Minggu, 07 Maret 2021

Kata Tolstoy tentang Pemerintah

 


Leo Nikolayevich Tolstoy sohor sebagai sastrawan besar kebanggaan Rusia. Ia lahir di Yasnaya Polyana, Tula, 200 km sebelah selatan Moskow, pada 9 September 1828.

 

Semasa hidup hingga tutup usia pada tahun 1910, ia mengalami “dikaisari” oleh empat Tsar Kekaisaran Rusia, yaitu Nikolai I (1825-1855), Aleksandr II (1855-1881), Aleksandr III (1881-1894), dan Tsar terakhir Kekaisaran Rusia, Nikolai II (1894-1917).

 

Masa-masa itu, pada ke abad ke-19, perang dan penjajahan adalah sesuatu yang wajar. Sambil saling berperang satu sama lain, monarki-monarki Eropa juga menjajah berbagai negara dunia. Rusia termasuk salah satunya.

 

Sejak Nikolai I naik tahta saja, setidaknya dua puluh pertempuran lebih dilakoni kekaisaran terbesar sepanjang sejarah itu hingga keruntuhannya pada tahun 1917. Salah satu yang terbesar sekaligus yang terakhir adalah Perang Dunia I yang berlangsung pada 1914-1918.

 

Tolstoy sendiri pernah menjadi tentara. Ia pernah terlibat langsung pada salah satu babak dari drama panjang Perang Kaukasus (1817-1864), yaitu invasi Kekaisaran Rusia ke daerah Kaukasus Utara. Rusia berniat mencaplok daerah tersebut dengan dalih memadamkan pemberontakan. Selain menganeksasi wilayah, Rusia juga disebut-sebut melakukan genosida kepada etnis setempat, yaitu etnis Adygea/Kaukasia.

 

Pengalamannya di kurusetra banyak mengilhami karya-karyanya, seperti  Sketsa-Sketsa Sevastapol dan Perang dan Damai yang beberapa penggal kisahnya berkaitan dengan perang. Karya-karyanya  banyak dipuji karena secara meyakinkan menggambarkan kondisi masyarakat Rusia kala itu. Tentang ketimpangan sosial, tentang kemalangan hidup, juga tentang cita-cita dan harapan.

 

Selain menjadi karya sastra, kondisi dunia saat itu yang sarat perang, kekerasan, penindasan, pembantaian, ketidakdilan, dan kemalangan hidup rakyat kecil dijadikannya pijakan untuk menyusun pandangannya prihal pemerintah, Kekristenan, negara, patriotisme, spiritualitas, moral, dan nilai-nilai hidup yang ideal. Di masa setelah kematiannya, pemikiran dan ajarannya itu sering diistilahkan sebagai Tolstoyisme.

 

Sejumlah pandangannya itu, selain implisit dalam karya sastranya, juga ia tulis secara jelas dalam esai-esainya. Dalam buku Patriotisme, Negara, dan Anarkisme terjemahan Heterotopioa dan Dhika Marcendy (Penerbit Liberta: Agustus 2020) yang merupakan sekumpulan esai karya Tolstoy yang disusun oleh pihak penerbit, terdapat sebuah esai berjudul “Apa Itu Pemerintah”.

 

Di alinea pertama, ia sudah menghendak dengan mengajukan tesis: “Kondisi menyedihkan yang dialami para pekerja adalah perbudakan. Penyebabnya adalah undang-undang. Perundang-undangan bertumpu pada kekerasan terorganisir.”

 

Pada kalimat-kalimat selanjutnya, ia menjelaskan bahwa yang menciptakan kekerasan terorganisir adalah pemerintah. “Oleh karena itu,” tulisanya, “perbaikan dalam kondisi masyarakat hanya bisa dilakukan lewat penghapusan kekerasan terorganisir.”

 

Tolstoy mengidealkan suatu kehidupan tanpa pemerintah yang menindas. Dalam pandangannya, pemerintah adalah sumber dari segala kemalangan manusia. Namun, ia tidak menghendaki jika penghancuran pemerintah itu dilakukan dengan cara kekerasan (sebagaimana yang umum digaungkan komunis).

 

Dalam esainya yang lain, “Bagaimana Pemerintah Dapat Dihapuskan”, ia menulis: “Semua upaya untuk menghapus perbudakan dengan kekerasan sama seperti memadamkan api dengan api, mengentikan air dengan air, atau mengisi satu lubang dengan lubang lainnya.”

 

Sastrawan yang karya-karyanya jadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Rusia hingga kini tersebut mengibaratkan negara sebagai tumpukan batu-bata. Jika batu-bata disusun secara keliru—sebagaimana kondisi negara yang ia alami saat itu—alih-alih kokoh dan memberi manfaat, negara justru rapuh dan mudah dihancurkan.

 

Kendati demikian, untuk saat itu, negara belum perlu untuk ditiadakan. Dampaknya akan terlalu berbahaya, sebab pengaruhnya “meliputi semua kejahatan yang dilakukan masyarakat, bukan untuk mengurangi atau memperbaikinya, tetapi untuk memperkuat dan mengkonfirmasi kejatahan itu.”

 

Batu-bata itu musti disusun ulang agar dapat berdiri tegak dan dapat memberi manfaat. Demikian Tolstoy mengibaratkan.

 

Dalam tulisannya, ia mengkritik pemerintah yang mengatur rakyat seolah mereka tahu apa yang terbaik bagi rakyat padahal mereka sendiri tidak lebih baik dari yang diaturnya. Menurutnya, rakyat dapat hidup dan mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Tanpa pemerintah, toh, hidup tetap berjalan dan baik-baik saja.

 

Keberadaan pemerintah justru membuat hidup lebih buruk. Mereka memungut pajak dari rakyat Rusia saat itu seraya mengatakan bahwa mereka akan ditaklukan oleh Cina dan Jepang. Pemerintah butuh senjata dan kekuatan militer demi mempertahankan tanah Rusia, demi keamanan dan keselamatan rakyat. Pada kenyataannya hal tersebut hanyalah hoax belaka.

 

Rusia memang pernah berseteru dengan Cina di masa Dinasti Qing. Kala itu Kekaisaran Rusia menginvasi wilayah Manchuria pada saat terjadi Pemberontakan Boxing (Boxing Rebellion). Rusia berusaha memanfaatkan kekalahan Cina kala itu demi mencaplok wilayah perbatasan.

 

Sementara perang Rusia-Jepang terjadi pada tahun 1904-1905. Mereka memperebutkan wilayah Port Arthur (Lushun, Cina) dan Semenanjung Lialodong pasca kekealahan Cina pada Pemberontakan Boxing.

 

Namun, kabar penaklukan Jepang dan Cina terhadap Rusia yang digunakan pemerintah Rusia untuk menakut-nakuti rakyat hanyalah isapan jempol belaka dan tak pernah terjadi. Kondisi itu, menurut Tolstoy, justru dijungkirbalikan.

 

Alasan penarikan pajak yang memberatkan “demi keamanan rakyat Rusia”, “demi pertahan negara”, adalah mengada-ada. Yang terjadi justru sebaliknya. Rusia yang menyerang lebih dulu. Mereka yang  berambisi memperluas wilayah bukan mempertahankan sebagaimana yang katakannya pada rakyat mereka.  

 

Meski ia seorang bangsawan pemilik tanah dan perkebunan di wilayah Tula, ia mengkritik juga hak kepemilikan tanah di Rusia kala itu.

 

“Puluhan ribu hektar lahan hutan,” katanya, “hanya dimiliki oleh satu orang—sementara ribuan orang di dekatnya tidak mempunyai bahan bakar—perlu perlindungan lewat kekerasan. Demikian juga pabrik dan pekerjaan di mana beberapa generasi pekerja telah ditipu, dan terus ditipu. Namun, lebih dari ratusan ribu gantang gandum, milik satu orang juragan, telah ditimbun sampai kelaparan datang, dan akan dijual dengan harga tiga kali lipat.”

 

Tak hanya menghajar pemerintah dan para pemilik tanah, penulis Anna Karenina ini juga mengkritik rakyat yang karena telah terbiasa dengan koersi pemerintah, tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa pemerintah. Bagaimana hidup tanpa ada yang memerintah? Tanpa ada yang menekan dan menyiksa?

 

Namun, Tolstoy, dalam esai ini, melihat sebuah harapan lepas dari masokisme itu. Di penghujung abad ke-19 kesadaran rakyat akan kebobrokan pemerintah kala itu sudah terbangun.

 

“Dalam lima atau enam tahun terakhir, opini publik tentang rakyat jelata, tidak hanya di kota-kota, tetapi di desa-desa, dan tidak hanya di Eropa, tetapi juga di antara kita di Rusia, telah berubah secara menakjubkan,” tulisnya.

 

Sejarah mencatat, akhir abad ke-19 sampai penghujung abad ke-20 adalah masa emas komunisme. Oktober 1917, pecah Revolusi Bolshevik di Rusia. Sebagaimana diketahui, itulah titik awal kelahiran Uni Soviet, negara komunis pertama di dunia.

 

Meski pemikirannya disebut banyak mengilhami kelahiran dan perkembangan komunisme,—sebagaimana Lenin menyebutnya “cermin Revolusi Rusia”—namun Tolstoy, dalam esai ini, sama sekali tidak menyinggung mengenai pendirian negeri komunisme.

 

Alih-alih mendirikan negara “diktator-proletar” seperti Uni Soviet, Tolstoy lebih menekankan rasionalitas, keberadaban manusia, serta ajaran Yesus Kristus sebagai pondasi kehidupan ketimbang dominasi dan kekuatan negara seperti yang sering dipertontonkan negara-negara komunis.


Dimuat di The Columnist pada 16 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...