Harus diakui bahwa agama memang
membolehkan kekerasan. Dalam kondisi-kondisi tertentu bahkan memerintahkan
perang dalam arti fisik. Sebagaiamana umum diketahui, sejumlah kelompok teroris
di Indonesia, seperti Mujahid Indonesia Timur (MIT), Jemaah Anshorut Tauhid
(JAD), Jemaah Anshorud Daulah (JAD), Jemaah Islamiah (JI), atau di luar negeri
seperti Al-Qaeda, ISIS, Boko Haram, dan lain-lain menggunakan dalil agama untuk
melegitimasi tindakan terorisme mereka.
Demikian pula kelompok-kelompok
lain yang meski tidak sampai melakukan tindak terorisme, namum sejumlah
tindakannya kerap kali kasar, mengganggu ketertiban umum, melanggar hak orang
lain, merusak properti dan fasilitas publik, dan berbagai aksi lain sehingga
mereka dicap radikal.
Kelompok-kelompok semacam ini acap
kali bertindak sebagai polisi moral. Mereka sering kali menertibkan kegiatan
masyarakat yang dinilai tidak sesuai dengan nilai moral yang mereka anut.
Dengan kekuatan massa dan logistik yang cukup, mereka tidak segan berlaku
represif pada sesama warga negara.
Yang menjadi dasar tindakan keras
sebagian dari mereka adalah juga dalil atau perintah agama. Mereka selalu
mengatakan bahwa tindak kekerasan dan pelanggaran hak yang mereka lakukan itu sebagai wujud dari perintah yang dalam Islam
dikenal sebagai amr ma’ruf nahil munkar.
Meski corak geraknya berbeda, dua jenis
kelompok ini punya, setidaknya, satu kesamaan. Mereka sama-sama mendasarkan
tindakannya pada keyakinan agama. Tak hanya Islam, agama lain pun memiliki
potensi menjadi sumber tindak radikalisme dan terorisme.
Dunia mencatat Perang Salib yang
terjadi sejak abad ke-11 sampai abad ke-17 sebagai perang hebat antara pasukan
Islam dan Kristen memperebutkan kota suci Yerusalem. Di Myanmar, ada seorang
pemuka agama Buddha bernama Ashin Wiratu yang sohor lantaran menyerukan teror
dan kekerasan kepada minoritas Muslim Rohingya dengan dalih agama.
Pada 2013, Majalah Time
memampang wajahnya di sampul dengan keterangan “The face of Buddhist Terror
[Wajah teror pemeluk agama Buddha]”
Pada awal tahun 2020 di India,
pecah kerusuhan antara kelompok Muslim dan Hindu. Musababnya adalah pro kontra
Undang-Undang “Citizen Amendment Bill (CAB)” yang dianggap anti-muslim. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa imigran dari Pakistan, Afghanistan, dan
Bangladesh, dimungkinkan mendapat kewarganegaraan India kecuali bagi mereka
yang beragama Islam.
Tirto melaporkan, umat Islam yang sudah memiliki
kewarganegaraan India pun wajib membuktikan bahwa mereka memang warga negara
India. Hal ini membuka kemungkinan muslim India kehilangan kewarganegaraannya
tanpa alasan pasti.
Sentimen terhadap Islam mengemuka
kembali di India pacsa berkuasanya partai bercorak nasionalis-relijius Hindu,
Bharatiya Janata, pimpinan Narendra Modi pada 2014.
Konfik kekerasan atas nama agama
terjadi di mana pun, atas nama agama apa pun. Daftar peristiwa semacam itu bisa
diperpanjang dan mengait semua agama yang ada di dunia, baik yang masih eksis
maupun yang ditinggalkan pemeluknya. Kasus yang dipaparkan di atas hanya
sebagian contoh bagaimana agama dapat dijadikan “senjata” untuk melegitimasi
sebuah tindak kekerasan.
Meski demikian, apa yang disebut
di atas sama sekali tidak mewakili agama-agama tersebut secara umum. Semua
agama sepakat bahwa agama apa pun mengajarkan dan mengehendaki cinta kasih dan kedamaian.
Pelaku kekerasan atas nama agama
adalah oknum, bukan representasi sejati wajah agama. Kekerasan atas nama agama
dibolehkan namun hanya dalam situasi dan kondisi tertentu yang sangat spesifik.
Kalaupun harus perang fisik, Islam bahkan mengatur dengan sangat ketat
aturan-aturan perang sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad saw dalam
berbagai perang yang diikutinya langsung.
Dalam konteks Indonesia, harus
dengan lapang dada diakui, hampir semua kelompok teroris dan kelompok radikal
yang telah teridentifikasi adalah pemeluk agama Islam yang mendasarkan
tindakannya pada tafsir teks-teks kitab suci dan hadits tertentu dalam ajaran
Islam.
Di sisi lain, kelompok yang dengan
keras menentang tindakan-tindakan semacam itu juga berasal dari kalangan Islam.
Sebagai contoh, NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi massa Islam yang
secara konsisten menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama. Mereka secara
aktif menampilkan wajah Islam yang damai, penuh cinta kasih, dan rahmatan
lil ‘alamin.
Dari sisi negara, Kementerian
Agama sebagai representasi negara yang mengurusi agama-agama di Indonesia,
seyogianya berberan aktif dalam meredam dan meminimalisir pemahaman-pemahaman
agama yang radikal.
Program kontra radikalisme yang
digaungkan kementerian ini harus dipastikan berjalan secara efektif sebagai
benteng pertahanan menangkal segala bentuk pemahaman agama yang radikal. Impelementasinya
jangan hanya kerja-kerja seremonial belaka yang hanya akan mengamburkan
anggaran negara tanpa hasil yang nyata.
Karena sumber segala tindakan,
termasuk tindak radikalisme dan terorisme, adalah pikiran, maka benteng
pemikiran adalah hal yang wajib dibangun secara kokoh. Benteng ini tidak akan
kokoh jika hanya dibangun melalui ceramah-ceramah atau seminar mengenai
terorisme dan radikalisme. Hal semacam itu hanya berdampak sesaat dan cenderung
mudah dilupakan.
Agar mengakar dan kokoh, kontra
radikalisme harus tembus ke dunia pendidikan, baik formal maupun non-formal.
Yang jadi sasaran tidak hanya sekolah-sekolah umum, melainkan “sekolah-sekolah
ekslusif” juga, yang umumnya dikelola oleh komunitas tertentu dengan kurikulum
khusus yang disusun sendiri.
Kecuali itu, soal kekerasan atas
nama agama ini sejatinya adalah tanggung jawab bersama segenap pemeluk agama. Sebagaimana
yang disampaikan Menteri Agama RI yang baru, Yaqut Cholil Qoumas, agama
haruslah menjadi inspirasi, bukan aspirasi.
Agama harus menjadi inspirasi
untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, bukan untuk mengoyaknya dan
menjadikan hidup lebih dan semakin buruk.
Dimuat di Caruban Nusantara pada 30 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar