Selasa, 30 Maret 2021

"Geblug”. Siapa/Apa Yang Jatuh? Siapa/Apa Yang Absurd? Oleh-Oleh Menonton Malu-Malu Hatedu: “Geblug” Produksi Ngaos Art

 

Sepanjang jalan pulang dari Studio Ngaos Art ke rumah, ditemani gerimis, saya terus menimbang-nimbang. Merenungkan. Mengunyah dan kembali mengunyah pertunjukan “Geblug” yang tuntas saya tonton malam itu, Sabtu, 27 Maret 2021.

 

“Geblug” adalah adaptasi bebas sutradara AB Asmarandana dari drama “Bencana” karya Samuel Beckett. Menilik kecenderungan Abuy—sapaan akrab AB Asmarandana—yang kerap berikhtiar membumikan teater di tempat ia berpijak, besar kemungkinan “Geblug” yang dimaksud dipinjamnya dari bahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda, kata geblug digolongkan kecap panganteur ‘kata pengantar’. Kata ini khusus untuk “mengantar” kata jatuh (labuh). Geblug labuh. Siapa/apa yang jatuh malam itu?

 

Di masa pandemi ini, kecuali industri farmasi, penjual pulsa, paket data, wifi, serta bisnis aplikasi dalam jaringan tertentu, semuanya jatuh. Moral juga. Khususnya sejumlah pejabat di Tanah Air. (Eh, salah. Moral mereka sudah jatuh sejak jauh-jauh hari sebelum Corona menerjang. “Banyak yang main drama di luar panggung,” demikian dialog Bu Mimi dalam “Geblug”.)

 

Teater juga jatuh. Beberapa seniman dan kelompok teater sampai nyungseb. Tak berdaya dalam arti sebenarnya. Geblug.

  

Diciptakan khusus untuk dipentaskan pada momen Hari Teater Sedunia (Hatedu), “Geblug” dapat dimaknai sebagai jatuhnya teater. Dari panggung ke ruang-ruang virtual. Dari “panggung normal” ke “panggung darurat”. Atau ke kesepian sama sekali. Panggung sepi. Lampu-lampu mati. Aktor nganggur. Sutradara bengong. Geblug, teater jatuh.

 

“Geblug”nya Ngaos Art tidak sendiri. Ia juga punya “kecap panganteur”: Malu-Malu Hatedu. Makin jelas siapa yang jatuh. Hatedu yang biasanya diperingati meriah, penuh keyakinan dan percaya diri, kini harus secara malu-malu. Penonton dibatasi. Harus jaga jarak pula.

 

Meski malu-malu, “Geblug” tidak malu-maluin. Pertunjukan dibuka dengan video tentang latar belakang peringatan Hatedu yang dicetuskan International Theater Institute pada tahun 1961. Penonton juga diajak “ziarah” ke reruntuhan theatron kuno di Yunani dan Colosseum di Italia. Tentu saja via layar besar yang disorot proyektor yang juga berfungsi sebagai latar panggung.

 

Setelah jalan-jalan ke tempat bersejarah itu, penonton diajak mengenal wajah para karuhun ‘leluhur’ teater dunia dan Indonesia. Wajah William Shakespeare, Stanislavsky, Bertolt Brecht, Bernard Shaw, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Rendra, Suyatna Anirun, Teguh Karya, Arifin C. Noor, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Rachman Sabur, dan tokoh teater lainnya hadir silih berganti di layar besar itu. Aya ma baheula hanteu tu ayeuna, kata Amanat Galunggung. Karena ada masa lalu maka ada masa kini.

 

Kapan pertunjukan dimulai? Apakah slide-slide itu juga bagian dari pertunjukan? Semacam “kecap panganteur”?

 

Pertunjukan dimulai ketika sutradara dan penonton menganggapnya dimulai. Slide-slide itu, buat saya, bagian dari pertunjukan juga. Justru penting. Ia memberi konteks pada “Geblug”: Hari Teater Sedunia.

 

Setelah “kecap panganteur”, lima pemain bertopeng setengah wajah muncul (Jimat, Alvin, Mimi, Kahfi, Rizky). Rambut mereka adalah tali rapia berbagai warna. Meski sama-sama berbusana keresek hitam, topeng dan rambut mereka berlainan. Mereka memainkan potongan “Menunggu Godot”nya Beckett. Bagian awalnya. Tentang pencarian.

 


Tak begitu lama mereka “Menunggu Godot”. Adegan berikutnya adalah potongan atau fragmen dari “Kereta Kencana”nya Eugene Ionesco. Juga bagian awalnya, sampai pada dialog “…akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua”. Tentang harapan dalam penantian.

 

Apa yang dinanti Kakek dan Nenek “Kereta Kencana” terjawab di fragmen berikutnya: “Nyanyian Angsa”. Para pemain bertopeng setengah wajah itu sebagiannya berubah menjadi set. Dua di antara mereka menjadi Vasili dan Nikita Ivanitch. Drama karya Anton Chekov ini mengisahkan seorang aktor tua yang sepenuhnya membaktikan diri kepada panggung, yang kaya akan pengalaman pentas, namun perlahan tapi pasti ditinggalkan penonton di usia senjanya. Decak kagum dan tepuk tangan tak semeriah dulu. Vasili mati dalam sepi. Persis seniman teater di masa pandemi. Kisah kesepian.

 

Untuk beralih dari satu fragmen ke fragmen lain, sutaradara membuat adegan jembatan. Atau transisi. Alih-alih menikmati perjalanan di tengah jembatan yang khas, adegan-adegan transisi yang dihadirkan cenderung tergesa-gesa. Seperti wajib pendek dan cepat, tapi harus cair (dan menjadikan cari).

 

Transisi yang take off dan landing-nya paling nyaman adalah perpindahan dari “Nyanyian Angsa” ke “Bencana”. Itu pun jika adegan tersebut dimaksudkan transisi. Durasinya paling panjang di antara adegan transisi yang lain. Di sana, semua pemain membuka topengnya dan menjadi “diri sendiri”. Selayaknya aktor yang rehat latihan, mereka minum, merokok, dan bercanda, sambil sesekali menertawakan nasib mereka sendiri sebagai “anak panggung”.

 


Satu dua dialog berisi kritik kepada penonton teater yang kadang terlalu bersemangat mengomentari pertunjukan sebelum tuntas mengunyahnya. Juga kritik pada kondisi teater sendiri. “Atap bocor? Tambal dengan puisi,” katanya. Berdempetan dengan dialog tentang habisnya beras di sekretariat mereka, menambal atap bocor dengan puisi bikin penonton—yang sebagian besarnya penggiat teater—nangis dengan tawa. Geblug.

 

Pada adegan ini, penonton dengan daya tangkap kelas receh macam saya sedikit demi sedikit ngeh. Oh, fragmen-fragmen yang tadi mereka mainkan itu adalah bagian dari latihan mereka sebagai aktor. Jadi, ada drama dalam drama. Lima aktor berlatih drama “Menunggu Godot”, “Kereta Kencana”, dan “Nyanyian Angsa” dalam drama “Bencana”. Sederhananya, itulah cerita “Geblug”.

 

Sayangnya, meski aktor-aktor itu berakting dan bernyanyi dengan total, sutradara tidak menghendaki mereka berada di panggung. Ketika para aktor itu asik ngobrol, aktor utama (Ikhsan Kumis) datang. Lalu sutradara (Kiki “Kido” Pauji). Mereka mempresentasikan hasil eksplorasi, menyanyikan lagu prihal bencana alam dan bencana lainnya.

 

“Ini kontekstual,” kata asisten sutradara (Wawam Nur). Tapi sang sutradara bertopi  copet abu itu tak terima. Dengan ringan ia menyuruh asistennya untuk tidak lagi memainkan mereka di atas pentas. Di panggung tinggal sutradara, asisten, dan aktor utama.

   

Dalam banyak tradisi kelompok teater di dunia, termasuk di Indonesia, sutradara adalah sentral dari segalanya. Kata-katanya seakan sabda tak terbantahkan. Keinginan dan cita rasa estetiknya adalah jalan kebenaran tak terinterupsi. Aktor kadang kala tak ubahnya bak boneka dalam arti sesungguhnya. Sutradara adalah dewa tanpa cela.  

 

Sutradara macam inilah yang digambarkan dalam “Bencana”nya Beckett. Juga dalam “Geblug”. Sutradara maniak estetika yang sering kali sebelas dua belas dengan “…penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian,” meminjam “Sajak Sebatang Lisong”nya Rendra.

 

Benang merah “Bencana” masih terjaga seperti teks aslinya. Adaptasinya lebih pada menambah adegan di depan. Memberi konteks. “Bencana”nya Beckett “dipinjam” untuk menyalurkan kegelisahan “bencana” versi penggarap.

 

“Bencana” itu berlatar sesi latihan terakhir pertunjukan. Sutradara memeriksa hasil kerja asistennya. Di depannya, seorang aktor berdiri mematung di atas sebuah balok kayu. Ia menanyakan sekaligus mengoreksi banyak hal tentang kostum, rambut, topi, tangan, dan arah pandangan sang aktor kepada asisten.

 


Segala yang dikerjakan asisten dirombaknya habis-habisan. Sekilas saja penonton dapat mengerti bahwa sutradara semacam itu patut disebut sutradara otoriter. Sementara sang aktor manut saja tanpa tawar-menawar. Apalagi memberontak. Di penghujung, sutradara menganggap “hasil ciptaannya” mantap lalu terdengarlah suara penonton bertepuk tangan. Ia pergi. Sambil mengangkat kepala menatap kepergian sutradara, aktor itu bilang, “bajingan, belum juga kau menghabisiku.”

 

Sebagaimana garapan Abuy sebelum-sebelumnya yang kaya akan lagu, “Geblug” pun begitu. Lagu ada di awal, tengah, dan akhir. Yang terakhir, liriknya berisi bencana wabah dan sejumlah bencana alam: banjir, gempa, badai, naiknya permukaan air laut, gunung meletus. “Sampai begitu mata terbuka, kita tak lagi melihat manusia,” demikian lirik terakhir di lagu pamungkas. Geblug. Manusia jatuh karena bencana.

 

Apa sih yang ingin disampaikan sutradara?

 

Jawaban pertanyaan itu saya juga tidak tahu. Harus tanya ke Abuy langsung. Saya enggan bertanya. Ngga asik bertanya tentang maksud sebuah karya seni langsung pada seniman kreatornya. Kecuali senimannya bocor: setelah berdarah-darah menciptakan karya, cermat, teliti, dan hati-hati menggunakan simbol, ujung-ujungnya dijelaskannya juga secara verbal.

 

Kalau masih bertanya juga, apa artinya menonton? Mengapresiasi? Sebagai penonton kelas receh, saya hanya berikhtiar memahami apa yang saya tonton dengan segala keterbatasan saya.

 

Seperti saya tulis di atas, secara singkat “Geblug” bisa saja dikunyah cepat tentang lima aktor nu teu kapaké ku sutradara yang otoriter. Ia malah memilih mematut-matut aktor utama semaunya sendiri. Ditawari hal kontekstual, ia enggan. Geblug. Aktor tak berdaya. Seniman dan kesenian jauh dari kehidupan. Geblug.    

 


Tapi masa iya cuma itu? Sebagai penonton, saya, dan juga barangkali yang lain, kan bertanya: kenapa memilih fragmen lakon-lakon absurd? Kenapa tidak lakon realis saja biar gampang dikunyah? (Eh, siapa bilang realis gampang dikunyah? Drama realis juga terkadang berlapis-lapis. Persis kehidupan.)

 

Ketika ngobrol santai usai pertunjukan, Abuy bilang bahwa kecuali “Bencana”, semua lakon yang fragmennya dimainkan itu pernah ia pentaskan. Semacam nostalgia di Hatedu.

 

Saya tidak puas jika “Geblug” sekedar romantisme personal sutradara belaka.

 

“Geblug” adalah gambaran absudrnya dunia hari ini. Barangkali juga termasuk (kondisi) teater. Orang-orang mencari sesuatu yang bahkan tak diketahuinya secara pasti (“Menunggu Godot”). Lelah mencari, mereka (atau kita?) menanti. Dalam penantian yang juga tak pasti itu, mereka/kita berharap sesuatu itu datang (“Kereta Kencana”). Tapi, setelah semua dilalui, yang dinanti itu tak kunjung tiba. Ujung-ujungnya, sendiri dalam sepi (“Nyanyian Angsa”). Semua adalah sia-sia, seperti aktor yang mati-matian latihan tapi sutradara tak berkenan (“Bencana”).

 

Geblug.

 

Seperti drama realis yang kadang berlapis-lapis, “Geblug” juga begitu. Bencana yang dimaksud bukan cuma bencana absurditas manusia, tapi juga bencana lainnya. Kontekstulisasi “Bencana” dengan kondisi hari ini dilakukan lewat lagu yang isi liriknya tentang bencana, alam dan non alam, yang bertubi datang silih berganti.

 

Lapis dan kontekstualitas yang lain, Malu-Malu Hatedu: “Geblug” juga dipentaskan dalam rangka penggalangan donasi untuk pengobatan dan perawatan Mas Gajah, seorang aktivis budaya Tasikmalaya yang beberapa waktu lalu geblug juga. Ia kena bencana. Kecelakaan motor. Kelingking kaki kirinya harus diamputasi. Beberapa ruas tulang di kaki kirinya patah.

 

Dengan ini, Abuy dan Ngaos Art menolak bencana: terpisahnya kesenian dari kehidupan.

 

(Tak lama setelah “Geblug” pentas, Indonesia kembali diterjang bencana. Bom meledak di depan Gereja Hati Yesus Yang Maha Kudus (Gereja Katedral) Makassar, Sulawesi Selatan. Itu bencana juga. Bencana kemanusiaan. Geblug lagi.)

 


Sekilas “Bencana” karya Samuel Beckett

 

Teks ini pertama kali ditulis dalam bahasa Prancis pada tahun 1982 dengan judul “Catastrophe”. Pada tanggal 21 Juli 1982, “Catastrophe” dipanggungkan untuk pertama kalinya dalam sebuah festival seni di Prancis, Festival d’Avignon. Dua tahun berikutnya, versi bahasa Inggrisnya dipublikasikan The Evergreen Review di Amerika Serikat.

 

Naskah ini didedikasikan Beckett untuk kawannya sesama dramawan asal Ceko, Václav Havel. Havel adalah seorang dramawan, penulis, sekaligus politisi. Melalui drama-dramanya, ia mengkritik pemerintahan komunis Cekoslowakia yang otoriter.  Seperti umumnya nasib seniman kritis di negeri tiran, ia dipenjara karena lantang bersuara.

 

Havel termasuk aktor utama dalam Revolusi Beludru, revolusi tanpa kekerasan di Cekoslowakia pada tahun 1989 yang mengakhiri kekuasaan komunis di negeri Eropa Tengah itu. Di tahun yang sama, ia didaulat menjadi Presiden Cekoslowakia ke-10. 1 Januari 1993, negara ini bubar dan pecah menjadi dua, Republik Ceko dan Republik Slowakia. Havel menjadi Presiden Republik Ceko yang pertama dan menjabat sampai tahun 2003.

 

“Catastrophe” menggambarkan betapa otoriternya Cekoslowakia di bawah pemerintahan komunis. Aktor atau yang dalam teks aslinya disebut protagonist adalah simbol dari warga negara. Sementara sutradara, asisten, dan operator lampu adalah simbol dari “diktator proletar”.

 

Demikian represifnya negara terhadap warganya. Apa yang dikehendaki sutradara terhadap sang aktor adalah apa yang dikehendaki negara otoriter terhadap warganya. Kepasrahan. Ketakberdayaan. “Semua kutandai ke arah kematian,” kata sutradara dalam satu dialog. Warga negara, perlahan atau segera, ditekan sampai-sampai menuju “ke arah kematian”.

 

Hal ini disimbolkan Beckett secara jelas dengan mengikat tangan aktor dan memintanya menundukan kepala. Jelas, itu tanda tunduk-patuh. Ketika sang asisten mengajukan ide mulut aktor disumbat agar tak bersuara, sang sutradara menolak. Ia bukan kasihan. Melainkan yakin dengan mantap: tanpa sumbat mulut pun, aktor (baca: warga negara) tidak akan bersuara. “Tidak secicit pun,” katanya.

 

Menjelang tamat, asisten mengajukan ide agar kepala aktor sedikti mengangkat. Sutradara murka. Pada bagian ini muncul kata “bencana” dari mulut sutradara: “Ya tuhan! Apa lagi? Mengangkat kepalanya? Kau pikir di mana kita? Di Patagonia? …Baik. Di sanalah bencana kita…”

 

Dalam konteks “Catastrophe” menyebut Patagonia sebagai bencana berarti merujuk Pemberontakan Patagonia atau Patagonia Trágicia. Pemberontakan Patagonia adalah sebutan untuk pemogokan pekerja peternakan domba sekaigus pabrik wol dan penindasan terhadapnya oleh pemerintah yang terjadi antara tahun 1920-1922 di provinsi Santa Cruz, Argentina. Sekitar 300-1.500 pekerja tewas dibantai aparat, termasuk mereka yang telah menyerah.

 

Peristiwa itu dilatarbelakangi krisis ekonomi yang mendera Patagonia-Argentina pasca Perang Dunia I. Usai perang, harga wol turun drastis gara-gara rendahnya permintaan pasar. Argentina yang menjadikan peternakan domba dan wol sebagai salah satu komoditas utamanya kelabakan. Krisis tak terelakan.

 

Para pemilik modal nyaris gulung tikar. Demi menyelamatkan perusahaan, mereka melakukan berbagai efisiensi. Akibat dari upaya ini, yang paling tersiksa adalah para pekerja. Akhirnya, mereka berontak, mengajukan sejumlah hal terkait perbaikan kerja. Salah satunya kenaikan upah dan minta agar libur ditambah. Saat itu hari libur hanya Minggu. Mereka minta agar tidak ada pekerjaan di hari Sabtu.  

 


Tuntutan ditolak. Serikat pekerja membalasnya dengan mengumumkan pemogokan masal. Kerusuhan pecah lantaran polisi bertindak semena-mena terhadap pekerja. Beberapa pimpinan serikat pekerja ditangkap. Dengan cepat kerusuhan menyebar. Kerusuhan dua tahun itu berhasil dipadamkan di bawah pemerintahan Presiden Hipólito Yrigoyen pada tahun 1922.

 

Ini adalah sejarah kelam Patagonia Argentina. Ketika warga negara “mengangkat kepala”, mendongak menatap negara, pada titik itu bencana terjadi. Pemerintah otoriter benci warga negara yang “mengangkat kepala”.

 

Hal ini yang hendak disampaikan Beckett. “Catastrophe” disebut-sebut sebagai naskah Beckett yang paling politis sekaligus optimis. Di akhir cerita, seperti yang saya sebut di atas, aktor mengangkat kepalanya, memastikan (suara tepuk tangan) penonton. Adegan “mengangkat kepala” ini adalah pesan kuat yang hendak disampaikan dramawan pemenang Hadiah Nobel Sastra tahun 1969 tersebut. Warga negara, betapa pun nampak pasrah dan tak berdaya, akhirnya akan bangkit juga. Akan “mengangkat kepala” melawan tiran.

 

“Catastrophe”, ya, akhirnya geblug juga. Geblug, warga negara labuh. Tapi bangkit lagi. Seperti teater di masa Corona. Geblug. Tapi (harus) bangkit lagi. Demi hidup yang lebih baik.

 

Panjalu, 28-30 Maret 2021

Keterangan gambar: 

"Geblug", adaptasi bebas oleh sutradara Ab Asmarandana dari naskah "Bencana" karya Samuel Beckett. Produksi Ngaos Art, 26-27 Maret 2021. Dipentaskan di Studio Ngaos Art, Kota Tasikmalaya. (dokumentasi pribadi alias hasil motret sendiri).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...