Pemilihan umum (pemilu) sering
kali dikritik karena ongkosnya yang mahal. Salah satu yang bikin mahal adalah
biaya pengadaan alat pemungutan suara mulai dari kertas surat suara, kotak
suara, bilik pencoblosan, dan lain-lainnya. Pemilu 2019 saja menelan biaya
sekitar Rp30,38 triliun. Waw.
Nyelekit rasanya ketika duit
rakyat segitu banyak hanya menghasilkan pemimpin dan anggota dewan yang
kerjaannya nge-tweet tiap dua menit sekali. Lebih nyelekit ketika
belakangan salah seorang anggota dewan yang terhormat itu terang-terangan
nge-klik tanda love untuk akun bokep.
Demi mengatasi itu semua, kampung
saya bikin sebuah terobosan luar biasa dalam bidang pemungutan suara di era
Revolusi 4.0 ini. Sebelum saya jelasin, saya terangan dulu sedikit latar
belakangnya.
Kisah ini dimulai ketika pada
suatu hari setelah salat Jum’at, jemaah ditahan untuk pulang. Berkumpul selepas
salah Jum’at untuk membahas suatu persoalan yang menyangkut hajat hidup orang
banyak adalah kearifan lokal di kampung saya. Kala itu yang jadi pokok soal
adalah pengunduran diri Pak Ketua RW yang sudah menjabat selama enam tahun.
Dengan dramatis nan belinang air
mata, Pak RW teladan itu menyatakan mundur dengan alasan yang tidak jelas.
Selidik punya selidik, ternyata ada seseorang yang berusaha meng-impeachnya.
Sebut saja namanya Nanas (bukan nama sebenarnya).
Nah, si Nanas ini masyhur sebagai
preman di kampung. Laga dan gayanya adalah stereotipe preman-preman receh:
kulit kusam, celana jeans, sepatu, jaket kulit kw/jeans/ormas, kaos ormas, di
telinganya ada bekas tindikan, tatoan, sering minta rokok, jalan sempoyongan
hanya karena minum dua botol bir, dan, tentu saja, bicanya songong.
Kalau merujuk aturan negara, masa
jabatan seorang Ketua RW adalah lima tahun. Paling lama dia bisa menjabat
selama sepuluh tahun alias dua masa jabatan. Mirip presiden lah. Tapi itu
aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di kampung saya dan kayanya di
banyak kampung lain tidak berlaku.
Ketua RT, RW, dan kepala dusun
(lurah) jarang dipilih melalui mekanisme pemungutan suara layaknya pemimpin
daerah, anggota dewan, atau presiden. Mereka ditunjuk atau dipilih sepenuhnya
berdasarkan musyawarah dan kesepakatan warga. Dan tidak ada masa jabatan yang
jelas. Seorang Ketua RT bisa menjabat seumur hidup atau sampai ia menyatakan
mundur atau sejauh tidak ada yang memprotes kepimimpinannya.
Balik lagi ke masalah pemilu Ketua
RW di kampung saya. Singkat cerita, setelah Pak RW yang sehari-hari berprofesi
sebagai tukang bangunan itu mundur, kepala dusun dan sesepuh kampung sepakat
untuk menggelar pemilu. Alasan utamanya adalah karena si Nanas mengatakan bahwa
warga kampung sudah tidak sreg dengan Ketua RW itu dan merasa tidak memilihnya.
Demi membuktikan klaimnya, digelarkan pemilu yang demokratis itu sebab konon vox
populi vox Dei.
Pendaftaran dibuka. Ada dua orang
yang nyalon: sang mantan RW dan penantangnya yang merupakan calon boneka si
Nanas. Si Nanas ngga bakal berani nyalon. Di sadar rekam jejaknya buruk di mata
masyarakat dan ngga bakal ada yang mau milih dia. Akhirnya dia bersiasat
memajukan tokoh boneka.
Sebagai panitia pemilihan, saya dan
beberapa kawan berusaha menyelenggarakan pemilu yang jurdil luber sebagaimana
amanat demokrasi. Di sisi lain, anggaran sangat minim kalau mau keren-kerenan
seperti pemilu presiden. Kami tidak punya cukup anggaran untuk mengadakan semua
peralatan pemungutan suara.
Akhirnya, salah seorang sesepuh
kampung yang adalah om saya sendiri menyarankan untuk menggunakan stik es krim
sebagai surat suara dan bambu sebagai kotak suaranya. Kan murah meriah.
Tata cara pemilihannya hampir sama
dengan pemilu pada umumnya. Yang membedakan, pemilih diberika satu stik es krim
dan disilakan memasukannya ke liang pada bambu yang ia inginkan yang telah kami tempeli foto kontestan. Mirip memasukan
receh ke celengan.
Usai “pemasukan”, kami membelah
bambu itu di hadapan saksi dan seluruh warga. Lalu kami hitung jumlah stik es
krim di masing-masing bambu. Dari segi
biaya, pemilu model begini jelas lebih murah. Mari kita analisa.
Satu ikat stik es krim berisi
lebih kurang tiga puluh batang stik dibandrol Rp2.500. Pemilik hak suara di
kampung saya per 13 Januari 2021 sebanyak 274 orang. Jadi, dengan sembilan ikat
stik es krim, surat suara sudah terpenuhi termasuk surat suara cadangan. Biaya
totalnya 9 x Rp2.500=Rp22.500
Untuk meminimalisir kecurangan,
stik es krim itu kami buat khas. Ujungnya kami warnai dengan cat kiloan (cuma
Rp8.000 per ½ kg) dan bagian tengahnya kami cap dengan cap panitia yang dadakan
kami buat (harganya Rp30.000).
Bambu untuk kotak suara sepenuhnya
grartis sebab di kampung saya pohon bambu masih melimpah. Untuk tinda tanda
usai memilih, kami menggunakan tinta bekas pemilu 2019 yang masih sisa satu
botol lagi.
Modal lainnya adalah pencetakan
surat undangan dan foto calon. Kebetulan ketua panitia punya printer, jadi kami
hanya ngemodal beli kertas satu rim (Rp40.000) dan tinta printer warna
(Rp22.000). Lain-lainnya, selembar karton untuk rekapitulasi penghitungan suara
(Rp2.500), spidol hitam kecil dua buah (Rp3.000), dan lem kertas (Rp3.000).
Hitung punya hitung, ongkos buat
pengadaan alat pemungutan suara sekitar Rp130.000. Itu belum termasuk biaya
bensin dan honor panitia. Semua panitia dapat honor yang sama, yaitu Rp50.000
plus sebungkus rokok A Mild seharga Rp20.000. Jadi satu orang dapat Rp70.000.
Jumlah panitia, plus dua orang petugas
keamanan (linmas), ada sepuluh orang. Biaya kopi dan makanan ringan lain anggap
saja habis sekitar Rp100.000. Nah lho, biaya kesejahteraan lebih besar dari
pada biaya pengadaan alat. Memang begitu seharusnya.
Tidak sampai habis satu juta, kami
bisa menyelenggarakan pemilu yang jujur adil langsung bebas umum dan rahasia.
FYI, anggaran per TPS pada Pemilu 2019 adalah sebesar Rp7,4 juta. Waw. Jauh
lebih hemat, kan? Dan yang perlu diingat dan ditekankan, biaya kesejahteraan
harus lebih besar dari biaya yang lain.
Salam demokrasi!
Dimuat di Terminal Mojok pada 28 Januari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar