Menyimak percakapan Evi Sri Rezeki dan Lil’Li
Latisha di live IG @merajut_indonesia pada Rabu, 30 Maret 2022 pukul
19.30-20.30 WIB, membuat saya terpantik untuk berpikir ulang tentang banyak
hal. Merajut Indonesia sendiri bernama lengkap Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN). Ia adalah program yang telurkan
Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), sebuah organisasi nirlaba
yang ditunjuk Kementerian Komunikasi dan Informatika RI mengurusi administrasi
domain .id sejak tahun 2007.
Sebenarnya, dari melihat flyer-nya saja sudah membuat saya penasaran. Di sana tertulis: Bincang Mimdan#5 Budaya Remixed: Perjalanan
Budaya, Perjalanan Menemukan Diri.
Budaya remixed,
apa itu? Apakah ia semacam budaya campur aduk? Bagaimana budaya campur aduk
justru bisa membantu seseorang menemukan jati dirinya? Tidakkah hal semacam itu
justu bisa membikin keruh kemurnian budaya? Apa kaitannya dengan identitas
ke-Indonesia-an? Dan sekian pertanyaan lain.
Sebagian pertanyaan saya terjawab ketika menyimak
percakapan keduanya. Sedari awal, Evi sudah memberi pengantar bahwa budaya akan
turut membentuk identitas seseorang. Tentu saja. Bila sejak lahir saya tumbuh dalam budaya Maluku,
umpamanya, tentu karakter saya—yang merupakan bagian dari identitas—akan lain
dengan hari ini. (Identitas/karakter) saya yang sekarang dipengaruhi oleh budaya
Sunda-Priangan yang “mengasuh” saya dan keluarga saya sejak lama.
Namun, bagaimana halnya dengan orang semacam
Lil’Li yang “diasuh” oleh beragam budaya? Ia seorang Tionghoa. Ayahnya berasal
dari Medan, sementara ibunya dari Surabaya. Keduanya studi di luar negeri. Oleh
karenanya, menggunakan bahasa Inggris sebagai lingua franca di lingkungan rumah dan keluarga adalah hal biasa.
Latar belakang Lil’li yang memang sudah remixed sejak dini turut mempengaruhi
caranya memandang dirinya, dunia, dan realitas serta mempengaruhinya dalam
memaknai identitas dan Indonesia.
Dari Global Menuju Lokal
Jika umumnya jargon-jargon di Indoensia berbunyi
“Dari Lokal Menuju Global”, maka perjalanan Lil’li agaknya terbalik: dari
global menuju lokal. Sedari kecil ia diasuh dengan bahasa global, sekolah pun home schooling yang kini kemudian
berlanjut ke sekolah internasional, lantas “tercerahkan” dan mulai mempelajari
budaya lokal (Indonesia). Posisi seperti ini sedikit banyak turut menentukan
sudut pandangnya terhadap kebudayaan lokal. Ia melihat dari luar kemudian
berupaya masuk ke dalam: mempelajari, kemudian memilih dan memilah apa yang
dirasa cocok dengan dirinya. Kebudayaan dipilih oleh subjeknya, bukan memilih
dan determinan terhadapnya. Ini perbedaan dasar antara yang “global menuju
lokal” dan “lokal menuju global”, antara “umum ke khusus” dan “khusus ke umum”.
Dalam konteks ini, kebudayaan tak ubahnya seperti
koleksi pakaian di lemari. Orang kini bebas memilih mau mengenakan pakaian apa.
Lil’li yang punya asal-usul Medan-Surabaya justru (memilih) lebih dulu belajar
tari Bali ketimbang budaya Sumatra Utara dan Jawa Timur.
Kendati demikian, bukan berarti “orang-orang
lokal” sepenuhnya tidak bisa memilih. Di zaman kini, bukan hanya Lil’li yang
memang sudah remixed sejak kecil,
mereka yang “pure” juga pada akhirnya
bisa memilih. Lagi pula, bicara soal kemurnian budaya, sebetulnya, tidak ada
kebudayaan yang sepenuhnya murni. Budaya, pada dasarnya adalah remixed: campuran dalam arti hasil
saling pengaruh antara budaya yang satu dengan yang lain. Demikianlah kodrat kebudayaan sebagai hasil
cipta, rasa, dan karsa manusia. Sebab manusia adalah mahluk yang tak mungkin
hidup sendiri. Manusia selalu butuh pergaulan baik dalam level individu maupun
kelompok. Dan karena manusia adalah mahluk yang punya rasa ingin tahu yang
tinggi sekaligus mahluk pembelajar, maka akulturasi adalah hal yang tidak bisa
dielakan terjadi pada tiap pergaulan (interaksi).
Padi, misalnya. Tanaman ini telah menjadi sangat
Indonesia, sangat Nusantara. Padahal, ia berasal dari India. Budayawan almarhum
W.S. Rendra pernah bilang, bangsa kita adalah bangsa peracik. Dari padi,
terciptalah nasi putih, nasi kuning, lontong, ketupat, mitologi Dewi Sri
Pohaci, tradisi pesta panen, orang-orangan sawah, dan lain sebagainya, yang
boleh jadi sangat berbeda dengan budaya di negeri asalnya, India.
Meski pada berasal dari India, namun, apakah
tradisi pesta panen atau Dewi Sri Pohaci adalah budaya impor? Tentu tidak.
Keduanya, dan banyak tradisi lain menyangkut padi, adalah budaya Indonesia. Adalah
salah satu bagian dari kolase identitas kebudayaan Nusantara. Percaya diri
menyebut kebudayaan padi sebagai Indonesia banget
tentu tidak tiba-tiba. Ada proses panjang dibaliknya.
Posisi Unik Generasi Z Indonesia
Tidak berlebihan jika Lil’li menyebut dirinya
sebagai orang dengan identitas budaya remixed.
Bahkan, boleh jadi semua orang Indonesia juga demikian, campur aduk. Tidak ada
identitas budaya tunggal. Kebudayaan remixed
ini merupakan konsekuensi logis dari tingginya tingkat interaksi antar
kebudayaan. Tingginya tingkat interaksi adalah dampak tak terelakan dari
tingginya tingkat mobilitas.
Zaman dulu, mobilitas dimaknai sebagai perpindahan
orang secara fisik dari satu tempat ke tempat lain. Alat bantunya, kendaraan.
Hari ini, makna tersebut bergeser. Mobilitas tidak lagi harus dalam bentuk
fisik, melainkan avatar dalam dunia digital.
Hadirnya internet yang sangat mudah diakses via
telepon pintar, sebagaimana yang dikatakan Lil’li, menghancurkan batas-batas
geografis yang zaman dulu menjadi kendala interaksi. Era internet adalah
era—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang—dunia yang dilipat.
Posisi gen Z seperti Lil’li lebih unik. Gen Z dalam
konteks Indonesia adalah mereka yang lahir dalam kurun tahun 1997-2012. Mereka
yang lahir pada tahun-tahun itu, jelas, sepenuhnya menikmati berkah reformasi.
Mereka hanya mengenal Orde Baru lewat buku sejarah. Indonesia masuk babak baru
pasca reformasi 1998. Hal yang paling mencolok dari fase sebelumnya adalah kebebasan berpendapat (meski belakangan hal
ini cukup banyak memantik persoalan). Hal ini membuat mereka lebih berani
mengekspresikan diri dan cukup punya keberanian menimbang ulang “tradisi” dan
kebudayaan(nya).
Hal lainnya, mereka adalah generasi yang melek
teknologi sejak kecil. Ketimbang bermain bola di lapangan berlumpur, gen z
boleh jadi lebih terkenang saat rebutan bermain game daring di warnet. Posisi
yang akrab dengan internet dan teknologi sejak kecil ini agaknya disadari betul
oleh Lil’li. Tanpa gagap ia asik berselancar menjadi konten kreator dan pemengaruh
(influencer) di sejumlah media
sosial. Dunia maya menjadi ruang ekspresi sekaligus eksistensi. Namun, kendati
demikian, ia berpesan bahwa kehidupan yang sebenarnya tetaplah di dunia nyata.
Maka, sebelum nyemplung ke dunia
maya, jadilah pribadi yang baik di dunia nyata.
Bahasa Indonesia, Dijajah di Negeri Sendiri
Sepanjang satu jam percakapan, Lil’li bertutur
dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Tidak mengagetkan. Seperti yang saya
kisahkan di atas, bahasa Inggris adalah mother
language-nya meski ia, juga ayah dan ibunya, adalah Warga Negara Indonesia
(WNI). Wajar baginya dan keluarganya, namun, tidak wajar bagi bahasa Indonesia
itu sendiri.
Bahasa bukan hanya soal kosa kata dan gramatikal.
Ia adalah identitas dan simbol kedaulatan negara. Agaknya, sekolah model home schooling dan sekolah-sekolah
internasional perlu ditengok kembali kurikulumnya. Berapa persen bahasa
Indonesia mendapat tempat? Atas alasan internasional dan global, jangan sampai
bahasa Indoensia dijajah di negerinya sendiri. Menjadi bahasa kelas dua di
tanahnya sendiri. Menjadi tamu di rumah sendiri.
Tentu hal ini bukan sepenuhnya tanggung jawab Mas
Menteri Nadiem Makarim, melainkan semua pihak, termasuk para pejabat atau tokoh
publik yang kerap kali muncul bertutur di depan kamera. Mereka kerap menjadi contoh buruk dalam
bertutur bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam konteks tulisan, sejumlah
kementerian dan lembaga negara juga bukan rujukan yang teladan.
Kecemerlangan dan prestasi Lil’li Latisha di
usianya yang belia patut disyukuri sebagai potensi luar biasa gen z Indonesia.
Di usianya yang belia, ia telah mampu memiliki visi untuk berbagi dengan
sesamanya agar semua orang punya akses yang sama pada pendidikan, khususnya
seni.
Di lain sisi, hal ini juga adalah alarm untuk
banyak hal. Bahasa Indonesia salah satunya. Kecuali itu, lagi-lagi,
keberhasilan anak muda seperti Lil’li yang memang lahir sebagai anak orang
berada menambah panjang daftar bukti
ketimpangan dan kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Orang kaya lebih dekat
dengan sukses daripada orang miskin. Anak orang kaya lebih berpotensi “jadi
orang” daripada anak orang miskin.
Visi Lil’li mengenai kesetaraan akses pendidikan (seni)
tentu lahir dari kesadarannya akan ketimpangan yang terjadi di dunia
pendidikan, antara si kaya dan si miskin. Semakin ia berupaya merajut
(ke)Indonesia(an), semakin ia menyadari realitas yang ada.
Semoga semakin banyak orang kaya (yang biasanya
pintar dan sukses) di Indonesia yang melek akan realitas ini dan terketuk
hatinya untuk berbagi, seperti gen z Indonesia yang luar biasa, Lil’li Latisha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar