Minggu, 07 Maret 2021

Bahasa Teror

 

Terorisme dan radikalisme bisa ada di mana saja. Tak hanya di negara berkembang dengan setumpuk masalah macam Indonesia, negara maju seperti Prancis pun tak luput dari kelompok dan aksi semacam ini.

 

Terorisme dan radikalisme adalah metode, bukan tujuan. Mereka yang membolehkan—bahkan mewajibkan—tindakan radikal (kekerasan) dan teror demi meraih tujuannya, itulah yang disebut radikalis dan teroris. Tujuannya bisa apa saja. ISIS, misalnya, secara resmi menyebut tujuannya ingin mendirikan negara Islam versi mereka. Perang dan teror adalah jalannya.

 

Dahulu, demi meraih kemerdekaan Indonesia, para pejuang dari berbagai suku dan agama angkat senjata melawan penjajah. Kekerasan dibolehkan, bahkan diwajibkan. Perang adalah jalan menuju kemerdekaan. Dari perspektif penjajah, para pejuang Indonesia adalah teroris dan radikalis.

 

Sebaliknya, dari kacamata rakyat Indonesia kala ini, pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang adalah teroris, adalah radikalis, sebab mereka mengatur rakyat dan menjalankan pemerintahan dengan teror dan kekerasan. Dalam konteks ini, negara adalah teroris.

 

Demikianlah, cap terorisme dan radikalisme bisa menempel pada siapa saja, tergantung siapa menilai siapa. Yang jadi tolak ukurnya bukanlah “siapa”, melainkan “apa”. Sejauh “apa” yang mereka perbuat adalah teror dan kekerasan, itulah teroris, itulah radikalis.

 

Dalam kondisi tertentu, negara berwenang melakukan tindakan “teror dan kekerasan” kepada warganya demi hukum, keamanan, dan kedaulatan. Undang-undang mengatur hal demikian dengan cukup ketat. 

 

Sebagai contoh, polisi diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menembak terduga pelaku kejahatan jika yang bersangkutan berusaha melarikan diri, melawan petugas, membahayakan nyawa petugas dan orang lain, membahayakan keselamatan umum, dan sejumlah alasan lain yang atur secara ketat oleh hukum.

 

Tembakan peringatan yang diberikan polisi sejatinya adalah teror. Tujuannya melerai baku hantam antar dua pihak, misalnya. Cara yang dilakukannya: mengahimbau melalui pengeras suara, memecah konsentrasi massa dengan membuat barikade, menyemprotkan water canon, dan lain-lain, sampai pada memberi tembakan peringatan.

 

Suara letusan senjata itu meneror, menakut-nakuti. Ia adalah cara. Tujuannya, sebagaimana disampaikan sebelumnya, melerai baku hantam antar dua pihak. Bagaimana cara tersebut dapat efektif?

 

Ia efektif sebab ia adalah bahasa simbol. Ada pesan yang terkandung dalam suara lerusan senjata api tersebut. Dalam hal ini, teror adalah komunikasi. Tembakan peringatan mengandung pesan: “Ini suara senjata api!” Atau dengan bahasa lain: “Kami bersenjata! Turuti kata-kata kami atau kami tembak!”

 

Sebagaimana dalam komunikasi, pesan akan bisa dimengerti bila pemberi pesan dan penerima pesan sama-sama memahami bahasa yang digunakan. Dalam hal ini, tembakan peringatan akan efektif jika polisi maupun pihak yang bertikai itu sama-sama tahu apa makna tembakan peringatan.

 

Teror sebagai komunikasi tidak hanya dilakukan negara. Para teroris pun melakukan hal yang sama. Sasaran terorisme di Indonesia, umpamanya, tidak ditetapkan secara acak dan sembarangan. Para teroris itu lebih dulu meneguhkan siapa musuh mereka: negara, agama, atau siapa? Hal itu menjadi dasar pemetaan target agar pesan yang mereka maksud sampai pada pihak yang mereka lawan.

 

Beberapa kali sejumlah markas polisi di Indonesia menjadi target serangan teroris. Kelompok yang melakukan ini menganggap bahwa polisi adalah musuh sebab seturut dengan pemerintahan yang mereka anggap musuh. Kecuali itu, dendam juga menjadi motivasi lain yang melatarbelakangi. Mereka dendam sebab polisi kerap kali memburu, menangkap, bahkan membunuh anggota kelompok mereka.

 

Dengan menyerang polisi, mereka hendak menyampaikan pesan bahwa musuh mereka adalah negara. Bukan agama lain. Bahwa mereka tidak main-main sebab berani menyerang pihak yang bersenjata. Hal ini berbeda jika mereka menyerang tempat ibadah agama lain. Musuh mereka agama, bukan negara.

 

Pengeboman keduataan asing, hotel milik penguasa asing, dan tempat yang ramai dikunjungi wisatawan asing (semisal kasus Bom Bali) dapat dibaca sebagai serangan kepada negara bersangkutan. Musuh utama mereka bukan polisi atau pemerintah Indonesia secara umum maupun agama tertentu, melainkan negara asing tersebut.

 

Serangan Bom ke hotel JW Marriot pada tahun 2003 dan 2009 merupakan pesan kepada Amerika Serikat (AS). Selain di Indonesia, pesan serupa disampaikan di Islamabad, Pakistan, pada 20 September 2008.

 

Hotel JW Marriot di kota itu dibom. Enam puluh orang tewas dan lebih dari dua ratus orang terluka. Al-Qaeda dan Taliban diduga kuat berada dibalik aksi teror ini. Selain bertujuan membunuh sejumlah tentara AS yang saat itu menginap di hotel tersebut, serangan itu merupakan pesan agar AS menghentikan campur tangannya terhadap konflik di Afganistan.

 

Belakangan ini, Indonesia digegerkan oleh kasus penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI). Hingga kini, kasus tersebut masih diusut. Baik FPI maupun polisi sama-sama punya versi. Keduanya sama-sama mendaku pihak yang benar.

 

Penembakan ini merupakan rangkaian dari drama ribut-ribut FPI versus polisi. Mulanya ketika Muhammad Rizieq Shihab pulang ke Tanah Air yang memantik sejumlah kerumunan. Persoalan terus begulir. Tersangka kasus pelanggaran protolokol kesahatan dan penghasutan telah ditetapkan, tetapi  nyawa enam orang tetap tak bisa dikembalikan.

 

Dengan mengasumsikan teror adalah sebentuk komunikasi, apa yang dilakukan FPI dan Polisi ini dapat pula dipahami sebagai “percakapan”. Apa yang mereka bicarakan?

 

Tanda-tanda bisa dibaca. Pesan bisa diartikan. Namun, terlepas dari isi “percakapan” itu, menggunakan enam nyawa manusia sebagai “bahasa” adalah tindakan tidak beradab yang biadab. Siapapun yang diputus salah nantinya, peristiwa ini haruslah yang terakhir terjadi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...