Satu keluarga dibantai habis di Sulawesi Tengah (Sulteng), tepatnya di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulteng. Sebagaimana dikabarkan detiknews, kejadian itu terjadi pada hari Jumat (27/11/2020) sekitar pukul 10.00 WITA.
Korbannya adalah Yasa, istri,
anak, dan menantunya. Dua orang diantaranya dipenggal. Aksi itu diwarnai
pembakaran sejumpah rumah yang biasa dijadikan tempat pelayanan jemaat Kristen
di dusun tersebut. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora diduga
kuat sebagai pelaku.
Kabar mengenai terorisme memang
bukan hal baru di Indoensia. Entah sudah berapa puluh kali publik Tanah Air
geger oleh hal seperti ini. Dari mulai yang korbannya ratusan seperti tragedi
Bom Bali I (2002) sampai yang tak menelan korban meninggal sama sekali semacam
peristiwa Bom Panci di Bandung (2017).
Sudah sekian puluh kali pula
Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror menangkap para pelaku. Sudah sekian
puluh kali pula pengadilan menjatuhkan hukuman, baik hukuman penjara maupun
hukuman mati. Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT) juga sudah tak
terhitung melaksanakan program deradikalisasi kepada para terpidana. Sebagian
yang dilaporkan membuahkan hasil yang menggembirakan, di antaranya Umar Patek,
Ali Fauzi Manzani, dan sejumlah nama lain.
Dan tiap kali terorisme terjadi,
tak dapat dipungkiri, Islam selalu jadi kambing hitam. Pasalnya, hampir semua
kelompok teroris di Indonesia mengatasnamakan Islam sebagai dasar ideologi mereka,
seperti yang baru-baru ini terjadi di Sigi.
Meski demikian, sebagian besar
masyarakat telah memahami bahwa terorisme adalah terorisme, tidak ada
hubungannya dengan agama apa pun. Tiap agama sejatinya mengajarkan kebaikan dan
kedamaian, Tindakan kekerasan atau perang memang dibolehkan, namun dengan
aturan yang sangat ketat dan hanya boleh dilakukan dalam kondisi tertentu saja.
Tindakan apa pun, termasuk
terorisme, adalah akibat dari suatu sebab, adalah hilir yang pasti memiliki
hulu. Tindakan adalah hilir dari suatu pemikiran. Seperti sungai, jika hulunya
jernih, hilirnya pun berpotensi besar sama jernihnya. Tegasnya, semua berawal
dari dalam kepala.
Pemikiran sejatinya bukan barang
mati. Ia terus berkembang melahirkan varian-varian pemikiran yang lain. Dan
tiap pemikiran, tiap ideologi memiliki selalu memiliki varian ekstremnya, sisi
radikalnya, yang berpotensi memicu aksi teror. Jika sudah begitu, ideologi apa
pun, mengatasnamakan agama atau bukan, mereka adalah “ideologi kematian”.
Ekstrem adalah berlebihan dan segala
sesuatu yang berlebihan tidak akan mendatangkan kebaikan. Nasionalisme yang
bablas, terlalu memuja negara, jadilah fasisme, seperti Italia, Jerman, dan
Jepang di masa Perang Dunia II yang dipimpin oleh diktator-otoriter.
Di sisi yang bersebrangan secara
ekstrem, hadir anarkisme. Ideologi ini menentang habis-habisan segala bentuk penguasaan
manusia atas manusia dan otoriatianisme. Mereka menolak adanya negara sebab
negara menguasai warganya. Bahkan, salah
satu varian yang lebih ekstrem, menolak otoritas Tuhan.
Baik fasisme maupun anarkisme,
dalam pengakuannya, memiliki tujuan yang mulia. Segala yang mereka perbuat,
meski menghilangkan nyawa manusia sekalipun, adalah demi hidup manusia yang
lebih baik. Hal yang sama juga terdapat dalam sejumlah ideologi kelompok
terorisme yang mendasarkan diri pada ajaran agama tertentu.
Akar dari terorisme dan
radikalisme adalah ideologi, pemikiran. Seorang “pengantin” rela meledakkan
dirinya sendiri dengan dasar pemikiran bahwa kematiannya akan dibalas surga di
akhirat kelak. Seorang Hitler dengan senang hati membantai jutaan Yahudi karena
memiliki pemikiran bahwa demi hidup
manusia yang lebih baik, ras Arya harus berada di puncak kekuasaan dan bangsa
Yahudi harus dimusnahkan.
Demikian pula Leon Czolgosz,
seorang anarkis yang membunuh Presiden Amerika Serikat ke-25, William McKinley,
pada tahun 1901. Ia diduga melakukan pembuhan karena terpengaruh oleh pidato
yang disampaikan tokoh anarkis terkemuka, Emma Goldman.
Semua berawal dari pikiran. Dan
pikiran tidak mungkin secara tiba-tiba menghasilkan ide tanpa adanya masukan,
inspirasi, insight, atau doktrin.
Membubarkan kelompok, seperti yang
terjadi pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sejatinya hanya membatasi ruang
geraknya saja, namun tidak mematikan ideologinya. Mereka masih bisa melakukan
banyak hal secara sembunyi-sembunyi atau samar. Mereka masih mungkin
menyebarluarkan ide atau menyusupkannya ke kelompok atau gerakan lain. Organisasi
bisa dilarang, namun tidak dengan pemikiran.
Oleh karenanya, benteng pertahanan
anti-terorisme dan anti-radikalisme adalah pemikiran juga. Persoalannya, bagaimana
pemikiran akan dibentengi dari pengaruh buruk “ideologi kematian” jika ideologi
itu sendiri tidak dikenali?
Idealnya, pembahasan mengenai
hal-hal semacam ini menjadi salah satu bagian dari program deradikalisasi.
Jadi, program tidak hanya menyasar narapidana terorisme demi mengubah
ideologinya, melainkan juga ditargetkan kepada masyarakat umum sebagai benteng
pertahanan.
Membahas pemikiran komunisme,
anarkisme, Islam garis keras, dan ideologi ekstrem yang berpotensi menjadi
“ideologi kematian” harus dilakukan sebagai upaya memahamkan masyarakat akan
bahaya ideologi tersebut.
Dengan membuka keran diskusi
masyarakat akan secara sadar memahami potensi bahaya yang akan terjadi. Dan diskusi
yang sehat adalah diskusi dua arah, bukan indoktrinasi yang sifatnya satu arah.
Tindak pembubaran diskusi atau kegiatan-kegiatan yang dicap berbau kiri oleh
aparat atau oknum ormas, misalnya, justru kontra produktif dengan semangat
diskusi yang sehat.
Aparat, atau siapa saja yang
berkepentingan, idealnya memiliki pendekatan yang lebih humanis, yaitu
mengedepankan diskusi sebab, sekali lagi, akar dari semua tindakan adalah
pemikiran. Pembubaran kegiatan atau tindakan represif lainnya dikhawatirkan
justru makin menjadikan ideologi ini subur berkembang. Pasalnya, wajah negara,
alih-alih ramah, justru akan nampak bengis dan semena-mena.
Dalam banyak catatan sejarah, meski
bukan faktor tunggal, namun wajah negara semacam ini menjadi lahan subur bagi
berkembangnya ideologi-ideologi ekstrem. Terlebih, di zaman Revolsi Industri
4.0 ini masyarakat lebih kritis karena terbukanya akses kepada sumber informasi
melalui dunia maya.
Masyarakat yang demikian tidak
bisa lagi “ditertibkan dengan pentungan”, melainkan dengan pendekatan yang
lebih humanis, yang menggugah kesadaran. Bukan mengendalikan dan menyetir pemahaman dengan kekerasan.
Kendati demikian, tindakan tegas
terukur perlu diambil manakala ada pihak yang berpotensi besar melakukan aksi
pengejawantahan “ideologi kematian” tersebut. Jangan sampai menunggu “nasi
menjadi bubur”. Menangkap teroris setelah aksi terornya adalah tindakan di
hilir. Di hulunya, ruang-ruang diskusi perlu dibuka demi menjernihkan pemikiran
agar aksi teror itu bahkan tidak kerpikirkan sama sekali.
Dimuat di Caruban Nusantara pada 3 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar