Jumat, 03 Januari 2020

Menertawakan Mpo Alfa OVJ, Absurdisme, Cawokah, Dan Lain-Lain


Beberapa kali saya menonton OVJ di Trans 7. Seringnya tidak sengaja. Tiap kali saya menonton, selalu ada adegan Mpo Alfa dihipnosis. Dalam ketakberdayaan dan ketakterkendalian tubuh dan pikirannya ia melakukan hal-hal yang tujuannya hanya satu: membuat penonton tertawa. Ini pasti ide tim kreatif. Mereka yang merancang dan mengarahkan selebritis-selebritis itu musti berlaku begini dan begitu.

Tiap kali itu, tiap kali Mpo Alfa dihipnosis agar “bertingkah lucu”, saya malah merasa heran. Kenapa kita tertawa melihat ketaksadaran? Pernahkah tim kreatif mengkaji secara ilmiah dampak psikis hal itu pada Mpo Alfa (dan pada penontonnya)?

Walau, umpamanya, itu semua hanya akting belaka, artinya Mpo Alfa tidak terhipnosis sama sekali, tertawanya penonton akibat “akting pura-pura terhipnosis” itu pun patut menjadi tanda tanya besar. Apakah tidak ada cara lain untuk tertawa?

Dunia komedi memang penuh misteri. Kenapa kita tertawa melihat orang dihina dan diolok-olok  fisiknya? Kenapa kita tertawa melihat orang terjatuh atau kejepit pintu? Kenapa kita tertawa mendengar cerita “bodor cawokah” perempuan yang diolok-olok tubuh dan seksualitasnya? Kenapa kita tertawa ketika orang lain menderita?

Di acara-acara komedi macam OVJ, menyinggung suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) biasanya sebisa mungkin dihindari. Tidak baik menertawakan orang karena agamanya, karena suku bangsanya, atau karena warna kulitnya, demikian kira-kira pendapat umum. Namun, alih-alih menghindari SARA, kebodohan, kondisi fisik, dan ketidaksadaran lantas jadi bahan lawakan.

Lain OVJ lain pula Stand Up Comedy. Beberapa komika justru menjadikan SARA sebagai amunisi open mic mereka.  Tentu tidak lepas dari kontroversi, namun toh mereka punya banyak penggemar yang tertawa menertawakan guyonan berbau SARA.

Dalam khazanah bobodoran (lawakan) Sunda, ada yang disebut cawokah: humor yang mengeksploitasi seksualitas sebagai materinya. Cawokah banyak ditemukan dalam pertunjukan wayang golek, calung, réog, bahkan di mimbar-mimbar pengajian. Banyak penceramah menggunakan cawokah sebagai pemanis dakwah mereka.

Humor-humor seksis acap kali menjadikan perempuan sebagai objek, tak terkecuali cawokah. Namun, entah mengapa, ibu-ibu pengajian bisa terpingkal-pingkal mendengar tubuh dan seksualitas mereka sendiri diolok-olok.

Kaum Adam apalagi. Dibalik keras tawa mereka, mungkin ada rasa puas yang lamat-lamat sebab, sekali lagi, perempuan menjadi objek, subordinat terhadap laki-laki. Dan itu artinya kemenangan patriarki. Ini barangkali tidak disadari sebab sudah menjadi bagian dari kelaziman dan ke(tak)sadaran (?).

Lawakan, bayolan, komedi, atau humor merupakan bagian dari kebudayaan. Ia tidak lahir ujug-ujug dari sebuah kreativitas yang bersih dari weltanschauung: pandangan dunia; bagaimana dunia dipersepsi dan perlakukan oleh suatu individu atau kebudayaan. Dunia Barat yang sarat dengan rasionitas tentu punya cara ber-humor-nya sendiri. Cara mereka memandang dunia menentukan  bagaimana mereka memperolok-oloknya.

Anton Pahlovich Chekhov (1860—1904), seorang sastrawan Rusia, menulis drama “The Proposal” (Pinangan). Ceritanya tentang seorang lelaki kaya yang hendak melamar seorang gadis kaya juga. Di rumah si gadis, bukannya bermesraan, mereka malah ribut soal perbedaan di antara mereka. Mulai dari yang remeh macam perbedaan kucing piaraan sampai tanah yang menjadi sengketa. Banyak kalangan mengkategorikan drama ini sebagai komedi.

Jauh sebelum Chekhov, Aristophanes (446—386 SM) sudah lebih dulu menulis drama komedi meski tentu beda cita rasanya. “Lysistrata” adalah drama komedi yang ditulisnya pada era Yunani Kuno sekira tahun 411 SM. Ceritanya tentang perjuangan kaum perempuan Athena yang dipimpin Lysistrata untuk mencegah perang antara Athena dan Sparta. Caranya, kaum perempuan mogok aktvitas seksual. Mereka enggan meladeni hasrat seksual suami atau kekasih mereka sebelum kaum Adam itu sepakat membatalkan perang.

Minggu lalu saya menonton sebuah pertunjukan teater berjudul “Terdampar” karya Slawomir Mrozek, seorang penulis Polandia. Ceritanya tentang tiga orang yang terdampar di suatu tempat. Mereka kehabisan makanan. Untuk mempertahankan hidup, salah seorang di antara mereka musti rela dikorbankan sebagai makanan bagi dua yang lain.

Lakon ini digolongkan drama absurd oleh sebagian besar ahli. Absurditas lahir untuk mengobrak-abrik kemapanan realisme yang patuh secara ketat terhadap konvensi dan hukum logika. Tragedi dan komedi dipisah secara rigid. Kita harus tertawa sebagaimana orang lain tertawa dan bersedih sebagaimana orang lain bersedih.

Dalam absurdisme, ada logika yang dijungkirbalikan sehingga kelaparan dan kematian justru jadi bahan tertawaan. Absurd!

OVJ juga menjungkirbalikkan logika. Tetapi, dengan menertawakan Mpo Alfa yang terhipnosis itu, apakah lantas OVJ adalah komedi absurd? Peristiwa tertawanya penonton menonton Mpo Alfa adalah absurd. Ketakberdayaan (akibat ketaksadaran) kok ditertawakan? Kan absurd. Tetapi menggolongkan OVJ ke dalam komedi absurd adalah suatu yang gegabah (seperti menyejajarkan longser Sunda dengan gaya teater Bertolt Brecht yang meski memiliki beberapa kesamaan, namun akar sejarah, dasar filsafat, serta tujuannya jauh berbeda).

Absurdisme Barat merupakan reaksi dari kondisi Eropa yang luluh lantak ketika dan pasca PD I dan II. Ia juga merupakan “terusan” dari filsafat eksistensialisme yang mulai digagas sejak zaman Soren Aabye Kierkegaard (1813—1855). 

Drama absurd (Barat)—sebagaimana aliran seni dan sastra lainnya—berpondasikan filsafat Barat. Karya seni dan sastra aliran ini, meski bisa membuat tertawa, namun tidak ditujukan untuk “menghibur”, untuk “lucu-lucuan” semata.

OVJ, dengan jargonnya: “Di sana gunung, di sini gunung, ditengah-tengahnya pohon kelapa. Wayang bingung, dalangnya juga bingung, yang penting bisa ketawa”, jelas memaksudkan segala yang dipertontonkan sebatas untuk hiburan, untuk “lucu-lucuan” untuk seru-seruan aja (walau pasti ada hal serius yang bisa dipetik).

Cawokah, sebagai sebuah produk kebudayaan, tentu berakar dari suatu filsafat juga. Sub-akarnya adalah: bagaimana orang Sunda memandang tubuh dan seksualitas. Ini kemudian juga akan merembet pada gagasan dan praktik etika yang dianut dan berlaku pada kebudayaan bersangkutan. Akhirnya, semua itu akan bermuara pada satu dasar (akar), yakni bagaimana orang Sunda mempersepsi dunia dan memperlakukannya.

Baik (drama komedi) absurdisme, cawokah dalam bobodoran Sunda, Stand Up Comedy, OVJ, maupun bentuk dan genre komedi lainnya merupakan produk kebudayaan (yang dasarnya adalah cara dunia dipersepsi dan diperlakukan). Demikian pula Mpo Alfa yang ditertawakan ketakberdayaan dalam ketaksadarannya. Penonton yang menertawakannya juga adalah cerminan. 

Di zaman post-modern ini kita tinggal pilih mau tertawa lantaran apa. Kita tidak harus tertawa sama persis dengan orang lain tetawa, tidak harus bersedih sama persis seperti orang lain bersedih sebab hidup adalah pilihan.  

Untuk menutup tulisan tak lucu ini, saya ingin mengutip anjuran Warkop DKI: “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!”

Panjalu, 3 Januari 2020

keterangan gambar: foto diri yang terpaksa tertawa (dokumentasi pribadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...