Sejak gegap-gempita Pemilu 2019,
kampung saya keranjingan pemilu. Beberapa hari lalu kampung saya mengadakan
pemilihan Ketua RW secara langsung. Ini yang pertama dalam sejarah kampung
saya. Di akhir 2020, salah satu RT di kampung saya juga menyelanggarakan
pemilihan Ketua RT. Ini pun yang pertama dalam sejarah. Tahun 2020 memang tahun
di mana banyak hal terjadi untuk pertama kali.
Biasanya, Ketua RT dan RW dipilih
oleh Kepala Kampung (Dusun) dan para sesepuh. Masyarakat biasanya setuju saja. Tidak
ada pemilihan secara langsung. Tidak ada pula batas masa jabatan. Seorang Ketua
RT atau RW dianggap boleh dan sah menjabat seumur hidup meski Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) No. 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan dan
Lembaga Adat Desa membatasi masa jabatannya.
Menurut aturan tersebut, satu
periode masa jabatan pimpinan atau pengurus Lembaga Kemasyarakat Desa, termasuk
Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RW, dan RT adalah lima tahun. Mereka dapat
menjabat maksimal dua periode baik secara berurut-turut maupun akumulatif.
Persis seperti kepala daerah dan presiden, satu periode masa jabatan
berlangsung selama lima tahun.
Tapi di kampung saya yang berjarak
275 km dari Gedung DPR/MPR, setidaknya untuk level RT dan RW, aturan itu sama
sekali tidak berlaku. Dan saya yakin di banyak kampung lain pun demikian.
Tiap-tiap kampung, meski tidak
berjudul kampung adat, seolah memiliki aturan, adat, dan hukum sendiri, lepas
dari regulasi produk negara. Ketika saya mengatakan kepada para pemimpin
kampung bahwa Ketua RW punya batas masa jabatan selayaknya bupati, sebagian dari
mereka berkata, ”Ah, ini kan di kampung.”
Demikian pula ketika wacana
penyelenggaraan pemilihan Ketua RW dibuat serius dan formal lengkap dengan
pembacaan sumpah panitia beberapa saat sebelum dimulainya pencoblosan, hampir
semua panitia dan sesepuh, kompak mengatakan, “Ah, ini kan di kampung.”
Dalam penyelenggaraannya, yang
jadi acuan tetap saja pemilu yang diselenggarakan KPU. Namun, karena “Ah, ini
kan di kampung,” maka segalanya disesuaikan dengan kearifan lokal setempat.
Kami tidak menggunakan kertas surat suara sebagaimana umumnya pemilu. Sebagai
gantinya kami sepakat menggunakan stik es krim. Awalnya saya kurang setuju.
Tapi setelah dipikir kemudian, inilah pesta demokrasi a la kampung.
Sebagai pasangan stik es krim itu,
bambu dijadikan sebagai kota suara. Satu ruas bambu utuh, diperlihatkan pada
para saksi dan pemilih, menyatakan bahwa bambu itu masih “disegel”, masih asli.
Dengan disaksikan ramai-ramai, bagian atas bambu dilubangi seukuran stik es
krim.
Teknis “pencoblosanya” mengadaptasi
sistem noken yang umum di Papua. Pemilih diberi satu stik es krim bertanda
khusus. Ia disilakan memasukan stik itu ke dalam satu dari dua bambu khusus bergambar
wajah calon Ketua RW. Sebagai tanda usai “mencoblos” pemilih diminta untuk
mencelupkan jarinya ke dalam tinta, mirip pemilu konvensional.
Penghitungan suara adalah momen
yang teatrikal. Bukan pada saat menghitung siapa dapat berapa stik, melainkan
pada saat “membuka kotak suara”. Alih-alih membuka gembok bersegel, kami
membelah bambu itu dengan golok di hadapan seluruh hadirin. Stik-stik tersebut
lalu dihitung satu per satu untuk mengetahui dan menentukan siapa yang jadi pemenang.
Meski tidak seturut dengan aturan
KPU, namun kami sukses menyelenggarakan pemilu yang jujur, adil, langsung, bebas, umum, dan rahasia. Dan
semua pihak dapat menerima hasil putusan. Yang menang tidak jumawa. Yang kalah
pun menerima “vox populi vox Dei” dengan tawa riang. Yang kecewa pasti
ada, tapi mereka tidak bikin rusuh dan menerima “suara Tuhan” itu dengan lapang
dada.
Dan selayaknya pesta, makanan—yang
sepenuhnya sumbangan warga—berlimpah. Siapa saja boleh memakan apa saja.
Kecuali masa jabatan Ketua RT dan
RW yang unlimited, banyak hal lain di kampung saya yang seolah tak
tersentuh regulasi negara. Kita bisa dengan leluasa melintas di depan Markas
Polsek tanpa menggunakan helm bahkan dengan dua (cenglu-bonceng tilu)
atau tiga (cengpat-bonceng opat) penumpang morot sekaligus,
umpamanya, sambil say hello pada Pak Polisi yang sedang merokok santai di
warung. Yang mengenakan helm di kampung saya hanya orang asing atau ia yang
akan pergi ke kota, tempat hukum setengah tegak.
Kampung sedemikian fleksibel
terhadap aturan-aturan. Tidak ada pihak yang resah dan gerah tatkala aturan
negara dilanggar terang-terangan. Aturan-aturan negara hanya berlaku ketika
kami berurusan dengan dokumen kewarganegaraan atau bantuan sosial. Dan tentu
saja mata uang rupiah. Selebihnya, kami seperti hidup di negara tersendiri.
Negara-Kampung.
Yang utama dan terutama adalah
semua bahagia. Tegak atau tidaknya aturan negara, bukan suatu yang harus jadi
soal. Jika suatu saat negara bubar, bisakah kampung benar-benar berfungsi
sebagai “negara”, seperti dulu waktu “zaman suku”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar