Hari-hari ini, hampir tidak ada
media yang tidak memberikatakan bencana di Indonesia. Sejak peristiwa jatuhnya
pesawat Boing 737-500 Sriwijaya Air SJ-182 di laut sekitar Kepulauan Seribu
pada 9 Januari 2021, bertubi-tubi kabar bencana memenuhi pemberitaan
sehari-hari.
Di hari yang sama dengan jatuhnya
pesawat itu, longsor hebat terjadi di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Tanah dan
reruntuhan bangunan dari Perumahan Pondok Daud yang berdiri nyaris di bibir
tebing menimbun puluhan rumah dibawahnya. Puluhan orang dikabarkan meninggal,
termasuk beberapa aparat yang bermaksud memberikan pertolongan.
Tiap tahun ketika musim hujan
datang, Indonesia harus ekstra waspada. Potensi fenomena alam longsor, banjir, dan pohon tumbang menjadi
berkali lipat. Selain karena curah hujan yang tinggi, perilaku manusia terhadap
alam juga menjadi faktor yang memperparah dampak bencana ini.
Terkait istilah “bencana alam”,
budayawan Sujiwo Tedjo mengajukan keberatan. Dalam sebuah wawancara dengan
jurnalis senior Karni Ilyas, ia menyebut bahwa istilah tersebut kurang tepat
dan cenderung “kurang ajar kepada alam”.
Banjir, longsor, pohon tumbang,
dan sekian fenomena alam yang lantas disebut “bencana” itu menurutnya adalah
gerak alam mencari keseimbangan baru. Sebagai ganti “bencana alam”, dalang
eksentrik itu mengajukan istilah “sabda alam”.
Sabda alam yang dimaksud tentu
bukan dalam arti alam berkata-kata secara verbal sebagaimana manusia. “Sabda”
alam adalah segala gerak dan laku (fenomena) alam seturut hukum yang ada
padanya: hukum alam.
Air, misalnya. Sejak dulu hingga
kini sifat air tetaplah begitu: mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang
lebih rendah, meresap ke tanah, memenuhi ruang, dan lain sebagainya. Hingga saat
ini, belum ada temuan terbaru yang menyatakan adanya perubahan sifat dan
karakteristik air.
Banjir boleh jadi fenomena alam.
Namun, dampaknya pada manusia sebagian besarnya disebabkan oleh manusia
sendiri. Sejarah mencatat bagaimana bangsa Mesir Kuno mampu memanfaatkan banjir
tahunan Sungai Nil yang disebabkan salju yang mencair di Pegunungan Ethiopia dan
hujan lebat musim panas.
Setelah luapan air sungai surut,
lumpur akan mengendap di tanah yang dibanjiri. Hal ini membuat tanah menjadi
subur. Oleh orang-orang Mesir Kuno, lahan bekas endapan tersebut dimanfaatkan
sebagai lahan bercocok tanam.
Menganai kearifan manusia merespon
“sabda alam”, leluhur Nusantara tidak kalah bijak dengan bangsa Mesir Kuno. Hal
ini dapat dilihat, salah satunya, dalam bentuk rumah dan tata pemukiman di
perkampungan-perkampungan adat.
Karuhun ‘leluhur’ Sunda, misalnya. M.
Arif Wibowo, seorang arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung yang telah
meneliti 7 kampung tradisional Sunda, menyatakan bahwa penataan kampung-kampung
adat dilakukan secara matang dengan mempertimbangkan dampak “sabda alam” yang
mungkin terjadi.
Dari hasil penelitiannya untuk
buku Peradaban Sunda Kuno, ia menemukan bahwa pemukiman urang
Sunda masa lampau selalu dibangun di kontur tanah yang lebih rendah dari hutan
di sekitarnya. Hutan tersebut lantas ditetapkan sebagai “leuweung karamat”
(hutan larangan).
Dan sebagaimana hutan yang
dikeramatkan, pohon-pohon di sana tidak boleh ditebang. Hutan berserta isinya harus
dibiarkan asli sebagaimana adanya. Hutan keramat ini berfungsi sebagai daerah
resapan air. Larangan penebangan pohon dibuat agar tidak terjadi longsor sebab
akar-akar pohon adalah “pasak bumi” alami.
Hal lain yang dicatat Arif adalah
pantangnya orang-orang di kampung adat itu mengambil air dari dalam tanah,
seperti menggunakan sumur bor. Mereka hanya mengambil dan memanfaatkan air yang
ada di permukaan tanah.
Menurut Arif, hal ini demi menjaga
keutuhan komposisi tanah. Air yang secara masif disedot dari dalam tanah
berpotensi menyebabkan perubahan kepadatan dan komposisi tanah. Hal ini berdampak
pada kekuatan tanah menopang bangungan yang ada di atasnya.
Selain dari tata letak pemukiman,
bentuk dan arah hadap rumah adat Sunda juga memiliki fungsi tersendiri. Rumah
adat Sunda atau imah panggung dibuat berjarak dengan tanah. Bagian
“kolong” rumah dibiarkan kosong. Selain itu, rumah-rumah tersebut dibangun
memanjang ke arah hutan keramat.
Selain memiliki makna filosofis
dan kosmologis, arah hadap dan bentuk semacam ini berfungsi agar rumah tak
menghambat aliran air ketika mengalir dari dataran yang lebih tinggi tatkala
hujan tiba.
Yang mendasari semua hal tersebut
adalah cara pandang urang Sunda terhadap alam. Bagi urang Sunda, dan
secara umum bagi masyarakat adat di seluruh Nusantara, alam adalah saudara. Dan
sebagaimana perlakuan manusia pada saudaranya, alam bukan untuk ditaklukan,
melainkan dijadikan patner dalam menjalankan dan mengelola hidup.
Leluhur Nusantara bukanlah
manusia-manusia terbelakang yang asing pada ilmu pengetahuan. Dalam hal tata
pemukiman dan bidang geospasial, umpamanya, urang Sunda memiliki sebuah naskah
kuno bernama Warugan Lemah yang diprediksi ditulis atau disalin sebelum
abad ke-17. Dalam bahasa Indoensia, istilah tersebut dapat dimaknai bentuk
tanah.
Menurut filolog Aditia Gunawan,
naskah yang kini tersimpan di Perpusatakaan Nasional RI dengan nomor koleksi L
622 Peti 88 ini memuat setidaknya 18 pola pemukiman berdasarkan topografi
tanah.
Dikatakan bahwa beberapa pola,
seperti Talaga Hangsa (tanah condong ke kiri), Singha Purusa
(kawasan antara puncak dan kaki bukit), dan Sumara Dadaya (tanah
datar/lapang), adalah jenis topografi yang baik untuk dijadikan pemukiman.
Sementara topografi Ngalingga Manik (puncak yang rata) biasanya
digunakan sebagai kawasan tempat peribadatan.
Sedangkan pola Luak Maturun
(tanah berceruk karena ditengah wilayahnya terdapat lembah), Sri Mandayung
(tanah di anara dua aliran sungai), dan Si Bareubeu (kawasan yang berada
di bawah aliran sungai), disebut kurang baik dijadikan tempat pemukiman.
Di era Revolusi 4.0 yang serba
canggih kini, kearifan lokal semacam itu cenderung hanya menjadi koleksi museum
belaka. Sebatas ditonton dan dikagumi. Mengapa berhenti pada kagum saja?
Akan sangat berguna bila
tinggalan-tinggalan budaya semacam itu dikaji secara mendalam dan diserap ke
dalam ilmu pengetahuan moderen agar dapat selaras dengan perkembangan sains dan
teknologi mutakhir.
Nantinya, Indonesia akan
mengembangkan sendiri corak khas sains dan teknologinya berdasarkan kearifan
lokal. Kecuali itu, yang tidak boleh terlupa dan menjadi utama adalah mewarisi
cara pandang leluhur Nusantara terhadap alam.
Alam adalah saudara. Hidup harmoni
dengan alam adalah pilihan paling masuk akal dibanding habis-habisan
mengeksploitasinya demi keuntungan materi semata. Bila alam “telah bersabda”,
siapa mampu melawannya?
Dimuat di Qureta pada 22 Februari 2021
The 8 Best Hotels in Laughlin, NV - Mapyro
BalasHapusHotels with Mapyro Hotels 광주 출장마사지 · The LINQ Hotel & Casino 군산 출장안마 Las Vegas · The LINQ Hotel & Casino Las 안산 출장안마 Vegas · The LINQ 영주 출장안마 Hotel & Casino Las Vegas. 광양 출장마사지