Minggu, 07 Maret 2021

Perbandingan (biaya) Pemilu 2019 dan Pemilu “Stik Es Krim” Ketua RW di Kampung Saya

 


Pemilihan umum (pemilu) sering kali dikritik karena ongkosnya yang mahal. Salah satu yang bikin mahal adalah biaya pengadaan alat pemungutan suara mulai dari kertas surat suara, kotak suara, bilik pencoblosan, dan lain-lainnya. Pemilu 2019 saja menelan biaya sekitar Rp30,38 triliun. Waw.

 

Nyelekit rasanya ketika duit rakyat segitu banyak hanya menghasilkan pemimpin dan anggota dewan yang kerjaannya nge-tweet tiap dua menit sekali. Lebih nyelekit ketika belakangan salah seorang anggota dewan yang terhormat itu terang-terangan nge-klik tanda love untuk akun bokep.

 

Demi mengatasi itu semua, kampung saya bikin sebuah terobosan luar biasa dalam bidang pemungutan suara di era Revolusi 4.0 ini. Sebelum saya jelasin, saya terangan dulu sedikit latar belakangnya.

 

Kisah ini dimulai ketika pada suatu hari setelah salat Jum’at, jemaah ditahan untuk pulang. Berkumpul selepas salah Jum’at untuk membahas suatu persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah kearifan lokal di kampung saya. Kala itu yang jadi pokok soal adalah pengunduran diri Pak Ketua RW yang sudah menjabat selama enam tahun.

 

Dengan dramatis nan belinang air mata, Pak RW teladan itu menyatakan mundur dengan alasan yang tidak jelas. Selidik punya selidik, ternyata ada seseorang yang berusaha meng-impeachnya. Sebut saja namanya Nanas (bukan nama sebenarnya).

 

Nah, si Nanas ini masyhur sebagai preman di kampung. Laga dan gayanya adalah stereotipe preman-preman receh: kulit kusam, celana jeans, sepatu, jaket kulit kw/jeans/ormas, kaos ormas, di telinganya ada bekas tindikan, tatoan, sering minta rokok, jalan sempoyongan hanya karena minum dua botol bir, dan, tentu saja, bicanya songong.

 

Kalau merujuk aturan negara, masa jabatan seorang Ketua RW adalah lima tahun. Paling lama dia bisa menjabat selama sepuluh tahun alias dua masa jabatan. Mirip presiden lah. Tapi itu aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di kampung saya dan kayanya di banyak kampung lain tidak berlaku.

 

Ketua RT, RW, dan kepala dusun (lurah) jarang dipilih melalui mekanisme pemungutan suara layaknya pemimpin daerah, anggota dewan, atau presiden. Mereka ditunjuk atau dipilih sepenuhnya berdasarkan musyawarah dan kesepakatan warga. Dan tidak ada masa jabatan yang jelas. Seorang Ketua RT bisa menjabat seumur hidup atau sampai ia menyatakan mundur atau sejauh tidak ada yang memprotes kepimimpinannya.

 

Balik lagi ke masalah pemilu Ketua RW di kampung saya. Singkat cerita, setelah Pak RW yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang bangunan itu mundur, kepala dusun dan sesepuh kampung sepakat untuk menggelar pemilu. Alasan utamanya adalah karena si Nanas mengatakan bahwa warga kampung sudah tidak sreg dengan Ketua RW itu dan merasa tidak memilihnya. Demi membuktikan klaimnya, digelarkan pemilu yang demokratis itu sebab konon vox populi vox Dei.

 

Pendaftaran dibuka. Ada dua orang yang nyalon: sang mantan RW dan penantangnya yang merupakan calon boneka si Nanas. Si Nanas ngga bakal berani nyalon. Di sadar rekam jejaknya buruk di mata masyarakat dan ngga bakal ada yang mau milih dia. Akhirnya dia bersiasat memajukan tokoh boneka.

 

Sebagai panitia pemilihan, saya dan beberapa kawan berusaha menyelenggarakan pemilu yang jurdil luber sebagaimana amanat demokrasi. Di sisi lain, anggaran sangat minim kalau mau keren-kerenan seperti pemilu presiden. Kami tidak punya cukup anggaran untuk mengadakan semua peralatan pemungutan suara.

 

Akhirnya, salah seorang sesepuh kampung yang adalah om saya sendiri menyarankan untuk menggunakan stik es krim sebagai surat suara dan bambu sebagai kotak suaranya. Kan murah meriah.

 

Tata cara pemilihannya hampir sama dengan pemilu pada umumnya. Yang membedakan, pemilih diberika satu stik es krim dan disilakan memasukannya ke liang pada bambu yang ia inginkan yang telah  kami tempeli foto kontestan. Mirip memasukan receh ke celengan.

 

Usai “pemasukan”, kami membelah bambu itu di hadapan saksi dan seluruh warga. Lalu kami hitung jumlah stik es krim di masing-masing bambu.  Dari segi biaya, pemilu model begini jelas lebih murah. Mari kita analisa.

 

Satu ikat stik es krim berisi lebih kurang tiga puluh batang stik dibandrol Rp2.500. Pemilik hak suara di kampung saya per 13 Januari 2021 sebanyak 274 orang. Jadi, dengan sembilan ikat stik es krim, surat suara sudah terpenuhi termasuk surat suara cadangan. Biaya totalnya 9 x Rp2.500=Rp22.500

 

Untuk meminimalisir kecurangan, stik es krim itu kami buat khas. Ujungnya kami warnai dengan cat kiloan (cuma Rp8.000 per ½ kg) dan bagian tengahnya kami cap dengan cap panitia yang dadakan kami buat (harganya Rp30.000).

 

Bambu untuk kotak suara sepenuhnya grartis sebab di kampung saya pohon bambu masih melimpah. Untuk tinda tanda usai memilih, kami menggunakan tinta bekas pemilu 2019 yang masih sisa satu botol lagi.

 

Modal lainnya adalah pencetakan surat undangan dan foto calon. Kebetulan ketua panitia punya printer, jadi kami hanya ngemodal beli kertas satu rim (Rp40.000) dan tinta printer warna (Rp22.000). Lain-lainnya, selembar karton untuk rekapitulasi penghitungan suara (Rp2.500), spidol hitam kecil dua buah (Rp3.000), dan lem kertas (Rp3.000).

 

Hitung punya hitung, ongkos buat pengadaan alat pemungutan suara sekitar Rp130.000. Itu belum termasuk biaya bensin dan honor panitia. Semua panitia dapat honor yang sama, yaitu Rp50.000 plus sebungkus rokok A Mild seharga Rp20.000. Jadi satu orang dapat Rp70.000.

 

Jumlah panitia, plus dua orang petugas keamanan (linmas), ada sepuluh orang. Biaya kopi dan makanan ringan lain anggap saja habis sekitar Rp100.000. Nah lho, biaya kesejahteraan lebih besar dari pada biaya pengadaan alat. Memang begitu seharusnya.

 

Tidak sampai habis satu juta, kami bisa menyelenggarakan pemilu yang jujur adil langsung bebas umum dan rahasia. FYI, anggaran per TPS pada Pemilu 2019 adalah sebesar Rp7,4 juta. Waw. Jauh lebih hemat, kan? Dan yang perlu diingat dan ditekankan, biaya kesejahteraan harus lebih besar dari biaya yang lain.

 

Salam demokrasi!


Dimuat di Terminal Mojok pada 28 Januari 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...