Minggu, 07 Maret 2021

Membuka Ruang Diskusi, Menjernihkan Terorisme dari Hulu

Satu keluarga dibantai habis di Sulawesi Tengah (Sulteng), tepatnya di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, Sulteng. Sebagaimana dikabarkan detiknews, kejadian itu terjadi pada hari Jumat (27/11/2020) sekitar pukul 10.00 WITA.

 

Korbannya adalah Yasa, istri, anak, dan menantunya. Dua orang diantaranya dipenggal. Aksi itu diwarnai pembakaran sejumpah rumah yang biasa dijadikan tempat pelayanan jemaat Kristen di dusun tersebut. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora diduga kuat sebagai pelaku.

 

Kabar mengenai terorisme memang bukan hal baru di Indoensia. Entah sudah berapa puluh kali publik Tanah Air geger oleh hal seperti ini. Dari mulai yang korbannya ratusan seperti tragedi Bom Bali I (2002) sampai yang tak menelan korban meninggal sama sekali semacam peristiwa Bom Panci di Bandung (2017).

 

Sudah sekian puluh kali pula Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror menangkap para pelaku. Sudah sekian puluh kali pula pengadilan menjatuhkan hukuman, baik hukuman penjara maupun hukuman mati. Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT) juga sudah tak terhitung melaksanakan program deradikalisasi kepada para terpidana. Sebagian yang dilaporkan membuahkan hasil yang menggembirakan, di antaranya Umar Patek, Ali Fauzi Manzani, dan sejumlah nama lain.

 

Dan tiap kali terorisme terjadi, tak dapat dipungkiri, Islam selalu jadi kambing hitam. Pasalnya, hampir semua kelompok teroris di Indonesia mengatasnamakan Islam sebagai dasar ideologi mereka, seperti yang baru-baru ini terjadi di Sigi.

 

Meski demikian, sebagian besar masyarakat telah memahami bahwa terorisme adalah terorisme, tidak ada hubungannya dengan agama apa pun. Tiap agama sejatinya mengajarkan kebaikan dan kedamaian, Tindakan kekerasan atau perang memang dibolehkan, namun dengan aturan yang sangat ketat dan hanya boleh dilakukan dalam kondisi tertentu saja.

 

Tindakan apa pun, termasuk terorisme, adalah akibat dari suatu sebab, adalah hilir yang pasti memiliki hulu. Tindakan adalah hilir dari suatu pemikiran. Seperti sungai, jika hulunya jernih, hilirnya pun berpotensi besar sama jernihnya. Tegasnya, semua berawal dari dalam kepala.

 

Pemikiran sejatinya bukan barang mati. Ia terus berkembang melahirkan varian-varian pemikiran yang lain. Dan tiap pemikiran, tiap ideologi memiliki selalu memiliki varian ekstremnya, sisi radikalnya, yang berpotensi memicu aksi teror. Jika sudah begitu, ideologi apa pun, mengatasnamakan agama atau bukan, mereka adalah “ideologi kematian”.

 

Ekstrem adalah berlebihan dan segala sesuatu yang berlebihan tidak akan mendatangkan kebaikan. Nasionalisme yang bablas, terlalu memuja negara, jadilah fasisme, seperti Italia, Jerman, dan Jepang di masa Perang Dunia II yang dipimpin oleh diktator-otoriter.

 

Di sisi yang bersebrangan secara ekstrem, hadir anarkisme. Ideologi ini menentang habis-habisan segala bentuk penguasaan manusia atas manusia dan otoriatianisme. Mereka menolak adanya negara sebab negara menguasai warganya.  Bahkan, salah satu varian yang lebih ekstrem, menolak otoritas  Tuhan.   

 

Baik fasisme maupun anarkisme, dalam pengakuannya, memiliki tujuan yang mulia. Segala yang mereka perbuat, meski menghilangkan nyawa manusia sekalipun, adalah demi hidup manusia yang lebih baik. Hal yang sama juga terdapat dalam sejumlah ideologi kelompok terorisme yang mendasarkan diri pada ajaran agama tertentu.

 

Akar dari terorisme dan radikalisme adalah ideologi, pemikiran. Seorang “pengantin” rela meledakkan dirinya sendiri dengan dasar pemikiran bahwa kematiannya akan dibalas surga di akhirat kelak. Seorang Hitler dengan senang hati membantai jutaan Yahudi karena memiliki pemikiran  bahwa demi hidup manusia yang lebih baik, ras Arya harus berada di puncak kekuasaan dan bangsa Yahudi harus dimusnahkan.   

 

Demikian pula Leon Czolgosz, seorang anarkis yang membunuh Presiden Amerika Serikat ke-25, William McKinley, pada tahun 1901. Ia diduga melakukan pembuhan karena terpengaruh oleh pidato yang disampaikan tokoh anarkis terkemuka, Emma Goldman.

 

Semua berawal dari pikiran. Dan pikiran tidak mungkin secara tiba-tiba menghasilkan ide tanpa adanya masukan, inspirasi, insight, atau doktrin.

 

Membubarkan kelompok, seperti yang terjadi pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sejatinya hanya membatasi ruang geraknya saja, namun tidak mematikan ideologinya. Mereka masih bisa melakukan banyak hal secara sembunyi-sembunyi atau samar. Mereka masih mungkin menyebarluarkan ide atau menyusupkannya ke kelompok atau gerakan lain. Organisasi bisa dilarang, namun tidak dengan pemikiran.

 

Oleh karenanya, benteng pertahanan anti-terorisme dan anti-radikalisme adalah pemikiran juga. Persoalannya, bagaimana pemikiran akan dibentengi dari pengaruh buruk “ideologi kematian” jika ideologi itu sendiri tidak dikenali?

 

Idealnya, pembahasan mengenai hal-hal semacam ini menjadi salah satu bagian dari program deradikalisasi. Jadi, program tidak hanya menyasar narapidana terorisme demi mengubah ideologinya, melainkan juga ditargetkan kepada masyarakat umum sebagai benteng pertahanan. 

 

Membahas pemikiran komunisme, anarkisme, Islam garis keras, dan ideologi ekstrem yang berpotensi menjadi “ideologi kematian” harus dilakukan sebagai upaya memahamkan masyarakat akan bahaya ideologi tersebut.

 

Dengan membuka keran diskusi masyarakat akan secara sadar memahami potensi bahaya yang akan terjadi. Dan diskusi yang sehat adalah diskusi dua arah, bukan indoktrinasi yang sifatnya satu arah. Tindak pembubaran diskusi atau kegiatan-kegiatan yang dicap berbau kiri oleh aparat atau oknum ormas, misalnya, justru kontra produktif dengan semangat diskusi yang sehat.

 

Aparat, atau siapa saja yang berkepentingan, idealnya memiliki pendekatan yang lebih humanis, yaitu mengedepankan diskusi sebab, sekali lagi, akar dari semua tindakan adalah pemikiran. Pembubaran kegiatan atau tindakan represif lainnya dikhawatirkan justru makin menjadikan ideologi ini subur berkembang. Pasalnya, wajah negara, alih-alih ramah, justru akan nampak bengis dan semena-mena.

 

Dalam banyak catatan sejarah, meski bukan faktor tunggal, namun wajah negara semacam ini menjadi lahan subur bagi berkembangnya ideologi-ideologi ekstrem. Terlebih, di zaman Revolsi Industri 4.0 ini masyarakat lebih kritis karena terbukanya akses kepada sumber informasi melalui  dunia maya.

 

Masyarakat yang demikian tidak bisa lagi “ditertibkan dengan pentungan”, melainkan dengan pendekatan yang lebih humanis, yang menggugah kesadaran. Bukan mengendalikan dan menyetir  pemahaman dengan kekerasan.

 

Kendati demikian, tindakan tegas terukur perlu diambil manakala ada pihak yang berpotensi besar melakukan aksi pengejawantahan “ideologi kematian” tersebut. Jangan sampai menunggu “nasi menjadi bubur”. Menangkap teroris setelah aksi terornya adalah tindakan di hilir. Di hulunya, ruang-ruang diskusi perlu dibuka demi menjernihkan pemikiran agar aksi teror itu bahkan tidak kerpikirkan sama sekali. 


Dimuat di Caruban Nusantara pada 3 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...