Hidup di negara yang hobi perang
membuat Leo Nikolayevich Tolstoy punya pandangan yang otentik mengenai patriotisme,
akar dari peperangan. Tolstoy tak hanya tahu perang dari berita-berita di surat
kabar—salah satu yang dianggapnya diuntungkan dengan adanya perang—melainkan
langsung dari medan kurusetra.
Salah satu perang yang ia ikuti
setelah bergabung dengan tentara Kekaisaran Rusia pada 1851 adalah Perang
Kaukasus (1817-1864), yaitu perang perang yang berakhir dengan aneksasi wilayah
Kaukasus Utara oleh Kekaisaran Rusia.
Perang itu, perang-perang lain yang ia ikuti secara
langsung, perang yang ia baca sebagai bagian dari sejarah Rusia, maupun perang
yang terjadi di belahan bumi lain di saat ia hidup—yang kala itu menjadi
kewajaran yang memenuhi muka koran—selain menjadi inspirasi bagi sejumlah
karya-karyanya, seperti Sketsa-Sketsa Sevastapol dan Perang dan Damai,
juga menjadi bahan baku baginya menyusun
gagasannya mengenai moral, spiritual, anti-kekerasan, anti-perang, asketisme, pasifisme,
dan lain sebagainya. Atau singkatnya, ajaran Tolstoyisme.
Dari pengalamannya terjun langsung
di medan tempur, ia melihat melihat bahwa perang sungguh tak berfaedah kecuali,
melanggengkan kekuasaan, mengisi dompet para pembesar dan segelintir pihak lain
yang diuntungkan. Hal ini ia sampaikan dalam beberapa esai yang dirangkum dalam
buku Patriotisme, Negara, dan Anarki yang diterbitkan Penerbit Liberta
(Agustus 2020).
Dalam esai “Patriotisme dan
Pemerintah”, sastrawan kebanggaan Rusia kelahiran 1828 ini menafsirkan ulang
patriotisme yang kala itu—di negaranya dan sejumlah negara lain—telah
dipropagandakan habis-habisan, baik oleh pemerintah maupun gereja, sebagai
salah satu nilai luhur nan mulia.
Bagi Tolstoy, patriotisme adalah
“perasaan yang tidak wajar, irasional, dan berbahaya, serta penyebab sebagian
besar kemalangan yang diderita umat manusia”.
Dalam penjelasan lain ia menyebut
patriotisme sebagai “sebuah perasaan cinta yang eksklusif untuk bangsa sendiri—dan
sebagai doktrin kebajikan mengorbankan ketentraman, harta benda, dan bahkan
nyawa seseorang dalam membela mereka yang lemah dari pembantaian dan kemarahan
musuh-musuh mereka—adalah gagasan tertinggi dari periode ketika setiap negara
menganggapnya layak dan adil, untuk menggunakan pembantaian dan kebiadaban
orang-orang dari negara lain demi keuntungannya sendiri.”
Suami Sofia Andreevna Bers ini
menolak pendapat umum kala itu yang menyatakan bahwa patriotisme yang
menyebabkan kemalangan sebagaimana yang ia maksud adalah “patriotisme buruk”
yang berwujud jingoisme dan chauvinisme.
Sementara “patriotisme baik”, sebagaimana namanya, selalu baik,
berdampak baik, dan diperlukan.
Penulis novel Anna Karennina
ini memandang tidak ada patriotisme baik atau buruk. Patriotisme adalah buruk
sebab meski di atas kertas atau dalam pidato-pidato dikatakan bahwa patriotisme
“tidak mengingkari kebahagiaan bangsa-bangsa lain”, namun, praktiknya,
sebagaimana yang ia rasakan sendiri, tidak mungkin tegak tanpa kekerasan, perang,
perbudakan, kebrutalan, dan hal semacam itu.
Pada awalnya, kecintaan pada tanah
air yang muncul dari perasaan terikat dalam satu ikatan karena kesamaan suku
bangsa, budaya, bahasa, dan agama boleh jadi tidak menjadi persoalan dan
diperlukan.
Namun, seiring berjalannya waktu,
menurut bangsawan yang meninggal pada usia 82 tahun ini, patriotisme telah
menjadi gagasan usang yang sudah tidak sesuai dan diperlukan umat manusia. Tolstoy
mendasari pendapatnya itu dengan pondasi bahwa sejarah manusia adalah sejarah
kesadaran, baik individu maupun kelompok masyarakat.
Umat manusia terus meniti tangga
kesadaran dari level terendah hingga yang tertinggi yang mampu dicapai. Gagasan
lama, yang dulu dianggap baik-baik saja dan wajar, seperti kanibalisme dan pengorbanan manusia, telah ditinggalkan.
Gagasan masa kini, diajarkan sebagai kelaziman, kewajaran, dan kemestian hidup.
Sementara gagasan baru, menurutnya,
adalah apa yang disebut sebagai cita-cita. Gagasan baru ini ada yang telah dan
sedang diimplementasikan. Ada pula yang masih dalam angan-angan. Untuk yang
terakhir, ia memberi contoh “penghapusan kekesarasan, pengaturan sistem
kepemilikan komunal, sistem agama universal, dan persaudaraan manusia secara
umum.”
Selain dari dari ketiga hal itu, lanjut
Tolstoy, ada pula gagasan kuno yang bukannya ditinggalkan karena tidak lagi
kompatibel, melainkan dipertahankan dan didaur ulang, memilih bentuk yang
seolah-olah tinggi dan dibenamkan ke benak segenap umat manusia, demi
keuntungan segelintir orang. Untuk hal ini, selain agama, Tolstoy menyebut
patriotisme sebagai contoh idelanya.
Alih-alih membawa kedamaian,
kesejahteraan, dan kebahagiaan, sebagaimana yang sering dipropagandakan,
patriotisme justru kerap jadi biang kerok terjadinya kekerasan, perang,
kebrutalan, perampasan harta, dan segala kemalangan lainnya.
Yang lebih parah, bukan hanya para
penguasa yang menganggap pembantaian dan penindasan bangsa lain atas nama
patriotisme adalah halal dan suci, sebagian rakyat pun turut serta mengamini
dan mendukung apa dilakukan negaranya tersebut.
“Di sekolah-sekolah,” tulis
Tolstoy, “mereka mengobarkan patriotisme kepada anak-anak melalui sejarah yang
mengisahkan bangsa mereka sendiri sebagai yang terbaik dari semua bangsa dan
selalu benar. Kepada orang dewasa, mereka mengobarkannya melalui
tontonan-tontonan, hari-hari peringatan, berbagai monumen, dan pers patriotik
yang berbohong.”
“Mereka” yang ia maksud adalah penguasa
(baca: pemerintah) yang diuntungkan secara langsung dan nyata oleh patriotisme
yang kemudian bersekongkol dengan para pemilik modal, pemuka agama, dan “Kelas
Superior” lain.
Patriotisme, pada mulanya boleh
jadi tidak menjadi persoalan dan membawa malapetaka. Ia lahir secara alami
sebagai konsekuensi kesadaran sosial manusia. Merasa lahir dan hidup di tanah
yang sama; berbudaya, berbahasa, dan beragama dengan cara yang sama; dan
mengakses sumber daya yang sama sebagai penyokong hidup. Tidak ada yang salah
dengan itu.
Seiring berkembangnya kesadaran
dan kecerdasan manusia, sejumlah kelompok manusia homogen itu menetapkan bercocok tanam sebagai cara hidup.
Pada titik ini, embrio “tanah air” sebagai satu wilayah kedaulatan mulai muncul
dan terus berkembang. Demikian pula gagasan mengenai harta, hak milik, dan hak
atas tanah.
Ketika dua atau lebih kelompok
manusia homogen saling bersinggungan, beberapa hal yang mungkin terjadi, perang
salah satunya. Musababnya beragam. Yang paling primitif: perebutan sumber daya (seperti
yang sampai saat ini masih sering terjadi, khususnya di negara-negara kaya
minyak). Atau atas nama agama, seperti Perang Salib yang legendaris itu.
Bisa juga karena keyakinan
superioritas ras sebagaimana yang Hitler yakini. Dan masih banyak musabab
lainnya. Namun, apa pun motifnya, patriotisme selalu membayangi. Ia menjadi
pelumas perang. Ia menjadi legitimasi kebiadaban dan perampasan hak hidup dan
hak milik bangsa lain.
Berulang kali, dalam esainya itu,
Tolstoy menyatakan bahwa patriotisme sudah usang. Mengenai hal ini ia menulis:
“Tetapi sejak sekitar dua ribu tahun yang lalu, umat manusia, dalam
representasi pribadi tertinggi atas kebijaksanaan, mulai mengenal gagasan lebih
tinggi mengenai persaudaraan manusia; dan gagasan itu kian menembus kesadaran
manusia, yang pada zaman kita telah mencapai bentuk realisasi yang paling
beragam.”
Yang ia maksud “representasi
pribadi tertinggi atas kebijaksanaan”, menilik dari lekatnya ia dengan iman
Kristen (meski di kemudian hari dikucilkan Gereja Ortodoks), boleh jadi adalah
Yesus Kritstus. Ajaran kasihNya yang mengatasi segala bentuk identitas ia turut
mempengaruhi gagasannya mengenai apa yang disebutnya “persaudaraan manusia secara umum.”
“Berkat peningkatan sarana
komunikasi,” tulisanya lebih lanjut, “—dan kesatuan industri, perdagangan,
seni, dan sains—manusia hari ini begitu terikat satu sama lain sehingga bahaya
penaklukan, pembantaian, atau kemarahan dari rakyat yang bertetangga telah
cukup menghilang, dan semua orang (rakyat, bukan pemerintah) ingin hidup bersama
dalam hubungan yang damai, saling menguntungkan, bersahabat, komersial,
industrial, artistik, dan ilmiah, di mana mereka tidak perlu dan tidak ingin
mengganggu satu sama lain.”
Tesis ini yang ia kemukakan untuk
menghajar patriotisme. Isme yang usang, irasional, dan tidak lagi diperlukan.
Tapi, bukannya lenyap, patriotisme malah makin menjadi dan lebih ganas. Pemerintah
dengan sengaja melanggengkannya demi
keuntungan sendiri.
Rakyat yang damai pun mereka
kompori untuk membenci bangsa tetangga mereka agar perang yang dilakukan para
penguasa itu mendapat dukungan moral rakyatnya. Rakyat yang tidak mendukung
dicap tidak patriotis. Dan tidak patriotis itu sesuat yang buruk, demikian
ditanamkan kepada rakyat.
Sikap patriotik demikian mulia dan
dijunjung tinggi. Dengannya, para lelaki bersedia menjadi tentara, saling
membunuh bahkan dengan orang yang tak mereka kenali sama sekali. Perempuan
merelakan suami, anak, ayah, dan saudara mereka tempur demi negara. Kalaupun
mati, mereka bahagia sebab harum namanya sebagai pahlawan.
Padahal, menurut Tolstoy, yang
diuntungkan dari semua itu adalah segelintir orang saja. Dengan sinis ia
menyebut bahwa pemerintah, kapitalis, pers, (sebagian) seniman, bahkan imam
gereja adalah mereka-mereka yang juga diuntungkan patriotisme.
Dengan adanya perang (sebagai
manifestasi patriotisme), oplah koran naik drastis. Siapa yang mau ketinggalan
berita perang (yang di dalamnya terselip propaganda patriotisme)?
Guru sejarah, atau seniman-seniman
berbagai genre, menggambarkan bangsa mereka hebat, gemilang, beradab, dan lebih
baik dari bangsa lain. Hal ini diteruskan ke generasi yang lebih muda melalui
pendidikan sehingga sejak kanak-kanak mereka dididik untuk mencintai tanah air,
membenarkan pembantaian, perampasan harta milik bangsa lain, dan merelakan ayah
mereka pulang tinggal mayat lantaran perang.
Tolstoy menganggap patriotisme
bagai virus. Ia menular dari penakluk ke pihak yang ditaklukan. Sang penakluk
yang menaklukan atas nama cinta tanah air akan dilawan oleh hal yang sama yang
muncul dari pihak yang ditaklukannya. Lingkaran setan dan tak berkesudahan.
Menutup esainya, ia menulis:
“Seandainya orang-orang memahami bahwa mereka bukan anak-anak dari tanah air
atau yang lain, bukan pula dari pemerintah, melainkan anak-anak Tuihan—dan
karena itu tidak boleh menjadi budak ataupun musuh satu sama lain—maka
organisasi gila, nirguna, usang bernama pemerintah, dan semua penderitaan,
penyimpangan, penghinaan, dan kejahatan yang mereka sebabkan akan berakhir.”
Dimuat di Buruan.co pada 18 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar