Terorisme dan radikalisme bisa ada
di mana saja. Tak hanya di negara berkembang dengan setumpuk masalah macam
Indonesia, negara maju seperti Prancis pun tak luput dari kelompok dan aksi
semacam ini.
Terorisme dan radikalisme adalah metode,
bukan tujuan. Mereka yang membolehkan—bahkan mewajibkan—tindakan radikal
(kekerasan) dan teror demi meraih tujuannya, itulah yang disebut radikalis dan
teroris. Tujuannya bisa apa saja. ISIS, misalnya, secara resmi menyebut
tujuannya ingin mendirikan negara Islam versi mereka. Perang dan teror adalah
jalannya.
Dahulu, demi meraih kemerdekaan
Indonesia, para pejuang dari berbagai suku dan agama angkat senjata melawan
penjajah. Kekerasan dibolehkan, bahkan diwajibkan. Perang adalah jalan menuju
kemerdekaan. Dari perspektif penjajah, para pejuang Indonesia adalah teroris
dan radikalis.
Sebaliknya, dari kacamata rakyat
Indonesia kala ini, pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang adalah teroris,
adalah radikalis, sebab mereka mengatur rakyat dan menjalankan pemerintahan
dengan teror dan kekerasan. Dalam konteks ini, negara adalah teroris.
Demikianlah, cap terorisme dan
radikalisme bisa menempel pada siapa saja, tergantung siapa menilai siapa. Yang
jadi tolak ukurnya bukanlah “siapa”, melainkan “apa”. Sejauh “apa” yang mereka
perbuat adalah teror dan kekerasan, itulah teroris, itulah radikalis.
Dalam kondisi tertentu, negara
berwenang melakukan tindakan “teror dan kekerasan” kepada warganya demi hukum,
keamanan, dan kedaulatan. Undang-undang mengatur hal demikian dengan cukup
ketat.
Sebagai contoh, polisi diberi
kewenangan oleh undang-undang untuk menembak terduga pelaku kejahatan jika yang
bersangkutan berusaha melarikan diri, melawan petugas, membahayakan nyawa
petugas dan orang lain, membahayakan keselamatan umum, dan sejumlah alasan lain
yang atur secara ketat oleh hukum.
Tembakan peringatan yang diberikan
polisi sejatinya adalah teror. Tujuannya melerai baku hantam antar dua pihak,
misalnya. Cara yang dilakukannya: mengahimbau melalui pengeras suara, memecah
konsentrasi massa dengan membuat barikade, menyemprotkan water canon,
dan lain-lain, sampai pada memberi tembakan peringatan.
Suara letusan senjata itu meneror,
menakut-nakuti. Ia adalah cara. Tujuannya, sebagaimana disampaikan sebelumnya,
melerai baku hantam antar dua pihak. Bagaimana cara tersebut dapat efektif?
Ia efektif sebab ia adalah bahasa
simbol. Ada pesan yang terkandung dalam suara lerusan senjata api tersebut.
Dalam hal ini, teror adalah komunikasi. Tembakan peringatan mengandung pesan: “Ini
suara senjata api!” Atau dengan bahasa lain: “Kami bersenjata! Turuti kata-kata
kami atau kami tembak!”
Sebagaimana dalam komunikasi,
pesan akan bisa dimengerti bila pemberi pesan dan penerima pesan sama-sama
memahami bahasa yang digunakan. Dalam hal ini, tembakan peringatan akan efektif
jika polisi maupun pihak yang bertikai itu sama-sama tahu apa makna tembakan
peringatan.
Teror sebagai komunikasi tidak
hanya dilakukan negara. Para teroris pun melakukan hal yang sama. Sasaran terorisme
di Indonesia, umpamanya, tidak ditetapkan secara acak dan sembarangan. Para
teroris itu lebih dulu meneguhkan siapa musuh mereka: negara, agama, atau
siapa? Hal itu menjadi dasar pemetaan target agar pesan yang mereka maksud
sampai pada pihak yang mereka lawan.
Beberapa kali sejumlah markas
polisi di Indonesia menjadi target serangan teroris. Kelompok yang melakukan
ini menganggap bahwa polisi adalah musuh sebab seturut dengan pemerintahan yang
mereka anggap musuh. Kecuali itu, dendam juga menjadi motivasi lain yang
melatarbelakangi. Mereka dendam sebab polisi kerap kali memburu, menangkap,
bahkan membunuh anggota kelompok mereka.
Dengan menyerang polisi, mereka
hendak menyampaikan pesan bahwa musuh mereka adalah negara. Bukan agama lain.
Bahwa mereka tidak main-main sebab berani menyerang pihak yang bersenjata. Hal
ini berbeda jika mereka menyerang tempat ibadah agama lain. Musuh mereka agama,
bukan negara.
Pengeboman keduataan asing, hotel
milik penguasa asing, dan tempat yang ramai dikunjungi wisatawan asing (semisal
kasus Bom Bali) dapat dibaca sebagai serangan kepada negara bersangkutan. Musuh
utama mereka bukan polisi atau pemerintah Indonesia secara umum maupun agama
tertentu, melainkan negara asing tersebut.
Serangan Bom ke hotel JW Marriot
pada tahun 2003 dan 2009 merupakan pesan kepada Amerika Serikat (AS). Selain di
Indonesia, pesan serupa disampaikan di Islamabad, Pakistan, pada 20 September
2008.
Hotel JW Marriot di kota itu
dibom. Enam puluh orang tewas dan lebih dari dua ratus orang terluka. Al-Qaeda
dan Taliban diduga kuat berada dibalik aksi teror ini. Selain bertujuan
membunuh sejumlah tentara AS yang saat itu menginap di hotel tersebut, serangan
itu merupakan pesan agar AS menghentikan campur tangannya terhadap konflik di
Afganistan.
Belakangan ini, Indonesia
digegerkan oleh kasus penembakan enam anggota Front Pembela Islam (FPI). Hingga
kini, kasus tersebut masih diusut. Baik FPI maupun polisi sama-sama punya
versi. Keduanya sama-sama mendaku pihak yang benar.
Penembakan ini merupakan rangkaian
dari drama ribut-ribut FPI versus polisi. Mulanya ketika Muhammad Rizieq Shihab
pulang ke Tanah Air yang memantik sejumlah kerumunan. Persoalan terus begulir.
Tersangka kasus pelanggaran protolokol kesahatan dan penghasutan telah
ditetapkan, tetapi nyawa enam orang
tetap tak bisa dikembalikan.
Dengan mengasumsikan teror adalah
sebentuk komunikasi, apa yang dilakukan FPI dan Polisi ini dapat pula dipahami
sebagai “percakapan”. Apa yang mereka bicarakan?
Tanda-tanda bisa dibaca. Pesan
bisa diartikan. Namun, terlepas dari isi “percakapan” itu, menggunakan enam
nyawa manusia sebagai “bahasa” adalah tindakan tidak beradab yang biadab.
Siapapun yang diputus salah nantinya, peristiwa ini haruslah yang terakhir terjadi
di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar