Daripada yang benar, manusia lebih
memilih yang pasti. Urusan benar-salah, itu nomor dua. Ketidakpastian memang
mengerikan. Melelahkan. Pacaran yang penuh ketidakpastian, mana ada yang tahan?
Makanya, sebagian memilih kepastian sebagai jomblo ketimbang punya pasangan
namun selalu digelayuti ketidakpastian. Atau menikah sekalian.
Demi kepastian, manusia
menciptakan perwujudkan kekuatan adikodrati dan fenomena-fenomena yang tak
mereka mengerti: dewa angin, dengan api, dewa air, dewa perang, dewa kesuburan,
dewa kesenian, dan sesembahan lainnya. Semua itu demi kepastian bahwa manusia
menyembah sesuatu “Yang Ada”, bukan “yang tak ada”.
“Yang Ada” ini harus jelas, harus
pasti. Maka manusia membuat simbol untuk-Nya. Namun, meski manusia berupaya
kuat mengerangkeng “Yang Ada” dalam nama dan definisi, selalu, nama dan
definisi itu tak kuasa menampung-Nya.
Manusia tidak tahan dengan
ketidakjelasan. Karenanya, ilmu pengetahuan berkembang untuk menerangjelaskan
sesuatu agar pasti. Karenanya, hukum lahir sebagai jaminan kepastian dalam
kehidupan sosial. Karenanya, pers berkembang (harusnya) memberi informasi yang
pasti.
Namun, di Indonesia tercinta ini,
setidaknya pasca reformasi yang membuka keran demokrasi seluas-luasnya itu,
segala sesuatu yang tadinya ajeg,
yang tadinya pasti, jadi longgar, loncer. Yang loncer itu akhirnya berubah jadi
ketidakpastian.
Sebagian merayakan ini sebagai kemenangan
demokrasi (yang memang dinamis alias serba tak pasti). Suasananya selalu gaduh,
selalu berisik oleh kritik dan interupsi. Yang menjaganya tetap ajeg adalah
hukum dan integritas mematuhinya yang di Indonesia adalah hal sangat langka.
Suatu saat nanti pasti akan ajeg
juga, seperti di negara-negara dengan tradisi demokrasi yang lebih baik dan
tidak baperan. Tapi, masa-masa sekarang ini, setelah dua puluh dua tahun
berlalu, sebagian besar rakyat masih transisi. Karena masih masa peralihan,
mental-mental zaman old masih kuat berkarat di sementara kepala.
Pesatnya perkembangan Teknologi
Informasi (TI) mendorong rakyat berlari kencang. Bahkan melompat akseleratif.
Sisi buruknya, banjir informasi terjadi. Suatu keadaan yang belum pernah
terbayangkan sebelumnya sehingga mental kita masih menghadapinya dengan mental old
yang sering baper.
Dalam keadaan banjir informasi,
orang-orang terjerembab dalam ketidakpastian. Media massa pemroduksi berita
adalah perusahaan yang pasti punya pemilik. Meski Undang-Undang Pers dan Kode
Etik Jurnalistik mengatur ini dan itu, namun, sejumlah pemimpin redaksi kadang
tak kuasa menolak permintaan bosnya menggunakan berita sebagai sarana mencapai
sesuatu yang ia inginkan.
Hal ini diperparah oleh
perkembangan TI yang dengannya tiap orang adalah pemroduksi berita. Warganet
bisa dengan leluasa menyebarkan informasi di media sosial atau kanal lainnya di
dunia maya.
Karena semudah membalikan telapak
tangan, produksi dan persebaran informasi jadi tidak terkendali. Akurat atau
tidaknya data, benar atau tidaknya informasi, sering kali diabaikan. Yang
penting paling cepat menginformasikan. Yang penting jadi viral. Yang penting
banyak yang klik.
Informasi bohong, palsu, dan fitnah
berkelindan dengan yang sungguhan. Orang-orang kadang sulit membedakan mana
fakta mana opini. Di media sosial, bahkan ada sejumlah orang yang memang kerja,
nyari duit, dengan cara memproduksi informasi dan opini demi menggiring
pandangan publik.
Mereka tidak berurusan dengan
benar tidaknya informasi atau Kode Etik Jurnalistik sebab mereka memang bukan
jurnalis. Mereka tunduk pada pesanan pemodal. Mereka hamba-hamba rupiah bernama
buzzer (pendengung).
Dalam situasi demikianlah saya dan
anda hidup di Indonesia tercinta ini. Sebagaimana dalam kondisi bencana banjir
air, dalam kondisi banjir informasi seperti ini pun situasinya serba tak pasti.
Mana yang benar mana yang salah tidak jelas. Siapa yang korban siapa yang
pelaku sering kali bias. Apalagi urusan politik, kita tahu, banyak intrik. Apa
yang diucapkan di depan kamera kadang kala jauh panggang dari api dengan apa
yang sebenarnya terjadi.
Ketidakpastian ini makin buruk
karena negara plin-plan. Hukum diberaki, dibiarkan saja. Harta dicuri, malah
disilakan dan difasilitasi. Program-program dibuat namun tidak merata dan sarat
kolusi bisnis. Dan dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, segala
ketidakpastian itu menjadi berlipat ganda.
Dalam situasi demikianlah saya dan
anda hidup di Indonesia. Maka, tidak heran ketika fenomena pahlawanisasi marak
terjadi. Seseorang selebritis yang viral karena berani “menyerang” seorang
tokoh agama tiba-tiba dielu-elukan bak pahlawan. Meme-nya yang diserupakan
dengan Che Guevara, beredar di media sosial.
Di tengah ketidakpastian ini, dia
dianggap mewakili keresahan, kekesalan, dan kemarahan sementara orang atas
segala peristiwa menyangkut tokoh agama tersebut dan kelompoknya. Selebritis
ini dijadikan pahlawan (oleh sejumlah pihak). Pahlawan yang “berjasa” karena
mewakili suara di luar dirinya. Dan yang lebih utama, ia dijadikan simbol. Kan
orang-orang perlu simbol, biar jelas dan pasti.
Sang tokoh agama juga adalah
pahlawan. Sebagian memandangnya demikian. Ia adalah simbol perlawanan sebagian
orang yang kecewa terhadap pemerintah. Ia bukan representasi Islam di Indoensia
tapi ia adalah bagian dari mozaik Islam yang ada di Tanah Air. Suka tidak suka,
fakta begitu. Demi sebuah kepastian, dia harus jadi simbol. Demikian desakan
sebagian umat yang gundah lantaran hidup tak kunjung pasti.
Dalam situasi demikianlah saya dan
anda hidup di Indonesia. Lalu apakah hasrat mencari kepastian itu pupus
diterjang banjir ketidakpastian? Tidak, dong. Tapi pasti jadi bingung.
Dulu, zaman teknologi belum
semoderen sekarang, manusia kekurangan informasi. Kondisi jadi tidak pasti
karena kurang. Sekarang, ketika tekonologi sudah sedemikian moderen, manusia
kebanjiran informasi. Kondisinya kembali tak pasti karena lebih. Karena ter-la-lu.
Demi sebuah kepastian,
keragu-raguan adalah hal yang dianjurkan di zaman kini. Jangan langsung percaya
ketika menerima informasi. Termasuk tulisan ini. Pikiran harus selalu waspada
dan kalau perlu curiga. Kata kuncinya: “ah, masa sih?”, “jangan-jangan”, atau
“hmmm, gitu, ya?” atau ungkapan kecurigaan semacam itu.
Kalau sudah curiga, jangan
berhenti. Curiga itu metode, ujung-ujungnya cari kepastian juga. Carilah
kepastian dengan meragukan segala sesuatu. Ya, mirip-mirip Descartes lah.
Ujungnya, dia kan merumuskan cogito ergo sum, (berpikir, maka aku ada).
Apa barometer kepastian itu kalau
semuanya sudah tak pasti? Yakin. Tapi yakin yang sudah melewati sekian lahap ragu,
tahap cuciga, verivikasi, falsifikas, dan validasi. Yakin yang jernih.
Aku Ragu, Maka Aku Yakin.
Dimuat di The Writers pada 14 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar