Minggu, 07 Maret 2021

Aku Ragu, Maka Aku Yakin

 

Daripada yang benar, manusia lebih memilih yang pasti. Urusan benar-salah, itu nomor dua. Ketidakpastian memang mengerikan. Melelahkan. Pacaran yang penuh ketidakpastian, mana ada yang tahan? Makanya, sebagian memilih kepastian sebagai jomblo ketimbang punya pasangan namun selalu digelayuti ketidakpastian. Atau menikah sekalian.

 

Demi kepastian, manusia menciptakan perwujudkan kekuatan adikodrati dan fenomena-fenomena yang tak mereka mengerti: dewa angin, dengan api, dewa air, dewa perang, dewa kesuburan, dewa kesenian, dan sesembahan lainnya. Semua itu demi kepastian bahwa manusia menyembah sesuatu “Yang Ada”, bukan “yang tak ada”.

 

“Yang Ada” ini harus jelas, harus pasti. Maka manusia membuat simbol untuk-Nya. Namun, meski manusia berupaya kuat mengerangkeng “Yang Ada” dalam nama dan definisi, selalu, nama dan definisi itu tak kuasa menampung-Nya.

 

Manusia tidak tahan dengan ketidakjelasan. Karenanya, ilmu pengetahuan berkembang untuk menerangjelaskan sesuatu agar pasti. Karenanya, hukum lahir sebagai jaminan kepastian dalam kehidupan sosial. Karenanya, pers berkembang (harusnya) memberi informasi yang pasti.

 

Namun, di Indonesia tercinta ini, setidaknya pasca reformasi yang membuka keran demokrasi seluas-luasnya itu, segala sesuatu yang  tadinya ajeg, yang tadinya pasti, jadi longgar, loncer. Yang loncer itu akhirnya berubah jadi ketidakpastian.

 

Sebagian merayakan ini sebagai kemenangan demokrasi (yang memang dinamis alias serba tak pasti). Suasananya selalu gaduh, selalu berisik oleh kritik dan interupsi. Yang menjaganya tetap ajeg adalah hukum dan integritas mematuhinya yang di Indonesia adalah hal sangat langka.

 

Suatu saat nanti pasti akan ajeg juga, seperti di negara-negara dengan tradisi demokrasi yang lebih baik dan tidak baperan. Tapi, masa-masa sekarang ini, setelah dua puluh dua tahun berlalu, sebagian besar rakyat masih transisi. Karena masih masa peralihan, mental-mental zaman old masih kuat berkarat di sementara kepala.

 

Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi (TI) mendorong rakyat berlari kencang. Bahkan melompat akseleratif. Sisi buruknya, banjir informasi terjadi. Suatu keadaan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya sehingga mental kita masih menghadapinya dengan mental old yang sering baper.

 

Dalam keadaan banjir informasi, orang-orang terjerembab dalam ketidakpastian. Media massa pemroduksi berita adalah perusahaan yang pasti punya pemilik. Meski Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik mengatur ini dan itu, namun, sejumlah pemimpin redaksi kadang tak kuasa menolak permintaan bosnya menggunakan berita sebagai sarana mencapai sesuatu yang ia inginkan.

 

Hal ini diperparah oleh perkembangan TI yang dengannya tiap orang adalah pemroduksi berita. Warganet bisa dengan leluasa menyebarkan informasi di media sosial atau kanal lainnya di dunia maya.

 

Karena semudah membalikan telapak tangan, produksi dan persebaran informasi jadi tidak terkendali. Akurat atau tidaknya data, benar atau tidaknya informasi, sering kali diabaikan. Yang penting paling cepat menginformasikan. Yang penting jadi viral. Yang penting banyak yang klik.

 

Informasi bohong, palsu, dan fitnah berkelindan dengan yang sungguhan. Orang-orang kadang sulit membedakan mana fakta mana opini. Di media sosial, bahkan ada sejumlah orang yang memang kerja, nyari duit, dengan cara memproduksi informasi dan opini demi menggiring pandangan publik.

 

Mereka tidak berurusan dengan benar tidaknya informasi atau Kode Etik Jurnalistik sebab mereka memang bukan jurnalis. Mereka tunduk pada pesanan pemodal. Mereka hamba-hamba rupiah bernama buzzer (pendengung).

 

Dalam situasi demikianlah saya dan anda hidup di Indonesia tercinta ini. Sebagaimana dalam kondisi bencana banjir air, dalam kondisi banjir informasi seperti ini pun situasinya serba tak pasti. Mana yang benar mana yang salah tidak jelas. Siapa yang korban siapa yang pelaku sering kali bias. Apalagi urusan politik, kita tahu, banyak intrik. Apa yang diucapkan di depan kamera kadang kala jauh panggang dari api dengan apa yang sebenarnya terjadi.

 

Ketidakpastian ini makin buruk karena negara plin-plan. Hukum diberaki, dibiarkan saja. Harta dicuri, malah disilakan dan difasilitasi. Program-program dibuat namun tidak merata dan sarat kolusi bisnis. Dan dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, segala ketidakpastian itu menjadi berlipat ganda.

 

Dalam situasi demikianlah saya dan anda hidup di Indonesia. Maka, tidak heran ketika fenomena pahlawanisasi marak terjadi. Seseorang selebritis yang viral karena berani “menyerang” seorang tokoh agama tiba-tiba dielu-elukan bak pahlawan. Meme-nya yang diserupakan dengan Che Guevara, beredar di media sosial.

 

Di tengah ketidakpastian ini, dia dianggap mewakili keresahan, kekesalan, dan kemarahan sementara orang atas segala peristiwa menyangkut tokoh agama tersebut dan kelompoknya. Selebritis ini dijadikan pahlawan (oleh sejumlah pihak). Pahlawan yang “berjasa” karena mewakili suara di luar dirinya. Dan yang lebih utama, ia dijadikan simbol. Kan orang-orang perlu simbol, biar jelas dan pasti.

 

Sang tokoh agama juga adalah pahlawan. Sebagian memandangnya demikian. Ia adalah simbol perlawanan sebagian orang yang kecewa terhadap pemerintah. Ia bukan representasi Islam di Indoensia tapi ia adalah bagian dari mozaik Islam yang ada di Tanah Air. Suka tidak suka, fakta begitu. Demi sebuah kepastian, dia harus jadi simbol. Demikian desakan sebagian umat yang gundah lantaran hidup tak kunjung pasti.

 

Dalam situasi demikianlah saya dan anda hidup di Indonesia. Lalu apakah hasrat mencari kepastian itu pupus diterjang banjir ketidakpastian? Tidak, dong. Tapi pasti jadi bingung.

 

Dulu, zaman teknologi belum semoderen sekarang, manusia kekurangan informasi. Kondisi jadi tidak pasti karena kurang. Sekarang, ketika tekonologi sudah sedemikian moderen, manusia kebanjiran informasi. Kondisinya kembali tak pasti karena lebih. Karena ter-la-lu.

 

Demi sebuah kepastian, keragu-raguan adalah hal yang dianjurkan di zaman kini. Jangan langsung percaya ketika menerima informasi. Termasuk tulisan ini. Pikiran harus selalu waspada dan kalau perlu curiga. Kata kuncinya: “ah, masa sih?”, “jangan-jangan”, atau “hmmm, gitu, ya?” atau ungkapan kecurigaan semacam itu.

 

Kalau sudah curiga, jangan berhenti. Curiga itu metode, ujung-ujungnya cari kepastian juga. Carilah kepastian dengan meragukan segala sesuatu. Ya, mirip-mirip Descartes lah. Ujungnya, dia kan merumuskan cogito ergo sum, (berpikir, maka aku ada).

 

Apa barometer kepastian itu kalau semuanya sudah tak pasti? Yakin. Tapi yakin yang sudah melewati sekian lahap ragu, tahap cuciga, verivikasi, falsifikas, dan validasi. Yakin yang jernih.

 

Aku Ragu, Maka Aku Yakin.


Dimuat di The Writers pada 14 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...