Di sebuah daerah yang dulu berdiri
kerajaan besar nan mashur, Galuh, kini berdiri dengan megah sebuah gedung yang resminya
bernama Gedung Kesenian Ciamis (GKC). Enam tahun silam saya menyebutnya sebagai
sebuah ketololan kolektif untuk berbagai berbagai alasan. Di tahun 2021 ini,
meski alasan-alasan itu masih ada, relevan, bahkan bertambah, saya tidak hendak
menggunakan istilah itu lagi. Terlalu kasar. Tidak sopan. Khawatir ada yang
merasa kurang nyaman. Saya juga kurang nyaman sebenarnya. Kolektif di sana
berarti saya pun termasuk. Ikutan tolol. Astagfirullah.
Setelah enam tahun sejak
diresmikan, saya nyaris lupa bahwa GKC ini patut dipersoalankan. Nyaris lupa
sebab terkubur banyak hal. Yang terutama, saya sempat berpikir bahwa apa yang
lakukan sia-sia belaka. Pemerintah Ciamis tidak akan pernah mendengar kritik
saya sebab suara saya terlalu kecil. Saya tidak punya massa, bukan pula orang
berpengaruh. Kecuali saya punya koneksi “orang dalem”, atau punya kekuatan
massa, atau kekuatan cuan, atau kombinasi ketiganya sekaligus, kritik saya
adalah suatu kesia-siaan.
Padahal, sejak diresmikan pada
2015 oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sampai beberapa waktu ke belakang,
saya seirng kali menyoal bangunan 6 milyar rupiah ini. Oh, iya. Sekarang harganya
naik. Ada gapura yang belum lama dibangun di pintu masuk GKC. Desas-desus,
nilai proyeknya 100 juta rupiah.
Wah, kalau uang sebanyak itu dibelikan
karpet peredam dinding, saya yakin uang kembaliannya masih cukup buat beli kain
hitam selebar latar panggung. Mungkin juga masih cukup untuk membuat membeli
karpet lantai, seperti di bioskop-bioskop, demi memperbaiki akustik gedung yang
buruk.
Tapi, dengan dibangunnya gapura
100 juta itu, “sang pemilik gedung” pasti punya tujuan baik. Sayangnya, saya
tidak tahu tujuan baik itu. Sayang sekali. Padahal, saya sungguh-sungguh ingin
tahu tujuan baik “sang pemilik gedung” itu. Kalau pembaca sekalian yang budiman
tahu, tolong kasih tahu saya. Bisa ditulis di kolom komentar di bawah tulisan
ini. Di kolom komentar Facebook. Atau di mana saja. Sebaiknya tidak usah japri.
Khawatir menimbulkan kecurigaan. Nanti ada yang kira kita main mata. GKC ini urusan
publik, sebaiknya dibicarakan secara terbuka. Di ruang publik.
Dulu saya gemar sekali mengkritik
GKC secara terbuka, ekspresif, bahkan demonstratif. Suatu ketika, Dinas Kebudayaan,
Pemuda, dan Olahraga Ciamis menyelenggarakan pertemuan. Saya lupa judulnya apa.
Mungkin semacam workshop atau seminar. Pada sesi tanya jawab, saya mencak-mencak.
Dengan meledak-ledak saya menanyakan siapa yang mendesain GKC dengan demikian
buruk sehingga malfunction bila ditinjau dari standar gedung kesenian
sebagaiaman umumnya. Saya ingin ketemu dengan orang itu. Ngobrol dengannya. Ketimbang
bertanya, saya lebih mirip marah-marah atau orasi. Persis seperti orang
demonstrasi. Dengan tidak terpantik emosi, Kepada Bidang Kebudayaan menjawab
pertanyaan saya. Beliau tidak tahu siapa siapa desainernya. Sisa jawabannya
saya lupa.
Momen semacam itu, seingat saya,
lebih dari sekali. Tiap kali menyinggung soal GKC, saya pasti serang pemerintah
sebagai pihak yang saya anggap paling bertanggungjawab atas ketidakwarasan ini.
Di koran juga begitu. Di blog juga begitu. Ketika kawan-kawan Sweat City Movement
dan Ngatah Project menggelar acara kesenian pertama di “Gedung Kesunyian” itu pada
14 September 2019 sebagai sebentuk kritik, dengan bersemangat saya datang. Dengan
bersemangat dan penuh gairah pula saya perform: mencuci aksara Gedung
Kesenian dengan air yang dikumpulkan dari air apa saya yang dibawa penonton
waktu itu. Ada yang yang menyumbang air mineral, kopi, es campur, dan
sebagainya yang semua itu mereka muntahkan dari mulut mereka dan saya tampung jadi
satu dalam botol air mineral. Menjijikan. Tapi tidak lebih menjijikan dari….ah,
sudahlah, tidak baik kalau saya teruskan kalimat itu. Tiap muntahan air itu
saya anggap niat baik segenap yang peduli. Sekaligus keresahan.
Ketika saya mulai bosan dan terlintas
pikiran bahwa itu semua sia-sia, sejumlah kawan justru menggelorakan kritik itu
dengan lebih segar, cadas, dan cerdas sejak 2019. Mereka adalah anak-anak muda
Ciamis yang resah karena peduli. Di mata mereka, banyak hal ganjil berserakan
di tempat tinggal mereka, Ciamis. Gedung kesenian itu salah satunya.
Mereka bukan anggota ormas. Tidak
juga membawa bendera anggota Organinsasi Ekstra Kampus tertentu dengan idealisme,
ideologi, dan corak tertentu. Di antara mereka memang ada yang anggota Organisasi
Ekstra Kampus. Tapi dalam hal menggugat GKC, sependek ingatan saya, belum
pernah ada satu organisasi pun yang bersuara keras secara konsisten dan teguh. Kenapa,
ya?
Media juga. GKC hanya sesekali
diberitakan sebagai hal yang disoal seniman. Dan itu cuma angin lalu buat
pemerintah. Tidak pernah sampai jadi polemik. Tidak pernah jadi trending.
Tidak pernah viral. Tahun 2016, saya pernah diminta menulis prihal GKC di
sebuat koran lokal. Semacam press release sebab wartawan itu mengolahnya
lagi. Sampai empat atau lima kali terbitan kalau tak keliru ingat.
Dengan sengaja wartawan itu “mengejar”
orang-orang dinas yang dianggap terkait dengan pembangunan dan keberadaan GKC:
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan; Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Dinas
Cipta Karya, Kebersihan, dan Tata Ruang; dan lain-lainnya. Saya tidak hapal betul
siapa saja yang “dikejar”. Yang saya hapal dengan sangat baik, mereka, para
pejabat yang dimintai keterangan itu, saling lempar tanggung jawab. Dan, saya
menduga, pejabat mana pun, tidak ada yang menganggap hal ini sebagai persoalan.
Semua baik-baik saja sejauh bos mereka tidak ngamuk. Mental ABS (asal bapa
senang) masih jadi iman sebagian pejabat pemerintah di Tanah Air.
Polemik di koran kecil itu tidak
panjang. Gaungnya lemah sebab itu koran kecil. Entah apa motivasi sesungguhnya
sang wartawan mengangkat isu ini. Saya hanya tahu, dulu beliau pernah sekolah
di jurusan seni. Dengan latar belakang itu, boleh jadi ada kepedulian lebih
dalam dirinya terhadap kesenian. Terima kasih dan sehat selalu, Pak Wartawan!
GKC bukan isu seksi. Lain halnya
kalau yang disoal adalah bangunan lain yang “lebih mahal”. Bukan harga
bangunannya. Tapi nilai jual isunya. Daya guncangnya. Sebetulnya isu bisa dibuat
besar atau sebaliknya. Apalagi zaman pendengung (buzzer) kini. Kalau
sudah besar sehingga viral, baru dilirik. Yang jadi soal, main dengan cara
seperti itu butuh sumber daya yang besar. Cuan. Duit. Kecuali untuk hal-hal
tertentu, besar kecilnya isu tergantung besar kecilnya sumber daya yang mem-back
up.
Menggelindingkan suatu isu, pem-back
up sumber daya itu pasti punya kepentingan dengan hal tersebut. Ini sudah
masuk ranah politik. Banyak seniman (ngakunya) menjauhkan diri dari dunia abu-abu
itu. Sayangnya, segala keputusan pemerintah, termasuk pendirian GKC, lahir dari
dunia abu-abu itu: politik.
Di politik, kesenian tidak punya tempat.
Seniman hanya dibutuhkan untuk hiburan semata. Aspirasi mereka dianggap cukup
dibayar dengan “dana aspirasi”, bantuan dana sekian juta saja. Cuan. Urusannya
selalu cuan. Belum pernah sampai level kebijakan. Padahal, kebijakan itu lebih
mahal ketimbang “dana aspirasi” sebab berusia lebih panjang dari uang. Bisa
menghasilkan lebih banyak uang juga. Idealnya. Jangkaunnya juga lebih luas,
bukan cuma seniman atau kelompok seni tertentu saja. Dengan satu Peraturan
Daerah (Perda) tentang kesenian, termasuk di dalamnya GKC, misalnya, ribuan
seniman di Ciamis akan dapat merasakan dampaknya, langsung atau tidak langsung.
Itu idealnya. Praktiknya, walah, entahlah.
Sampai saat ini, setahu saya, meski
dikritik lewat berbagai cara, pemerintah bergeming. Setidaknya kepada saya dan
segelintir kawan seniman lain yang sering “berisik”. Orang-orang “berisik” ini,
seperti yang saya tulis di atas, kebanyakannya adalah anak muda Ciamis. Energi mereka
berada dalam status optimal. Dunia mereka beragam. Ada yang musisi. Ada penyair.
Ada perupa. Ada mahasiswa. Ada guru. Komedian. Editor koran daring. Dosen. Peternak.
Barista. Fotografer. Videograper. Pengusaha. Dan banyak lagi.
Pemikiran mereka juga bercorak-corak.
Dan mereka, sependek saya mengamati, tidak pernah baku hantam atau bermusuhan
gara-gara berbeda pendapat, hal yang justru sering dicontohkan orang dengan
label “usia bijak” di Indonesia. Dengan ragam corak itu, kegemaran mereka yang
sama adalah belajar. Bukan, Mereka tidak gila gelar. Mereka belajar lewat
diskusi, nonton film, menyimak musik, membahas buku, dan lain-lain. Di kafe. Di
jalanan. Di warung kopi. Di mana saja. Mereka membuka kepala, siap membagi dan
menerima ide baru demi sesuatu yang mereka anggap baik. Sebagian menganggap
mereka hanya jago “di meja” tapi loyo “di jalan”. Saya kira itu keliru. Mereka
juga jago aksi. Tapi bukan dengan cara demonstrasi a la ormas atau persatuan
mahasiswa. Mereka punya jalannya sendiri. Punya cara dan karyanya sendiri.
Secara politis, mereka boleh jadi
receh, remeh, dan remah. Jumlahnya tidak banyak. Tidak pula membentuk
organisasi tertentu. Sangat masuk akal pemerintah menyepelekan mereka saat ini.
Secara alamiah mereka saling
bertaut karena punya peduli dan resah yang sama. Dan tepat itulah salah satu
kekuatan besar mereka: tautan. Ketersambungan, kebertautan, adalah kunci. Tidak
harus seragam sebab justru membunuh kreativitas. Yang penting saling kenal agar
saling nyambung agar saling bantu. Saling peduli. Saling membesarkan tanpa
harus ada yang menjadi kecil.
Mereka yang otentik ini kini
mengarahkan fokusnya pada GKC. Mereka bikin performance, mendesai kaos
khusus “Gedung Kesunyian Ciamis”, membuka ruang diskusi, membuat film documenter,
membuat tautan-tautan baru, dan menularkan gagasannya ke sebanyak mungkin orang.
Fenomena ini, saya kira, adalah suatu gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan
kaum muda Ciamis. Apa yang mereka lakukan bisa menular dengan cepat. Ini zaman
internet. Dan generasi mereka adalah penguasanya.
Terkait GKC, tuntutan mereka
sederhana saja: fungsikan gedung ini sebagaimana namanya. Bukankah itu tuntuan
yang wajar, masuk akal, dan sehat?
Saya menduga pemerintah sudah
mengendus hal ini. Saya yakin pemerintah tahu GKC dipersoalkan oleh sejumlah
orang. Bahkan sejak lama. Saya juga yakin, para pejabat terkait juga bukan
orang bodoh yang tidak ngerti soal seperti ini. Saya duga mereka bukan bodoh
tapi enggan. Ogah mengurusi GKC dan kesenian secara umum secara lebih serius
dan berintegritas karena tidak masuk akal seturut logika ekonomi. Saya dengar, di
atas kertas, biaya sewa GKC ini 3 juta rupiah untuk acara komersil dan 2,5 juta
rupiah untuk non-komersil.
Kalau angka ini tertuang dalam
peraturan resmi pemerintah, pasti ada hitung-hitungannya. Harusnya ilmiah. Mengukur
pendapatan per kapita di Ciamis, keumuman tarif sewa gedung di Ciamis, rata-rata
besar biaya produksi pertunjukan seni di Ciamis, iklim sponsorship pertunjukan
seni di Ciamis, harga tiket pertunjukan di Ciamis umumnya, dan sejumlah data
lain. Ingat, ini Gedung Kesenian! Gegabah, tidak realistis, dan bodoh jika menganggap
sama antara (dapur) pertunjukan teater (di Ciamis) dengan (dapur) resepsi
pernikahan, misalnya. Tidak realistis juga menganggap sama angka rata-rata laba
hasil jual tiket pertunjukan dengan hasil jual tiket film di bioskop.
Sangat menjijikan rasanya jika 2,5
juta dan 3 juta itu hanya hasil tebak-tebakan atau asumsi yang tidak ilmiah dan
realistis. Sayangnya, saya tidak tahu hitung-hitungan ilmiah mereka sehingga muncul
hasil 2,5 juta untuk non-komersil dan 3 juta untuk komersil. Tapi saya berbaik
sangka, angka itu hasil perhitungan ilmiah dan realistis yang sangat cermat. Hanya
saja, sekali lagi, tidak saya ketahui.
Lepas dari semua itu, gerakan
kebudayaan kaum muda Ciamis akan terus bergulir. Membesar. Dan terus membesar. Setidaknya
itu yang saya yakini. Gerakan ini tidak akan pungkas di meja audiensi Bupati
atau ngopi bareng anggota DPRD. Ini gerakan kebudayaan. Ia akan terus ada dan
mengalir. Ini kehendak zaman. Kebudayaan, termasuk kesenian, di Ciamis, tidak
lagi cukup dipandang hanya kebudayaan lama, hanya seni-seni tradisional saja.
Purifikasi kebudayaan adalah kesia-siaan
sebab bertentangan dengan kodrat kebudayaan itu sendiri yang pada dasarnya hibrid.
Apalagi dalam konteks Nusantara. Dalam konteks Ciamis. Dalam konteks Galuh. Pemerintah,
khususnya Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga, serta Dinas Pariwisata
Kabupaten Ciamis, sudahkah punya visi tentang hal ini? Apa kabar pula Dewan
Kebudayaan Ciamis? Atau Anda sekalian memilih menghindar, mengkhususkan diri mengurusi
kebudayaan masa lalu saja?
Dengan atau tanpa dialog terbuka
antara pemerintah dan seniaman soal GKC atau soal kebudayaan-kesenian secara
umum, gerakan kebudayaan ini adalah keniscayaan. Hari ini boleh jadi masih
receh, remeh, dan remah. Tapi tidak sampai satu tahun lagi, ia akan tumbuh,
menjalar, bertambah, tumbuh secara eskponensial. Yang diguncang bukan lagi dan
bukan saja bangunan fisik, tapi kesadaran. Yang digoyang adalah kebudayaan itu
sendiri.
Bukan. Ini bukan tentang aksi massa
atau demonstrasi. Ini adalah tentang membuka simpul-simpul yang menyumbat dalam
kesadaran. Panjang umur kesadaran. Panjang umur kesenian.
Ars Longa, vita brevis!
Panjalu, 24 Maret 2021
Judul: Edvard Munch Minion The Scream Fine Art Portraits Posters 5383
sumber: https://www.flickr.com/photos/93779577@N00/19315356431
Tidak ada komentar:
Posting Komentar