Joe Biden dan Kamala Devi Harris
resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS).
Pemilihan presiden (Pilpres) AS kali ini cukup berdarah-darah dalam arti
sebenarnya. Lima orang tewas ketika massa pendukung Trump menyerbu Capitol
Hill.
Selain kericuhan yang terjadi
gara-gara ngototnya Trump, salah satu yang menarik dicermati dari Pilpres AS
kali ini adalah profil Kamala Devi Harris, wakil presiden terpilih AS, yang
mendampingi Joe Biden.
Dalam pidato kemenangannya, Biden
menyebut Harris sebagai “perempuan pertama, perempuan kulit hitam pertama,
perempuan pertama dari keturunan Asia Selatan, anak perempuan imigran pertama
yang terpilih [menjadi wakil presiden] di negeri ini.”
Biden tidak berlebihan sebab
memang demikian nyatanya. Mantan Jaksa Agung Negara Bagian California ini telah
mencatatkan sejarah dan meneguhkan AS sebagai “The Land of Hope”,
julukan yang dibanggakan Negeri Paman Sam itu sejak awal kelahirannya pada abad
ke-18.
Meski 76,5% penduduknya didominasi
kulit putih, namun kesempatan untuk menjadi pembesar di sana terbuka lebar bagi
semua kelompok. Barack Hussein Obama telah lebih dulu membuktikan dengan
kemenangannya sebagai presiden AS kulit hitam pertama, mengalahkan rivalnya
yang kulit putih tulen, John McCain.
Melalui kedatangan para imigran
nyaris dari seluruh dunia, AS telah menjadi negara multikultur terbesar di
dunia. Telah menjadi “rumah semua bangsa”. Hal ini telah banyak dipromosikan,
termasuk melalui film-film produksi Hollywood, tak terkecuali film-film animasi
yang target penontonnya anak-anak. Dari sekian banyak film semacam itu, Zootopia
salah satunya.
Film ini diproduksi Disney tahun
2016. Latarnya adalah dunia mamalia yang telah mengalami evolusi sedemikian
rupa sehingga hewan-hewan dapat berbicara dan berperadaban persis manusia,
bahkan lebih maju ketimbang peradaban manusia kini. Dalam film ini, bahkan
tidak ada manusia sama sekali. Penduduk planet bumi sepenuhnya binatang.
Untuk ukuran film Hollywood, cerita
dan plotnya biasa saja: “seorang” kelinci anak desa bercita-cita menjadi
polisi, hal yang tak biasa untuk kaumnya. Namun, berkat kesungguhan dan kerja
keras ia mendobrak kelaziman itu dan berhasil meraih cita-citanya, bahkan
menjadi pahlawan bagi kota dan peradaban Zootopia. Bukankah cerita seperti itu
biasa-biasa saja?
Selain gagasan mengenai evolusi
mamalia, hal menarik lainnya justru adalah tata kota Zootopia. Dalam salah satu
adegan dijelaskan bahwa mereka memiliki 12 ekosistem di batas kotanya. Tiga di
antaranya adalah Tundra Town (ekosistem tundra), Sahara Square
(ekosistem gurun pasir), dan Rain Forest District (ekosistem hutan hujan
tropis).
Ketiganya, dan tentu 9 ekosistem
lain, menjadi rumah bagi para mamalia sesuai dengan habitatnya di dunia nyata.
Sebagai contoh, tokoh Manchas yang seekor macam kumbang, tinggal di Rain
Forest District. Demikian pula para beruang kutub, mereka tinggal di Tundra
Town.
Dalam film besutan Byron Howard
dan Rich Moore itu digambarkan pula bagaimana ketiga ekosistem tersebut direkayasa
sedemikian rupa agar mirip dengan aslinya. Ada pemanas raksasa untuk Sahara
Square yang bertetangga dengan Tundra Town yang juga didinginkan
oleh pendingin raksasa. Sementara kawasan hutan hujan tropis dilengkapi dengan
alat penyiram otomatis yang berfungsi menciptakan hujan buatan.
Selain ketiga kawasan itu, ada
pula kawasan pusat kota yang didesain moderen dan ramah untuk semua spesies. Stasiun
kereta api mereka memiliki fasilitas khusus bagi kuda nil yang tiba dari jalur
air untuk mengeringkan pakaian dan tubuh mereka sebelum bekerja di kantor. Ada
juga terowongan khusus bagi hewan-hewan kecil seukuran marmut. Bahkan, kios
penjual minuman memiliki fasilitas khusus agar jerapah yang memesan minuman tidak
perlu repot membungkukan leher mereka yang panjang.
Keunikan lainnya, kereta api
mereka memiliki tiga lantai dengan tiga pintu terpisah sesuai ukuran tubuh.
Terdapat pula kawasan bernama Little Rodentia yang dikhususkan untuk
jenis mamalia pengerat yang mungil semacam marmut, tikus, dan sebangsanya.
Zootopia memang bukan AS. Namun, menginterpretasikannya
sebagai AS—atau setidaknya sebagai cita-cita AS—bukan sesuatu yang berlebihan. AS
yang dihuni oleh hampir semua ras dan kelompok etnik yang ada di dunia mirip
dengan Zootopia yang dihuni oleh nyaris seluruh mamalia yang ada.
Pesan sang tokoh utama, Judy Hopps
(Ginnifer Goodwin), yang disampaikannya di awal film, “anyone can be
anything”, senada dengan semangat yang sejak lama digelorakan AS. Di negara
itu, (katanya) siapa pun bisa manjadi apa pun.
Hal ini tentu tidak ujug-ujug. Perlu
proses dan kesempatan. Siapa pun bisa menjadi apa pun asal berusaha dan punya
kesempatan. Mengenai hal ini, Biden, dalam dalam pidato kemenangannya,
menyampaikan, “Saya selalu percaya kita bisa mendefinisikan Amerika dengan satu
kata: kesempatan.”
Kamala Harris memang buka Judy
Hopps. Namun, ia seolah menjadi “pahlawan” dan simbol kesetaraan kesempatan di
tengah kemajemukan AS. Kemenangannya seolah menjadi angin segar setelah
kemajemukan AS sempat terkoyak oleh kasus pembunuhan George Floyd, kasus yang memantik
gerakan Black Lives Matter mendunia.
Gerakan ini sendiri telah aktif
sejak tahun 2013 dan seolah menemukan momentum besarnya ketika kasus Floyd terjadi
dibawah pemerintahan Trump yang konservatif. Suatu komposisi yang pas untuk
menyuarakan ketertindasan.
Gaung Black Lives Matter sampai ke
Indonesia. Di sini, ia mengalami penyesuain menjadi Papua Lives Matter terkait
sejumlah kasus “diduga rasisme” yang terjadi di Bumi Cendrawasih dan menimpa
penduduk Papua lain yang tinggal di luar daerah.
Seperti AS, sebagai sesama negara
multikultur, multietnis, dan dihuni oleh berbagai penganut agama dan keyakinan
(dengan segudang persoalan intoleransinya), bisakah “anyone can be anything”
terjadi di Indonesia? Bagaimana hal ihwal kesetaraan kesempatan
di Indonesia? Apakah mungkin Indonesia menjadi “The Land of Hope”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar