Pada dasarnya tidak ada yang salah
dengan kerumunan. Berkerumun adalah fitrah. Tiap manusia pasti mengalaminya
atau setidaknya pernah. Yang tidak menyukai kerumunan pun, setidaknya sekali
dalam hidupnya, pasti pernah berkerumun.
Sebagian orang sangat menyukai
kerumunan. Pedagang asongan, sebagaimana jamak diketahui, masuk dalam kategori
itu. Dengan adanya kerumunan, mereka tidak perlu repot berkeliling menjajakan
barang dagangannya. Mereka hanya tinggal berdiam di satu titik yang strategis
di antara kerumunan itu dan orang akan mendatangi.
Selain pedagang asongan, seniman
seni pertunjukan juga termasuk golongan yang mencintai kerumunan. Sukses
tidaknya sebuah konser musik, umpamanya, dengan mudah ditentukan seberapa
banyak penonton yang hadir memadati tempat konser.
Jika konser itu berbayar, semakin
banyak penonton berarti semakin banyak keuntungan untuk sang seniman atau
promotor. Kalaupun gratis, kerumunan masih memiliki magnet yang membuatnya
dicintai seniman.
Uang memang penting, tapi bagi
sebagian seniman, bukan segalanya. Ditonton ribuan atau ratusan orang sudah
membawa rasa bangga, haru, senang, merasa dicintai, dan berbagai perasaan
positif lainnya terlepas dari masalah cuan.
Bagi seniman, kerumunan bukan
sekedar sumber uang. Kearaban, kehangatan, “energi penonton”, dan “kenikmatan
batin” juga ada bersama kerumunan.
Seni tradisi yang bersikat
komunal, seperti Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, atau Grebeg Besar di Yogyakarta,
bahkan mengharuskan berkerumun dan berdesak-desakan. Tidak ada penonton dalam
acara tradisi semacam itu. Semua yang hadir adalah bagian dari kesatuan
kegiatan, bagian dari pertunjukan, bagian dari kosmos, yang kehadirannya mutlak
ada.
Di masa pandemi, semua hal membanggakan
dan membahagiakan itu sirna. Kerumunan mendadak jadi masalah. Berkerumun adalah
hal tidak terpuji dan dilarang negara. Konser musik, pertunjukan teater, tari, upacara
tradisi, dan penayangan film banyak yang mengalami pembatalan atau pengunduran
jadwal.
Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, misalnya,
acara “pesta seni” Nyiar Lumar yang dihelat rutin dua tahunan batal digelar.
Menurut perencanaan, acara tersebut seyogianya digelar pada bulan Oktober 2020.
Tiap kali diselenggarakan selama sehari semalam sejak tahun 1998, tak kurang
dari puluhan kelompok seni dan ratusan seniman dari berbagai daerah di
Indonesia terlibat, baik sebagai pengisi acara maupun panitia.
Jember Fashion Carnaval (JFC) yang
namanya telah mengharumkan Indonesia di kancah internasional batal pula
digelar. Tiap tahun, JFC rata-rata ditonton setidaknya oleh dua ratus ribu
penonton dari berbagai penjuru dunia. Jumlah itu belum termasuk peserta dan
panitia yang jumlah keseluruhannya bisa lebih dari seribu orang.
Ketika satu acara kesenian
dibatalkan, yang berkabung bukan hanya seniman dan penyelenggara acara.
Kerumunan selalu membuka berbagai kemungkinan dan potensi bisnis. Ketika sebuah
acara kesenian yang mengundang kerumunan dihelat, pedagang asongan, sekali
lagi, adalah salah satu pihak yang
beruntung karena daganganya laris manis. Demikian pula tukang parkir, omsetnya
naik berkali lipat.
Demi mengatasi kerumunan, seturut
dunia pendidikan yang mengalami “pen-daring-an”, demikian pula seni
pertunjukan. Ia terpaksa “di-kotak-an”, dimasukan dan ditonton dalam “kotak”. Teater dan tari yang tadinya hanya patuh pada
hukum panggung saja, kini musti juga patuh pada kamera dan hukum-hukum
sinematografi.
Selain itu, upaya penyelamatan
lain dilakukan pemerintah dengan memberikan bantuan pada seniman terdampak
COVID-19, baik berupa uang maupun bahan makanan pokok. Apakah seni pertunjukan
benar-benar selamat?
Tidak ada yang benar-benar selamat
dari pandemi ini. Hasrat berkesenian sebagian seniman boleh jadi sedikit
terobati dengan adanya pentas-pentas daring, virtual performance. Mereka
yang mampu beradaptasi dengan teknologi, masih bisa bersiasat menyelamatkan
diri. Tapi, bagaimana nasib seniman, kesenian tradisional, dan upacara tradisi
yang sepenuhnya bergantung pada kerumunan?
Dalam Grebeg Maulud, umpamanya, masyarakat
biasanya akan memperbutkan makanan hasil bumi yang disusun sedemikian rupa pada
gunungan yang diarak melewati rute tertentu. Siapa yang berhasil
mendapatkannya, dipercaya akan dilimpahi berkah.
Hal semacam itu tidak mungkin
terjadi tanpa kerumunan. Tidak mungkin pula divirtualisasi, di-daring-kan. Dan
lagi-lagi, COVID-19 meluluhlantakkan segalanya. Keraton Yogya sebagai pihak
penyelenggara acara, tahun 2020 ini resmi membatalkan acara tersebut, gara-gara
pandemi.
Meski kurva kasus positif COVID-19
di Indonesia tak kunjung melandai, namun belakangan, larangan kerumunan menjadi agak longgar,
setidaknya di beberapa daerah. Pentas-pentas seni mulai kembali digelar, meski
dengan protokol kesehatan ketat dan penonton terbatas.
Kendati demikian, tradisi semacam
Grebeg Maulud tetap belum bisa dihelat sebab, sekali lagi, tak mungkin digelar
tanpa kerumunan, yang, tentu saja, berdesak-desakan.
Vaksin sudah ditemukan. Indonesia
sebentar lagi akan memulai vaksinasi. Namun, sebagaimana dikatakan WHO beberapa
waktu lalu, virus SARS-CoV-2 ini tidak akan sungguh sirna. Ia akan akan terus
ada dan bergentayangan. Yang diupayakan hanya meningkatkan kekebalan terhadap
dampak virus, bukan memusnahkannya. Pasca pandemi nanti, kewaspadaan, bahkan
was-was, boleh jadi masih terus menggelayuti orang-orang.
Akankah tradisi berkerumun dan
berdesak-desakan itu menggeliat kembali pasca pandemi berakhir? Dirayakan
sedemikian rupa lantaran rindu yang tertahan selama sekian lama? Atau Corona
benar-benar menyudahi tradisi itu untuk selamanya?
Dimuat di Detik.com pada 11 Januari 2021 dengan judul "Pandemi dan Nasib (Seni) Kerumunan"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar