuan yang notabene tidak begitu
akrab dengan panggung teater. Dengan monolognya, ia mengajak orang lain yang
bukan praktisi teater mengalami sebuah pengalaman panggung dengan harapan bahwa
panggung perdananya dapat menjadi candu, membuatnya ketagihan dan ingin lagi bermain
teater. Ini salah satu bentuk “syi’ar” teater yang menarik. Namun konsep
demikian bukanlah tanpa resiko.
Dengan minimalitas artistik visual,
tata musik, dan keterbatasan pengadegan, kekuatan utama lakon bertumpu pada
alur yang dominan dituturkan aktor secara verbal. Cerita dan aktor menjadi
amunisi utama pagelaran ini. Penonton dituntut menjadi khusuk agar cerita dapat
termamah secara utuh. Kata-kata menjadi senjata utama selain dari pada akting
yang musti benar-benar meyakinkan. Penguasaan teknik pemeranan dan tubuh aktor
agaknya menjadi hal wajib sebagai sarana utama penyampaian isi cerita sekaligus
konsep pertunjukan. Sayangnya, pada sajian Rabu malam di Ciamis, masih ada
beberapa kalimat yang kurang jelas terdengar lataran artikulasi dan volume
suara kurang optimal. Pemilihan warga lokal sebagai lawan main pun berresiko
membuat pertunjukan terasa campur aduk dalam hal dialek. Bagaimanapun dialek
bahasa daerah masih bisa terlacak meski ketika bertutur bahasa nasional, dan inilah yang terjadi pada
pentas “Kesaksian” ke 26 Rabu malam. Lentong Sunda Rini Rahmawati masih cukup
kentara nampak pada sekian tuturannya sebagai sosok istri tokoh yang notabene
mengambil daerah Sulawesi Tenggara sebagai identitas tokoh. Tentu ini menjadi
timpang dengan sang aktor yang bertutur dengan lidah Kendari. Dan agaknya hal
macam ini sering terjadi pada pentas-pentas lain di daerah lain.
Dibalik kesederhanaan panggung,
totalitas dan loyalitas adalah kemewahan yang dibawa AZ dan Bang Roy bersama
Teater Sendiri bertualang ke Bengkulu, Ciamis, Bandung, Tasikmalaya, Surabaya,
dan sekian tempat lain. Semangat ini pula yang menghangatkan diskusi Rabu malam
usai pertunjukan. Penggiat seni Ciamis dan penonton lainnya terlibat diskusi
hangat yang akhirnya mengkerucut pada kesadaran perlunya upaya terus-menerus
untuk berproses sambil tak bosan menggedor pemerintah agar mampu berpikir waras
dan bekerja sesuai mustinya. Ence Rusmana, S. Pd., M. M. selaku Kepala Seksi
Pembinaan Seni Disbudpora Ciamis hadir mengapresiasi bersama para penggiat seni
Ciamis, mahasiswa, dan penonton lainnya.
“Banyak yang merasa pintar tapi
tidak pintar merasa”
Demikian Achmad Zain mengomentari
carut marutnya pemetintah mengurusi kesenian baik di Ciams, Kendari maupun
Indonesia.
Rengganis,
23 maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar