Dalam sejarah dunia, Imperium
Britania tercatat sebagai kerajaan terluas yang pernah ada di muka bumi. Tahun
1922, imperium yang hingga kini masih langgeng itu pernah menguasai 33,7 juta
kilometer persegi luas wilayah di dunia, seperempat luas total planet bumi.
Kala itu, seperlima populasi
dunia, sekitar 458 juta jiwa, berada di bawah kuasa leluhur Ratu Elizabeth II,
Raja George Frederick Ernest Albert atau sohor dengan nama George V.
Di urutan kedua dan ketiga,
bertengger Kekaisaran Mongolia dan Kekaisaran Rusia. Jejak kekuasaan Rusia
hingga kini masih dapat dilihat jelas. Di era moderen kini, Rusia masih
berjuluk negara terluas di dunia dengan 17,12 juta kilometer persegi luas
wilayah, membentang dari timur Eropa sampai Asia bagian timur.
Melalui perang, monarki-monarki
itu memperluas wilayahnya, menguasai seluruh dunia demi terciptanya negara-dunia.
Melihat realitas yang telah dan
sedang terjadi di zamannya, seorang sastawan yang juga dikenal sebagi filsuf
moral asal Rusia, Leo Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) mengusulkan sebuah
gagasan ekstrem mengenai negara.
Ia mengatakan dalam esainya
“Negara” (1905) bahwa gagasan menciptakan monarki universal yang memerintah
seluruh dunia telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno.
Mereka berdalih, tercapainya suatu
monarki atau negara dunia akan meminimalisir perang sebab seluruh dunia berada
di bawah satu kuasa. Hal itu menjadi salah satu pendorong para penakluk dan
penjajah menjelajahi dunia dan berusaha menguasainya.
Pasca Renainsanse, bangsa-bangsa
di Asia dan Afrika jadi mainan monarki-monarki Eropa. Mereka yang kala itu baru
bangkit dari Abad Kegelapan menggebu-gebu menjelajahi dunia. Meski
memperkenalkan diri sebagai pedagang dan pejelajah, pada akhirnya mereka
menjelma penjajah juga, persis seperti yang terjadi di Nusantara.
Selain menjelajah dan menjajah ke
sana kemari, negara-negara itu juga sibuk berperang satu sama lain. Mereka
berebut pengaruh, kekuasaan, sumber daya, dan gengsi. Yang jadi korban adalah
bangsa-bangsa terjajah. Perang adalah keseharian yang akrab bagi sebagian besar
penduduk dunia, setidaknya sampai berakhir Perang Dunia II (dengan beberapa
pengecualian).
Meski negara berdalih bahwa
kelahirannya dan keberadaannya demi keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan
segenap rakyat, namun nyatanya, menurut sastawan penulis novel Anna Karenina
ini, kehadiran negara justru membawa dampak sebaliknya.
Rakyat ditindas, diperas uang dan
tenaganya, seraya dituntut patuh. Sementara, segelintir orang yang menyebut
diri mereka pemerintah, menurut Tolstoy, memanfaatkan hal itu semua untuk diri
sendiri. Demi itu semua, negara menciptakan tentara, yang siap melakukan apa
pun demi negara, kekerasan dan pembunuhan sekali pun.
Dalih bahwa menciptakan negara universal
melalui ekspansi dan penaklukan demi terciptanya perdamaian, sebagaimana yang
dilakukan Aleksander The Great dari Makedonia, Napoleon dari Prancis,
Kekaisaran Romawi, dan negara-negara lainnya, “tak pernah mencapai tujuan
perdamaian tersebut.”
“Oleh karena itu,” tulis Tolstoy,
“perdamaian manusia tidak mungkin bisa diraih selain dengan cara berlawanan:
peniadaan negara beserta kekuasaan koersifnya.”
Bagi sebagian orang, peniadaan
negara ini terdengar sesuatu yang tidak mungkin. Sejak ribuan tahun silam,
keberadaan negara dianggap realitas yang taken for granted. Telah dan
harus ada.
Tolstoy berpendapat, sebagian
orang menganggap bahwa “tanpa kekuasaan pemerintah, orang-orang terjahat akan berjaya,
sementara orang-orang baik akan tertindas.” Mereka tidak sadar bahwa justru “orang-orang
terjahat” itu adalah pemerintah.
Hanya orang-orang terjahatlah yang
mampu mendatangkan malapetaka bagi umat manusia semacam “akumlasi kekayaan
besar-besaran di tangan segelintir orang” sementara terjadi “kemiskinan akut
dalam mayoritas masyarakat”, “perebutan tanah oleh mereka yang tidak ikut
bekerja, persenjataan dan perang yang tak ada habisnya, dan perampasan hak
manusia.”
Bagi Tolstoy, negara adalah
tahayul yang esensinya adalah “bahwa manusia dari berbagai tempat, kebiasaan,
dan kepentingan diyakinkan bahwa mereka membentuk kesatuan karena kekerasan
yang satu dan sama diterapkan kepada mereka.”
Saking kuatnya tahayul itu,
orang-orang, yang bahkan adalah objek kekerasan negara, tidak dapat
membayangkan hidup tanpa kekerasan tersebut. Secara bersama-sama mereka telah
menjadi masokis.
Tolstoy meyakinkan pembacanya
bahwa tahayul itu dapat dipatahkan dengan cara berhenti mempercayainya. Manusia
dapat hidup lebih baik tanpa adanya pemerintah dan negara. Anggapan bahwa
pengelola negara lebih baik dari rakyat adalah salah dan kontradiktif dengan
kenyataannya. Sebaliknya, mereka tidak lebih baik dari kebanyak orang.
Dengan sinis, ia menyebut nama
Ivan IV (Tsar Rusia), Henry VIII (Raja Inggris), Jean-Paul Marat (tokoh
Revolusi Prancis), Napoleon (Kaisar Prancis), Arakcheyef (pemimpin militer
Kekaisaran Rusia), Metternich (Kanselir Austria), Talleyrand (Perdana Menteri
Prancis), dan Nicholas (Kaisar Rusia) sebagai contoh orang-orang yang lebih
buruk dari orang kebanyakan.
Menurutnya, rasionalitas manusia
adalah bekal utama untuk menata hidup yang lebih baik. Sebagai mahluk rasional,
manusia dapat menyelesaikan segala persoalan tanpa kekerasan. Dan tanpa
kekerasan, sebagaian besar melapataka umat manusia sirna bersamanya.
Ia meyakini bahwa rasionalitas, “sesuatu
dari masa lalu mereka sendiri”, dan pondasi spiritual yang kokoh akan memberi
bentuk kehidupan yang lebih pantas bagi umat manusia.
Mempertahankan dan mengelola
negara dengan kekerasan, menurut Tolstoy, “bertentangan dengan rasio alami dan
hukum kebebasan sebagaimana diungkapkan Yesus,…”
Melalui tulisannya yang lain, ia
dikenal sebagai “pengkotbah” ajaran-ajaran Yesus Kristus, khususnya yang
berkaitan dengan persaudaraan umat manusia dan anti-kekerasan (meski pada
akhirnya dikucilkan Gereja Ortodoks).
Doktrin “berikan pipimu yang lain
juga” yang bersumber dari “Kotbah di Bukit” (Injil Matius pasal 5-7)
mengilhaminya menyusun gagasan-gagasan penghapusan negara tanpa kekerasan.
Dimuat di The Writers pada 18 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar