Minggu, 07 Maret 2021

Demokrasi Stik Es Krim a la Negara-Kampung

 

Sejak gegap-gempita Pemilu 2019, kampung saya keranjingan pemilu. Beberapa hari lalu kampung saya mengadakan pemilihan Ketua RW secara langsung. Ini yang pertama dalam sejarah kampung saya. Di akhir 2020, salah satu RT di kampung saya juga menyelanggarakan pemilihan Ketua RT. Ini pun yang pertama dalam sejarah. Tahun 2020 memang tahun di mana banyak hal terjadi untuk pertama kali.

 

Biasanya, Ketua RT dan RW dipilih oleh Kepala Kampung (Dusun) dan para sesepuh. Masyarakat biasanya setuju saja. Tidak ada pemilihan secara langsung. Tidak ada pula batas masa jabatan. Seorang Ketua RT atau RW dianggap boleh dan sah menjabat seumur hidup meski Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan dan Lembaga Adat Desa membatasi masa jabatannya.

 

Menurut aturan tersebut, satu periode masa jabatan pimpinan atau pengurus Lembaga Kemasyarakat Desa, termasuk Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RW, dan RT adalah lima tahun. Mereka dapat menjabat maksimal dua periode baik secara berurut-turut maupun akumulatif. Persis seperti kepala daerah dan presiden, satu periode masa jabatan berlangsung selama lima tahun.

 

Tapi di kampung saya yang berjarak 275 km dari Gedung DPR/MPR, setidaknya untuk level RT dan RW, aturan itu sama sekali tidak berlaku. Dan saya yakin di banyak kampung lain pun demikian. 

 

Tiap-tiap kampung, meski tidak berjudul kampung adat, seolah memiliki aturan, adat, dan hukum sendiri, lepas dari regulasi produk negara. Ketika saya mengatakan kepada para pemimpin kampung bahwa Ketua RW punya batas masa jabatan selayaknya bupati, sebagian dari mereka berkata, ”Ah, ini kan di kampung.”

 

Demikian pula ketika wacana penyelenggaraan pemilihan Ketua RW dibuat serius dan formal lengkap dengan pembacaan sumpah panitia beberapa saat sebelum dimulainya pencoblosan, hampir semua panitia dan sesepuh, kompak mengatakan, “Ah, ini kan di kampung.”

 

Dalam penyelenggaraannya, yang jadi acuan tetap saja pemilu yang diselenggarakan KPU. Namun, karena “Ah, ini kan di kampung,” maka segalanya disesuaikan dengan kearifan lokal setempat. Kami tidak menggunakan kertas surat suara sebagaimana umumnya pemilu. Sebagai gantinya kami sepakat menggunakan stik es krim. Awalnya saya kurang setuju. Tapi setelah dipikir kemudian, inilah pesta demokrasi a la kampung.

 

Sebagai pasangan stik es krim itu, bambu dijadikan sebagai kota suara. Satu ruas bambu utuh, diperlihatkan pada para saksi dan pemilih, menyatakan bahwa bambu itu masih “disegel”, masih asli. Dengan disaksikan ramai-ramai, bagian atas bambu dilubangi seukuran stik es krim.

 

Teknis “pencoblosanya” mengadaptasi sistem noken yang umum di Papua. Pemilih diberi satu stik es krim bertanda khusus. Ia disilakan memasukan stik itu ke dalam satu dari dua bambu khusus bergambar wajah calon Ketua RW. Sebagai tanda usai “mencoblos” pemilih diminta untuk mencelupkan jarinya ke dalam tinta, mirip pemilu konvensional.

 

Penghitungan suara adalah momen yang teatrikal. Bukan pada saat menghitung siapa dapat berapa stik, melainkan pada saat “membuka kotak suara”. Alih-alih membuka gembok bersegel, kami membelah bambu itu dengan golok di hadapan seluruh hadirin. Stik-stik tersebut lalu dihitung satu per satu untuk mengetahui dan menentukan siapa yang jadi pemenang.

 

Meski tidak seturut dengan aturan KPU, namun kami sukses menyelenggarakan pemilu yang jujur,  adil, langsung, bebas, umum, dan rahasia. Dan semua pihak dapat menerima hasil putusan. Yang menang tidak jumawa. Yang kalah pun menerima “vox populi vox Dei” dengan tawa riang. Yang kecewa pasti ada, tapi mereka tidak bikin rusuh dan menerima “suara Tuhan” itu dengan lapang dada.

 

Dan selayaknya pesta, makanan—yang sepenuhnya sumbangan warga—berlimpah. Siapa saja boleh memakan apa saja.

 

Kecuali masa jabatan Ketua RT dan RW yang unlimited, banyak hal lain di kampung saya yang seolah tak tersentuh regulasi negara. Kita bisa dengan leluasa melintas di depan Markas Polsek tanpa menggunakan helm bahkan dengan dua (cenglu-bonceng tilu) atau tiga (cengpat-bonceng opat) penumpang morot sekaligus, umpamanya, sambil say hello pada Pak Polisi yang sedang merokok santai di warung. Yang mengenakan helm di kampung saya hanya orang asing atau ia yang akan pergi ke kota, tempat hukum setengah tegak.

 

Kampung sedemikian fleksibel terhadap aturan-aturan. Tidak ada pihak yang resah dan gerah tatkala aturan negara dilanggar terang-terangan. Aturan-aturan negara hanya berlaku ketika kami berurusan dengan dokumen kewarganegaraan atau bantuan sosial. Dan tentu saja mata uang rupiah. Selebihnya, kami seperti hidup di negara tersendiri. Negara-Kampung.

 

Yang utama dan terutama adalah semua bahagia. Tegak atau tidaknya aturan negara, bukan suatu yang harus jadi soal. Jika suatu saat negara bubar, bisakah kampung benar-benar berfungsi sebagai “negara”, seperti dulu waktu “zaman suku”?     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...