Minggu, 07 Maret 2021

Jangan Baper! Yang Abadi Adalah Kepentingan

 

Di penghujung tahun, menjelang Natal dan Tahun Baru 2021, Presiden Joko Widodo memberi kejutan (meski sebenarnya tidak terlalu mengejutkan). Enam menteri baru masuk jajaran kabinet Indonesia Maju Jilid II.

 

Pos jatah PDI-P yang ditinggalkan lanataran sang menteri korupsi Bansos Covid-19, diisi kembali oleh politisi banteng merah, Tri Risma Harini. Jatah Gerindra tetap aman setelah sang menteri resmi berjaket oranye terkait kasus ekspor benur. Bedanya dengan partai penguasa, Sandiaga Uno yang politisi Gerindra itu diberi jatah di pos yang berbeda dengan pendahulunya.

 

“Mereka berada di kapal yang sama sekarang”, barangkali itu ungkapan yang tepat mengomentari komposisi kabinet baru yang dilantik kemarin (23/12/2020). Prabowo-Sandi yang tahun lalu jadi pesaing Jokowi-Ma’ruf Amin dalam kontestasi Pilpres 2019, kini berada di kapal yang sama yang dinahkodai Joko Widodo.

 

Publik riuh mengomentari bergabungnya Sandiaga ke kapal Jokowi. Tahun lalu, dalam banyak kesempatan ketika ditanya wartawan, ia menyatakan ogah menjadi menteri Jokowi sebab khawatir tak bisa memberi masukan objektif.

 

Menurut Juru Bicaranya, Kawendra Lukistian, sebagaimana dikabarkan VOI.id, enam kali tawaran jadi menteri ditolak Sandiaga. Yang ketujuh baru diterima, katanya karena panggilan hati.

 

Demikianlah politik. Pakar menyebutnya dinamis. Awam menyebutnya penuh kemunafikan. Kalau rakyat sakit hati karena merasa dibohongi, merasa ditipu, yang salah bukan politisinya, tapi takyat sebab percaya bahwa politik itu lurus dan jujur.

 

Kepercayaan rakyat itu tidak datang ujung-ujung. Politisi mengondisikannya demikian. Segala cara dilakukan agar rakyat percaya bahwa apa yang mereka katakan dan perbuat adalah jujur dan lurus. Rakyat disusupi emosi, alam pikir dan alam batinnya agar mendukung mereka habis-habisan. Mati-matian.

 

Rakyat yang percaya penuh acap kali mengedepankan emosi ketimbang nalar wajar dalam menimbang dan memilih wakil rakyat dan pemimpin. Wajar saja mereka baper alias bawa perasaan sebab memang itu yang dihendaki politisi.

 

Ketika perasaan yang bicara, sebesar apa pun keburukan seseorang akan luput dari pandangan lantaran rasa cinta. Sebaliknya, ketika rasa benci telah menghinggapi, sulit melihat kebaikan seseorang meski berada di pelupuk mata.

 

Fenomena cinta buta dan benci buta ini mudah ditemukan dalam gegap-gempita Pilpres 2019. Pandukung fanatik Jokowi-Ma’ruf yang acap disebut cebong memandang jagoan mereka suci tanpa cela. Segala yang dilakukannya adalah benar 100%.

 

Sebagian pendukung memandang rival jagoan mereka berserta pendukungnya sebagai pihak yang salah 100%, sama sekali tidak ada nilai kebenaran dan kebaikan padanya. Hal demikian juga berlaku bagi pendukung fanatik Prabowo-Sandiaga yang lazim disebut kampret.

 

“Sudahlah, enggak ada lagi cebong-cebong. Enggak ada lagi kampret-kampret. Semuanya sekarang merah putih,” ujar Prabowo saat konfrensi pers di Stasiun MRT Senayan pada 13 Juli 2019.

 

Pernyataan itu disampaikan pada momen perjumpaan dirinya dengan Jokowi usai drama Pilpres 2019. Tak lama setelah itu, ia dilantik sang presiden sebagai Menteri Pertahanan. Gerindra masuk kabinet.

 

Masuknya mantan Danjen Kopassus itu ke kabinet memantik banyak reaksi. Tidak sedikit yang kecewa. Prabowo dianggap mengkhianati perjuangan para pendukung setia yang telah berdarah-darah mendukung, bahkan dengan cara membenci Jokowi.

 

Keputusannya juga dianggap memperburuk demokrasi di Indonesia. Dalam sebuah negara demokrasi, umumnya pihak yang kalah pemilu akan menjadi oposisi.

 

Jika yang kalah memilih menjadi bagian dari pemerintah, siapa yang akan menjalankan fungsi oposisi, yang kritis meneriaki pemerintah? Opisisi yang lemah berpotensi menyuburkan pemerintah yang ugal-ugalan tanpa kendali. Ekstremnya, bahkan menjadi pemerintah otoriter.     

 

Pandangan lain mengatakan sebaliknya. Masuknya Prabowo ke kabinet adalah wujud demokrasi yang dewasa, yang tidak baper. Prabowo juga dinilai sosok patriot sejati. Apa yang dilakukannya adalah wujud jiwa dan sikap patriotisme. Segalanya ucap dan perbuatannya adalah demi bangsa dan negara. Demi Tanah Air, apa pun dilakukan termasuk bergabung dengan “musuh”.

 

Kini, setelah mantan calon presiden nomor urut 2 pada Pilpres 2019 itu berangkulan dengan rivalnya, wakilnya melakukan hal yang sama. Sandiaga Uno resmi menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

 

Sejumlah warganet di Twitter ramai-ramai mengunggah foto Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga dengan bubuhan caption “Akhirnya Happy Ending”, “Beli 1 dapat 2”, dan lain sebagainya mulai dari yang menggelitik sampai yang menusuk.

 

Mereka yang memandang hal ini positif menyebut pihak yang tidak senang dengan “persatuan” ini sebagai pihak yang gagal move on dan baperan. Sebagian bahkan menuding, mereka yang tak senang melihat “kerukunan” ini sebagai pihak yang tak menghendaki kedamaian dan persatuan Indonesia.

 

Bergabungnya Prabowo-Sandiaga ke kubu Jokowi boleh jadi benar sebagai “semuanya sekarang merah putih” sebagaima yang disampaikan Prabowo.

 

Menyebut rakyat yang sakit hati dan kecewa karena keputusan mereka sebagai pihak yang baper, yang gagal move on, boleh jadi mengandung nilai kebenaran juga. Politik tak sepatutnya terlalu dihayati, sampai-sampai nalar wajar menjadi tumpul bahkan mati.

 

Namun, siapa yang menumpulkan nalar rakyat itu? Siapa yang memaksanya mati?

 

Menilik panasnya drama Pilpres 2019, yang menumpulkan nalar, yang membuat sebagian rakyat menjadi baper, menjadikan mereka gagal move on, tidak lain adalah politisi juga. Mereka-mereka juga.  

 

Demi kekuasaan, apa pun dilakukan. Agama, yang oleh sebagian besar rakyat Indonesia sangat disakralkan, dimainkan sedemikian rupa oleh para politisi sebagai isu demi simpati dan suara rakyat.

 

Cap “Partai Setan” dan “Partai Allah” tanpa malu-malu digunakan demi ambisi politik. Pilpres 2019 yang umum disebut pesta demokrasi, oleh salah seorang pendukung kandidat, diibaratkan medan “Perang Badar”. Ia bahkan khawatir, jika jagoannya tak dimenangkan Tuhan, “Tidak ada lagi yang menyembah-Mu”.

 

Setelah rakyat yang di-objek-tifikasi sebagai komoditas suara belaka itu sedemikian diyakinkan sampai haqqul yakin, dibuat menghayati pemilu sebagai pertarungan aqidah, pertarungan iman, pertarungan hidup dan mati, pertarungan sorga dan neraka; setelah rakyat dibuat baper, kini, dengan entengnya mereka dituduh kaum baper yang gagal move on seraya politisi-politisi itu berbagi kue kekuasaan bersama.   

 

Indonesia sudah sekian kali mengalami pemilu. Dari dulu hingga kini, politik tidak pernah berubah. Kepentingan berada di atas segalanya. Tidak ada perasaan dalam politik. Dalam politik, tidak jelas mana kepala mana buntut, maka kawan mana lawan. Semua demi kepentingan.

 

Kepentingan siapa? Idelanya demi kepentingan rakyat. Namun, nyatanya alih-alih dipentingkan, rakyat lebih sering dijadikan komoditas suara belaka. Rakyat tahu dan sadar, tapi kebanyak yang berdaya sehingga mudah diperdaya.

 

Bergabungnya Prabowo-Sandiaga ke kubu Jokowi, jadi pelajaran berharga buat rakyat. Apa pun yang dikatakan politisi, dengan membawa nama Tuhan dan bicara sorga neraka sekali pun, semua demi kepentingan.

 

Kepentingan siapa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...