Minggu, 07 Maret 2021

Zootopia: Cita-Cita Kemajemukan AS

 

Joe Biden dan Kamala Devi Harris resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS). Pemilihan presiden (Pilpres) AS kali ini cukup berdarah-darah dalam arti sebenarnya. Lima orang tewas ketika massa pendukung Trump menyerbu Capitol Hill.

 

Selain kericuhan yang terjadi gara-gara ngototnya Trump, salah satu yang menarik dicermati dari Pilpres AS kali ini adalah profil Kamala Devi Harris, wakil presiden terpilih AS, yang mendampingi Joe Biden.

 

Dalam pidato kemenangannya, Biden menyebut Harris sebagai “perempuan pertama, perempuan kulit hitam pertama, perempuan pertama dari keturunan Asia Selatan, anak perempuan imigran pertama yang terpilih [menjadi wakil presiden] di negeri ini.”

 

Biden tidak berlebihan sebab memang demikian nyatanya. Mantan Jaksa Agung Negara Bagian California ini telah mencatatkan sejarah dan meneguhkan AS sebagai “The Land of Hope”, julukan yang dibanggakan Negeri Paman Sam itu sejak awal kelahirannya pada abad ke-18.

 

Meski 76,5% penduduknya didominasi kulit putih, namun kesempatan untuk menjadi pembesar di sana terbuka lebar bagi semua kelompok. Barack Hussein Obama telah lebih dulu membuktikan dengan kemenangannya sebagai presiden AS kulit hitam pertama, mengalahkan rivalnya yang kulit putih tulen, John McCain.

 

Melalui kedatangan para imigran nyaris dari seluruh dunia, AS telah menjadi negara multikultur terbesar di dunia. Telah menjadi “rumah semua bangsa”. Hal ini telah banyak dipromosikan, termasuk melalui film-film produksi Hollywood, tak terkecuali film-film animasi yang target penontonnya anak-anak. Dari sekian banyak film semacam itu, Zootopia salah satunya.

 

Film ini diproduksi Disney tahun 2016. Latarnya adalah dunia mamalia yang telah mengalami evolusi sedemikian rupa sehingga hewan-hewan dapat berbicara dan berperadaban persis manusia, bahkan lebih maju ketimbang peradaban manusia kini. Dalam film ini, bahkan tidak ada manusia sama sekali. Penduduk planet bumi sepenuhnya binatang.

 

Untuk ukuran film Hollywood, cerita dan plotnya biasa saja: “seorang” kelinci anak desa bercita-cita menjadi polisi, hal yang tak biasa untuk kaumnya. Namun, berkat kesungguhan dan kerja keras ia mendobrak kelaziman itu dan berhasil meraih cita-citanya, bahkan menjadi pahlawan bagi kota dan peradaban Zootopia. Bukankah cerita seperti itu biasa-biasa saja?

 

Selain gagasan mengenai evolusi mamalia, hal menarik lainnya justru adalah tata kota Zootopia. Dalam salah satu adegan dijelaskan bahwa mereka memiliki 12 ekosistem di batas kotanya. Tiga di antaranya adalah Tundra Town (ekosistem tundra), Sahara Square (ekosistem gurun pasir), dan Rain Forest District (ekosistem hutan hujan tropis).

 

Ketiganya, dan tentu 9 ekosistem lain, menjadi rumah bagi para mamalia sesuai dengan habitatnya di dunia nyata. Sebagai contoh, tokoh Manchas yang seekor macam kumbang, tinggal di Rain Forest District. Demikian pula para beruang kutub, mereka tinggal di Tundra Town.

 

Dalam film besutan Byron Howard dan Rich Moore itu digambarkan pula bagaimana ketiga ekosistem tersebut direkayasa sedemikian rupa agar mirip dengan aslinya. Ada pemanas raksasa untuk Sahara Square yang bertetangga dengan Tundra Town yang juga didinginkan oleh pendingin raksasa. Sementara kawasan hutan hujan tropis dilengkapi dengan alat penyiram otomatis yang berfungsi menciptakan hujan buatan.

 

Selain ketiga kawasan itu, ada pula kawasan pusat kota yang didesain moderen dan ramah untuk semua spesies. Stasiun kereta api mereka memiliki fasilitas khusus bagi kuda nil yang tiba dari jalur air untuk mengeringkan pakaian dan tubuh mereka sebelum bekerja di kantor. Ada juga terowongan khusus bagi hewan-hewan kecil seukuran marmut. Bahkan, kios penjual minuman memiliki fasilitas khusus agar jerapah yang memesan minuman tidak perlu repot membungkukan leher mereka yang panjang.

 

Keunikan lainnya, kereta api mereka memiliki tiga lantai dengan tiga pintu terpisah sesuai ukuran tubuh. Terdapat pula kawasan bernama Little Rodentia yang dikhususkan untuk jenis mamalia pengerat yang mungil semacam marmut, tikus, dan sebangsanya.

 

Zootopia memang bukan AS. Namun, menginterpretasikannya sebagai AS—atau setidaknya sebagai cita-cita AS—bukan sesuatu yang berlebihan. AS yang dihuni oleh hampir semua ras dan kelompok etnik yang ada di dunia mirip dengan Zootopia yang dihuni oleh nyaris seluruh mamalia yang ada.

 

Pesan sang tokoh utama, Judy Hopps (Ginnifer Goodwin), yang disampaikannya di awal film, “anyone can be anything”, senada dengan semangat yang sejak lama digelorakan AS. Di negara itu, (katanya) siapa pun bisa manjadi apa pun.

 

Hal ini tentu tidak ujug-ujug. Perlu proses dan kesempatan. Siapa pun bisa menjadi apa pun asal berusaha dan punya kesempatan. Mengenai hal ini, Biden, dalam dalam pidato kemenangannya, menyampaikan, “Saya selalu percaya kita bisa mendefinisikan Amerika dengan satu kata: kesempatan.”

 

Kamala Harris memang buka Judy Hopps. Namun, ia seolah menjadi “pahlawan” dan simbol kesetaraan kesempatan di tengah kemajemukan AS. Kemenangannya seolah menjadi angin segar setelah kemajemukan AS sempat terkoyak oleh kasus pembunuhan George Floyd, kasus yang memantik gerakan Black Lives Matter mendunia.

 

Gerakan ini sendiri telah aktif sejak tahun 2013 dan seolah menemukan momentum besarnya ketika kasus Floyd terjadi dibawah pemerintahan Trump yang konservatif. Suatu komposisi yang pas untuk menyuarakan ketertindasan.

 

Gaung Black Lives Matter sampai ke Indonesia. Di sini, ia mengalami penyesuain menjadi Papua Lives Matter terkait sejumlah kasus “diduga rasisme” yang terjadi di Bumi Cendrawasih dan menimpa penduduk Papua lain yang tinggal di luar daerah.

 

Seperti AS, sebagai sesama negara multikultur, multietnis, dan dihuni oleh berbagai penganut agama dan keyakinan (dengan segudang persoalan intoleransinya), bisakah “anyone can be anything” terjadi di Indonesia? Bagaimana hal ihwal kesetaraan kesempatan di Indonesia? Apakah mungkin Indonesia menjadi “The Land of Hope”?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...