Minggu, 07 Maret 2021

Patriotisme di Kepala Tolstoy

 


Hidup di negara yang hobi perang membuat Leo Nikolayevich Tolstoy punya pandangan yang otentik mengenai patriotisme, akar dari peperangan. Tolstoy tak hanya tahu perang dari berita-berita di surat kabar—salah satu yang dianggapnya diuntungkan dengan adanya perang—melainkan langsung dari medan kurusetra.

 

Salah satu perang yang ia ikuti setelah bergabung dengan tentara Kekaisaran Rusia pada 1851 adalah Perang Kaukasus (1817-1864), yaitu perang perang yang berakhir dengan aneksasi wilayah Kaukasus Utara oleh Kekaisaran Rusia.

 

Perang  itu, perang-perang lain yang ia ikuti secara langsung, perang yang ia baca sebagai bagian dari sejarah Rusia, maupun perang yang terjadi di belahan bumi lain di saat ia hidup—yang kala itu menjadi kewajaran yang memenuhi muka koran—selain menjadi inspirasi bagi sejumlah karya-karyanya, seperti Sketsa-Sketsa Sevastapol dan Perang dan Damai, juga menjadi bahan baku baginya  menyusun gagasannya mengenai moral, spiritual, anti-kekerasan, anti-perang, asketisme, pasifisme, dan lain sebagainya. Atau singkatnya, ajaran Tolstoyisme.

 

Dari pengalamannya terjun langsung di medan tempur, ia melihat melihat bahwa perang sungguh tak berfaedah kecuali, melanggengkan kekuasaan, mengisi dompet para pembesar dan segelintir pihak lain yang diuntungkan. Hal ini ia sampaikan dalam beberapa esai yang dirangkum dalam buku Patriotisme, Negara, dan Anarki yang diterbitkan Penerbit Liberta (Agustus 2020).

 

Dalam esai “Patriotisme dan Pemerintah”, sastrawan kebanggaan Rusia kelahiran 1828 ini menafsirkan ulang patriotisme yang kala itu—di negaranya dan sejumlah negara lain—telah dipropagandakan habis-habisan, baik oleh pemerintah maupun gereja, sebagai salah satu nilai luhur nan mulia.

 

Bagi Tolstoy, patriotisme adalah “perasaan yang tidak wajar, irasional, dan berbahaya, serta penyebab sebagian besar kemalangan yang diderita umat manusia”.

 

Dalam penjelasan lain ia menyebut patriotisme sebagai “sebuah perasaan cinta yang eksklusif untuk bangsa sendiri—dan sebagai doktrin kebajikan mengorbankan ketentraman, harta benda, dan bahkan nyawa seseorang dalam membela mereka yang lemah dari pembantaian dan kemarahan musuh-musuh mereka—adalah gagasan tertinggi dari periode ketika setiap negara menganggapnya layak dan adil, untuk menggunakan pembantaian dan kebiadaban orang-orang dari negara lain demi keuntungannya sendiri.”

 

Suami Sofia Andreevna Bers ini menolak pendapat umum kala itu yang menyatakan bahwa patriotisme yang menyebabkan kemalangan sebagaimana yang ia maksud adalah “patriotisme buruk” yang berwujud jingoisme dan chauvinisme.  Sementara “patriotisme baik”, sebagaimana namanya, selalu baik, berdampak baik, dan diperlukan.

 

Penulis novel Anna Karennina ini memandang tidak ada patriotisme baik atau buruk. Patriotisme adalah buruk sebab meski di atas kertas atau dalam pidato-pidato dikatakan bahwa patriotisme “tidak mengingkari kebahagiaan bangsa-bangsa lain”, namun, praktiknya, sebagaimana yang ia rasakan sendiri, tidak mungkin tegak tanpa kekerasan, perang, perbudakan, kebrutalan, dan hal semacam itu.

 

Pada awalnya, kecintaan pada tanah air yang muncul dari perasaan terikat dalam satu ikatan karena kesamaan suku bangsa, budaya, bahasa, dan agama boleh jadi tidak menjadi persoalan dan diperlukan.

 

Namun, seiring berjalannya waktu, menurut bangsawan yang meninggal pada usia 82 tahun ini, patriotisme telah menjadi gagasan usang yang sudah tidak sesuai dan diperlukan umat manusia. Tolstoy mendasari pendapatnya itu dengan pondasi bahwa sejarah manusia adalah sejarah kesadaran, baik individu maupun kelompok masyarakat.

 

Umat manusia terus meniti tangga kesadaran dari level terendah hingga yang tertinggi yang mampu dicapai. Gagasan lama, yang dulu dianggap baik-baik saja dan wajar, seperti kanibalisme dan  pengorbanan manusia, telah ditinggalkan. Gagasan masa kini, diajarkan sebagai kelaziman, kewajaran, dan kemestian hidup.

 

Sementara gagasan baru, menurutnya, adalah apa yang disebut sebagai cita-cita. Gagasan baru ini ada yang telah dan sedang diimplementasikan. Ada pula yang masih dalam angan-angan. Untuk yang terakhir, ia memberi contoh “penghapusan kekesarasan, pengaturan sistem kepemilikan komunal, sistem agama universal, dan persaudaraan manusia secara umum.”

 

Selain dari dari ketiga hal itu, lanjut Tolstoy, ada pula gagasan kuno yang bukannya ditinggalkan karena tidak lagi kompatibel, melainkan dipertahankan dan didaur ulang, memilih bentuk yang seolah-olah tinggi dan dibenamkan ke benak segenap umat manusia, demi keuntungan segelintir orang. Untuk hal ini, selain agama, Tolstoy menyebut patriotisme sebagai contoh idelanya.

 

Alih-alih membawa kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan, sebagaimana yang sering dipropagandakan, patriotisme justru kerap jadi biang kerok terjadinya kekerasan, perang, kebrutalan, perampasan harta, dan segala kemalangan lainnya.

 

Yang lebih parah, bukan hanya para penguasa yang menganggap pembantaian dan penindasan bangsa lain atas nama patriotisme adalah halal dan suci, sebagian rakyat pun turut serta mengamini dan mendukung apa dilakukan negaranya tersebut.

 

“Di sekolah-sekolah,” tulis Tolstoy, “mereka mengobarkan patriotisme kepada anak-anak melalui sejarah yang mengisahkan bangsa mereka sendiri sebagai yang terbaik dari semua bangsa dan selalu benar. Kepada orang dewasa, mereka mengobarkannya melalui tontonan-tontonan, hari-hari peringatan, berbagai monumen, dan pers patriotik yang berbohong.”

 

“Mereka” yang ia maksud adalah penguasa (baca: pemerintah) yang diuntungkan secara langsung dan nyata oleh patriotisme yang kemudian bersekongkol dengan para pemilik modal, pemuka agama, dan “Kelas Superior” lain.

 

Patriotisme, pada mulanya boleh jadi tidak menjadi persoalan dan membawa malapetaka. Ia lahir secara alami sebagai konsekuensi kesadaran sosial manusia. Merasa lahir dan hidup di tanah yang sama; berbudaya, berbahasa, dan beragama dengan cara yang sama; dan mengakses sumber daya yang sama sebagai penyokong hidup. Tidak ada yang salah dengan itu.

 

Seiring berkembangnya kesadaran dan kecerdasan manusia, sejumlah kelompok manusia homogen itu  menetapkan bercocok tanam sebagai cara hidup. Pada titik ini, embrio “tanah air” sebagai satu wilayah kedaulatan mulai muncul dan terus berkembang. Demikian pula gagasan mengenai harta, hak milik, dan hak atas tanah.

 

Ketika dua atau lebih kelompok manusia homogen saling bersinggungan, beberapa hal yang mungkin terjadi, perang salah satunya. Musababnya beragam. Yang paling primitif: perebutan sumber daya (seperti yang sampai saat ini masih sering terjadi, khususnya di negara-negara kaya minyak). Atau atas nama agama, seperti Perang Salib yang legendaris itu.

 

Bisa juga karena keyakinan superioritas ras sebagaimana yang Hitler yakini. Dan masih banyak musabab lainnya. Namun, apa pun motifnya, patriotisme selalu membayangi. Ia menjadi pelumas perang. Ia menjadi legitimasi kebiadaban dan perampasan hak hidup dan hak milik bangsa lain.

 

Berulang kali, dalam esainya itu, Tolstoy menyatakan bahwa patriotisme sudah usang. Mengenai hal ini ia menulis: “Tetapi sejak sekitar dua ribu tahun yang lalu, umat manusia, dalam representasi pribadi tertinggi atas kebijaksanaan, mulai mengenal gagasan lebih tinggi mengenai persaudaraan manusia; dan gagasan itu kian menembus kesadaran manusia, yang pada zaman kita telah mencapai bentuk realisasi yang paling beragam.”

 

Yang ia maksud “representasi pribadi tertinggi atas kebijaksanaan”, menilik dari lekatnya ia dengan iman Kristen (meski di kemudian hari dikucilkan Gereja Ortodoks), boleh jadi adalah Yesus Kritstus. Ajaran kasihNya yang mengatasi segala bentuk identitas ia turut mempengaruhi gagasannya mengenai apa yang disebutnya  “persaudaraan manusia secara umum.”

 

“Berkat peningkatan sarana komunikasi,” tulisanya lebih lanjut, “—dan kesatuan industri, perdagangan, seni, dan sains—manusia hari ini begitu terikat satu sama lain sehingga bahaya penaklukan, pembantaian, atau kemarahan dari rakyat yang bertetangga telah cukup menghilang, dan semua orang (rakyat, bukan pemerintah) ingin hidup bersama dalam hubungan yang damai, saling menguntungkan, bersahabat, komersial, industrial, artistik, dan ilmiah, di mana mereka tidak perlu dan tidak ingin mengganggu satu sama lain.”

 

Tesis ini yang ia kemukakan untuk menghajar patriotisme. Isme yang usang, irasional, dan tidak lagi diperlukan. Tapi, bukannya lenyap, patriotisme malah makin menjadi dan lebih ganas. Pemerintah  dengan sengaja melanggengkannya demi keuntungan sendiri.

 

Rakyat yang damai pun mereka kompori untuk membenci bangsa tetangga mereka agar perang yang dilakukan para penguasa itu mendapat dukungan moral rakyatnya. Rakyat yang tidak mendukung dicap tidak patriotis. Dan tidak patriotis itu sesuat yang buruk, demikian ditanamkan kepada rakyat.  

 

Sikap patriotik demikian mulia dan dijunjung tinggi. Dengannya, para lelaki bersedia menjadi tentara, saling membunuh bahkan dengan orang yang tak mereka kenali sama sekali. Perempuan merelakan suami, anak, ayah, dan saudara mereka tempur demi negara. Kalaupun mati, mereka bahagia sebab harum namanya sebagai pahlawan.

 

Padahal, menurut Tolstoy, yang diuntungkan dari semua itu adalah segelintir orang saja. Dengan sinis ia menyebut bahwa pemerintah, kapitalis, pers, (sebagian) seniman, bahkan imam gereja adalah mereka-mereka yang juga diuntungkan patriotisme.

 

Dengan adanya perang (sebagai manifestasi patriotisme), oplah koran naik drastis. Siapa yang mau ketinggalan berita perang (yang di dalamnya terselip propaganda patriotisme)?

 

Guru sejarah, atau seniman-seniman berbagai genre, menggambarkan bangsa mereka hebat, gemilang, beradab, dan lebih baik dari bangsa lain. Hal ini diteruskan ke generasi yang lebih muda melalui pendidikan sehingga sejak kanak-kanak mereka dididik untuk mencintai tanah air, membenarkan pembantaian, perampasan harta milik bangsa lain, dan merelakan ayah mereka pulang tinggal mayat lantaran perang.

 

Tolstoy menganggap patriotisme bagai virus. Ia menular dari penakluk ke pihak yang ditaklukan. Sang penakluk yang menaklukan atas nama cinta tanah air akan dilawan oleh hal yang sama yang muncul dari pihak yang ditaklukannya. Lingkaran setan dan tak berkesudahan.

 

Menutup esainya, ia menulis: “Seandainya orang-orang memahami bahwa mereka bukan anak-anak dari tanah air atau yang lain, bukan pula dari pemerintah, melainkan anak-anak Tuihan—dan karena itu tidak boleh menjadi budak ataupun musuh satu sama lain—maka organisasi gila, nirguna, usang bernama pemerintah, dan semua penderitaan, penyimpangan, penghinaan, dan kejahatan yang mereka sebabkan akan berakhir.”


Dimuat di Buruan.co pada 18 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...