Di penghujung tahun, ketika
pandemi Covid-19 masih dan makin berkecamuk di Indonesia, Pemerintah membuat
keputusan membubarkan secara resmi Front Pembela Islam (FPI).
Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Telekomunikasi dan
Informatika, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, dan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme terkait hal tersebut dibacakan oleh Wakil Menteri Hukum
dan HAM Edward Omar Sharief Hiariej pada 30 Desember 2020.
Keputusan ini sontak memancing beragam
reaksi. Sebagian pihak menilai langkah pemerintah ini tepat meski terbilang
terlambat. Kenapa baru hari ini dibubarkan, padahal FPI telah banyak meresahkan?
Sebagian lain justru menolak
seraya mempertanyakan keputusan ini. Politisi Fadli Zon adalah salah satu yang
keras menyuarakan ketidaksepakatannya. Ia menilai bahwa pembubaran ormas hanya
dapat dilakukan melalui proses peradilan. Sikap pemerintah ini dinilainya
sebagai ciri penyelewengan demokrasi dan wujud otoritarianisme.
Pandangan berbeda disampaikan
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Seraya menyatakan bahwa yang
dilakukan pemerintah bukanlah suatu sikap anti-Islam, melainkan sebatas penegakan
hukum, ia juga meminta pemerintah untuk bersikap adil.
Jika pembubaran FPI hanya karena
ormas tersebut tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), maka jangan
hanya FPI yang sasar, melainkan semua ormas yang juga tidak ber-SKT.
Sejak kepulangan Imam Besar FPI
Muhammad Rizieq Shihab (MRS) ke Indonesia pada 10 November 2020, ormas yang
berdiri tepat pada 17 Agustus 1998 ini kerap kali menjadi bahan pemberitaan.
Dari mulai kasus kerumunan,
tragedi tewasnya enam anggota FPI, hingga seorang diplomat Jerman yang
menyambangi markas mereka di Petamburan, terjadi secara maraton sebagai suatu
rangkaian drama “FPI versus Pemerintah”.
Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017,
FPI makin asik di dunia politik. Kandidat yang mereka dukung melenggang ke Bale
Kota sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun, keberuntungan serupa tak bersama
mereka pada Pilpres 2019. Jagoannya kalah, dan kini malah bergabung dengan
pemerintah.
Sebelum itu, yaitu sejak Jokowi
menjabat pada 2014, FPI sudah kencang menyuarakan sikapnya yang kontra terhadap
pemerintah. Jokowi dan PDIP yang mengusungnya dinilainya tidak pro Islam dan
rezim yang zolim. Narasi yang mereka bangun mirip dengan yang umum digaungkan
oleh gerakan atau ideologi populisme di berbagai belahan dunia.
Dalam sebuah laporannya, Narasi
menulis bahwa populisme sulit didefinisikan sebab para populis bisa berasal
dari aliran ideologi mana pun. Adolf Hitler yang seorang fasis, Donald Trump
yang seorang demokrat konservatif, hingga Recep Tayyip Erdogan yang seorang
islamis, dapat digolongkan sebagai pemimpin populis.
Direktur Eksekutif Indikator
Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi menyatakan, setidaknya terdapat tiga ciri
populisme. Pertama, populis berpandangan bahwa elit politik (pemerintah) yang
kuasa telah mengkhianati masyarakat oleh karenanya mereka menolak status quo.
Kedua, karena pemerintah telah mengkhianati masyarakat, maka populisme harus
maju ke depan.
Ketiga, supremasi masyarakat
haruslah dipimpin oleh seorang pemimpin yang kharismatik. Artinya, gerakan masyarakat
melawan pemerintah yang zolim itu harus dipimpin oleh seorang pemimpin
kharismatik.
Singkatnya, populisme adalah
ideologi yang menganggap pemerintah korop, jahat, dan menindas, sementara
rakyat adalah pihak yang baik namun tertindas. Oleh karenanya pemerintah harus
dilawan oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh seorang yang kharismatik.
Dalam konteks Indonesia, narasi
semacam ini acap kali digaungkan FPI, tokoh, maupun kelompok semacamnya. Pemerintah
dianggap tidak pro rakyat dan pro umat Islam. Kebijakan-kebijakannya dianggap
hanya menguntungkan kaum elit dan menyengsarakan wong cilik.
Dikotomi “Partai Setan” dan
“Partai Allah”, atau bahwa Pilpres 2019 adalah “Perang Badar”, bahwa jika
jagoannya tidak dimenangkan Tuhan, muncul khawatiran tidak akan lagi yang
menyembahNya, tak segan digunakan demi meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah
adalah jahat.
Menyoal populisme Islam, Menteri
Agama Yaqut Cholis Qoumas menyatakan bahwa ia tidak ingin ideologi dan gerakan ini
berkembang luas sehingga “kita akan kewalahan untuk menghadapinya”.
Jika FPI dianggap sebagai
representasi populisme Islam di Indonesia, apakah pembubarannya akan memiliki
dampak pada penurunan tren populisme Islam di Tanah Air?
Sebagai sebuah gerakan, populisme
tentu memerlukan kendaraan. Katakanlah bahwa FPI adalah kendaraannya. Melalui
SKB sejumlah Kementerian dan Lembaga Negara itu, ia kini telah mati. Ibarat mobil, ia sudah sama sekali tidak bisa mengaspal.
Namun, sebagai ideologi, meski
mobilnya mati total, ia masih berpotensi besar untuk terus ada, bahkan tumbuh
berkembang dan menyebar luas lebih luas. Sopir dan penumpang mobil yang rusak
itu bisa dengan mudah berganti mobil. Kembali mengaspal dan ber-populisme ria
kembali.
Jika dikemudian hari rusak lagi,
tinggal ganti mobil lagi. Toh kebebasan berkumpul, berserikat, termasuk mendirikan
ormas, dijamin oleh undang-undang.
Hal ini pula yang disampaikan oleh
sejumlah pentoal FPI. MRS menyebut, ia tidak pernah ambil pusing jika FPI
dibubarkan. Tinggal membuat lagi nama dan logo yang baru namun dengan nafas dan
spirit yang sama.
Ideologi apa pun itu, karena
sumbernya dalam pikiran, tidak akan musnah dengan hanya pembubaran dan
pelarangan ormas. PKI dan HTI sudah lebih dulu ditetapkan sebagai organisasi
terlarang di Indonesia. Namun, apakah ideologinya benar-benar mati?
Memberantas ideologi tidak bisa
juga dengan melarang diskusi-diskusi, pemutaran film, seminar, penyitaan buku,
atau hal-hal semacam itu. Ideologi adanya di kepala tetapi ia lebih abadi dari
pemilik kepala itu sendiri.
Dan lagi pula,
pelarangan-pelarangan semacam itu berpotensi melanggar konstitusi sebab berpotensi
melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, hal yang justru dijamin
konstitusi.
Dasar dari ideologi apa pun adalah
persepsinya tentang hidup dan dunia. Populisme memandang hidup saat ini (status
quo) buruk akibat pemerintah zolim dan menindas rakyat. Oleh karenanya,
cara efektif melawan populisme adalah dengan mengubah kondisi alih-alih
mengubah persepsi yang biasanya sudah membatu.
Sebenarnya Indonesia sudah
memiliki jurus jitu untuk mengatasi semua itu, yaitu dengan mempraktekan
Pancasila secara utuh dan sungguh-sungguh.
Pancasila merupakan kristalisasi
dari nilai-nilai kebudayaan Nusantara, sejumlah ideologi yang berkembang di
dunia, dan juga intisari ajaran agama, termasuk Islam. Sebagai dasar dan tujuan
bernegara, Pancasila sudah sangat mumpuni.
Dengan mewujudkan Pancasila secara
utuh dan sungguh-sungguh, populisme atau isme-isme lain yang hari ini ada di
Indonesia dengan sendirinya akan kempes tak berdaya.
Mereka tidak akan lagi meneriakan
pemerintah anti Islam sebab negara (benar-benar) berdasar Ketuhanan Yang Maha
Esa. Mereka tidak akan lagi berkoar tentang kekejaman, kesewenang-wenangan, dan
ketidakadilan negara sebab negara (benar-benar) menjungjung tinggi Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab.
Tidak ada lagi narasi yang
menyebut bahwa pemerintah yang berkuasa memecah belah rakyat sebab Persatuan
Indonesia adalah (benar-benar) spirit berbangsa dan bernegara. Tidak akan ada
lagi yang merasa tidak terwakili sebab negara (benar-benar) dikelola dengan
sistem Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan
Perwakilan.
Tidak akan ada lagi ketimpangan
sosial yang menyuburkan narasi ketakberpihakan negara pada rakyat sebab negara
menjamin Kesejahteraan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar