Minggu, 07 Maret 2021

Pancasila, Jurus Jitu Tangkal Populisme

 

Di penghujung tahun, ketika pandemi Covid-19 masih dan makin berkecamuk di Indonesia, Pemerintah membuat keputusan membubarkan secara resmi Front Pembela Islam (FPI).

 

Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Telekomunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme terkait hal tersebut dibacakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej pada 30 Desember 2020.

 

Keputusan ini sontak memancing beragam reaksi. Sebagian pihak menilai langkah pemerintah ini tepat meski terbilang terlambat. Kenapa baru hari ini dibubarkan, padahal FPI telah banyak meresahkan?

 

Sebagian lain justru menolak seraya mempertanyakan keputusan ini. Politisi Fadli Zon adalah salah satu yang keras menyuarakan ketidaksepakatannya. Ia menilai bahwa pembubaran ormas hanya dapat dilakukan melalui proses peradilan. Sikap pemerintah ini dinilainya sebagai ciri penyelewengan demokrasi dan wujud otoritarianisme.

 

Pandangan berbeda disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Seraya menyatakan bahwa yang dilakukan pemerintah bukanlah suatu sikap anti-Islam, melainkan sebatas penegakan hukum, ia juga meminta pemerintah untuk bersikap adil.

 

Jika pembubaran FPI hanya karena ormas tersebut tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), maka jangan hanya FPI yang sasar, melainkan semua ormas yang juga tidak ber-SKT.

 

Sejak kepulangan Imam Besar FPI Muhammad Rizieq Shihab (MRS) ke Indonesia pada 10 November 2020, ormas yang berdiri tepat pada 17 Agustus 1998 ini kerap kali menjadi bahan pemberitaan.

 

Dari mulai kasus kerumunan, tragedi tewasnya enam anggota FPI, hingga seorang diplomat Jerman yang menyambangi markas mereka di Petamburan, terjadi secara maraton sebagai suatu rangkaian drama “FPI versus Pemerintah”.

 

Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, FPI makin asik di dunia politik. Kandidat yang mereka dukung melenggang ke Bale Kota sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun, keberuntungan serupa tak bersama mereka pada Pilpres 2019. Jagoannya kalah, dan kini malah bergabung dengan pemerintah.

 

Sebelum itu, yaitu sejak Jokowi menjabat pada 2014, FPI sudah kencang menyuarakan sikapnya yang kontra terhadap pemerintah. Jokowi dan PDIP yang mengusungnya dinilainya tidak pro Islam dan rezim yang zolim. Narasi yang mereka bangun mirip dengan yang umum digaungkan oleh gerakan atau ideologi populisme di berbagai belahan dunia.

 

Dalam sebuah laporannya, Narasi menulis bahwa populisme sulit didefinisikan sebab para populis bisa berasal dari aliran ideologi mana pun. Adolf Hitler yang seorang fasis, Donald Trump yang seorang demokrat konservatif, hingga Recep Tayyip Erdogan yang seorang islamis, dapat digolongkan sebagai pemimpin populis.

 

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menyatakan, setidaknya terdapat tiga ciri populisme. Pertama, populis berpandangan bahwa elit politik (pemerintah) yang kuasa telah mengkhianati masyarakat oleh karenanya mereka menolak status quo. Kedua, karena pemerintah telah mengkhianati masyarakat, maka populisme harus maju ke depan.

 

Ketiga, supremasi masyarakat haruslah dipimpin oleh seorang pemimpin yang kharismatik. Artinya, gerakan masyarakat melawan pemerintah yang zolim itu harus dipimpin oleh seorang pemimpin kharismatik.

 

Singkatnya, populisme adalah ideologi yang menganggap pemerintah korop, jahat, dan menindas, sementara rakyat adalah pihak yang baik namun tertindas. Oleh karenanya pemerintah harus dilawan oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh seorang yang kharismatik.

 

Dalam konteks Indonesia, narasi semacam ini acap kali digaungkan FPI, tokoh, maupun kelompok semacamnya. Pemerintah dianggap tidak pro rakyat dan pro umat Islam. Kebijakan-kebijakannya dianggap hanya menguntungkan kaum elit dan menyengsarakan wong cilik.     

 

Dikotomi “Partai Setan” dan “Partai Allah”, atau bahwa Pilpres 2019 adalah “Perang Badar”, bahwa jika jagoannya tidak dimenangkan Tuhan, muncul khawatiran tidak akan lagi yang menyembahNya, tak segan digunakan demi meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah adalah jahat.

 

Menyoal populisme Islam, Menteri Agama Yaqut Cholis Qoumas menyatakan bahwa ia tidak ingin ideologi dan gerakan ini berkembang luas sehingga “kita akan kewalahan untuk menghadapinya”.

 

Jika FPI dianggap sebagai representasi populisme Islam di Indonesia, apakah pembubarannya akan memiliki dampak pada penurunan tren populisme Islam di Tanah Air?

 

Sebagai sebuah gerakan, populisme tentu memerlukan kendaraan. Katakanlah bahwa FPI adalah kendaraannya. Melalui SKB sejumlah Kementerian dan Lembaga Negara itu, ia kini telah mati. Ibarat  mobil, ia sudah sama sekali tidak bisa mengaspal.

 

Namun, sebagai ideologi, meski mobilnya mati total, ia masih berpotensi besar untuk terus ada, bahkan tumbuh berkembang dan menyebar luas lebih luas. Sopir dan penumpang mobil yang rusak itu bisa dengan mudah berganti mobil. Kembali mengaspal dan ber-populisme ria kembali.

 

Jika dikemudian hari rusak lagi, tinggal ganti mobil lagi. Toh kebebasan berkumpul, berserikat, termasuk mendirikan ormas, dijamin oleh undang-undang.

 

Hal ini pula yang disampaikan oleh sejumlah pentoal FPI. MRS menyebut, ia tidak pernah ambil pusing jika FPI dibubarkan. Tinggal membuat lagi nama dan logo yang baru namun dengan nafas dan spirit yang sama.

 

Ideologi apa pun itu, karena sumbernya dalam pikiran, tidak akan musnah dengan hanya pembubaran dan pelarangan ormas. PKI dan HTI sudah lebih dulu ditetapkan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Namun, apakah ideologinya benar-benar mati?

 

Memberantas ideologi tidak bisa juga dengan melarang diskusi-diskusi, pemutaran film, seminar, penyitaan buku, atau hal-hal semacam itu. Ideologi adanya di kepala tetapi ia lebih abadi dari pemilik kepala itu sendiri.

 

Dan lagi pula, pelarangan-pelarangan semacam itu berpotensi melanggar konstitusi sebab berpotensi melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, hal yang justru dijamin konstitusi.   

 

Dasar dari ideologi apa pun adalah persepsinya tentang hidup dan dunia. Populisme memandang hidup saat ini (status quo) buruk akibat pemerintah zolim dan menindas rakyat. Oleh karenanya, cara efektif melawan populisme adalah dengan mengubah kondisi alih-alih mengubah persepsi yang biasanya sudah membatu.

 

Sebenarnya Indonesia sudah memiliki jurus jitu untuk mengatasi semua itu, yaitu dengan mempraktekan Pancasila secara utuh dan sungguh-sungguh.

 

Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai-nilai kebudayaan Nusantara, sejumlah ideologi yang berkembang di dunia, dan juga intisari ajaran agama, termasuk Islam. Sebagai dasar dan tujuan bernegara, Pancasila sudah sangat mumpuni.  

 

Dengan mewujudkan Pancasila secara utuh dan sungguh-sungguh, populisme atau isme-isme lain yang hari ini ada di Indonesia dengan sendirinya akan kempes tak berdaya.

 

Mereka tidak akan lagi meneriakan pemerintah anti Islam sebab negara (benar-benar) berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka tidak akan lagi berkoar tentang kekejaman, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan negara sebab negara (benar-benar) menjungjung tinggi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

 

Tidak ada lagi narasi yang menyebut bahwa pemerintah yang berkuasa memecah belah rakyat sebab Persatuan Indonesia adalah (benar-benar) spirit berbangsa dan bernegara. Tidak akan ada lagi yang merasa tidak terwakili sebab negara (benar-benar) dikelola dengan sistem Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.

 

Tidak akan ada lagi ketimpangan sosial yang menyuburkan narasi ketakberpihakan negara pada rakyat sebab negara menjamin Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...