Beberapa kali saya menonton OVJ di Trans 7. Seringnya tidak sengaja. Tiap
kali saya menonton, selalu ada adegan Mpo Alfa dihipnosis. Dalam ketakberdayaan
dan ketakterkendalian tubuh dan pikirannya ia melakukan hal-hal yang tujuannya
hanya satu: membuat penonton tertawa. Ini pasti ide tim kreatif. Mereka yang
merancang dan mengarahkan selebritis-selebritis itu musti berlaku begini dan
begitu.
Tiap kali itu, tiap kali Mpo Alfa dihipnosis agar “bertingkah lucu”, saya
malah merasa heran. Kenapa kita tertawa melihat ketaksadaran? Pernahkah tim
kreatif mengkaji secara ilmiah dampak psikis hal itu pada Mpo Alfa (dan pada
penontonnya)?
Walau, umpamanya, itu semua hanya akting belaka, artinya Mpo Alfa tidak
terhipnosis sama sekali, tertawanya penonton akibat “akting pura-pura
terhipnosis” itu pun patut menjadi tanda tanya besar. Apakah tidak ada cara
lain untuk tertawa?
Dunia komedi memang penuh misteri. Kenapa kita tertawa melihat orang
dihina dan diolok-olok fisiknya? Kenapa
kita tertawa melihat orang terjatuh atau kejepit pintu? Kenapa kita tertawa
mendengar cerita “bodor cawokah” perempuan
yang diolok-olok tubuh dan seksualitasnya? Kenapa kita
tertawa ketika orang lain menderita?
Di acara-acara komedi macam OVJ, menyinggung suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA) biasanya sebisa mungkin dihindari. Tidak baik menertawakan
orang karena agamanya, karena suku bangsanya, atau karena warna kulitnya, demikian
kira-kira pendapat umum. Namun, alih-alih menghindari SARA, kebodohan, kondisi
fisik, dan ketidaksadaran lantas jadi bahan lawakan.
Lain OVJ lain pula Stand Up Comedy. Beberapa komika justru menjadikan
SARA sebagai amunisi open mic mereka.
Tentu tidak lepas dari kontroversi, namun toh mereka punya banyak penggemar yang tertawa menertawakan guyonan
berbau SARA.
Dalam khazanah bobodoran (lawakan) Sunda, ada yang disebut cawokah:
humor yang mengeksploitasi seksualitas sebagai materinya. Cawokah banyak
ditemukan dalam pertunjukan wayang golek, calung, réog, bahkan di mimbar-mimbar
pengajian. Banyak penceramah menggunakan cawokah sebagai pemanis dakwah
mereka.
Humor-humor seksis acap kali menjadikan perempuan sebagai objek, tak
terkecuali cawokah. Namun, entah mengapa, ibu-ibu pengajian bisa
terpingkal-pingkal mendengar tubuh dan seksualitas mereka sendiri diolok-olok.
Kaum Adam apalagi. Dibalik keras tawa mereka, mungkin ada rasa puas yang
lamat-lamat sebab, sekali lagi, perempuan menjadi objek, subordinat terhadap
laki-laki. Dan itu artinya kemenangan patriarki. Ini barangkali tidak disadari
sebab sudah menjadi bagian dari kelaziman dan ke(tak)sadaran (?).
Lawakan, bayolan, komedi, atau humor merupakan bagian dari kebudayaan. Ia
tidak lahir ujug-ujug dari sebuah kreativitas yang bersih dari weltanschauung:
pandangan dunia; bagaimana dunia dipersepsi dan perlakukan oleh suatu
individu atau kebudayaan. Dunia Barat yang sarat dengan rasionitas tentu punya
cara ber-humor-nya sendiri. Cara mereka memandang dunia menentukan bagaimana mereka memperolok-oloknya.
Anton Pahlovich Chekhov (1860—1904), seorang sastrawan Rusia, menulis
drama “The Proposal” (Pinangan). Ceritanya tentang seorang lelaki kaya yang
hendak melamar seorang gadis kaya juga. Di rumah si gadis, bukannya bermesraan,
mereka malah ribut soal perbedaan di antara mereka. Mulai dari yang remeh macam
perbedaan kucing piaraan sampai tanah yang menjadi sengketa. Banyak kalangan
mengkategorikan drama ini sebagai komedi.
Jauh sebelum Chekhov, Aristophanes (446—386 SM) sudah lebih dulu menulis
drama komedi meski tentu beda cita rasanya. “Lysistrata” adalah drama komedi
yang ditulisnya pada era Yunani Kuno sekira tahun 411 SM. Ceritanya tentang
perjuangan kaum perempuan Athena yang dipimpin Lysistrata untuk mencegah perang
antara Athena dan Sparta. Caranya, kaum perempuan mogok aktvitas seksual.
Mereka enggan meladeni hasrat seksual suami atau kekasih mereka sebelum kaum
Adam itu sepakat membatalkan perang.
Minggu lalu saya menonton sebuah pertunjukan teater berjudul “Terdampar”
karya Slawomir Mrozek, seorang penulis Polandia. Ceritanya tentang tiga orang
yang terdampar di suatu tempat. Mereka kehabisan makanan. Untuk mempertahankan
hidup, salah seorang di antara mereka musti rela dikorbankan sebagai makanan
bagi dua yang lain.
Lakon ini digolongkan drama absurd oleh sebagian besar ahli. Absurditas
lahir untuk mengobrak-abrik kemapanan realisme yang patuh secara ketat terhadap
konvensi dan hukum logika. Tragedi dan komedi dipisah secara rigid. Kita harus
tertawa sebagaimana orang lain tertawa dan bersedih sebagaimana orang lain
bersedih.
Dalam absurdisme, ada logika yang dijungkirbalikan sehingga kelaparan dan
kematian justru jadi bahan tertawaan. Absurd!
OVJ juga menjungkirbalikkan logika. Tetapi, dengan menertawakan Mpo Alfa
yang terhipnosis itu, apakah lantas OVJ adalah komedi absurd? Peristiwa
tertawanya penonton menonton Mpo Alfa adalah absurd. Ketakberdayaan (akibat ketaksadaran)
kok ditertawakan? Kan absurd. Tetapi menggolongkan OVJ ke dalam komedi
absurd adalah suatu yang gegabah (seperti menyejajarkan longser Sunda dengan
gaya teater Bertolt Brecht yang meski memiliki beberapa kesamaan, namun akar
sejarah, dasar filsafat, serta tujuannya jauh berbeda).
Absurdisme Barat merupakan reaksi dari kondisi Eropa yang luluh lantak ketika
dan pasca PD I dan II. Ia juga merupakan “terusan” dari filsafat
eksistensialisme yang mulai digagas sejak zaman Soren Aabye Kierkegaard
(1813—1855).
Drama absurd (Barat)—sebagaimana aliran seni dan sastra
lainnya—berpondasikan filsafat Barat. Karya seni dan sastra aliran ini, meski
bisa membuat tertawa, namun tidak ditujukan untuk “menghibur”, untuk “lucu-lucuan”
semata.
OVJ, dengan jargonnya: “Di sana gunung, di sini gunung,
ditengah-tengahnya pohon kelapa. Wayang bingung, dalangnya juga bingung, yang
penting bisa ketawa”, jelas memaksudkan segala yang dipertontonkan sebatas untuk
hiburan, untuk “lucu-lucuan” untuk seru-seruan aja (walau pasti
ada hal serius yang bisa dipetik).
Cawokah, sebagai sebuah produk kebudayaan, tentu berakar dari
suatu filsafat juga. Sub-akarnya adalah: bagaimana orang Sunda memandang tubuh
dan seksualitas. Ini kemudian juga akan merembet pada gagasan dan praktik etika
yang dianut dan berlaku pada kebudayaan bersangkutan. Akhirnya, semua itu akan
bermuara pada satu dasar (akar), yakni bagaimana orang Sunda mempersepsi dunia
dan memperlakukannya.
Baik (drama komedi) absurdisme, cawokah dalam bobodoran Sunda, Stand Up Comedy, OVJ, maupun bentuk dan genre komedi lainnya merupakan produk
kebudayaan (yang dasarnya adalah cara dunia dipersepsi dan diperlakukan).
Demikian pula Mpo Alfa yang ditertawakan ketakberdayaan dalam ketaksadarannya.
Penonton yang menertawakannya juga adalah cerminan.
Di zaman post-modern ini kita tinggal pilih mau tertawa lantaran apa.
Kita tidak harus tertawa sama persis dengan orang lain tetawa, tidak harus
bersedih sama persis seperti orang lain bersedih sebab hidup adalah
pilihan.
Untuk menutup tulisan tak lucu ini, saya ingin mengutip anjuran
Warkop DKI: “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang!”
Panjalu, 3 Januari 2020
keterangan gambar: foto diri yang terpaksa tertawa (dokumentasi pribadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar