Di Indonesia, sebelum seorang
jendral bintang dua, seorang selebritis mendadak didaulat jadi pahlawan
baru-baru ini. Di media sosial sampai-sampai beredar poster yang
menyerupakannya dengan seorang pejuang Revolusi Kuba legendaris, Che Guevara.
Setelah sekian kisahnya yang sarat
kontroversi, kini ia bikin geger karena berani membuat pernyataan yang oleh
sementara pihak disebut sebagai penghinaan terhadap seorang tokoh agama. Ia
dipolisikan, tapi polisi menolak laporan tersebut. Di lain sisi, tindakannya
itu disambut gegap-gempita sebagian orang, dieluk-elukan bak pahlawan.
Soalnya bukan karena peluru atau
senjata yang ia gunakan, melainkan kepada siapa peluru itu ia sasarkan. Seorang
tokoh agama, yang juga kerap menuai kontroversi, yang juga kerap dielu-elukan
bak pahlawan, jadi sasaran tembaknya.
Dan sebagaimana fenomena yang
mirip-mirip, peristiwa itu pun langsung jadi bahan berita dan jadi trending
di jagat media sosial Indonesia.
Kabar itu mengalahkan kabar-kabar lain
yang lebih gawat, semacam nasib gugatan Undang-Undang Cipta Kerja, kasus
korupsi, pelemahan KPK, deforestisasi hutan dan perampasan tanah, kekerasan di
Papua menjelang berakhirnya Otnomi Khusus (Otsus), dan lain sebagainya.
Demikian mudahnya media menggiring
isu alih-alih menyodorkan berita aktual nan “hangat”. Kekuatan media semacam
ini juga menyumbang besar terciptanya sebuah fenomena pahlawanisasi: menjadikan
seseorang sebagai pahlawan. Kecuali itu, hal lain yang menyuburkan
pahlawanisasi adalah kejengahan publik terhadap situasi.
Dalam pemahaman umum (yang berasal
dari pemahaman lama), pahlawan adalah seseorang yang berjasa besar untuk
suatu hal di luar dirinya, suatu hal yang melampaui dirinya, yang berdampak
bagi orang banyak. Pahlawan dalam arti umum ada di semua bidang kehidupan,
di mana pun, kapan pun, sejak manusia menghuni muka bumi.
Pahlawan yang dikenal dalam
pemahaman umum adalah mereka yang
berjuang untuk suatu hal yang mereka sadari. Nelson Mandela disebut pahlawan
anti-rasisme sebab itu yang dia perjuangkan. Ki Hadjar Dewantoro menjadi
pahlawan pendidikan Indonesia sebab itu yang perjuangan.
Apa yang mereka lakukan secara
aktif dan sadar, untuk itu mereka dinobatkan sebagai pahlawan. Dalam dunia post-moderen kini, kondisnya tidak
selalu demikian. Dalam sejumlah kasus, mereka dipahlawanisasi bukan karena
perjuangan gigihnya bertahun-tahun mewujudkan suatu gagasan luar biasa atau melawan
sesuatu yang jahat.
Di Prancis, seorang guru sejarah
disebut pahlawan oleh presidennya setelah ia tewas digorok karena memberi contoh kebebasan ekspresi di negaranya
dengan memperlihatkan sebuah majalah yang memuat karikatur (yang disebut
sebagai) Muhammad kepada murid-muridnya di kelas. Selain “pahlawan [dalam]
diam”, ia disebut juga representasi “wajah republik”.
Dia diangkat pahlawan karena ia
mati lantaran satu nilai yang dia yakini, yang sebenarnya umum saja untuk
ukuran negaranya: “L’aïcité”. Sekularisme Prancis bukan barang baru. Ia
adalah sesuatu yang lebih tua usianya dari Pancasila. Salah satu turunan dari
falsafah dasar sekularisme Prancis ini adalah kebebasan berekspresi termasuk “mengolok-olok
agama”.
Di sana, seseorang yang menghina
agama tidak akan masuk penjara. Namun, seseorang yang menghina orang lain oleh
sebab agama yang dianutnya, sangat mungkin dipenjara. Titik tekannya di
manusianya, bukan agamanya. Hal ini sudah umum di Negeri Menafa Eiffel itu
selama lebih kurang satu abad. Itu di Prancis, tentu lain dengan Indonesia.
Dalam lingkungan seperti itulah
Samuel Paty hidup. Dalam lingkungan seperti itu ia tewas. Dan dalam lingkungan
seperti itu pula ia jadi pahlawan. Ia jadi pahlawan karena kematiannya, bukan
karena “berjasa besar untuk suatu hal di luar dirinya, suatu hal yang melampaui
dirinya, yang berdampak bagi orang banyak.”
Seorang Afro-Amerika yang tewas
lantaran ditindih polisi kulit putih memicu berbagai aksi protes anti-rasisme
di banyak negara. Kematiannya menjadi momentum membongkar kebusukan dan praktik
rasisme di Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lain.
Meski tak ada penyataan resmi
negara, ia tetap didapuk sebagai pahlawan. Namun. lagi-lagi, bukan karena
perbuatannya atau jasa besarnya atas suatu hal diluar dirinya yang berdampak
bagi orang banyak.
Ia dipahlawanisasi karena ia dianggap
sebagai korban kebrutalan polisi kulit putih terhadap orang kulit hitam di AS
yang lantas diperluas sebagai korban rasisme. Floyd hidup di negara multiras,
multikultur, dan multietnik dengan sejarah perbudakan dan kekejaman terhadap
kulit hitam yang cukup panjang.
Kasus Samuel Paty dan George Floyd
memang tidak sama. Namun, keduanya sama-sama korban. Yang satu korban atas
dasar sentimen agama. Sementara, yang satunya lagi atas dasar sentimen ras. Mereka
berdua dipahlawanisasi setelah meninggal dan karena meninggal.
Karena telah tiada, mereka tidak
dipuja-puja (sebagaimana yang terjadi di Tanah Air). Pahlawanisasi keduanya
lebih condong pada menjadikan mereka simbol saja. Yang satu simbol kebebasan
bereksrepsi dan sekularisme “L’aïcité” Prancis. Yang satu simbol
gerakan anti-rasisme.
Mereka tidak bertindak heroik
seperti pahlawan-pahlawan zaman perang. Keduanya malah korban. Tapi, secara
cepat mereka jadi pahlawan. Setidaknya versi sebagian orang yang menganggapnya
demikian.
Bagaimana dengan pahlawanisasi
seorang selebritis yang “menyerang” seorang tokoh agama di Indonesia?
Lain dengan Paty dan Floyd yang
“orang biasa”, selebritis dan tokoh agama yang saling lempar cacian itu adalah
figur publik. Keduanya sudah dikenal luas sebelum perisitwa itu terjadi. Berbeda
dengan dua pahlawan di sebrang sana, dua tokoh di Tanah Air ini dipahlawanisasi
karena mereka memperjuangkan sesuatu secara aktif dan sadar. Dan sampai saat
ini keduanya masih hidup.
Keduanya merupakan tokoh publik yang
dekat dengan istilah kontroversi. Kendati demikian, sejumlah orang tetap
menjadikan keduanya idola, pahlawan.
Keduanya juga hidup di negara yang
sama, yang sebagian rakyatnya masih merasakan luka akibat perang pemilu. Pasca
reformasi 1998, katup kebebasan seolah dibuka lebar. Keberagaman menjadi lebih
terasa karena muncul di permukaan.
Konsekuensinya, konflik antar
golongan secara terang-terangan dan kegaduhan demokrasi lainnya adalah
keniscayaan tak terhindarkan. Hal ini menjadi buruk dan destruktif sebab negara
tidak ajeg dan ramah sebagai rumah bagi semua golongan. Sebab kecurigaan
akan dendam dan suksesi politik selalu menjadi bayang-bayang setiap kebijakan. Sebab
negara mencla-mencle.
Publik Indonesia jengah dengan
kondisi macam ini. Rakyat butuh hal yang
membuat segalanya terang dan jelas. Mereka-mereka yang menjadikan segala terang
dan jelas dianggaplah pahlawan.
Terlepas dari benar atau tidaknya,
namun mereka jelas bicara apa. Mereka jelas menyerang siapa. Mereka jelas
berkawan dan bermusuh dengan siapa. Mereka jelas ada di mana. Mereka
dipahlawanisasi demi sebuah keterang-jelasan. Keajegan.
Meski sama-sama mendaulat public
hero, pahlawanisasi di AS dan Prancis jelas berbeda dengan di Indonesia. Dan
kini, setelah seorang jendral, selebritis, dan tokoh agama, siapa lagi yang
akan dipahlawanisasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar