Di penghujung tahun, menjelang
Natal dan Tahun Baru 2021, Presiden Joko Widodo memberi kejutan (meski
sebenarnya tidak terlalu mengejutkan). Enam menteri baru masuk jajaran kabinet
Indonesia Maju Jilid II.
Pos jatah PDI-P yang ditinggalkan
lanataran sang menteri korupsi Bansos Covid-19, diisi kembali oleh politisi
banteng merah, Tri Risma Harini. Jatah Gerindra tetap aman setelah sang menteri
resmi berjaket oranye terkait kasus ekspor benur. Bedanya dengan partai
penguasa, Sandiaga Uno yang politisi Gerindra itu diberi jatah di pos yang
berbeda dengan pendahulunya.
“Mereka berada di kapal yang sama
sekarang”, barangkali itu ungkapan yang tepat mengomentari komposisi kabinet baru
yang dilantik kemarin (23/12/2020). Prabowo-Sandi yang tahun lalu jadi pesaing
Jokowi-Ma’ruf Amin dalam kontestasi Pilpres 2019, kini berada di kapal yang
sama yang dinahkodai Joko Widodo.
Publik riuh mengomentari
bergabungnya Sandiaga ke kapal Jokowi. Tahun lalu, dalam banyak kesempatan
ketika ditanya wartawan, ia menyatakan ogah menjadi menteri Jokowi sebab
khawatir tak bisa memberi masukan objektif.
Menurut Juru Bicaranya, Kawendra
Lukistian, sebagaimana dikabarkan VOI.id, enam kali tawaran jadi menteri
ditolak Sandiaga. Yang ketujuh baru diterima, katanya karena panggilan hati.
Demikianlah politik. Pakar
menyebutnya dinamis. Awam menyebutnya penuh kemunafikan. Kalau rakyat sakit
hati karena merasa dibohongi, merasa ditipu, yang salah bukan politisinya, tapi
takyat sebab percaya bahwa politik itu lurus dan jujur.
Kepercayaan rakyat itu tidak
datang ujung-ujung. Politisi mengondisikannya demikian. Segala cara dilakukan
agar rakyat percaya bahwa apa yang mereka katakan dan perbuat adalah jujur dan
lurus. Rakyat disusupi emosi, alam pikir dan alam batinnya agar mendukung
mereka habis-habisan. Mati-matian.
Rakyat yang percaya penuh acap
kali mengedepankan emosi ketimbang nalar wajar dalam menimbang dan memilih
wakil rakyat dan pemimpin. Wajar saja mereka baper alias bawa perasaan sebab
memang itu yang dihendaki politisi.
Ketika perasaan yang bicara, sebesar
apa pun keburukan seseorang akan luput dari pandangan lantaran rasa cinta.
Sebaliknya, ketika rasa benci telah menghinggapi, sulit melihat kebaikan
seseorang meski berada di pelupuk mata.
Fenomena cinta buta dan benci buta
ini mudah ditemukan dalam gegap-gempita Pilpres 2019. Pandukung fanatik
Jokowi-Ma’ruf yang acap disebut cebong memandang jagoan mereka suci tanpa cela.
Segala yang dilakukannya adalah benar 100%.
Sebagian pendukung memandang rival
jagoan mereka berserta pendukungnya sebagai pihak yang salah 100%, sama sekali
tidak ada nilai kebenaran dan kebaikan padanya. Hal demikian juga berlaku bagi
pendukung fanatik Prabowo-Sandiaga yang lazim disebut kampret.
“Sudahlah, enggak ada lagi
cebong-cebong. Enggak ada lagi kampret-kampret. Semuanya sekarang merah putih,”
ujar Prabowo saat konfrensi pers di Stasiun MRT Senayan pada 13 Juli 2019.
Pernyataan itu disampaikan pada
momen perjumpaan dirinya dengan Jokowi usai drama Pilpres 2019. Tak lama
setelah itu, ia dilantik sang presiden sebagai Menteri Pertahanan. Gerindra
masuk kabinet.
Masuknya mantan Danjen Kopassus
itu ke kabinet memantik banyak reaksi. Tidak sedikit yang kecewa. Prabowo
dianggap mengkhianati perjuangan para pendukung setia yang telah berdarah-darah
mendukung, bahkan dengan cara membenci Jokowi.
Keputusannya juga dianggap
memperburuk demokrasi di Indonesia. Dalam sebuah negara demokrasi, umumnya
pihak yang kalah pemilu akan menjadi oposisi.
Jika yang kalah memilih menjadi
bagian dari pemerintah, siapa yang akan menjalankan fungsi oposisi, yang kritis
meneriaki pemerintah? Opisisi yang lemah berpotensi menyuburkan pemerintah yang
ugal-ugalan tanpa kendali. Ekstremnya, bahkan menjadi pemerintah otoriter.
Pandangan lain mengatakan
sebaliknya. Masuknya Prabowo ke kabinet adalah wujud demokrasi yang dewasa,
yang tidak baper. Prabowo juga dinilai sosok patriot sejati. Apa yang
dilakukannya adalah wujud jiwa dan sikap patriotisme. Segalanya ucap dan
perbuatannya adalah demi bangsa dan negara. Demi Tanah Air, apa pun dilakukan
termasuk bergabung dengan “musuh”.
Kini, setelah mantan calon
presiden nomor urut 2 pada Pilpres 2019 itu berangkulan dengan rivalnya,
wakilnya melakukan hal yang sama. Sandiaga Uno resmi menjabat Menteri
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Sejumlah warganet di Twitter
ramai-ramai mengunggah foto Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga dengan bubuhan caption
“Akhirnya Happy Ending”, “Beli 1 dapat 2”, dan lain sebagainya mulai
dari yang menggelitik sampai yang menusuk.
Mereka yang memandang hal ini
positif menyebut pihak yang tidak senang dengan “persatuan” ini sebagai pihak
yang gagal move on dan baperan. Sebagian bahkan menuding, mereka
yang tak senang melihat “kerukunan” ini sebagai pihak yang tak menghendaki kedamaian
dan persatuan Indonesia.
Bergabungnya Prabowo-Sandiaga ke
kubu Jokowi boleh jadi benar sebagai “semuanya sekarang merah putih” sebagaima
yang disampaikan Prabowo.
Menyebut rakyat yang sakit hati
dan kecewa karena keputusan mereka sebagai pihak yang baper, yang gagal move
on, boleh jadi mengandung nilai kebenaran juga. Politik tak sepatutnya
terlalu dihayati, sampai-sampai nalar wajar menjadi tumpul bahkan mati.
Namun, siapa yang menumpulkan
nalar rakyat itu? Siapa yang memaksanya mati?
Menilik panasnya drama Pilpres
2019, yang menumpulkan nalar, yang membuat sebagian rakyat menjadi baper,
menjadikan mereka gagal move on, tidak lain adalah politisi juga.
Mereka-mereka juga.
Demi kekuasaan, apa pun dilakukan.
Agama, yang oleh sebagian besar rakyat Indonesia sangat disakralkan, dimainkan
sedemikian rupa oleh para politisi sebagai isu demi simpati dan suara rakyat.
Cap “Partai Setan” dan “Partai
Allah” tanpa malu-malu digunakan demi ambisi politik. Pilpres 2019 yang umum
disebut pesta demokrasi, oleh salah seorang pendukung kandidat, diibaratkan
medan “Perang Badar”. Ia bahkan khawatir, jika jagoannya tak dimenangkan Tuhan,
“Tidak ada lagi yang menyembah-Mu”.
Setelah rakyat yang
di-objek-tifikasi sebagai komoditas suara belaka itu sedemikian diyakinkan
sampai haqqul yakin, dibuat menghayati pemilu sebagai pertarungan
aqidah, pertarungan iman, pertarungan hidup dan mati, pertarungan sorga dan
neraka; setelah rakyat dibuat baper, kini, dengan entengnya mereka dituduh kaum
baper yang gagal move on seraya politisi-politisi itu berbagi kue
kekuasaan bersama.
Indonesia sudah sekian kali
mengalami pemilu. Dari dulu hingga kini, politik tidak pernah berubah.
Kepentingan berada di atas segalanya. Tidak ada perasaan dalam politik. Dalam
politik, tidak jelas mana kepala mana buntut, maka kawan mana lawan. Semua demi
kepentingan.
Kepentingan siapa? Idelanya demi
kepentingan rakyat. Namun, nyatanya alih-alih dipentingkan, rakyat lebih sering
dijadikan komoditas suara belaka. Rakyat tahu dan sadar, tapi kebanyak yang
berdaya sehingga mudah diperdaya.
Bergabungnya Prabowo-Sandiaga ke
kubu Jokowi, jadi pelajaran berharga buat rakyat. Apa pun yang dikatakan
politisi, dengan membawa nama Tuhan dan bicara sorga neraka sekali pun, semua
demi kepentingan.
Kepentingan siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar