Rabu, 24 Maret 2021

Tentang GKC dan (Gerakan) Kebudayaan (di) Ciamis Hari Ini

 


Di sebuah daerah yang dulu berdiri kerajaan besar nan mashur, Galuh, kini berdiri dengan megah sebuah gedung yang resminya bernama Gedung Kesenian Ciamis (GKC). Enam tahun silam saya menyebutnya sebagai sebuah ketololan kolektif untuk berbagai berbagai alasan. Di tahun 2021 ini, meski alasan-alasan itu masih ada, relevan, bahkan bertambah, saya tidak hendak menggunakan istilah itu lagi. Terlalu kasar. Tidak sopan. Khawatir ada yang merasa kurang nyaman. Saya juga kurang nyaman sebenarnya. Kolektif di sana berarti saya pun termasuk. Ikutan tolol. Astagfirullah.

 

Setelah enam tahun sejak diresmikan, saya nyaris lupa bahwa GKC ini patut dipersoalankan. Nyaris lupa sebab terkubur banyak hal. Yang terutama, saya sempat berpikir bahwa apa yang lakukan sia-sia belaka. Pemerintah Ciamis tidak akan pernah mendengar kritik saya sebab suara saya terlalu kecil. Saya tidak punya massa, bukan pula orang berpengaruh. Kecuali saya punya koneksi “orang dalem”, atau punya kekuatan massa, atau kekuatan cuan, atau kombinasi ketiganya sekaligus, kritik saya adalah suatu kesia-siaan.

 

Padahal, sejak diresmikan pada 2015 oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sampai beberapa waktu ke belakang, saya seirng kali menyoal bangunan 6 milyar rupiah ini. Oh, iya. Sekarang harganya naik. Ada gapura yang belum lama dibangun di pintu masuk GKC. Desas-desus, nilai proyeknya 100 juta rupiah.

 

Wah, kalau uang sebanyak itu dibelikan karpet peredam dinding, saya yakin uang kembaliannya masih cukup buat beli kain hitam selebar latar panggung. Mungkin juga masih cukup untuk membuat membeli karpet lantai, seperti di bioskop-bioskop, demi memperbaiki akustik gedung yang buruk.

 

Tapi, dengan dibangunnya gapura 100 juta itu, “sang pemilik gedung” pasti punya tujuan baik. Sayangnya, saya tidak tahu tujuan baik itu. Sayang sekali. Padahal, saya sungguh-sungguh ingin tahu tujuan baik “sang pemilik gedung” itu. Kalau pembaca sekalian yang budiman tahu, tolong kasih tahu saya. Bisa ditulis di kolom komentar di bawah tulisan ini. Di kolom komentar Facebook. Atau di mana saja. Sebaiknya tidak usah japri. Khawatir menimbulkan kecurigaan. Nanti ada yang kira kita main mata. GKC ini urusan publik, sebaiknya dibicarakan secara terbuka. Di ruang publik.

 

Dulu saya gemar sekali mengkritik GKC secara terbuka, ekspresif, bahkan demonstratif. Suatu ketika, Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Ciamis menyelenggarakan pertemuan. Saya lupa judulnya apa. Mungkin semacam workshop atau seminar. Pada sesi tanya jawab, saya mencak-mencak. Dengan meledak-ledak saya menanyakan siapa yang mendesain GKC dengan demikian buruk sehingga malfunction bila ditinjau dari standar gedung kesenian sebagaiaman umumnya. Saya ingin ketemu dengan orang itu. Ngobrol dengannya. Ketimbang bertanya, saya lebih mirip marah-marah atau orasi. Persis seperti orang demonstrasi. Dengan tidak terpantik emosi, Kepada Bidang Kebudayaan menjawab pertanyaan saya. Beliau tidak tahu siapa siapa desainernya. Sisa jawabannya saya lupa.    

 

Momen semacam itu, seingat saya, lebih dari sekali. Tiap kali menyinggung soal GKC, saya pasti serang pemerintah sebagai pihak yang saya anggap paling bertanggungjawab atas ketidakwarasan ini. Di koran juga begitu. Di blog juga begitu. Ketika kawan-kawan Sweat City Movement dan Ngatah Project menggelar acara kesenian pertama di “Gedung Kesunyian” itu pada 14 September 2019 sebagai sebentuk kritik, dengan bersemangat saya datang. Dengan bersemangat dan penuh gairah pula saya perform: mencuci aksara Gedung Kesenian dengan air yang dikumpulkan dari air apa saya yang dibawa penonton waktu itu. Ada yang yang menyumbang air mineral, kopi, es campur, dan sebagainya yang semua itu mereka muntahkan dari mulut mereka dan saya tampung jadi satu dalam botol air mineral. Menjijikan. Tapi tidak lebih menjijikan dari….ah, sudahlah, tidak baik kalau saya teruskan kalimat itu. Tiap muntahan air itu saya anggap niat baik segenap yang peduli. Sekaligus keresahan.

 

Ketika saya mulai bosan dan terlintas pikiran bahwa itu semua sia-sia, sejumlah kawan justru menggelorakan kritik itu dengan lebih segar, cadas, dan cerdas sejak 2019. Mereka adalah anak-anak muda Ciamis yang resah karena peduli. Di mata mereka, banyak hal ganjil berserakan di tempat tinggal mereka, Ciamis. Gedung kesenian itu salah satunya.

 

Mereka bukan anggota ormas. Tidak juga membawa bendera anggota Organinsasi Ekstra Kampus tertentu dengan idealisme, ideologi, dan corak tertentu. Di antara mereka memang ada yang anggota Organisasi Ekstra Kampus. Tapi dalam hal menggugat GKC, sependek ingatan saya, belum pernah ada satu organisasi pun yang bersuara keras secara konsisten dan teguh. Kenapa, ya?

 

Media juga. GKC hanya sesekali diberitakan sebagai hal yang disoal seniman. Dan itu cuma angin lalu buat pemerintah. Tidak pernah sampai jadi polemik. Tidak pernah jadi trending. Tidak pernah viral. Tahun 2016, saya pernah diminta menulis prihal GKC di sebuat koran lokal. Semacam press release sebab wartawan itu mengolahnya lagi. Sampai empat atau lima kali terbitan kalau tak keliru ingat.

 

Dengan sengaja wartawan itu “mengejar” orang-orang dinas yang dianggap terkait dengan pembangunan dan keberadaan GKC: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan; Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Dinas Cipta Karya, Kebersihan, dan Tata Ruang; dan lain-lainnya. Saya tidak hapal betul siapa saja yang “dikejar”. Yang saya hapal dengan sangat baik, mereka, para pejabat yang dimintai keterangan itu, saling lempar tanggung jawab. Dan, saya menduga, pejabat mana pun, tidak ada yang menganggap hal ini sebagai persoalan. Semua baik-baik saja sejauh bos mereka tidak ngamuk. Mental ABS (asal bapa senang) masih jadi iman sebagian pejabat pemerintah di Tanah Air.

 

Polemik di koran kecil itu tidak panjang. Gaungnya lemah sebab itu koran kecil. Entah apa motivasi sesungguhnya sang wartawan mengangkat isu ini. Saya hanya tahu, dulu beliau pernah sekolah di jurusan seni. Dengan latar belakang itu, boleh jadi ada kepedulian lebih dalam dirinya terhadap kesenian. Terima kasih dan sehat selalu, Pak Wartawan!   

 

GKC bukan isu seksi. Lain halnya kalau yang disoal adalah bangunan lain yang “lebih mahal”. Bukan harga bangunannya. Tapi nilai jual isunya. Daya guncangnya. Sebetulnya isu bisa dibuat besar atau sebaliknya. Apalagi zaman pendengung (buzzer) kini. Kalau sudah besar sehingga viral, baru dilirik. Yang jadi soal, main dengan cara seperti itu butuh sumber daya yang besar. Cuan. Duit. Kecuali untuk hal-hal tertentu, besar kecilnya isu tergantung besar kecilnya sumber daya yang mem-back up.

 

Menggelindingkan suatu isu, pem-back up sumber daya itu pasti punya kepentingan dengan hal tersebut. Ini sudah masuk ranah politik. Banyak seniman (ngakunya) menjauhkan diri dari dunia abu-abu itu. Sayangnya, segala keputusan pemerintah, termasuk pendirian GKC, lahir dari dunia abu-abu itu: politik.

 

Di politik, kesenian tidak punya tempat. Seniman hanya dibutuhkan untuk hiburan semata. Aspirasi mereka dianggap cukup dibayar dengan “dana aspirasi”, bantuan dana sekian juta saja. Cuan. Urusannya selalu cuan. Belum pernah sampai level kebijakan. Padahal, kebijakan itu lebih mahal ketimbang “dana aspirasi” sebab berusia lebih panjang dari uang. Bisa menghasilkan lebih banyak uang juga. Idealnya. Jangkaunnya juga lebih luas, bukan cuma seniman atau kelompok seni tertentu saja. Dengan satu Peraturan Daerah (Perda) tentang kesenian, termasuk di dalamnya GKC, misalnya, ribuan seniman di Ciamis akan dapat merasakan dampaknya, langsung atau tidak langsung. Itu idealnya. Praktiknya, walah, entahlah.   

 

Sampai saat ini, setahu saya, meski dikritik lewat berbagai cara, pemerintah bergeming. Setidaknya kepada saya dan segelintir kawan seniman lain yang sering “berisik”. Orang-orang “berisik” ini, seperti yang saya tulis di atas, kebanyakannya adalah anak muda Ciamis. Energi mereka berada dalam status optimal. Dunia mereka beragam. Ada yang musisi. Ada penyair. Ada perupa. Ada mahasiswa. Ada guru. Komedian. Editor koran daring. Dosen. Peternak. Barista. Fotografer. Videograper. Pengusaha. Dan banyak lagi.

 

Pemikiran mereka juga bercorak-corak. Dan mereka, sependek saya mengamati, tidak pernah baku hantam atau bermusuhan gara-gara berbeda pendapat, hal yang justru sering dicontohkan orang dengan label “usia bijak” di Indonesia. Dengan ragam corak itu, kegemaran mereka yang sama adalah belajar. Bukan, Mereka tidak gila gelar. Mereka belajar lewat diskusi, nonton film, menyimak musik, membahas buku, dan lain-lain. Di kafe. Di jalanan. Di warung kopi. Di mana saja. Mereka membuka kepala, siap membagi dan menerima ide baru demi sesuatu yang mereka anggap baik. Sebagian menganggap mereka hanya jago “di meja” tapi loyo “di jalan”. Saya kira itu keliru. Mereka juga jago aksi. Tapi bukan dengan cara demonstrasi a la ormas atau persatuan mahasiswa. Mereka punya jalannya sendiri. Punya cara dan karyanya sendiri.

 

Secara politis, mereka boleh jadi receh, remeh, dan remah. Jumlahnya tidak banyak. Tidak pula membentuk organisasi tertentu. Sangat masuk akal pemerintah menyepelekan mereka saat ini.

 

Secara alamiah mereka saling bertaut karena punya peduli dan resah yang sama. Dan tepat itulah salah satu kekuatan besar mereka: tautan. Ketersambungan, kebertautan, adalah kunci. Tidak harus seragam sebab justru membunuh kreativitas. Yang penting saling kenal agar saling nyambung agar saling bantu. Saling peduli. Saling membesarkan tanpa harus ada yang menjadi kecil.

 

Mereka yang otentik ini kini mengarahkan fokusnya pada GKC. Mereka bikin performance, mendesai kaos khusus “Gedung Kesunyian Ciamis”, membuka ruang diskusi, membuat film documenter, membuat tautan-tautan baru, dan menularkan gagasannya ke sebanyak mungkin orang. Fenomena ini, saya kira, adalah suatu gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan kaum muda Ciamis. Apa yang mereka lakukan bisa menular dengan cepat. Ini zaman internet. Dan generasi mereka adalah penguasanya.

 

Terkait GKC, tuntutan mereka sederhana saja: fungsikan gedung ini sebagaimana namanya. Bukankah itu tuntuan yang wajar, masuk akal, dan sehat?

 

Saya menduga pemerintah sudah mengendus hal ini. Saya yakin pemerintah tahu GKC dipersoalkan oleh sejumlah orang. Bahkan sejak lama. Saya juga yakin, para pejabat terkait juga bukan orang bodoh yang tidak ngerti soal seperti ini. Saya duga mereka bukan bodoh tapi enggan. Ogah mengurusi GKC dan kesenian secara umum secara lebih serius dan berintegritas karena tidak masuk akal seturut logika ekonomi. Saya dengar, di atas kertas, biaya sewa GKC ini 3 juta rupiah untuk acara komersil dan 2,5 juta rupiah untuk non-komersil.

 

Kalau angka ini tertuang dalam peraturan resmi pemerintah, pasti ada hitung-hitungannya. Harusnya ilmiah. Mengukur pendapatan per kapita di Ciamis, keumuman tarif sewa gedung di Ciamis, rata-rata besar biaya produksi pertunjukan seni di Ciamis, iklim sponsorship pertunjukan seni di Ciamis, harga tiket pertunjukan di Ciamis umumnya, dan sejumlah data lain. Ingat, ini Gedung Kesenian! Gegabah, tidak realistis, dan bodoh jika menganggap sama antara (dapur) pertunjukan teater (di Ciamis) dengan (dapur) resepsi pernikahan, misalnya. Tidak realistis juga menganggap sama angka rata-rata laba hasil jual tiket pertunjukan dengan hasil jual tiket film di bioskop.

 

Sangat menjijikan rasanya jika 2,5 juta dan 3 juta itu hanya hasil tebak-tebakan atau asumsi yang tidak ilmiah dan realistis. Sayangnya, saya tidak tahu hitung-hitungan ilmiah mereka sehingga muncul hasil 2,5 juta untuk non-komersil dan 3 juta untuk komersil. Tapi saya berbaik sangka, angka itu hasil perhitungan ilmiah dan realistis yang sangat cermat. Hanya saja, sekali lagi, tidak saya ketahui.

 

Lepas dari semua itu, gerakan kebudayaan kaum muda Ciamis akan terus bergulir. Membesar. Dan terus membesar. Setidaknya itu yang saya yakini. Gerakan ini tidak akan pungkas di meja audiensi Bupati atau ngopi bareng anggota DPRD. Ini gerakan kebudayaan. Ia akan terus ada dan mengalir. Ini kehendak zaman. Kebudayaan, termasuk kesenian, di Ciamis, tidak lagi cukup dipandang hanya kebudayaan lama, hanya seni-seni tradisional saja.

 

Purifikasi kebudayaan adalah kesia-siaan sebab bertentangan dengan kodrat kebudayaan itu sendiri yang pada dasarnya hibrid. Apalagi dalam konteks Nusantara. Dalam konteks Ciamis. Dalam konteks Galuh. Pemerintah, khususnya Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga, serta Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis, sudahkah punya visi tentang hal ini? Apa kabar pula Dewan Kebudayaan Ciamis? Atau Anda sekalian memilih menghindar, mengkhususkan diri mengurusi kebudayaan masa lalu saja?

 

Dengan atau tanpa dialog terbuka antara pemerintah dan seniaman soal GKC atau soal kebudayaan-kesenian secara umum, gerakan kebudayaan ini adalah keniscayaan. Hari ini boleh jadi masih receh, remeh, dan remah. Tapi tidak sampai satu tahun lagi, ia akan tumbuh, menjalar, bertambah, tumbuh secara eskponensial. Yang diguncang bukan lagi dan bukan saja bangunan fisik, tapi kesadaran. Yang digoyang adalah kebudayaan itu sendiri.

 

Bukan. Ini bukan tentang aksi massa atau demonstrasi. Ini adalah tentang membuka simpul-simpul yang menyumbat dalam kesadaran. Panjang umur kesadaran. Panjang umur kesenian.

 

Ars Longa, vita brevis!

 

Panjalu, 24 Maret 2021

keterangan gambar:

Judul: Edvard Munch Minion The Scream Fine Art Portraits Posters 5383

sumber: https://www.flickr.com/photos/93779577@N00/19315356431 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...