Selasa, 17 September 2019

Pusat Kesenian Ciamis


Kehadiran pusat-pusat kesenian di kota-kota besar boleh jadi telah menjadi kebutuhan warganya. Menonton teater, tari, dan konser musik; menghadiri dan mengapresiasi pameran seni rupa; hadir  dan turut serta dalam diskusi sastra, telah menjadi bagian dari gaya hidup urban. Seni modern—dan kini postmodern—menjadi tolak ukur keberadaban suatu peradaban.

Meski telah bergeser dari ritual ke tolak ukur keberadaban, di kota-kota besar seni justru  mendapat ruang yang lebih baik ketimbang di “second city”. Masyarakat kota dengan budaya urbannya menjadikan seni sebagai pengisi “ruang kosong” dalam dirinya. Atau setidaknya menjadi hiburan, pelepas penat setelah sepanjang hari berkerja, “ber-materialis” ria.

Karena “pasar” tersedia, maka karya seni—juga senimannya—subur makmur di kota-kota besar. Pemerintah pun memberi perhatian yang lumayan bagi sektor yang oleh mereka disebut “ekonomi kreatif” ini. Pemerintah Pusat bahkan membentuk lembaga khusus untuk “mengurusi” kesenian: Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).

Bagaimana nasib seniman dan kesenian di daerah-daerah? Di “second city”? Karakteristik dan kecenderungan suatu daerah dalam memperlakukan kesenian memang tidak bisa dipukul rata. Beberapa daerah memuliakan kesenian dengan amat sangat. Ini tentu berkait erat dengan sejarah dan kebudayaan di daerah tersebut.

Yang mengkhawatirkan adalah daerah-daerah “transisi” yang baru mau beranjak “modern” sedang sebagian masyarakatnya masih “tradisional”. Di Jawa Barat terdapat sebuah kabupaten bernama Ciamis. Sejarah mencatat, dulunya daerah ini merupakan pusat kerajaan Sunda dan Galuh yang  merupakan cikal-bakal kerajaan Pajajaran (1482–1579 )  yang berpusat di Bogor.

Sejarah kerajaan Galuh secara keseluruhan membentang panjang sejak 612 masehi dan terus berkait sampai runtuhnya Pajajaran pada 1579. Ciamis sangat kaya akan tinggalan budaya baik tinggalan budaya benda (tangible heritage) maupun tak benda (intangible heritage). Banyak seniman-seniman Ciamis yang menjadikan “artefak budaya” ini sumber inspirasi atau tema dalam karya-karya seni mereka dalam bentuk yang lebih kontemporer.
Sebab pemerintah Ciamis memandang tinggalan-tinggalan itu dengan kaca mata modern yang empiris-materialis maka kebijakannya menyangkut kesenian tidak pernah tepat sasaran. Seperti dikatakan di atas, Ciamis adalah kota yang sedang bertransisi. Dalam kondisi ini, pemerintah—dan sebagian masyarakat—seolah gagap membaca zaman dan bimbang akan identitas.

Tegangan antara keinganan untuk modern—dengan berkiblat ke Kota Bandung, misalnya—dan kondisi sebagian besar masyarakat yang masih berpola pikir tradisional (pra-modern) mengakibatkan kesenian di Ciamis tidak ke kanan tidak pula ke kiri, tidak maju mundur pun enggan. Jalan di tempat dengan identitas yang kabur.

Namun, meski demikian, denyut kesenian di Ciamis tidak pernah padam. Nyiar Lumar, merupakan hajat besar kesenian di Ciamis. Acara bienale yang digelar tiap tahun genap tersebut diadakan  pertama kali pada 1998, bertepatan dengan hancurnya Orde Baru. Nyiar Lumar diadakan di komplek situs Astana Gede, Kawali. Suatu komplek situs yang diyakini peninggalan kerajaan Sunda.  

Penggunaan komplek situs yang terdiri dari makam, hutan, dan beberapa tinggalan berupa prasasti, lingga, dan beberapa tinggalan lain dimaksudkan merespon “kekayaan” budaya yang dimiliki. Konsep kegiatannya pun anti-teknologi modern. Segala keperluan pertunjukan dan acara dihadirkan se-buhun mungkin. Lampu-lampu penerangan panggung dan jalan digantikan obor dan damar sewu. Dekorasi ruang pun menggunakan bahan-bahan alam seperti bambu, kayu, tembikar, janur, dan lain-lain.

Untuk memfasilitasi “modernitas”, panitia menyediakan panggung lain di luar komplek situs. Perjumpaan yang modern dan yang buhun ini seharusnya bisa ditangkap oleh pemerintah sebagai dasar pemikiran dalam membuat kebijakan-kebijakan kesenian, khususnya di Ciamis. Keduanya difasillitasi, meski tak dibiarkan saling berjumpa. Yang “sakral” dan yang “profan” di”representasikan” dalam biliknya sendiri-sendiri. Inilah moderat. Suatu sikap yang sepatutnya dicontoh para pembesar mandatais rakyat (baca: pemerintah).

Apakah Nyiar Lumar sudah cukup untuk mewadahi hasrat berkesenian seniman Ciamis? Sepertinya belum. Sekian kekayaan seni—baik kontemporer, modern, maupun tradisional—yang ada di Ciamis tidak semuanya bisa tertampung di Nyiar Lumar yang dua tahunan itu. Waktu dan sumber daya lainnya amatlah terbatas.

Memang banyak kegiatan kesenian lain yang digagas pemerintah Ciamis baik melalui Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olah Raga maupun Dinas Pariwisata Ciamis. Namun, kegiatan-kegiatan ini agaknya lebih merupakan proyek ketimbang program. Sifatnya tentatif dan insidentil, melulu “dalam rangka”. Dua Dinas ini pun agaknya punya persoalan egosektoral. Alih-alih bersinergi, keduanya malah terkesan berkompetisi. Sebetulnya ini sehat. Kompetisi dan persaingan bisa memacu daya kreativitas dan semangat kerja. Seniman sih diuntungkan saja sebab bisa dapat job dari dua pintu. Agar tetap sehat, kompetisi ini harus dibarengi dengan sikap sportif dan semangat yang konstruktif. Bukan saling ejek dan menjelekkan.

Gedung Kesenian/Pusat Kesenian Ciamis
Apakah Ciamis perlu Gedung Kesenian? Menurut hemat saya, Ciamis sudah saatnya memiliki gedung kesenian yang representatif. Gedung kesenian yang dimaksud adalah gedung kesenian yang memiliki auditorium, panggung pertunjukan, instalasi tata cahaya panggung, dan kelengkapan lainnya terkait pertunjukan dalam ruangan (indoor). Lebih baik bila ditunjang dengan ruang pameran, fasilitas pemutaran film, dan perpustakaan sastra. Untuk pertunjukan luar ruangan (outdoor), Ciamis sudah cukup banyak memiliki tempat yang bagus. Terlebih tempat-tempat tersebut memilik nilai historis sebagai tinggalan kerajaan Galuh dan Sunda.

Meski Ciamis subur dan kuat akan seni tradisi, namun di kota kecil yang dijuluki “Kota Pensiunan” ini ada juga orang-orang yang bergerak di bidang seni-seni non-tradisional yang butuh “ruang khusus”. Penggiat seni rupa (lukis, patung, grafiti, kolase, dan seni rupa pertunjukan) dan film pun ada. Hanya saja karena fasilitas di daerah asal tidak mendukung, mereka banyak yang “lari” ke daerah lain macam Bandung atau Tasikmalaya yang fasilitas publik dan “kultur”nya lebih mendukung karya-karya mereka. Tentang sastrawan Ciamis yang moncer di kancah nasional bahkan internasional, ah, tak usah ditanya. Browsing saja!

Pemerintah sebenarnya punya fasilitas (ruang) yang fungsinya mirip gedung kesenian. Balé Réka Paminton Bhumi Niskala namanya. Ia terletak di seputaran komplek Astana Gede Kawali. Tapi,  biarlah ia menjadi kelengkapan komplek situs tersebut. Juga sebagai gedung (ruang) pertunjukan dengan bentuk pendopo. Itu biarlah begitu. “Ciamis Kota” perlu juga memiliki ruang khusus, semacam Pusat Kesenian Ciamis. Bagi kesenian-kesenian “modern”, gedung itu akan jadi wadah bari karya-karya mereka. Bagi kesenian “tradisional”, gedung itu haruslah berfungsi sebagai etalase saja.

Apa sebab? Mementaskan (merepresentasikan) kesenian tradisional bukan di “panggung aslinya” di masyarakat adalah pengkebirian. Panggung “Pusat Kesenian Ciamis” itu biarlah menjadi etalase semata, tempat penonton “mengintip” kesenian tersebut. Jika hendak “mengalami” kesenian itu secara utuh, datanglah ke daerah asal kesenian tersebut. Nikmatilah kesenian itu di rahim dan alamnya, di semestanya,  agar pengalaman yang didapat lebih utuh dan paripurna. 

Kehadiran Pusat Kesenian Ciamis harus pula didukung oleh berbagai kebijakan yang mendukung. Misalnya, menentukan siapa yang mengelola fasilitas tersebut. Pengelola fasilitas kesenian yang tidak memahami kesenian, ya, sama saja dengan menyuruh tukang sol sepatu mereparasi tivi yang rusak.

Buat juga program rutin. Bukan proyek insidentil dan tentatif saja. Lantas bagaimana menyokong kebutuhan operasional gedung? Bayar listrik, mengganti lampu yang mati, bayar air, dan lain-lain? Hemat saya, pada akhirnya gedung itu akan berbayar (sewa). Tapi itu nanti, jika iklim kesenian di Ciamis sudah memungkinkan untuk itu. Semua kan harus merintis dari nol.


Hitung-hitungan (bacaan tidak penting)
Awalnya, gedung itu gratiskan saja dulu. Atau kalaupun harus bayar, ya, ngga usah mahal-mahal. Misalnya, 300-500 ribu. Pemerintah harus paham juga dengan “pasar ekonomi kreatif” di Ciamis. Jangan asal saja menetapkan harga sewa gedung tanpa memahami “daya beli” masyarakat dalam kaitannya dengan kesenian. Sepengalaman saya, menjual tiket pertunjukan teater harga 10 ribu rupiah saja susahnya minta ampun. Banyak yang minta potongan. Padahal harga semangkuk bakso saja sudah rata-rata 15 ribu.

Kalau kapasitas penonton di gedung “Pusat Kesenian Ciamis” itu, misalnya, 300 orang per kali menonton, dengan harga tiket 10 ribu (tanpa potongan), maka per kali pertunjukan akan menghasilkan pemasukan kotor sebesar 3 juta rupiah. Kalau harga sewa gedung 300 – 500 ribu, ya, masih wajar lah (meski pun sebenarnya kemahalan).

Uang 2,5 juta hasil potongan sewa gedung itu kan masih dibagi-bagi lagi untuk konsumsi, bayar hutang bekas biaya produksi, dan lain-lain. Jadi berapa si seniman mendapat untung? Wah, sepertinya omset pertunjukan itu hanya akan cukup buat membeli kuota saja.

Jika orientasinya keuntungan (laba) maka sang seniman atau kelompok seni itu harus pentas sehari tiga kali dengan makan sekali saja, misalnya, biar irit. Katakanlah, tiap pentas itu penontonnya penuh. Jadi dapat 9 juta sehari. Di potong sewa gedung 500 ribu, sisa 8,5 juta. Ya, lumayan lah, meski jatuhnya honor akhir untuk masing-masing pemain tidak akan lebih besar dari UMR Ciamis.

Mau lebih untung lagi, ya, pentasnya jangan sehari saja. Pentaslah seminggu. Kalikan saja! 8,5 juta kali 7. Ya, 59, 5 juta rupiah. Waw! Terdengar besar, ya. Tapi edan juga kalau harus pentas sehari tiga kali selama satu minggu. Lagi pula bagaimana mancari 6.300 penonton (300x3x7) di Ciamis dan sekitarnya?

FYI (for your information), beberapa kelompok teater di kota Tasikmalaya sudah bisa menjual tiket pertunjukan (terbilang lebih dari satu pertunjukan) seharga (paling tinggi) 25 ribu. Dan ada yang beli, sebab dibina dan dibiasakan secara bertahap sejak bertahun-tahun lalu. Memang perlu stategi dan perjuangan panjang. Tapi kan bisa juga akhirnya. Di Ciamis sendiri tiket pertunjukan teater modern termahal (dan satu-satunya), sependek pengetahuan saya, sebesar 100 ribu rupiah per lembar (untuk dua orang). Itu pun dengan strategi pemasaran tersendiri.

***

Tentang keberadaan gedung kesenian atau Pusat Kesenian Ciamis memang sudah sering digunjingkan. Ya, namanya juga manusia, punya kehendak dan pemikiran yang beda-beda. Wajar kalau berdebat atau bergunjing. Asal jangan baper saja. Silaturahmi dan persaudaraan harus tetap dijaga.

Gunjingan itu akan sekedar jadi gunjingan atau buih omongan saja bila tidak dibaca pemerintah sebagai keresahan seniman yang harus ditanggapi secara cepat dan bijak. Pemerintah jangan alergi dengan komunikasi dua arah. Seniman juga harus ada yang berani berteriak, selain ada pula yang berjuang melalui celah-celah birokrasi.

Tapi kalau saja pemerintah menggeser paradigma modernnya yang materialistik itu, memposisikan dan menyikapi kesenian bisa dilakukan dengan wajar dan sepatutnya. Hitung-hitungannya jangan jangka pendek: aku (pemerintah) kasih kamu sekian rupiah, kau (seniman/masyarakat) harus menghasilkan PAD sekian rupiah. Kalau logika itu yang dikedepankan, kita akan terjebak pada materialisme belaka. Padahal membangun kebudayaan, dengan kesenian di dalamnya, bukan cuma perkara materiil belaka. Ada “investasi” jangka panjang, yakni membangun pikir dan rasa, membangun “jeroan” manusia.

Orang mengapresiasi kesenian kan bukan cari untung materiil. Apakah kita mendengarkan lagu atau menonton film untuk mencari keuntungan materiil? Apakah dengan membaca novel, cerpen, atau puisi si pembaca mendadak kaya raya? Mungkin ada saja yang demikian itu, tapi sebagian besar agaknya tidak. Mengapresiasi seni itu mencari “keuntungan” imateriil. Batin. Pemerintah harusnya paham agar kesenian tidak diperlakukan seperti kacang goreng di pinggir jalan.

Panjalu, 17 September 2019
keterangan gambar:
Pertunjukan Heart of Almond Jelly (Wishing Chong), Sutradara Rika R. Johara
Produksi Women In the Zero (WIZ) Project dan Teater Tarian Mahesa Ciamis (TTMC). 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...