Minggu, 07 Maret 2021

Menghapuskan Pemerintah a la Leo Tolstoy

 


Mengupas Rusia tidak pernah membosankan. Negara terluas di dunia itu punya banyak sisi yang bisa di kaji. Selain alam dan budayanya yang menawarkan sejuta pesona, negara yang membentang seluas 17.125.200 kilometer persegi di timur Eropa dan utara Asia ini dikenal luas sebagai bekas pusat negara komunis pertama dan terbesar di dunia, Uni Soviet.

 

Sebelum berdirinya Uni Soviet pada tahun 1922, Rusia merupakan sebuah kerajaan yang disebut-sebut sebagai kerajaan terluas yang pernah ada di muka bumi. Sebagai sebuah kerajaan besar, perkembangan seni dan sastra Rusia terbilang maju. Banyak seniman dan sastrawan kaliber dunia yang berasal dari Negeri Beruang Merah tersebut pada masa Kekaisaran Rusia.

 

Beberapa puluh tahun sebelum meletus Revolusi Bolshevik—cikal-bakal lahirnya Uni Soviet—pada 1917, di Kekaisaran Rusia, hidup seorang sastrawan cum filsuf yang mengajukan sebuah pemikiran  anti-kekerasan, anti-perang, atau pasifisme.

 

Pemikirannya berangkat dari realitas perang yang ia alami sendiri di negaranya dan kabar-kabar perang lainnya dari seantero dunia. Kala itu, perang adalah lumrah. Berita “viral” yang banyak menghiasi muka koran-koran bukanlah berita siapa ditangkap atas kasus korupsi apa, melainkan siapa menggempur siapa. 

 

Adalah Leo Nikolayevich Tolstoy, sastrawan cum filsuf yang hingga kini disebut-sebut sebagai sastrawan Rusia terbesar. Kemampuannya menciptakan karya sastra, khususnya genre realis, telah diakui bukan hanya publik dan kritikus sastra di Rusia, melainkan di seluruh dunia. Vladimir Lenin, diktator-proletar pertama Uni Soviet, bahkan menyebutnya “cermin Revolusi Rusia.”

 

Hingga kini, karya-karyanya termasuk bacaan wajib para siswa sekolah di Rusia. Seratus tahun lebih setelah ia meninggal, yaitu pada tahun 1910, sejumlah karyanya masih diapresiasi dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.

 

Selain menulis cerpen, novel, dan drama, Tolstoy juga banyak menuliskan pemikiran-pemikirannya mengenai moral, ajaran Kristen, pemerintah, dan lain-lain. Meski disebut “cermin Revolusi Rusia”, namun Tolstoy justru menolak negara dan pemerintah sebagaimana yang tercermin dalam esainya yang berjudul “Bagaimana Pemerintah Dapat Dihapuskan”. Esai tersebut memuat pemikirannya mengenai pemerintah dan—sebagaimana judulnya—bagaimana cara menghapuskannya.

 

Esainya ia buka dengan tesis bahwa perbudakan dihasilkan oleh undang-undang dan undang-undang dibuat oleh pemerintah. Maka, untuk menghapuskan undang-undang, pemerintah harus dihapuskan.

 

Rusia dikenal sebagai rumah bagi puluhan juta budak (slave) dan hamba tani (serfdom) sejak sebelum abad ke-16. Menurut laman Wikipedia, pada abad ke-16 di salah satu wilayah Rusia bernama Krimea, jumlah budak mencapai 75% dari seluruh populasinya.

 

Sementara artikel “9 Rahasia Gelap Kekaisaran Rusia yang Jarang Diketahui Banyak Orang” oleh Shandy Pradana yang dimuat IDN Times, menyebut bahwa pada tahun 1861, dari 63 juta penduduk Rusia, 43 jutanya adalah budak.

 

Meski Tolstoy seorang bangsawan pemilik tanah di Tula, Rusia, ia benci perbudakan. Menurut sastrawan kelahiran 9 Septermber 1828 ini, pemerintah sebagai biang kerok perbudakan harus dihapuskan namun bukan melalui kekerasan sebagaimana yang umum terjadi di berbagai belahan dunia.

 

“Semua upaya untuk menghapus perbudakan dengan kekerasan,” tulisnya, “sama seperti memadamkan api dengan api, mengentikan air dengan air, atau mengisi satu lubang dengan menggali lubang lain.”

 

Sebelum mengajukan solusi penghapusan pemerintah tanpa kekerasan, sastrawan yang menerbitkan sekitar 90 buku selama hidupnya ini, lebih dulu menjelaskan bagaimana pemerintah menjalankan perbudakan.

 

Perbudakan, dan kekuasaan pemerintah dalam arti luas, ditopang oleh kekerasan. Yang melakukan kekerasan adalah sejumlah kecil orang yang dipersenjatai. Objeknya, sejumlah besar orang yang tidak bersenjata, Tolstoy mengatakan, kondisi demikian itu terjadi sejak zaman kejayaan Yunani dan Romawi Kuni sampai era moderen, yaitu ketika bangsa Eropa menjajah Afrika dan Asia.  

 

Pada zaman dahulu, sekelompok orang dengan senjata dan keterampilan berperang menyerang orang-orang tak berdaya. Merampok harta mereka, membakar desa, membunuh yang melawan dan menjual yang selamat sebagai budak demi diri mereka sendiri.

 

Kini, menurut Tolstoy, pemerintah melakukan hal yang sama, bahkan lebih kejam, dengan cara yang lebih buruk. Pemerintah melakukannya dengan cara menipu rakyat melalui pendidikan “pseudo-relijius dan patriotik.”  

 

Agama digunakan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Para pemuka-pemuka agama mengkhotbahkan pentingnya menghormati dan patuh pada pemerintah. Di sekolah-sekolah, anak-anak dididik untuk mencintai tanah air dan rela berkorban untuknya. Patriotisme dijunjung tinggi sebagai sebuah nilai mulia. Namun itu semua sejatinya hanya akal-akalan pemerintah demi membuat kuasa merek abadi.

 

Rakyat diyakinkan bahwa mereka tidak cukup cerdas dan mampu mengurus dan mengatur hidup, menjaga keamanan dan keselamatan jiwa dan harta mereka sendiri. Oleh karenanya, pemerintah akan mengatur seluruh kehidupan mereka seraya menjaganya keselamatannya.

 

Demi hal itu, pemerintah memungut pajak dan memberlakukan wajib militer, dua hal yang menurut Tolstoy jadi musabab lestarinya kekerasan pemerintah. 

 

Pajak digunakan pemerintah, salah satunya, untuk menyelenggarakan pendidikan militer yang di dalamnya ditanamkan disiplin. Dalam pandangan Tolstoy, disiplin ketat a la militer ini adalah benteng pertahanan pemerintah untuk melestarikan kekuasaan.

 

Dengannya pemerintah memastikan segenap tentara, yang tentu bersenjata, mematuhi tiap perintah mereka tanpa harus balik bertanya, meski mereka diperintahkan menindas rakyat. 

 

Sejak zaman lampau hingga kini (di masa Tolstoy hidup), pemerintah memerintah dengan senjata dan kekerasan. Rakyat, yang tanpa senjata, suka atau tidak suka akan patuh sebab berada dibawah ancaman.

 

Sastrawan yang meninggal pada usia 82 tahun ini mengingatkan rakyat untuk memahami dua hal. Pertama, bahwa permusuhan antar rakyat dihasilkan oleh pemerintah sendiri dan bahwa keberadaan tentara sangat tidak perlu dan bahkan berbahaya.

 

Kedua, rakyat harus menyadari bahwa “disiplin adalah penindasan terhadap akal dan kebebasan dalam diri manusia…” Disiplin tidak punya tujuan lain selain mempersiapkan kejahatan pemerintah dan memastikannya tetap langgeng.

 

Karena pangkal dari kekerasan pemerintah adalah pajak dan tentara yang mana keduanya bersumber dari rakyat, maka untuk menghentikan itu semua, rakyat harus berhenti membayar pajak dan mengirimkan anak-anak mereka ke barak tentara.

 

Apa yang Tolstoy tuliskan seturut dengan zaman ketika ia hidup. Di matanya, kekerasan tidak mengasilkan apa pun selain kekerasan lain.

 

Pemikiran-pemikirannya yang anti-kekerasan dan anti-perang disebut-sebut mempengaruhi Mahatma Gandhi dalam merumuskan perlawanan tanpa kekerasan atau lebih dikenal dengan istilah Ahimsa. 


Dimuat di Qureta pada 17 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...