Komunikasi adalah tentang
memahami. Apa pun cara, media, dan bentuknya, ujungnya adalah pemahaman. Komunikasi
yang efektif adalah ketika semua yang terlibat dalam komunikasi tersebut
memahami tanpa keliru maksud yang dikomunikasikan.
Untuk urusan efektivitas
komunikasi, hewan mampu berkomunikasi jauh lebih efektif dari yang sejauh ini
dilakukan manusia. Maksud yang disampaikan akan dipahami oleh penerima pesan
persis sebagaimana yang dimaksudkan si pengirim pesan. Tidak ada keraguan di
dalamnya.
Belum pernah ada satu pun catatan
yang melaporkan seekor kucing betina salah memahami ngeongan si jantan yang
sedang birahi sebagai tantangan berkelahi. Dan demikian sebaliknya, kucing
jantan yang melihat betina menggeliat-geliat tahu betul bahwa itu adalah
“bahasa asmara”.
Gajah pun begitu. Sebagai mahluk
sosial, kawanan gajah dapat membedakan secara pasti mana seruan tanda bahaya
dari sang “kepala suku”, mana seruan yang berarti panggilan induk kepada
anaknya. Padahal jika didengar selintas oleh manusia, suara gajah, ya,
begitu-begitu saja.
Demikianlah para hewan
berkomunikasi. Dengan mengeong, mengaum, mengembik, meringkik, melolong,
menggong-gong, mengirim sinyal atau bau, mereka dapat berkomunikasi dengan
sangat efektif. Beberapa di antaranya bahkan dapat berkomunikasi lintas
spesies. Dan sejauh ini, tidak ada istilah miss communication (miss
comm) dalam dunia binatang kecuali jika diganggu oleh predator teratas
dalam rantai makanan: manusia.
Komunikasi yang mereka lakukan
sepenuhnya berdasarkan insting. Beberapa hewan memang didapati memiliki tingkat
kecerdasan yang mengagumkan. Anjing, kucing, kuda, burung kakak tua, gajah,
kera, lumba-lumba dan beberapa spesies lain bahkan dinilai mampu berkomunikasi
dengan manusia.
Kendati demikian cerdas,
hewan-hewan itu tidak pernah merumuskan sistem dan ilmu komunikasi, menciptakan
kebudayaan dan membangun peradaban sebagaimana manusia. Pernahkah ada seekor simpanse
yang berusaha menyusun kamus besar bahasa bangsa kera? Atau seekor katak yang
menjadi dekan fakultas ilmu komunikasi?
Jika cara, media, dan bentuk
komunikasi hewan ditentukan oleh insting belaka, maka pada manusia, semua itu
ditentukan oleh budaya yang, kita tahu, berbeda antara kelompok masyarakat yang
satu dengan yang lainnya.
Oleh karenanya komunikasi manusia tidak
seefektif dan universal layaknya hewan. Kucing Russia yang hendak
bercakap-cakap dengan kucing kenalan barunya yang berasal dari Jawa Barat tidak
harus susah-susah kursus bahasa Sunda atau Indonesia. Ngeong mereka dapat
dipahami dimana pun dan kapan pun. Namun, tidak demikian dengan manusia.
Ketimbang hewan, manusia jauh
lebih sering mengalami miss comm. Dari soal yang sepele yang berakhir
dengan gelak tawa karena lucu, sampai yang tragis dan berakhir dengan hilangnya
puluhan bahkan ratusan nyawa manusia, semua bisa terjadi gara-gara miss comm.
Komunikasi bukan hanya tentang
bahasa lisan atau tulisan. Sejatinya, segala bentuk ekspresi yang dimaksudnya
untuk menyampaikan pemahaman adalah komunikasi. Ketika seseorang merokok dalam
ruangan yang penuh sesak, kemudian salah seorang di antara mereka memaksakan
batuk, itu merupakan sebentuk komunikasi. Ia hendak menyampaikan pemahaman bahwa
“asap rokok Anda membuat saya tidak nyaman”. Atau yang lebih tegas: “Tolong
matikan rokok Anda!”
Persoalan tidak akan memanjang
manakala si perokok memahami komunikasi itu dan bersedia mematikan rokoknya.
Atau boleh jadi ia paham tapi enggan menggubris batuk itu. Yang repot adalah
ketika ia tidak paham makna batuk yang disengaja itu. Ia mengggap batuk itu
sebagai batuk saja dan tidak ada sangkut paut dengan dirinya yang merokok.
Dalam kondisi inilah komunikasi manusia terasa lebih buruk dari hewan.
Kendati begitu, manusia masih
meyakini segala persoalan dapat diselesaikan dengan komunikasi. Keyakinan ini
telah menancap kuat sepanjang sejarah manusia, dari zaman kuno hingga moderen.
Orang-orang zaman dulu percaya bahwa alam itu hidup dan memiliki jiwa.
Karenanya, alam bisa “diajak ngobrol”.
Orang-orang zaman kini sering
salah paham bahwa sesajen adalah semata-maata persembahan manusia kepada
arwah-arwah. Padahal, sesajen sejatinya adalah medium komunikasi manusia dengan
alam. Demikian pula mantra, do’a, nyanyian, musik, dan tarian tertentu, adalah
komunikasi manusia dengan “yang tak nampak”.
Ketika seorang anggota suku
tertentu menderita sakit, sang dukun akan membacakan jampi-jampi, melaksanakan
ritual tertentu, dan memberi si sakit berbagai ramuan. Semua itu adalah bentuk
komunikasi. Dukun menyampaikan maksud agar Yang Maha Kuasa mengangkat
penyakitnya.
Persoalan dalam hidup bukan hanya
antara manusia, melainkan antara manusia dan dirinya sendiri juga. Sebelum ada
terapis dan psikolog—yang pada titik tertentu dapat “berkomunikasi” dengan alam
bawah sadar manusia demi mencari dan menyembuhkan gangguan
psikologis—orang-orang terbiasa mengobati sendiri gangguang psikis yang
menderanya dengan meditasi.
Meditasi atau semedi ini adalah
bentuk komunikasi juga, yaitu antara “aku” dan “diriku sendiri”. Dengan
meditasi, “aku” berupaya lebih mengenal diri dengan cara menjalin komunikasi
yang lebih intim dengan alam batin.
Pertanyaan “apa, siapa, bagaimana,
kapan, dari mana, di mana, dan mau ke mana aku” adalah gerbang menuju
pengetahuan tentang diri yang paripurna. Untuk apa semua itu dilakukan? Tiada
lain tiada bukan demi mengatasi persoalan, yaitu ketidaktahuan diri yang
menggiring pada ketidaktenangan hidup.
Tapi, perkembangan zaman telah
mengubah semua itu. Dulu, di kala manusia masih sulit berkomunikasi dengan
manusia lain, ketika ilmu dan sarana komunikasi belum semaju dan secanggih
zaman kini, manusia sangat akrab dengan alam dan dirinya sendiri. Segala
persoalan hidup dikomunikasikan langsung dengan alam dan Sang Pemilik Alam.
Kini, ketika komunikasi antar
manusia nyaris tanpa batas, ketika teknologi komunikasi mengatasi ruang, ketika
ilmu komunikasi dipelajari secara khusus dan seksama, manusia makin “hilang
kontak” dengan alam.
Di zaman moderen, alam tidak lagi
“diajak ngobrol”. Tidak heran jika eksploitasi alam dilakukan gila-gilaan. Alam
tidak lagi dipandang sebagai saudara, sebagai guru, sebagai “percik cahaya
Tuhan”, tapi objek taklukan manusia semata. Komunikasi yang terbangun sejak
lama itu sirna sudah.
Ketika komunikasi dengan alam
memburuk atau bahkan terputus, manusia tidak lagi mengenal alam. Dampaknya
dirasakan sendiri oleh manusia: banjir, longsor, kerusakan ekologi, dan
berbagai malapetaka yang disebabkan tingkah polah manusia terhadap alam.
Demikian pula dengan diri sendiri.
Banyak orang yang pandai berkomunikasi dengan orang lain tapi tak pandai
berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Ia bisa dengan mudah menyelesaikan
permasalahannya dengan orang lain hanya dengan menelepon, berkata-kata manis, menebar
retorika, tapi kesulitan menyelesaikan kegundahan diri.
Manusia “hilang kontak” dengan
dirinya sendiri. Ia selalu dirundung bingung sebab pengetahuan tentang dirinya sendiri
tidak pernah tuntas, tidak pernah paripurna. “Aku” tidak pernah “diajak
ngobrol”. Pikiran dan hatinya mudah dikacaukan. Kebutuhan dan keinginan gampang
dipertukarkan. Akhirnya kewalahan menghadapi diri sendiri.
Sejauh ini manusia memang belum
mampu berkomunikasi seefektif dan seuniversal hewan. Oleh karenanya komunikasi
terus dipelajari dan diperbaiki demi hidup yang lebih baik. Dan manusia masih
dan terus percaya bahwa komunikasi adalah kunci, adalah jalan terbaik untuk
menyelesaikan segala persoalan.
Pandemi yang meluluhlantakkan
kehidupan ini patut dijadikan titik relfleksi. Manusia dipaksa berjarak antar
sesamanya, dipaksa menyendiri agar kembali bisa berkomunikasi dengan diri.
“Aku” kembali “diajak ngobrol”.
Pandemi ini jadi momen yang tepat
untuk mengembalikan manusia menjadi mahluk multidimensional, yang mampu
berkomunikasi tak hanya dengan sesama manusia, melainkan dengan diri sendiri
dan alam, tempat di mana, konon, Tuhan bersemayam.
Dimuat di The Writers pada 4 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar