Kehadiran
pusat-pusat kesenian di kota-kota besar boleh jadi telah menjadi kebutuhan
warganya. Menonton teater, tari, dan konser musik; menghadiri dan mengapresiasi
pameran seni rupa; hadir dan turut serta
dalam diskusi sastra, telah menjadi bagian dari gaya hidup urban. Seni
modern—dan kini postmodern—menjadi tolak ukur keberadaban suatu peradaban.
Meski telah
bergeser dari ritual ke tolak ukur keberadaban, di kota-kota besar seni
justru mendapat ruang yang lebih baik
ketimbang di “second city”.
Masyarakat kota dengan budaya urbannya menjadikan seni sebagai pengisi “ruang
kosong” dalam dirinya. Atau setidaknya menjadi hiburan, pelepas penat setelah
sepanjang hari berkerja, “ber-materialis” ria.
Karena “pasar”
tersedia, maka karya seni—juga senimannya—subur makmur di kota-kota besar.
Pemerintah pun memberi perhatian yang lumayan
bagi sektor yang oleh mereka disebut “ekonomi kreatif” ini. Pemerintah Pusat
bahkan membentuk lembaga khusus untuk “mengurusi” kesenian: Badan Ekonomi
Kreatif (Bekraf).
Bagaimana nasib
seniman dan kesenian di daerah-daerah? Di “second
city”? Karakteristik dan kecenderungan suatu daerah dalam memperlakukan
kesenian memang tidak bisa dipukul rata. Beberapa daerah memuliakan kesenian
dengan amat sangat. Ini tentu berkait erat dengan sejarah dan kebudayaan di
daerah tersebut.
Yang
mengkhawatirkan adalah daerah-daerah “transisi” yang baru mau beranjak “modern”
sedang sebagian masyarakatnya masih “tradisional”. Di Jawa Barat terdapat
sebuah kabupaten bernama Ciamis. Sejarah mencatat, dulunya daerah ini merupakan
pusat kerajaan Sunda dan Galuh yang
merupakan cikal-bakal kerajaan Pajajaran (1482–1579 ) yang berpusat di Bogor.
Sejarah kerajaan
Galuh secara keseluruhan membentang panjang sejak 612 masehi dan terus berkait
sampai runtuhnya Pajajaran pada 1579. Ciamis sangat kaya akan tinggalan budaya
baik tinggalan budaya benda (tangible
heritage) maupun tak benda (intangible
heritage). Banyak seniman-seniman Ciamis yang menjadikan “artefak budaya”
ini sumber inspirasi atau tema dalam karya-karya seni mereka dalam bentuk yang
lebih kontemporer.
Sebab pemerintah
Ciamis memandang tinggalan-tinggalan itu dengan kaca mata modern yang
empiris-materialis maka kebijakannya menyangkut kesenian tidak pernah tepat
sasaran. Seperti dikatakan di atas, Ciamis adalah kota yang sedang bertransisi.
Dalam kondisi ini, pemerintah—dan sebagian masyarakat—seolah gagap membaca
zaman dan bimbang akan identitas.
Tegangan antara
keinganan untuk modern—dengan berkiblat ke Kota Bandung, misalnya—dan kondisi
sebagian besar masyarakat yang masih berpola pikir tradisional (pra-modern)
mengakibatkan kesenian di Ciamis tidak ke kanan tidak pula ke kiri, tidak maju
mundur pun enggan. Jalan di tempat dengan identitas yang kabur.
Namun, meski
demikian, denyut kesenian di Ciamis tidak pernah padam. Nyiar Lumar, merupakan hajat besar kesenian di Ciamis. Acara
bienale yang digelar tiap tahun genap tersebut diadakan pertama kali pada 1998, bertepatan dengan
hancurnya Orde Baru. Nyiar Lumar
diadakan di komplek situs Astana Gede, Kawali. Suatu komplek situs yang
diyakini peninggalan kerajaan Sunda.
Penggunaan komplek
situs yang terdiri dari makam, hutan, dan beberapa tinggalan berupa prasasti,
lingga, dan beberapa tinggalan lain dimaksudkan merespon “kekayaan” budaya yang
dimiliki. Konsep kegiatannya pun anti-teknologi modern. Segala keperluan
pertunjukan dan acara dihadirkan se-buhun
mungkin. Lampu-lampu penerangan panggung dan jalan digantikan obor dan damar sewu. Dekorasi ruang pun
menggunakan bahan-bahan alam seperti bambu, kayu, tembikar, janur, dan
lain-lain.
Untuk
memfasilitasi “modernitas”, panitia menyediakan panggung lain di luar komplek
situs. Perjumpaan yang modern dan yang buhun
ini seharusnya bisa ditangkap oleh pemerintah sebagai dasar pemikiran dalam
membuat kebijakan-kebijakan kesenian, khususnya di Ciamis. Keduanya difasillitasi,
meski tak dibiarkan saling berjumpa. Yang “sakral” dan yang “profan” di”representasikan”
dalam biliknya sendiri-sendiri. Inilah moderat. Suatu sikap yang sepatutnya
dicontoh para pembesar mandatais rakyat (baca: pemerintah).
Apakah Nyiar Lumar sudah cukup untuk mewadahi
hasrat berkesenian seniman Ciamis? Sepertinya belum. Sekian kekayaan seni—baik
kontemporer, modern, maupun tradisional—yang ada di Ciamis tidak semuanya bisa
tertampung di Nyiar Lumar yang dua
tahunan itu. Waktu dan sumber daya lainnya amatlah terbatas.
Memang banyak
kegiatan kesenian lain yang digagas pemerintah Ciamis baik melalui Dinas Kebudayaan,
Pemuda, dan Olah Raga maupun Dinas Pariwisata Ciamis. Namun, kegiatan-kegiatan
ini agaknya lebih merupakan proyek ketimbang program. Sifatnya tentatif dan
insidentil, melulu “dalam rangka”. Dua Dinas ini pun agaknya punya persoalan
egosektoral. Alih-alih bersinergi, keduanya malah terkesan berkompetisi. Sebetulnya
ini sehat. Kompetisi dan persaingan bisa memacu daya kreativitas dan semangat
kerja. Seniman sih diuntungkan saja
sebab bisa dapat job dari dua pintu. Agar
tetap sehat, kompetisi ini harus dibarengi dengan sikap sportif dan semangat yang
konstruktif. Bukan saling ejek dan menjelekkan.
Gedung Kesenian/Pusat Kesenian Ciamis
Apakah Ciamis
perlu Gedung Kesenian? Menurut hemat saya, Ciamis sudah saatnya memiliki gedung
kesenian yang representatif. Gedung kesenian yang dimaksud adalah gedung
kesenian yang memiliki auditorium, panggung pertunjukan, instalasi tata cahaya
panggung, dan kelengkapan lainnya terkait pertunjukan dalam ruangan (indoor). Lebih baik bila ditunjang
dengan ruang pameran, fasilitas pemutaran film, dan perpustakaan sastra. Untuk pertunjukan
luar ruangan (outdoor), Ciamis sudah
cukup banyak memiliki tempat yang bagus. Terlebih tempat-tempat tersebut
memilik nilai historis sebagai tinggalan kerajaan Galuh dan Sunda.
Meski Ciamis subur
dan kuat akan seni tradisi, namun di kota kecil yang dijuluki “Kota Pensiunan”
ini ada juga orang-orang yang bergerak di bidang seni-seni non-tradisional yang
butuh “ruang khusus”. Penggiat seni rupa (lukis, patung, grafiti, kolase, dan
seni rupa pertunjukan) dan film pun ada. Hanya saja karena fasilitas di daerah
asal tidak mendukung, mereka banyak yang “lari” ke daerah lain macam Bandung
atau Tasikmalaya yang fasilitas publik dan “kultur”nya lebih mendukung
karya-karya mereka. Tentang sastrawan Ciamis yang moncer di kancah nasional bahkan internasional, ah, tak usah
ditanya. Browsing saja!
Pemerintah sebenarnya
punya fasilitas (ruang) yang fungsinya mirip gedung kesenian. Balé Réka Paminton Bhumi Niskala namanya.
Ia terletak di seputaran komplek Astana Gede Kawali. Tapi, biarlah ia menjadi kelengkapan komplek situs
tersebut. Juga sebagai gedung (ruang) pertunjukan dengan bentuk pendopo. Itu biarlah
begitu. “Ciamis Kota” perlu juga memiliki ruang khusus, semacam Pusat Kesenian
Ciamis. Bagi kesenian-kesenian “modern”, gedung itu akan jadi wadah bari
karya-karya mereka. Bagi kesenian “tradisional”, gedung itu haruslah berfungsi
sebagai etalase saja.
Apa sebab? Mementaskan
(merepresentasikan) kesenian tradisional bukan di “panggung aslinya” di
masyarakat adalah pengkebirian. Panggung “Pusat Kesenian Ciamis” itu biarlah menjadi
etalase semata, tempat penonton “mengintip” kesenian tersebut. Jika hendak “mengalami”
kesenian itu secara utuh, datanglah ke daerah asal kesenian tersebut. Nikmatilah
kesenian itu di rahim dan alamnya, di semestanya, agar pengalaman yang didapat lebih utuh dan
paripurna.
Kehadiran Pusat
Kesenian Ciamis harus pula didukung oleh berbagai kebijakan yang mendukung. Misalnya,
menentukan siapa yang mengelola fasilitas tersebut. Pengelola fasilitas
kesenian yang tidak memahami kesenian, ya, sama saja dengan menyuruh tukang sol
sepatu mereparasi tivi yang rusak.
Buat juga
program rutin. Bukan proyek insidentil dan tentatif saja. Lantas bagaimana
menyokong kebutuhan operasional gedung? Bayar listrik, mengganti lampu yang
mati, bayar air, dan lain-lain? Hemat saya, pada akhirnya gedung itu akan
berbayar (sewa). Tapi itu nanti, jika iklim kesenian di Ciamis sudah
memungkinkan untuk itu. Semua kan harus merintis dari nol.
Hitung-hitungan (bacaan tidak penting)
Awalnya, gedung
itu gratiskan saja dulu. Atau kalaupun harus bayar, ya, ngga usah mahal-mahal. Misalnya, 300-500 ribu. Pemerintah harus paham
juga dengan “pasar ekonomi kreatif” di Ciamis. Jangan asal saja menetapkan
harga sewa gedung tanpa memahami “daya beli” masyarakat dalam kaitannya dengan
kesenian. Sepengalaman saya, menjual tiket pertunjukan teater harga 10 ribu
rupiah saja susahnya minta ampun. Banyak yang minta potongan. Padahal harga
semangkuk bakso saja sudah rata-rata 15 ribu.
Kalau kapasitas
penonton di gedung “Pusat Kesenian Ciamis” itu, misalnya, 300 orang per kali
menonton, dengan harga tiket 10 ribu (tanpa potongan), maka per kali
pertunjukan akan menghasilkan pemasukan kotor sebesar 3 juta rupiah. Kalau harga
sewa gedung 300 – 500 ribu, ya, masih wajar lah (meski pun sebenarnya
kemahalan).
Uang 2,5 juta
hasil potongan sewa gedung itu kan masih dibagi-bagi lagi untuk konsumsi, bayar
hutang bekas biaya produksi, dan lain-lain. Jadi berapa si seniman mendapat
untung? Wah, sepertinya omset pertunjukan itu hanya akan cukup buat membeli
kuota saja.
Jika orientasinya
keuntungan (laba) maka sang seniman atau kelompok seni itu harus pentas sehari
tiga kali dengan makan sekali saja, misalnya, biar irit. Katakanlah, tiap
pentas itu penontonnya penuh. Jadi dapat 9 juta sehari. Di potong sewa gedung
500 ribu, sisa 8,5 juta. Ya, lumayan lah, meski jatuhnya honor akhir untuk
masing-masing pemain tidak akan lebih besar dari UMR Ciamis.
Mau lebih untung
lagi, ya, pentasnya jangan sehari saja. Pentaslah seminggu. Kalikan saja! 8,5
juta kali 7. Ya, 59, 5 juta rupiah. Waw! Terdengar besar, ya. Tapi edan juga kalau harus pentas sehari tiga
kali selama satu minggu. Lagi pula bagaimana mancari 6.300 penonton (300x3x7) di
Ciamis dan sekitarnya?
FYI (for your information), beberapa kelompok
teater di kota Tasikmalaya sudah bisa menjual tiket pertunjukan (terbilang
lebih dari satu pertunjukan) seharga (paling tinggi) 25 ribu. Dan ada yang beli,
sebab dibina dan dibiasakan secara bertahap sejak bertahun-tahun lalu. Memang
perlu stategi dan perjuangan panjang. Tapi kan bisa juga akhirnya. Di Ciamis
sendiri tiket pertunjukan teater modern termahal (dan satu-satunya), sependek
pengetahuan saya, sebesar 100 ribu rupiah per lembar (untuk dua orang). Itu pun
dengan strategi pemasaran tersendiri.
***
Tentang
keberadaan gedung kesenian atau Pusat Kesenian Ciamis memang sudah sering
digunjingkan. Ya, namanya juga manusia, punya kehendak dan pemikiran yang
beda-beda. Wajar kalau berdebat atau bergunjing. Asal jangan baper saja. Silaturahmi dan persaudaraan
harus tetap dijaga.
Gunjingan itu
akan sekedar jadi gunjingan atau buih omongan saja bila tidak dibaca pemerintah
sebagai keresahan seniman yang harus ditanggapi secara cepat dan bijak. Pemerintah
jangan alergi dengan komunikasi dua arah. Seniman juga harus ada yang berani
berteriak, selain ada pula yang berjuang melalui celah-celah birokrasi.
Tapi kalau saja
pemerintah menggeser paradigma modernnya yang materialistik itu, memposisikan
dan menyikapi kesenian bisa dilakukan dengan wajar dan sepatutnya. Hitung-hitungannya
jangan jangka pendek: aku (pemerintah) kasih kamu sekian rupiah, kau
(seniman/masyarakat) harus menghasilkan PAD sekian rupiah. Kalau logika itu
yang dikedepankan, kita akan terjebak pada materialisme belaka. Padahal membangun
kebudayaan, dengan kesenian di dalamnya, bukan cuma perkara materiil belaka. Ada
“investasi” jangka panjang, yakni membangun pikir dan rasa, membangun “jeroan” manusia.
Orang mengapresiasi
kesenian kan bukan cari untung materiil. Apakah kita mendengarkan lagu atau
menonton film untuk mencari keuntungan materiil? Apakah dengan membaca novel,
cerpen, atau puisi si pembaca mendadak kaya raya? Mungkin ada saja yang
demikian itu, tapi sebagian besar agaknya tidak. Mengapresiasi seni itu mencari
“keuntungan” imateriil. Batin. Pemerintah harusnya paham agar kesenian tidak
diperlakukan seperti kacang goreng di pinggir jalan.
Panjalu,
17 September 2019
keterangan gambar:Pertunjukan Heart of Almond Jelly (Wishing Chong), Sutradara Rika R. Johara
Produksi Women In the Zero (WIZ) Project dan Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC). 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar