Minggu, 07 Maret 2021

Geger Pahlawanisasi

 

Di Indonesia, sebelum seorang jendral bintang dua, seorang selebritis mendadak didaulat jadi pahlawan baru-baru ini. Di media sosial sampai-sampai beredar poster yang menyerupakannya dengan seorang pejuang Revolusi Kuba legendaris, Che Guevara.

 

Setelah sekian kisahnya yang sarat kontroversi, kini ia bikin geger karena berani membuat pernyataan yang oleh sementara pihak disebut sebagai penghinaan terhadap seorang tokoh agama. Ia dipolisikan, tapi polisi menolak laporan tersebut. Di lain sisi, tindakannya itu disambut gegap-gempita sebagian orang, dieluk-elukan bak pahlawan.

 

Soalnya bukan karena peluru atau senjata yang ia gunakan, melainkan kepada siapa peluru itu ia sasarkan. Seorang tokoh agama, yang juga kerap menuai kontroversi, yang juga kerap dielu-elukan bak pahlawan, jadi sasaran tembaknya.

 

Dan sebagaimana fenomena yang mirip-mirip, peristiwa itu pun langsung jadi bahan berita dan jadi trending di jagat media sosial Indonesia.

 

Kabar itu mengalahkan kabar-kabar lain yang lebih gawat, semacam nasib gugatan Undang-Undang Cipta Kerja, kasus korupsi, pelemahan KPK, deforestisasi hutan dan perampasan tanah, kekerasan di Papua menjelang berakhirnya Otnomi Khusus (Otsus), dan  lain sebagainya.

 

Demikian mudahnya media menggiring isu alih-alih menyodorkan berita aktual nan “hangat”. Kekuatan media semacam ini juga menyumbang besar terciptanya sebuah fenomena pahlawanisasi: menjadikan seseorang sebagai pahlawan. Kecuali itu, hal lain yang menyuburkan pahlawanisasi adalah kejengahan publik terhadap situasi.

 

Dalam pemahaman umum (yang berasal dari pemahaman lama), pahlawan adalah seseorang yang berjasa besar untuk suatu hal di luar dirinya, suatu hal yang melampaui dirinya, yang berdampak bagi orang banyak. Pahlawan dalam arti umum ada di semua bidang kehidupan, di mana pun, kapan pun, sejak manusia menghuni muka bumi.

 

Pahlawan yang dikenal dalam pemahaman umum adalah mereka  yang berjuang untuk suatu hal yang mereka sadari. Nelson Mandela disebut pahlawan anti-rasisme sebab itu yang dia perjuangkan. Ki Hadjar Dewantoro menjadi pahlawan pendidikan Indonesia sebab itu yang perjuangan.

 

Apa yang mereka lakukan secara aktif dan sadar, untuk itu mereka dinobatkan sebagai pahlawan.  Dalam dunia post-moderen kini, kondisnya tidak selalu demikian. Dalam sejumlah kasus, mereka dipahlawanisasi bukan karena perjuangan gigihnya bertahun-tahun mewujudkan suatu gagasan luar biasa atau melawan sesuatu yang jahat.   

 

Di Prancis, seorang guru sejarah disebut pahlawan oleh presidennya setelah ia tewas  digorok karena  memberi contoh kebebasan ekspresi di negaranya dengan memperlihatkan sebuah majalah yang memuat karikatur (yang disebut sebagai) Muhammad kepada murid-muridnya di kelas. Selain “pahlawan [dalam] diam”, ia disebut juga representasi “wajah republik”.

 

Dia diangkat pahlawan karena ia mati lantaran satu nilai yang dia yakini, yang sebenarnya umum saja untuk ukuran negaranya: “L’aïcité”. Sekularisme Prancis bukan barang baru. Ia adalah sesuatu yang lebih tua usianya dari Pancasila. Salah satu turunan dari falsafah dasar sekularisme Prancis ini adalah  kebebasan berekspresi termasuk “mengolok-olok agama”.

 

Di sana, seseorang yang menghina agama tidak akan masuk penjara. Namun, seseorang yang menghina orang lain oleh sebab agama yang dianutnya, sangat mungkin dipenjara. Titik tekannya di manusianya, bukan agamanya. Hal ini sudah umum di Negeri Menafa Eiffel itu selama lebih kurang satu abad. Itu di Prancis, tentu lain dengan Indonesia.

 

Dalam lingkungan seperti itulah Samuel Paty hidup. Dalam lingkungan seperti itu ia tewas. Dan dalam lingkungan seperti itu pula ia jadi pahlawan. Ia jadi pahlawan karena kematiannya, bukan karena “berjasa besar untuk suatu hal di luar dirinya, suatu hal yang melampaui dirinya, yang berdampak bagi orang banyak.”

 

Seorang Afro-Amerika yang tewas lantaran ditindih polisi kulit putih memicu berbagai aksi protes anti-rasisme di banyak negara. Kematiannya menjadi momentum membongkar kebusukan dan praktik rasisme di Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lain.

 

Meski tak ada penyataan resmi negara, ia tetap didapuk sebagai pahlawan. Namun. lagi-lagi, bukan karena perbuatannya atau jasa besarnya atas suatu hal diluar dirinya yang berdampak bagi orang banyak.

 

Ia dipahlawanisasi karena ia dianggap sebagai korban kebrutalan polisi kulit putih terhadap orang kulit hitam di AS yang lantas diperluas sebagai korban rasisme. Floyd hidup di negara multiras, multikultur, dan multietnik dengan sejarah perbudakan dan kekejaman terhadap kulit hitam yang cukup panjang.

 

Kasus Samuel Paty dan George Floyd memang tidak sama. Namun, keduanya sama-sama korban. Yang satu korban atas dasar sentimen agama. Sementara, yang satunya lagi atas dasar sentimen ras. Mereka berdua dipahlawanisasi setelah meninggal dan karena meninggal.

 

Karena telah tiada, mereka tidak dipuja-puja (sebagaimana yang terjadi di Tanah Air). Pahlawanisasi keduanya lebih condong pada menjadikan mereka simbol saja. Yang satu simbol kebebasan bereksrepsi dan sekularisme “L’aïcité Prancis. Yang satu simbol gerakan anti-rasisme.

 

Mereka tidak bertindak heroik seperti pahlawan-pahlawan zaman perang. Keduanya malah korban. Tapi, secara cepat mereka jadi pahlawan. Setidaknya versi sebagian orang yang menganggapnya demikian.

 

Bagaimana dengan pahlawanisasi seorang selebritis yang “menyerang” seorang tokoh agama di Indonesia?

 

Lain dengan Paty dan Floyd yang “orang biasa”, selebritis dan tokoh agama yang saling lempar cacian itu adalah figur publik. Keduanya sudah dikenal luas sebelum perisitwa itu terjadi. Berbeda dengan dua pahlawan di sebrang sana, dua tokoh di Tanah Air ini dipahlawanisasi karena mereka memperjuangkan sesuatu secara aktif dan sadar. Dan sampai saat ini keduanya masih hidup.

 

Keduanya merupakan tokoh publik yang dekat dengan istilah kontroversi. Kendati demikian, sejumlah orang tetap menjadikan keduanya idola, pahlawan.

 

Keduanya juga hidup di negara yang sama, yang sebagian rakyatnya masih merasakan luka akibat perang pemilu. Pasca reformasi 1998, katup kebebasan seolah dibuka lebar. Keberagaman menjadi lebih terasa karena muncul di permukaan.

 

Konsekuensinya, konflik antar golongan secara terang-terangan dan kegaduhan demokrasi lainnya adalah keniscayaan tak terhindarkan. Hal ini menjadi buruk dan destruktif sebab negara tidak ajeg dan ramah sebagai rumah bagi semua golongan. Sebab kecurigaan akan dendam dan suksesi politik selalu menjadi bayang-bayang setiap kebijakan. Sebab negara mencla-mencle.

 

Publik Indonesia jengah dengan kondisi  macam ini. Rakyat butuh hal yang membuat segalanya terang dan jelas. Mereka-mereka yang menjadikan segala terang dan jelas dianggaplah pahlawan.

 

Terlepas dari benar atau tidaknya, namun mereka jelas bicara apa. Mereka jelas menyerang siapa. Mereka jelas berkawan dan bermusuh dengan siapa. Mereka jelas ada di mana. Mereka dipahlawanisasi demi sebuah keterang-jelasan. Keajegan.

 

Meski sama-sama mendaulat public hero, pahlawanisasi di AS dan Prancis jelas berbeda dengan di Indonesia. Dan kini, setelah seorang jendral, selebritis, dan tokoh agama, siapa lagi yang akan dipahlawanisasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...