Banyak yang
berkeyakinan bahwa teater berasal dari ritus. Teater sebagai seni pertunjukan
berakar dari peristiwa upacara keagamaan, dari laku ibadah. Dalam ritus, sesungguhnya
tidak ada penonton dalam arti orang yang “hanya menonton dan menyimak”. Semua
yang terlibat adalah pemain dengan peran dan fungsi-fungsi yang berbeda.
Ada yang
berperan sebagai pemimpin upacara: membaca mantra, jampi, atau do’a. Ada pula
yang mengamini atau yang “terdo’akan”. Ada alat dan benda yang digunakan untuk
kepentingan upacara, umpamanya air suci, sesajen, dupa, menyan, dan lain-lain.
Kadang ada pula hewan yang dikorbankan baik disembelih atau dilarung ke laut,
misalnya.
Laku tersebut
merupakan cara manusia berinterkasi dengan Sang Maha Pencipta. Ia sakral.
Kudus. Baik pemimpin upacara maupun “peserta” ritus, sama-sama ada dalam satu
frekuensi. Mereka berada dalam tegangan antara kesadaran imanen dan kesadaran
transenden; dunia nampak (materiil) dan dunia tak nampak (imateriil). Kesemua
itu dilakukan dengan satu tujuan (orientasi): Tuhan (dengan macam-macam
sebutan-Nya).
Dalam dimensi komunal,
ritus merupakan kebutuhan bersama segenap individu yang terhimpun dalam suatu masyarakat.
Ya, kebutuhan. Ritus menghubungkan manusia dengan kekuatan diluar dirinya. Hubungan
yang baik akan mendatangkan kebaikan pula bagi kehidupan manusia. Itu sebabnya
manusia butuh ritus, demi kebaikannya sendiri. Dan karena kebutuhan, maka
peristiwa itu, ritus itu, dilakukan dengan penuh kesadaran, baik oleh “pemain” maupun
“penonton”.
“Mengembalikan
teater pada ritus” adalah kredo yang lazim dalam teater zaman post-modern kini (teater post-modern sebagai sebuah
pendekatan ilmiah teater, itu lain hal). Mungkin akibat jengah dengan konvensi
dan hukum-hukum lama dalam teater, maka para teaterawan berupaya mencari
kebaruan justru dengan pulang pada muasal teater, yakni ritus.
Namun, hal apa
dari teater yang “dikembalikan”? Apakah mengembalikan
itu bermakna menjadikan (seni) pertunjukan
teater sebagai laku ibadah, sebagaimana ritus? Memulangkan sakralitasnya? Kekudusannya?
Menjadikan teater sebagai sarana
keterhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa?
Pasti ada satu
atau dua kelompok teater atau individu teaterawan yang berlaku demikian. Pasti
ada sebagian teaterawan yang menjadikan teater sebagai tirakat, jalan mardhotillah, menjemput ridho Gusti.
Dalam cara pandang yang luas, semua laku manusia di alam fana ini berpotensi
menjadi ibadah.
Selain golongan
teaterawan tersebut, ada pula pengarya (creator)
yang hanya pinjam bentuk saja. Maksudnya, meminjam bentuk ritus untuk mengemas
gagasan artistik dan estetiknya. Sementara itu, spiritnya lain sama sekali. Dalam
konteks ini, ritus didekati sebagai suatu peristiwa budaya (bukan sebagai
keterhubungan transendental).
Salah satu ciri
ritus yang sering dipinjam ialah ketakterjarakan:
meniadakan jarak atau batas antara penonton dan pemain, antara tontonan dan yang
menonton. Jarak dalam arti ini bisa berarti jarak fisik yang terukur maupun
jarak dalam arti perbedaan fungsi atau peran antara pemain dan penonton.
Pertunjukan
teater yang digelar di panggung khusus buat pertunjukan, mensyaratkan adanya
jarak antara pemain (di panggung) dan penonton. Jarak ini penting, sebab secara
simbolik ia juga bisa dimaknai sebagai jarak antara dunia panggung (dunia
imajinasi; dunia rekaan; artifisial) dengan dunia realitas keseharian.
Dunia panggung—meski
sebagai mimesis realitas—sesungguhnya adalah “representasi” dunia ideal. Alih-alih
representasi realitas, dunia panggung adalah realitas tersendiri. Biarpun ia
bersumber dari realitas keseharian, namun yang telah terolah, terseleksi, terbumbui,
terartifisialisasi, terstilir, serta “teridealisasi” menjadi seni pertunjukan.
Pembedaan antara
dunia panggung dan realitas keseharian ini berakar dari cara pandang modern
yang dikotomis: memisah secara rigid antara realitas dan imajinasi; nyata dan
tak nyata; ideal-rasional dan empirik; dan lain-lain. (Cara pandang ini
kemudian digugat dan didekonstruksi oleh post-modern)
Dalam ritus
(komunal), pemisahan macam ini tidak ada. Penonton adalah peserta ritus
sekaligus, artinya bagian tak terpisah dari ritus. Ketakterjarakan ini boleh
jadi berakar dari cara pandang manusia pra-modern yang memandang dunia ini
sebagai sebuah kesatuan utuh. Yang nampak dan yang tak nampak, semuanya berada
dalam kesatuan kosmologis. Jagat Alit
dan Jagat Gede manunggal dalam kasunyatan.
Implikasi
ketakterjarakan dalam pertunjukan teater adalah terkoreksinya definisi dan
batasan panggung. Panggung tidak lagi dipahami sempit sebagai bidang geometris
dengan batasan-batasan dan kelengkapan tertentu tempat aktor dan peristiwa
teater ber-laku.
Panggung dalam
konteks ritus bisa dipahami sebagai ruang terjadinya peristiwa (karena sedang
membicarakan bentuk ritus, maka
penetapan ruang ritus (laku ibadah komunal) yang biasanya ditetapkan berdasarkan
daya-daya metafisik diabaikan). Panggung tidak memiliki batasan fisik. Batasnya
lebih pada fungsi. Maksudnya, sejauh tempat itu, ruang itu, difungsikan sebagai
tempat berlangsungnya peristiwa, maka ia adalah panggung.
“Ketiadaan penonton”
akhirnya mengoreksi pula cara mengapresiasi. Teater bukan ditonton dan disimak
secara indrawi, namun dialami. Baik (yang berperan sebagai) pemain maupun (yang
berperan sebagai) penonton sama-sama mengalami. Ya, mengalami teater.
Namun,
pengalaman mengalami teater ini tidak selalu menyenangkan, khususnya buat “subjek
yang berperan sebagai penonton”. Kadang kala ketakterjarakan itu dihadirkan
ujug-ujug bahkan tidak sopan alih-alih khusuk-khidmat seperti ritus ibadah pada
umumnya.
Tapi, itulah
ritus jaman now. Ritus (teater) post-modern.
Barangkali.
Panjalu,
9 Januari 2020
keterangan gambar: mendeklamasikan puisi pada Nyiar Lumar 2018.
(potret karya Edi Martoyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar