Mengupas Rusia tidak pernah
membosankan. Negara terluas di dunia itu punya banyak sisi yang bisa di kaji.
Selain alam dan budayanya yang menawarkan sejuta pesona, negara yang membentang
seluas 17.125.200 kilometer persegi di timur Eropa dan utara Asia ini dikenal
luas sebagai bekas pusat negara komunis pertama dan terbesar di dunia, Uni
Soviet.
Sebelum berdirinya Uni Soviet pada
tahun 1922, Rusia merupakan sebuah kerajaan yang disebut-sebut sebagai kerajaan
terluas yang pernah ada di muka bumi. Sebagai sebuah kerajaan besar, perkembangan
seni dan sastra Rusia terbilang maju. Banyak seniman dan sastrawan kaliber
dunia yang berasal dari Negeri Beruang Merah tersebut pada masa Kekaisaran
Rusia.
Beberapa puluh tahun sebelum
meletus Revolusi Bolshevik—cikal-bakal lahirnya Uni Soviet—pada 1917, di
Kekaisaran Rusia, hidup seorang sastrawan cum filsuf yang mengajukan
sebuah pemikiran anti-kekerasan,
anti-perang, atau pasifisme.
Pemikirannya berangkat dari
realitas perang yang ia alami sendiri di negaranya dan kabar-kabar perang
lainnya dari seantero dunia. Kala itu, perang adalah lumrah. Berita “viral”
yang banyak menghiasi muka koran-koran bukanlah berita siapa ditangkap atas
kasus korupsi apa, melainkan siapa menggempur siapa.
Adalah Leo Nikolayevich Tolstoy,
sastrawan cum filsuf yang hingga kini disebut-sebut sebagai sastrawan
Rusia terbesar. Kemampuannya menciptakan karya sastra, khususnya genre realis,
telah diakui bukan hanya publik dan kritikus sastra di Rusia, melainkan di
seluruh dunia. Vladimir Lenin, diktator-proletar pertama Uni Soviet, bahkan
menyebutnya “cermin Revolusi Rusia.”
Hingga kini, karya-karyanya
termasuk bacaan wajib para siswa sekolah di Rusia. Seratus tahun lebih setelah
ia meninggal, yaitu pada tahun 1910, sejumlah karyanya masih diapresiasi dan
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Selain menulis cerpen, novel, dan
drama, Tolstoy juga banyak menuliskan pemikiran-pemikirannya mengenai moral,
ajaran Kristen, pemerintah, dan lain-lain. Meski disebut “cermin Revolusi
Rusia”, namun Tolstoy justru menolak negara dan pemerintah sebagaimana yang
tercermin dalam esainya yang berjudul “Bagaimana Pemerintah Dapat Dihapuskan”.
Esai tersebut memuat pemikirannya mengenai pemerintah dan—sebagaimana
judulnya—bagaimana cara menghapuskannya.
Esainya ia buka dengan tesis bahwa
perbudakan dihasilkan oleh undang-undang dan undang-undang dibuat oleh
pemerintah. Maka, untuk menghapuskan undang-undang, pemerintah harus
dihapuskan.
Rusia dikenal sebagai rumah bagi
puluhan juta budak (slave) dan hamba tani (serfdom) sejak sebelum
abad ke-16. Menurut laman Wikipedia, pada abad ke-16 di salah satu wilayah
Rusia bernama Krimea, jumlah budak mencapai 75% dari seluruh populasinya.
Sementara artikel “9 Rahasia Gelap
Kekaisaran Rusia yang Jarang Diketahui Banyak Orang” oleh Shandy Pradana yang
dimuat IDN Times, menyebut bahwa pada tahun 1861, dari 63 juta penduduk
Rusia, 43 jutanya adalah budak.
Meski Tolstoy seorang bangsawan
pemilik tanah di Tula, Rusia, ia benci perbudakan. Menurut sastrawan kelahiran
9 Septermber 1828 ini, pemerintah sebagai biang kerok perbudakan harus
dihapuskan namun bukan melalui kekerasan sebagaimana yang umum terjadi di
berbagai belahan dunia.
“Semua upaya untuk menghapus
perbudakan dengan kekerasan,” tulisnya, “sama seperti memadamkan api dengan
api, mengentikan air dengan air, atau mengisi satu lubang dengan menggali
lubang lain.”
Sebelum mengajukan solusi
penghapusan pemerintah tanpa kekerasan, sastrawan yang menerbitkan sekitar 90
buku selama hidupnya ini, lebih dulu menjelaskan bagaimana pemerintah
menjalankan perbudakan.
Perbudakan, dan kekuasaan
pemerintah dalam arti luas, ditopang oleh kekerasan. Yang melakukan kekerasan
adalah sejumlah kecil orang yang dipersenjatai. Objeknya, sejumlah besar orang
yang tidak bersenjata, Tolstoy mengatakan, kondisi demikian itu terjadi sejak
zaman kejayaan Yunani dan Romawi Kuni sampai era moderen, yaitu ketika bangsa
Eropa menjajah Afrika dan Asia.
Pada zaman dahulu, sekelompok
orang dengan senjata dan keterampilan berperang menyerang orang-orang tak
berdaya. Merampok harta mereka, membakar desa, membunuh yang melawan dan
menjual yang selamat sebagai budak demi diri mereka sendiri.
Kini, menurut Tolstoy, pemerintah
melakukan hal yang sama, bahkan lebih kejam, dengan cara yang lebih buruk. Pemerintah
melakukannya dengan cara menipu rakyat melalui pendidikan “pseudo-relijius dan
patriotik.”
Agama digunakan penguasa untuk
melanggengkan kekuasaan. Para pemuka-pemuka agama mengkhotbahkan pentingnya
menghormati dan patuh pada pemerintah. Di sekolah-sekolah, anak-anak dididik
untuk mencintai tanah air dan rela berkorban untuknya. Patriotisme dijunjung
tinggi sebagai sebuah nilai mulia. Namun itu semua sejatinya hanya akal-akalan
pemerintah demi membuat kuasa merek abadi.
Rakyat diyakinkan bahwa mereka
tidak cukup cerdas dan mampu mengurus dan mengatur hidup, menjaga keamanan dan
keselamatan jiwa dan harta mereka sendiri. Oleh karenanya, pemerintah akan
mengatur seluruh kehidupan mereka seraya menjaganya keselamatannya.
Demi hal itu, pemerintah memungut
pajak dan memberlakukan wajib militer, dua hal yang menurut Tolstoy jadi
musabab lestarinya kekerasan pemerintah.
Pajak digunakan pemerintah, salah
satunya, untuk menyelenggarakan pendidikan militer yang di dalamnya ditanamkan
disiplin. Dalam pandangan Tolstoy, disiplin ketat a la militer ini
adalah benteng pertahanan pemerintah untuk melestarikan kekuasaan.
Dengannya pemerintah memastikan
segenap tentara, yang tentu bersenjata, mematuhi tiap perintah mereka tanpa
harus balik bertanya, meski mereka diperintahkan menindas rakyat.
Sejak zaman lampau hingga kini (di
masa Tolstoy hidup), pemerintah memerintah dengan senjata dan kekerasan.
Rakyat, yang tanpa senjata, suka atau tidak suka akan patuh sebab berada
dibawah ancaman.
Sastrawan yang meninggal pada usia
82 tahun ini mengingatkan rakyat untuk memahami dua hal. Pertama, bahwa
permusuhan antar rakyat dihasilkan oleh pemerintah sendiri dan bahwa keberadaan
tentara sangat tidak perlu dan bahkan berbahaya.
Kedua, rakyat harus menyadari
bahwa “disiplin adalah penindasan terhadap akal dan kebebasan dalam diri
manusia…” Disiplin tidak punya tujuan lain selain mempersiapkan kejahatan
pemerintah dan memastikannya tetap langgeng.
Karena pangkal dari kekerasan
pemerintah adalah pajak dan tentara yang mana keduanya bersumber dari rakyat,
maka untuk menghentikan itu semua, rakyat harus berhenti membayar pajak dan
mengirimkan anak-anak mereka ke barak tentara.
Apa yang Tolstoy tuliskan seturut
dengan zaman ketika ia hidup. Di matanya, kekerasan tidak mengasilkan apa pun
selain kekerasan lain.
Pemikiran-pemikirannya yang
anti-kekerasan dan anti-perang disebut-sebut mempengaruhi Mahatma Gandhi dalam
merumuskan perlawanan tanpa kekerasan atau lebih dikenal dengan istilah Ahimsa.
Dimuat di Qureta pada 17 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar