Minggu, 07 Maret 2021

Nasib “Seni Kerumunan” Setelah Pandemi

 

Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan kerumunan. Berkerumun adalah fitrah. Tiap manusia pasti mengalaminya atau setidaknya pernah. Yang tidak menyukai kerumunan pun, setidaknya sekali dalam hidupnya, pasti pernah berkerumun.

 

Sebagian orang sangat menyukai kerumunan. Pedagang asongan, sebagaimana jamak diketahui, masuk dalam kategori itu. Dengan adanya kerumunan, mereka tidak perlu repot berkeliling menjajakan barang dagangannya. Mereka hanya tinggal berdiam di satu titik yang strategis di antara kerumunan itu dan orang akan mendatangi.

 

Selain pedagang asongan, seniman seni pertunjukan juga termasuk golongan yang mencintai kerumunan. Sukses tidaknya sebuah konser musik, umpamanya, dengan mudah ditentukan seberapa banyak penonton yang hadir memadati tempat konser.

 

Jika konser itu berbayar, semakin banyak penonton berarti semakin banyak keuntungan untuk sang seniman atau promotor. Kalaupun gratis, kerumunan masih memiliki magnet yang membuatnya dicintai seniman.

 

Uang memang penting, tapi bagi sebagian seniman, bukan segalanya. Ditonton ribuan atau ratusan orang sudah membawa rasa bangga, haru, senang, merasa dicintai, dan berbagai perasaan positif lainnya terlepas dari masalah cuan.

 

Bagi seniman, kerumunan bukan sekedar sumber uang. Kearaban, kehangatan, “energi penonton”, dan “kenikmatan batin” juga ada bersama kerumunan.

 

Seni tradisi yang bersikat komunal, seperti Grebeg Maulud, Grebeg Syawal, atau Grebeg Besar di Yogyakarta, bahkan mengharuskan berkerumun dan berdesak-desakan. Tidak ada penonton dalam acara tradisi semacam itu. Semua yang hadir adalah bagian dari kesatuan kegiatan, bagian dari pertunjukan, bagian dari kosmos, yang kehadirannya mutlak ada.

 

Di masa pandemi, semua hal membanggakan dan membahagiakan itu sirna. Kerumunan mendadak jadi masalah. Berkerumun adalah hal tidak terpuji dan dilarang negara. Konser musik, pertunjukan teater, tari, upacara tradisi, dan penayangan film banyak yang mengalami pembatalan atau pengunduran jadwal.

 

Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, misalnya, acara “pesta seni” Nyiar Lumar yang dihelat rutin dua tahunan batal digelar. Menurut perencanaan, acara tersebut seyogianya digelar pada bulan Oktober 2020. Tiap kali diselenggarakan selama sehari semalam sejak tahun 1998, tak kurang dari puluhan kelompok seni dan ratusan seniman dari berbagai daerah di Indonesia terlibat, baik sebagai pengisi acara maupun panitia.

 

Jember Fashion Carnaval (JFC) yang namanya telah mengharumkan Indonesia di kancah internasional batal pula digelar. Tiap tahun, JFC rata-rata ditonton setidaknya oleh dua ratus ribu penonton dari berbagai penjuru dunia. Jumlah itu belum termasuk peserta dan panitia yang jumlah keseluruhannya bisa lebih dari seribu orang.

 

Ketika satu acara kesenian dibatalkan, yang berkabung bukan hanya seniman dan penyelenggara acara. Kerumunan selalu membuka berbagai kemungkinan dan potensi bisnis. Ketika sebuah acara kesenian yang mengundang kerumunan dihelat, pedagang asongan, sekali lagi, adalah salah satu  pihak yang beruntung karena daganganya laris manis. Demikian pula tukang parkir, omsetnya naik berkali lipat.

 

Demi mengatasi kerumunan, seturut dunia pendidikan yang mengalami “pen-daring-an”, demikian pula seni pertunjukan. Ia terpaksa “di-kotak-an”, dimasukan dan ditonton dalam “kotak”.  Teater dan tari yang tadinya hanya patuh pada hukum panggung saja, kini musti juga patuh pada kamera dan hukum-hukum sinematografi.

 

Selain itu, upaya penyelamatan lain dilakukan pemerintah dengan memberikan bantuan pada seniman terdampak COVID-19, baik berupa uang maupun bahan makanan pokok. Apakah seni pertunjukan benar-benar selamat?

 

Tidak ada yang benar-benar selamat dari pandemi ini. Hasrat berkesenian sebagian seniman boleh jadi sedikit terobati dengan adanya pentas-pentas daring, virtual performance. Mereka yang mampu beradaptasi dengan teknologi, masih bisa bersiasat menyelamatkan diri. Tapi, bagaimana nasib seniman, kesenian tradisional, dan upacara tradisi yang sepenuhnya bergantung pada kerumunan?

 

Dalam Grebeg Maulud, umpamanya, masyarakat biasanya akan memperbutkan makanan hasil bumi yang disusun sedemikian rupa pada gunungan yang diarak melewati rute tertentu. Siapa yang berhasil mendapatkannya, dipercaya akan dilimpahi berkah.

 

Hal semacam itu tidak mungkin terjadi tanpa kerumunan. Tidak mungkin pula divirtualisasi, di-daring-kan. Dan lagi-lagi, COVID-19 meluluhlantakkan segalanya. Keraton Yogya sebagai pihak penyelenggara acara, tahun 2020 ini resmi membatalkan acara tersebut, gara-gara pandemi.

 

Meski kurva kasus positif COVID-19 di Indonesia tak kunjung melandai, namun belakangan,  larangan kerumunan menjadi agak longgar, setidaknya di beberapa daerah. Pentas-pentas seni mulai kembali digelar, meski dengan protokol kesehatan ketat dan penonton terbatas.

 

Kendati demikian, tradisi semacam Grebeg Maulud tetap belum bisa dihelat sebab, sekali lagi, tak mungkin digelar tanpa kerumunan, yang, tentu saja, berdesak-desakan.   

 

Vaksin sudah ditemukan. Indonesia sebentar lagi akan memulai vaksinasi. Namun, sebagaimana dikatakan WHO beberapa waktu lalu, virus SARS-CoV-2 ini tidak akan sungguh sirna. Ia akan akan terus ada dan bergentayangan. Yang diupayakan hanya meningkatkan kekebalan terhadap dampak virus, bukan memusnahkannya. Pasca pandemi nanti, kewaspadaan, bahkan was-was, boleh jadi masih terus menggelayuti orang-orang.

 

Akankah tradisi berkerumun dan berdesak-desakan itu menggeliat kembali pasca pandemi berakhir? Dirayakan sedemikian rupa lantaran rindu yang tertahan selama sekian lama? Atau Corona benar-benar menyudahi tradisi itu untuk selamanya?


Dimuat di Detik.com pada 11 Januari 2021 dengan judul "Pandemi dan Nasib (Seni) Kerumunan"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...