Leo Nikolayevich Tolstoy sohor
sebagai sastrawan besar kebanggaan Rusia. Ia lahir di Yasnaya Polyana, Tula, 200
km sebelah selatan Moskow, pada 9 September 1828.
Semasa hidup hingga tutup usia
pada tahun 1910, ia mengalami “dikaisari” oleh empat Tsar Kekaisaran Rusia,
yaitu Nikolai I (1825-1855), Aleksandr II (1855-1881), Aleksandr III
(1881-1894), dan Tsar terakhir Kekaisaran Rusia, Nikolai II (1894-1917).
Masa-masa itu, pada ke abad ke-19,
perang dan penjajahan adalah sesuatu yang wajar. Sambil saling berperang satu
sama lain, monarki-monarki Eropa juga menjajah berbagai negara dunia. Rusia
termasuk salah satunya.
Sejak Nikolai I naik tahta saja,
setidaknya dua puluh pertempuran lebih dilakoni kekaisaran terbesar sepanjang
sejarah itu hingga keruntuhannya pada tahun 1917. Salah satu yang terbesar sekaligus
yang terakhir adalah Perang Dunia I yang berlangsung pada 1914-1918.
Tolstoy sendiri pernah menjadi
tentara. Ia pernah terlibat langsung pada salah satu babak dari drama panjang
Perang Kaukasus (1817-1864), yaitu invasi Kekaisaran Rusia ke daerah Kaukasus
Utara. Rusia berniat mencaplok daerah tersebut dengan dalih memadamkan
pemberontakan. Selain menganeksasi wilayah, Rusia juga disebut-sebut melakukan
genosida kepada etnis setempat, yaitu etnis Adygea/Kaukasia.
Pengalamannya di kurusetra banyak
mengilhami karya-karyanya, seperti Sketsa-Sketsa
Sevastapol dan Perang dan Damai yang beberapa penggal kisahnya berkaitan
dengan perang. Karya-karyanya banyak
dipuji karena secara meyakinkan menggambarkan kondisi masyarakat Rusia kala
itu. Tentang ketimpangan sosial, tentang kemalangan hidup, juga tentang
cita-cita dan harapan.
Selain menjadi karya sastra,
kondisi dunia saat itu yang sarat perang, kekerasan, penindasan, pembantaian, ketidakdilan,
dan kemalangan hidup rakyat kecil dijadikannya pijakan untuk menyusun
pandangannya prihal pemerintah, Kekristenan, negara, patriotisme, spiritualitas,
moral, dan nilai-nilai hidup yang ideal. Di masa setelah kematiannya, pemikiran
dan ajarannya itu sering diistilahkan sebagai Tolstoyisme.
Sejumlah pandangannya itu, selain
implisit dalam karya sastranya, juga ia tulis secara jelas dalam esai-esainya. Dalam
buku Patriotisme, Negara, dan Anarkisme terjemahan Heterotopioa dan
Dhika Marcendy (Penerbit Liberta: Agustus 2020) yang merupakan sekumpulan esai
karya Tolstoy yang disusun oleh pihak penerbit, terdapat sebuah esai berjudul “Apa
Itu Pemerintah”.
Di alinea pertama, ia sudah
menghendak dengan mengajukan tesis: “Kondisi menyedihkan yang dialami para
pekerja adalah perbudakan. Penyebabnya adalah undang-undang. Perundang-undangan
bertumpu pada kekerasan terorganisir.”
Pada kalimat-kalimat selanjutnya,
ia menjelaskan bahwa yang menciptakan kekerasan terorganisir adalah pemerintah.
“Oleh karena itu,” tulisanya, “perbaikan dalam kondisi masyarakat hanya bisa
dilakukan lewat penghapusan kekerasan terorganisir.”
Tolstoy mengidealkan suatu
kehidupan tanpa pemerintah yang menindas. Dalam pandangannya, pemerintah adalah
sumber dari segala kemalangan manusia. Namun, ia tidak menghendaki jika
penghancuran pemerintah itu dilakukan dengan cara kekerasan (sebagaimana yang
umum digaungkan komunis).
Dalam esainya yang lain,
“Bagaimana Pemerintah Dapat Dihapuskan”, ia menulis: “Semua upaya untuk
menghapus perbudakan dengan kekerasan sama seperti memadamkan api dengan api,
mengentikan air dengan air, atau mengisi satu lubang dengan lubang lainnya.”
Sastrawan yang karya-karyanya jadi
bacaan wajib di sekolah-sekolah di Rusia hingga kini tersebut mengibaratkan
negara sebagai tumpukan batu-bata. Jika batu-bata disusun secara
keliru—sebagaimana kondisi negara yang ia alami saat itu—alih-alih kokoh dan
memberi manfaat, negara justru rapuh dan mudah dihancurkan.
Kendati demikian, untuk saat itu,
negara belum perlu untuk ditiadakan. Dampaknya akan terlalu berbahaya, sebab
pengaruhnya “meliputi semua kejahatan yang dilakukan masyarakat, bukan untuk
mengurangi atau memperbaikinya, tetapi untuk memperkuat dan mengkonfirmasi
kejatahan itu.”
Batu-bata itu musti disusun ulang
agar dapat berdiri tegak dan dapat memberi manfaat. Demikian Tolstoy
mengibaratkan.
Dalam tulisannya, ia mengkritik
pemerintah yang mengatur rakyat seolah mereka tahu apa yang terbaik bagi rakyat
padahal mereka sendiri tidak lebih baik dari yang diaturnya. Menurutnya, rakyat
dapat hidup dan mengatur dirinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Tanpa
pemerintah, toh, hidup tetap berjalan dan baik-baik saja.
Keberadaan pemerintah justru
membuat hidup lebih buruk. Mereka memungut pajak dari rakyat Rusia saat itu seraya
mengatakan bahwa mereka akan ditaklukan oleh Cina dan Jepang. Pemerintah butuh
senjata dan kekuatan militer demi mempertahankan tanah Rusia, demi keamanan dan
keselamatan rakyat. Pada kenyataannya hal tersebut hanyalah hoax belaka.
Rusia memang pernah berseteru
dengan Cina di masa Dinasti Qing. Kala itu Kekaisaran Rusia menginvasi wilayah
Manchuria pada saat terjadi Pemberontakan Boxing (Boxing Rebellion).
Rusia berusaha memanfaatkan kekalahan Cina kala itu demi mencaplok wilayah perbatasan.
Sementara perang Rusia-Jepang
terjadi pada tahun 1904-1905. Mereka memperebutkan wilayah Port Arthur (Lushun,
Cina) dan Semenanjung Lialodong pasca kekealahan Cina pada Pemberontakan
Boxing.
Namun, kabar penaklukan Jepang dan
Cina terhadap Rusia yang digunakan pemerintah Rusia untuk menakut-nakuti rakyat
hanyalah isapan jempol belaka dan tak pernah terjadi. Kondisi itu, menurut
Tolstoy, justru dijungkirbalikan.
Alasan penarikan pajak yang
memberatkan “demi keamanan rakyat Rusia”, “demi pertahan negara”, adalah
mengada-ada. Yang terjadi justru sebaliknya. Rusia yang menyerang lebih dulu.
Mereka yang berambisi memperluas wilayah
bukan mempertahankan sebagaimana yang katakannya pada rakyat mereka.
Meski ia seorang bangsawan pemilik
tanah dan perkebunan di wilayah Tula, ia mengkritik juga hak kepemilikan tanah
di Rusia kala itu.
“Puluhan ribu hektar lahan hutan,”
katanya, “hanya dimiliki oleh satu orang—sementara ribuan orang di dekatnya
tidak mempunyai bahan bakar—perlu perlindungan lewat kekerasan. Demikian juga
pabrik dan pekerjaan di mana beberapa generasi pekerja telah ditipu, dan terus
ditipu. Namun, lebih dari ratusan ribu gantang gandum, milik satu orang
juragan, telah ditimbun sampai kelaparan datang, dan akan dijual dengan harga
tiga kali lipat.”
Tak hanya menghajar pemerintah dan
para pemilik tanah, penulis Anna Karenina ini juga mengkritik rakyat
yang karena telah terbiasa dengan koersi pemerintah, tidak bisa membayangkan
bagaimana hidup tanpa pemerintah. Bagaimana hidup tanpa ada yang memerintah?
Tanpa ada yang menekan dan menyiksa?
Namun, Tolstoy, dalam esai ini,
melihat sebuah harapan lepas dari masokisme itu. Di penghujung abad ke-19 kesadaran
rakyat akan kebobrokan pemerintah kala itu sudah terbangun.
“Dalam lima atau enam tahun
terakhir, opini publik tentang rakyat jelata, tidak hanya di kota-kota, tetapi
di desa-desa, dan tidak hanya di Eropa, tetapi juga di antara kita di Rusia,
telah berubah secara menakjubkan,” tulisnya.
Sejarah mencatat, akhir abad ke-19
sampai penghujung abad ke-20 adalah masa emas komunisme. Oktober 1917, pecah
Revolusi Bolshevik di Rusia. Sebagaimana diketahui, itulah titik awal kelahiran
Uni Soviet, negara komunis pertama di dunia.
Meski pemikirannya disebut banyak
mengilhami kelahiran dan perkembangan komunisme,—sebagaimana Lenin menyebutnya
“cermin Revolusi Rusia”—namun Tolstoy, dalam esai ini, sama sekali tidak
menyinggung mengenai pendirian negeri komunisme.
Alih-alih mendirikan negara “diktator-proletar”
seperti Uni Soviet, Tolstoy lebih menekankan rasionalitas, keberadaban manusia,
serta ajaran Yesus Kristus sebagai pondasi kehidupan ketimbang dominasi dan
kekuatan negara seperti yang sering dipertontonkan negara-negara komunis.
Dimuat di The Columnist pada 16 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar