Jumat, 10 Januari 2020

Mengalami Ritus Teater


Banyak yang berkeyakinan bahwa teater berasal dari ritus. Teater sebagai seni pertunjukan berakar dari peristiwa upacara keagamaan, dari laku ibadah. Dalam ritus, sesungguhnya tidak ada penonton dalam arti orang yang “hanya menonton dan menyimak”. Semua yang terlibat adalah pemain dengan peran dan fungsi-fungsi yang berbeda.

Ada yang berperan sebagai pemimpin upacara: membaca mantra, jampi, atau do’a. Ada pula yang mengamini atau yang “terdo’akan”. Ada alat dan benda yang digunakan untuk kepentingan upacara, umpamanya air suci, sesajen, dupa, menyan, dan lain-lain. Kadang ada pula hewan yang dikorbankan baik disembelih atau dilarung ke laut, misalnya.

Laku tersebut merupakan cara manusia berinterkasi dengan Sang Maha Pencipta. Ia sakral. Kudus. Baik pemimpin upacara maupun “peserta” ritus, sama-sama ada dalam satu frekuensi. Mereka berada dalam tegangan antara kesadaran imanen dan kesadaran transenden; dunia nampak (materiil) dan dunia tak nampak (imateriil). Kesemua itu dilakukan dengan satu tujuan (orientasi): Tuhan (dengan macam-macam sebutan-Nya).

Dalam dimensi komunal, ritus merupakan kebutuhan bersama segenap individu yang terhimpun dalam suatu masyarakat. Ya, kebutuhan. Ritus menghubungkan manusia dengan kekuatan diluar dirinya. Hubungan yang baik akan mendatangkan kebaikan pula bagi kehidupan manusia. Itu sebabnya manusia butuh ritus, demi kebaikannya sendiri. Dan karena kebutuhan, maka peristiwa itu, ritus itu, dilakukan dengan penuh kesadaran, baik oleh “pemain” maupun “penonton”.

“Mengembalikan teater pada ritus” adalah kredo yang lazim dalam teater zaman post-modern kini (teater post-modern sebagai sebuah pendekatan ilmiah teater, itu lain hal). Mungkin akibat jengah dengan konvensi dan hukum-hukum lama dalam teater, maka para teaterawan berupaya mencari kebaruan justru dengan pulang pada muasal teater, yakni ritus.

Namun, hal apa dari teater yang “dikembalikan”? Apakah mengembalikan itu bermakna menjadikan  (seni) pertunjukan teater sebagai laku ibadah, sebagaimana ritus? Memulangkan sakralitasnya? Kekudusannya? Menjadikan teater sebagai  sarana keterhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa?

Pasti ada satu atau dua kelompok teater atau individu teaterawan yang berlaku demikian. Pasti ada sebagian teaterawan yang menjadikan teater sebagai tirakat, jalan mardhotillah, menjemput ridho Gusti. Dalam cara pandang yang luas, semua laku manusia di alam fana ini berpotensi menjadi ibadah.

Selain golongan teaterawan tersebut, ada pula pengarya (creator) yang hanya pinjam bentuk saja. Maksudnya, meminjam bentuk ritus untuk mengemas gagasan artistik dan estetiknya. Sementara itu, spiritnya lain sama sekali. Dalam konteks ini, ritus didekati sebagai suatu peristiwa budaya (bukan sebagai keterhubungan transendental).

Salah satu ciri ritus yang sering dipinjam ialah ketakterjarakan: meniadakan jarak atau batas antara penonton dan pemain, antara tontonan dan yang menonton. Jarak dalam arti ini bisa berarti jarak fisik yang terukur maupun jarak dalam arti perbedaan fungsi atau peran antara pemain dan penonton.

Pertunjukan teater yang digelar di panggung khusus buat pertunjukan, mensyaratkan adanya jarak antara pemain (di panggung) dan penonton. Jarak ini penting, sebab secara simbolik ia juga bisa dimaknai sebagai jarak antara dunia panggung (dunia imajinasi; dunia rekaan; artifisial) dengan dunia realitas keseharian.

Dunia panggung—meski sebagai mimesis realitas—sesungguhnya adalah “representasi” dunia ideal. Alih-alih representasi realitas, dunia panggung adalah realitas tersendiri. Biarpun ia bersumber dari realitas keseharian, namun yang telah terolah, terseleksi, terbumbui, terartifisialisasi, terstilir, serta “teridealisasi” menjadi seni pertunjukan.  

Pembedaan antara dunia panggung dan realitas keseharian ini berakar dari cara pandang modern yang dikotomis: memisah secara rigid antara realitas dan imajinasi; nyata dan tak nyata; ideal-rasional dan empirik; dan lain-lain. (Cara pandang ini kemudian digugat dan didekonstruksi oleh post-modern)

Dalam ritus (komunal), pemisahan macam ini tidak ada. Penonton adalah peserta ritus sekaligus, artinya bagian tak terpisah dari ritus. Ketakterjarakan ini boleh jadi berakar dari cara pandang manusia pra-modern yang memandang dunia ini sebagai sebuah kesatuan utuh. Yang nampak dan yang tak nampak, semuanya berada dalam kesatuan kosmologis. Jagat Alit dan Jagat Gede manunggal dalam  kasunyatan.

Implikasi ketakterjarakan dalam pertunjukan teater adalah terkoreksinya definisi dan batasan panggung. Panggung tidak lagi dipahami sempit sebagai bidang geometris dengan batasan-batasan dan kelengkapan tertentu tempat aktor dan peristiwa teater ber-laku.

Panggung dalam konteks ritus bisa dipahami sebagai ruang terjadinya peristiwa (karena sedang membicarakan bentuk ritus, maka penetapan ruang ritus (laku ibadah komunal) yang biasanya ditetapkan berdasarkan daya-daya metafisik diabaikan). Panggung tidak memiliki batasan fisik. Batasnya lebih pada fungsi. Maksudnya, sejauh tempat itu, ruang itu, difungsikan sebagai tempat berlangsungnya peristiwa, maka ia adalah panggung.

“Ketiadaan penonton” akhirnya mengoreksi pula cara mengapresiasi. Teater bukan ditonton dan disimak secara indrawi, namun dialami. Baik (yang berperan sebagai) pemain maupun (yang berperan sebagai) penonton sama-sama mengalami. Ya, mengalami teater.

Namun, pengalaman mengalami teater ini tidak selalu menyenangkan, khususnya buat “subjek yang berperan sebagai penonton”. Kadang kala ketakterjarakan itu dihadirkan ujug-ujug bahkan tidak sopan alih-alih khusuk-khidmat seperti ritus ibadah pada umumnya.

Tapi, itulah ritus jaman now. Ritus (teater) post-modern. Barangkali.   
  
Panjalu, 9 Januari 2020

keterangan gambar: mendeklamasikan puisi pada Nyiar Lumar 2018. 
(potret karya Edi Martoyo) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...