Beberapa jam setelah pesawat Boing
737-500 Sriwijaya Air SJ-182 dikabarkan tenggelam di laut sekitar Kepulauan
Seribu, 9 Januari 2021, Perumahan Pondok Daud yang dibangun nyaris di bibir
tebing di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggu, Sumedang, Jawa Barat, merosot
bersama tanah yang menopangnya, menimpa pemukiman yang tepat berada di
bawahnya. Empat puluh orang meninggal dalam bencana tersebut.
Sejak itu, hampir semua headline
berita mengabarkan bencana di Indonesia: banjir di Kalimantan Selatan; gempa di
Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat; longsor di Manado, Sulawesi Utara; erupsi
Gunung Semeru; banjir bandang di Bogor, dan lain sebagainya.
Indonesia berduka. Setelah bela
sungkawa, bantuan, dan doa, yang tak kalah penting adalah evaluasi dan
introspeksi. Fenomena alam seperti gempa bumi dan gunung meletus adalah
niscaya. Namun, besarnya dampak adalah urusan tata kelola.
Meski dikategorikan bencana alam, banjir
dan tanah longsor tidak sepenuhnya habitus alam. Manusia punya andil besar
memperbesar skala dan dampaknya. Di sisi lain, bisa mencegahnya agar tak sampai
terjadi. Pengelolaan lahan dan tata kelola pemukiman adalah salah kuncinya.
Ilmu pengetahuan dan teknologi
dewasa ini telah cukup canggih untuk membaca jalur gempa, pola letusan gunung
berapi, curah hujan, serta kemiringan dan kepadatan tanah. Dari data ini,
wilayah mana saja yang berpotensi terkena dampak bencana sebenarnya bisa
terpetakan.
Hal ini sepatutnya menjadi dasar penyusunan
segala kebijakan, terutama sekali menyangkut pengelolaan lahan, tata kelola
pemukiman, dan arsitektur. Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, pemilik modal,
dan masyarakat harus sama-sama seiman dalam hal “salus populi suprema lex
esto”.
Demi keselamatan manusia, musti
ada kesadaran bahwa tidak semua lahan dapat dijadikan perkebunan sebagaimana
tidak semua kawasan layak dijadikan pemukiman. Demikian pula, tidak semua
kawasan cocok menggunakan satu desain arsitektur tertentu. Idealnya, tiap
wilayah mengembangkan sendiri tata kelola lahan, pemukiman, dan arsitekturnya sesuai
dengan kondisi alam.
Dalam hal ini, leluhur Nusantara
telah sejak lama mawas diri. Beberapa bentuk rumah adat Sunda seperti Julang
Ngapak, Tagog Anjing, Badak Heuay, Saung Ranggon, dan
lain sebagainya menggunakan bambu dan kayu sebagai bahan utama. Dinding yang
disebut bilik terbuat dari anyaman bambu. Demikian pula sejumlah tiang
dan rusuk atap rumah juga berbahan dasar bambu dan kayu.
Untuk menyatukannya, alih-alih menggunakan
paku atau mur-baud besi, karuhun Sunda menggunakan kayu atau bambu yang
disebut paseuk. Untuk memperkuat, beberapa sendi rumah diikat
menggunakan tali berbahan ijuk. Bangunan berbahan bambu dan kayu yang disatukan
oleh paseuk dan ijuk, telah banyak dibuktikan tahan terhadap gempa
sampai batas tertentu.
Ketika tanah terguncang, alih-alih
roboh, bangunan justru akan lebih fleksibel mengikuti arah guncangan. Selain
bantuk bangunan, leluhur Sunda juga telah memetakan kawasan-kawasan berdasarkan
tipografi tanah dan geospasialnya dalam sebuah naskah kuno: Warugan Lemah.
Naskah tersebut berisi informasi
mengenai berbagai jenis topografi tanah berikut sifat dan fungsinya bagi
manusia. Warugan Lemah jika diterjemahkan bebas berarti ‘bentuk tanah’.
Filolog Aditia Gunawan menyebut
bahwa naskah yang terdiri dari tiga lempir daun lontar ini memuat delapan belas
pola tanah dan wilayah pemukiman, pengaruh baik dan buruknya bagi manusia serta
mantra-mantra untuk menyucikannya.
Disebutkan bahwa salah satu bentuk
topografi tanah yang tidak cocok untuk dihuni yaitu Sri Mandayung: tanah
yang berada di antara satu sungai kecil disebelah kiri dan satu sungai besar di
sebelah kanan. Tanah yang berada di antara dua sungai berpotensi terdampak
banjir manakala volume air sungai naik akibat hujan lebat.
Sebaliknya, salah satu jenis
topografi yang baik untuk dijadikan hunian adalah Sumara Dadaya yang
berarti tanah yang datar. Hal ini sangat masuk akal sebab tanah yang datar relatif
cocok untuk dijadikan pemukiman sebab minim resiko dampak bencana alam.
Dua istilah di atas hanya sedikit
contoh dari sekian banyak hal bagaimana para leluhur Nusantara cermat dan
seksama dalam menjalani kehidupan. Soal topografi tanah dan tata kelola
pemukiman diatur sedemikian rupa. Selain karena keyakinan teologis, pengaturan
tersebut juga dibuat demi keselamatan manusia manakala terjadi bencana.
Boleh jadi apa yang tertera di
naskah tersebut sudah harus ditafsir ulang sesuai dengan kondisi kekinian.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era
4.0 ini, alam nyaris teratasi. Namun,
kala ia mengamuk, manusia, dengan segala pencapaiannya, tetap kalah perkasa.
Bencana yang datang bertubi di
awal tahun ini, bergandengan dengan pandemi yang kurvanya tak kunjung melandai,
boleh jadi mengajari manusia bahwa sikap mawas diri dan menghormati alam lebih arif
dan bermanfaat ketimbang pongah dan sok gagah.
Warisan kekayaan mental,
spiritual, dan intelektual dari para leluhur Nusantara adalah modal berharga
bagi Indonesia untuk mengelola alam dan manusia secara arif. Tetapi semua itu
akan gagap bila tidak diperjumpakan dengan ilmu pengetahuan moderen dan
teknologi mutakhir. Di era post-modern, dikotomi Timur dan Barat, arus utama
dan alternatif, kuno dan moderen, sudah seharusnya diruntuhkan.
Yang tak kalah penting—dan boleh
jadi yang utama—semua kearifan ini akan kembali mentah manakala para pemangku
kebijakan, pemilik modal, dan masyarakat tidak berada di frekuensi yang sama,
setidaknya dalam soal memperlakukan alam dan manusia.
Dimuat di The Columnist pada 12 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar