Minggu, 07 Maret 2021

Bencana: Soal Memperlakukan Alam dan Manusia

 

Beberapa jam setelah pesawat Boing 737-500 Sriwijaya Air SJ-182 dikabarkan tenggelam di laut sekitar Kepulauan Seribu, 9 Januari 2021, Perumahan Pondok Daud yang dibangun nyaris di bibir tebing di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggu, Sumedang, Jawa Barat, merosot bersama tanah yang menopangnya, menimpa pemukiman yang tepat berada di bawahnya. Empat puluh orang meninggal dalam bencana tersebut.

 

Sejak itu, hampir semua headline berita mengabarkan bencana di Indonesia: banjir di Kalimantan Selatan; gempa di Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat; longsor di Manado, Sulawesi Utara; erupsi Gunung Semeru; banjir bandang di Bogor, dan lain sebagainya.

 

Indonesia berduka. Setelah bela sungkawa, bantuan, dan doa, yang tak kalah penting adalah evaluasi dan introspeksi. Fenomena alam seperti gempa bumi dan gunung meletus adalah niscaya. Namun, besarnya dampak adalah urusan tata kelola.

 

Meski dikategorikan bencana alam, banjir dan tanah longsor tidak sepenuhnya habitus alam. Manusia punya andil besar memperbesar skala dan dampaknya. Di sisi lain, bisa mencegahnya agar tak sampai terjadi. Pengelolaan lahan dan tata kelola pemukiman adalah salah kuncinya.

 

Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah cukup canggih untuk membaca jalur gempa, pola letusan gunung berapi, curah hujan, serta kemiringan dan kepadatan tanah. Dari data ini, wilayah mana saja yang berpotensi terkena dampak bencana sebenarnya bisa terpetakan.

 

Hal ini sepatutnya menjadi dasar penyusunan segala kebijakan, terutama sekali menyangkut pengelolaan lahan, tata kelola pemukiman, dan arsitektur. Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, pemilik modal, dan masyarakat harus sama-sama seiman dalam hal “salus populi suprema lex esto”.

 

Demi keselamatan manusia, musti ada kesadaran bahwa tidak semua lahan dapat dijadikan perkebunan sebagaimana tidak semua kawasan layak dijadikan pemukiman. Demikian pula, tidak semua kawasan cocok menggunakan satu desain arsitektur tertentu. Idealnya, tiap wilayah mengembangkan sendiri tata kelola lahan, pemukiman, dan arsitekturnya sesuai dengan kondisi alam.

 

Dalam hal ini, leluhur Nusantara telah sejak lama mawas diri. Beberapa bentuk rumah adat Sunda seperti Julang Ngapak, Tagog Anjing, Badak Heuay, Saung Ranggon, dan lain sebagainya menggunakan bambu dan kayu sebagai bahan utama. Dinding yang disebut bilik terbuat dari anyaman bambu. Demikian pula sejumlah tiang dan rusuk atap rumah juga berbahan dasar bambu dan kayu.

 

Untuk menyatukannya, alih-alih menggunakan paku atau mur-baud besi, karuhun Sunda menggunakan kayu atau bambu yang disebut paseuk. Untuk memperkuat, beberapa sendi rumah diikat menggunakan tali berbahan ijuk. Bangunan berbahan bambu dan kayu yang disatukan oleh paseuk dan ijuk, telah banyak dibuktikan tahan terhadap gempa sampai batas tertentu.

 

Ketika tanah terguncang, alih-alih roboh, bangunan justru akan lebih fleksibel mengikuti arah guncangan. Selain bantuk bangunan, leluhur Sunda juga telah memetakan kawasan-kawasan berdasarkan tipografi tanah dan geospasialnya dalam sebuah naskah kuno: Warugan Lemah.

 

Naskah tersebut berisi informasi mengenai berbagai jenis topografi tanah berikut sifat dan fungsinya bagi manusia. Warugan Lemah jika diterjemahkan bebas berarti ‘bentuk tanah’.

 

Filolog Aditia Gunawan menyebut bahwa naskah yang terdiri dari tiga lempir daun lontar ini memuat delapan belas pola tanah dan wilayah pemukiman, pengaruh baik dan buruknya bagi manusia serta mantra-mantra untuk menyucikannya.

 

Disebutkan bahwa salah satu bentuk topografi tanah yang tidak cocok untuk dihuni yaitu Sri Mandayung: tanah yang berada di antara satu sungai kecil disebelah kiri dan satu sungai besar di sebelah kanan. Tanah yang berada di antara dua sungai berpotensi terdampak banjir manakala volume air sungai naik akibat hujan lebat.

 

Sebaliknya, salah satu jenis topografi yang baik untuk dijadikan hunian adalah Sumara Dadaya yang berarti tanah yang datar. Hal ini sangat masuk akal sebab tanah yang datar relatif cocok untuk dijadikan pemukiman sebab minim resiko dampak bencana alam.

 

Dua istilah di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak hal bagaimana para leluhur Nusantara cermat dan seksama dalam menjalani kehidupan. Soal topografi tanah dan tata kelola pemukiman diatur sedemikian rupa. Selain karena keyakinan teologis, pengaturan tersebut juga dibuat demi keselamatan manusia manakala terjadi bencana.       

 

Boleh jadi apa yang tertera di naskah tersebut sudah harus ditafsir ulang sesuai dengan kondisi kekinian. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era 4.0 ini, alam nyaris teratasi. Namun, kala ia mengamuk, manusia, dengan segala pencapaiannya, tetap kalah perkasa.

  

Bencana yang datang bertubi di awal tahun ini, bergandengan dengan pandemi yang kurvanya tak kunjung melandai, boleh jadi mengajari manusia bahwa sikap mawas diri dan menghormati alam lebih arif dan bermanfaat ketimbang pongah dan sok gagah.

 

Warisan kekayaan mental, spiritual, dan intelektual dari para leluhur Nusantara adalah modal berharga bagi Indonesia untuk mengelola alam dan manusia secara arif. Tetapi semua itu akan gagap bila tidak diperjumpakan dengan ilmu pengetahuan moderen dan teknologi mutakhir. Di era post-modern, dikotomi Timur dan Barat, arus utama dan alternatif, kuno dan moderen, sudah seharusnya diruntuhkan.

 

Yang tak kalah penting—dan boleh jadi yang utama—semua kearifan ini akan kembali mentah manakala para pemangku kebijakan, pemilik modal, dan masyarakat tidak berada di frekuensi yang sama, setidaknya dalam soal memperlakukan alam dan manusia.


Dimuat di The Columnist pada 12 Februari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...