Sejak beberapa tahun belakangan, kata
revolusi ramai lagi diperbincangkan. Seorang pemuka agama yang kini terjerat
kasus pelanggaran protokol kesehatan dan penghasutan, mempolulerkan Revolusi
Akhlak. Menurutnya, Revolusi Akhlak adalah jalan menuju Indonesia yang lebih
baik.
Sebelum itu, seseorang yang kini duduk
di pucuk pimpinan Indonesia membuat jargon Revolusi Mental. Senada dengan
pemuka agama itu, ia meyakini Revolusi Mental sebagai resep jitu memperbaiki
hidup di Tanah Air ini.
Puluhan tahun silam, di Indonesia,
kata revolusi lekat dengan golongan kiri. Komunisme gaya lama memang
menganjurkan, bahkan mengharuskan, revolusi negara demi terciptanya masyarakat
tanpa kelas. Dalam banyak catatan sejarah, revolusi kaum kiri di berbagai
negara selalu mensyaratkan kekerasan sebagai jalannya.
Pada tahun 1917, Kekaisaran Rusia
yang telah berdiri sejak 1721, runtuh diguncang Revolusi Bolshevik. Berbagai
pertempuran tak terelakan. Kaisar terakhir mereka, Nikolai II, beserta
keluarganya dieksekusi mati pada 17 Juli 1918 oleh kaum komunis Rusia.
Kekerasan sebagai jalan revolusi
juga terjadi di Cina. Negeri Panda itu diguncang perang hebat pada tahun 1949.
Partai Komunis Cina pimpinan Mao Ze Dong bermaksud merebut kekuasaan dari
tangan kelompok nasionalis. Lebih dari satu juta orang menjadi korban
peperangan itu.
Tak hanya komunisme, kekerasan
dalam revolusi juga terjadi atas nama isme-isme lain. Di Prancis, revolusi
menggulingkan monarki yang telah berusia berabad-abad terjadi pada akhir abad
ke-18. Rakyat Prancis menghendaki lahirnya sebuah republik yang demokratis dan
sekuler.
Napoleon Bonaparte yang legendaris
itu moncer sebagai pemimpin revolusi. Alih-alih membawa kehidupan yang
lebih baik dan damai, ia malah memantik sejumlah perang besar di Eropa. Jutaan
nyawa menjadi korban.
Apakah revolusi harus selalu
melibatkan kekerasan? Sejumlah fakta sejarah memang mengatakan demikian. Namun,
kekerasan dalam rangka apa pun, termasuk dalam revolusi, tidak pernah
menghasilkan apa pun selain kekerasan yang lain. Tidak ada kedamaian dan
kebaikan melalui kekerasan. Demikian Leo Tolstoy berpendapat.
Lahir di Rusia pada tahun 1828,
Leo Nikolayevich Tolstoy, dikenal luas sebagai seorang sastrawan dunia. Ia disebut-sebut
sebagai sastrawan terbesar Rusia. Pemimpin Revolusi Bolshevik sekaligus diktator-proletar
pertama Uni Soviet, Vladimir Lenin, menyebutnya “cermin Revolusi Rusia”.
Sejumlah karyanya yang bergenre
realis banyak menggambarkan luka-liku kehidupan rakyat Rusia era kekaisaran yang
acap diwarnai perang yang menyengsarakan mereka.
Meski Lenin memujanya, namun
Tolstoy tidak sejalan dengan apa yang ditempuh kaum komunis: revolusi melalui kekerasan.
Ia menganjurkan anarkisme. Kondisi
a-narki (tanpa pemerintah/otoritas/kekuasaan) adalah yang terbaik.
“Kontrak Sosial” antar manusia akan terjadi secara alamiah dan wajar. Tidak ada
koersi. Tidak ada represi. Tidak ada yang menguasai dan dikuasai. Semua hidup
dalam posisi yang sejajar. Kalaupun terjadi kekerasan, tidak akan sampai
terorganisir sebagaimana kekerasan yang dilakukan pemerintah.
Di mata Tolstoy—dan secara umum di
mata anarkis—pemerintah adalah sumber malapetaka karena mereka mengeskploitasi
rakyat demi keuntungan mereka dan lingkarannya sendiri. Rakyat ditindas dengan
kejam seraya dipunguti pajak bukan demi kesejahteraan dan kebaikan rakyat,
melainkan demi kelanggengan kekuasaan dan pemenuhan ambisi pemerintah.
Perang, penguasaan tanah oleh
segelintir orang, pemusatan modal, perbudakan, dan kekejaman lain yang
dilakukan pemerintah atas nama negara yang menyengsarakan orang banyak, tidak
bisa dibenarkan menurut nalar dan hati nurani.
Kondisi ini diperparah karena
rakyat tak berdaya dan terperdaya. Alih-alih melawan, rakyat justru ikut serta
dalam kekejaman pemerintah dengan terus membayar pajak dan mendaftarkan diri
menjadi tentara, dua hal yang menurut Tolstoy merupakan senjata utama
pemerintah melanggengkan kekuasannya.
Manusia sebagai makhluk berakal
dan memiliki hati nurani sepatutnya mempertanyakan keikutsertaannya dalam
segenap tindakan pemerintah yang bertentangan dengan nalar dan hati nurani.
Rakyat harus melawan namun bukan
dengan kekerasan. Kondisi a-narki yang idamkan tidak bisa dicapai
melalui revolusi berbasis “dinamit dan belati” sebagaimana yang kerap dilakukan
para anarkis dan nihilis. Hal demikian justru memburuk keadaan sebab merusak
opini puiblik, senjata utama people power.
Terhadap kaum revolusioner yang
kompromistis, ia juga mengajukan keberatannya. Kelompok ini masuk ke
pemerintahan dengan niat menghancurkannya dari dalam. Namun, pemerintah telah
memperhitungkan segala kemungkinan.
Sebagaiamana yang dipraktekan
dalam percaturan politik Indonesia dewasa ini, daripada “oposisi” ini
berkeliaran di luar pemerintah dan membuat gaduh, “merangkulnya” ke dalam
jajaran penguasa adalah pilihan yang lebih cerdas.
Pemerintah dapat memantau dan mengontrolnya,
mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mengancam kekuasaan mereka bahkan
sebelum menyeruak ke permukaan. Alih-alih menjadi Kuda Troya, mereka malah jadi
alat penguasa meredam segala gejolak yang meresaskan.
Baik yang menentang dengan jalan
kekerasan atau yang kompromistis, keduanya sama-sama tidak membuahkan apa-apa
selain menjauhkan mereka dari tujuan revolusi: menghapuskan pemerintah.
Sebagai solusi, dalam esainya
“Tentang Anarki” (1900), ia mengajukan Revolusi Moral sebagai “satu revolusi
permanen”. Tidak ada jalan lain yang mungkin selain merevolusi moral manusia
melalui apa yang ia sebut “kelahiran kembali batin manusia”.
Demi hidup yang lebih baik, manusia
harus merdeka akal dan nuraninya. Cinta dan kearifan harus menjadi dasar segala
tindakan. Bagi Tolstoy, hal ini sejalan dengan ajaran Kristus, “bukan karena
Kristus adalah Tuhan atau manusia agung, tetapi karena ajarannya tidak dapat
disangkal.” Ia yakin bahwa tidak akan kejahatan yang lahir dari “cinta dan
kearifan”, dua hal ajaran universal Kristus.
Sebagai mahluk rasional, manusia
tahu bahwa dirinya akan mati. Terlepas dari percaya atau tidak akan adanya
Tuhan dan kehidupan pasca kematian, hal itu adalah fakta tak terbantahkan. Bagi
seorang yang percaya Tuhan, mereka meyakini bahwa seluruh tindakannya akan
dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, mereka senantiasa menyelarasakan
segala tindakan dengan ajaran Tuhan, melawan penindasan adalah salah satu di
antaranya.
Sementara, bagi seorang atheis
yang menjungjung tinggi nalar dan cinta sebagai pondasi hidup, setidaknya
sekali sebelum mati, melawan kesewenang-wenangan pemerintah yang irasional dan
melecehkan cinta kasih adalah suatu keharusan.
Maka, bagi siapa pun, melawan
pemerintah adalah patut, demi hidup yang lebih baik. Mengganti pemerintah
dengan pemerintah hanya akan memperpanjang kekerasan sebab pemerintah dan
kekerasan bak dua sisi mata uang. Satu-satunya jalan adalah ditiadakan sama
sekali. Anarki.
Menggugah kesadaran adalah awal
dari “kelahiran kembali batin manusia”. Rakyat harus menyadari bahwa malapetaka
yang diakibatkan pemerintah yang menderanya dapat diubah hanya dengan cinta dan
akal sehat, bukan dengan kekerasan.
Di akhir esainya yang ia tulis di
tahun pertama abad ke-20, Tolstoy menulis sebuah refleksi mendalam yang, meski
ditulis seratus dua puluh tahun silam, masih sangat relevan dengan kondisi hari
ini:
“Namun, di dunia kita semua, orang
berpikir untuk mengubah kemanusiaan, dan tidak ada yang berpikir untuk mengubah
dirinya sendiri.”
Dimuat di The Columnist pada 25 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar