Seni Plat Merah
Ciamis, sebuah kabupaten di selatan Jawa Barat.
Dahulu kabupaten ini terbilang kaya akan akulturasi kebudayaan. Memiliki pantai
sekaligus dataran tinggi nan mempesona. Kemudian setelah wilayahnya berkurang
akibat pemekaran wilayah, Ciamis yang kini terdiri dari 27 kecamatan, kekayaan
kebudayaan miliknya pasti turut berkurang sebagai dampak dari berkurang wilayah
administratifnya. Namun ini agaknya merupakan langkah yang baik sebab dengan
luas wilayahnya, pra-pemekaran DOB Pangandaran, seluas 2.556,75 km² Pemda
Ciamis agaknya cukup kerepotan mengurus, khususnya dalam hal pemerataan
pembangunan. Alasan klasik yang dilontar tokoh-tokoh sebagai latar belakang
pemekaran wilayah di Ciamis selatan ialah pemerataan kesejahteraan meski banyak
pihak yang tetap mengendus alasan yang lebih politis, persoalan bagi-bagi
kekuasaan.
Berbicara suatu daerah, tak bisa lepas dari
membicarakan kebudayaannya dalam arti sempit sebab jika menyoal budaya dalam
arti luas tentu kita akan membicarakan segala hal yang non-alamiah sebab
kebudayaan ialah segala hal yang dihasilkan manusia sebagai respon mereka atas
alam dan diri mereka sendiri. Padi adalah alam tapi menanam dan mengolah padi
adalah budaya. Seks adalah alamiah tetapi perkawian adalah budaya. Begitu pun
makan ialah alamiah (natur) tetapi kuliner dan segala hal tentangnya ialah
budaya. Namun para ahli dan pada akhirnya masyarakat serta pemerintah membatasi
arti kebudayaan lebih pada hal-hal yang bersifat lampau, warisan dari para
leluhur atau lebih sempit lagi kesenian serta adat-istiadat tinggalan
orang-orang lampau.
Sejak lama saya sebenarnya kurang sepakat dengan
adanya dinas atau kementerian kebudayaan. Saya lebih setuju jika istilah
kebudayaan sama sekali tidak digunakan untuk bidang kerja suatu lembaga sebab
kebudayaan terlampau luas. Spesifik saja, misal kementerian kesenian atau
kementerian adat nusantara. Tapi sudahlah, ketaksetujuan saya akan menjadi
sebatas ketaksetujuan yang akan terus saya dengungkan sebagai kritik. Perkara
berubah atau tidak, itu bukan urusan saya.
Membicarkan Ciamis, banyak yang mafhum bahwa
Ciamis memiliki sejarah panjang. Dengan nama Ciamis saja, daerah ini sudah
berusia 375 tahun. Sebelum bernama Ciamis, wilayah ini bernama Galuh, baik
sebagai sebuah kerajaan di bawah imperium Mataram Islam, sebuah kabupaten
ataupun sebagai nama kerajaan otonom yang konon berdiri sejak sekitar abad 6 M.
Sejarah panjang ini tentu sangat mempengaruhi karakteristik sebagian besar
masyarakat Ciamis, begitupun pemerintahnya. Sebagian masyarakat Ciamis memiliki
rasa cinta kedaerahan yang besar meski mereka lebih bangga menggunakan nama
Galuh ketimbang Ciamis. Rasa cinta daerah yang tinggi ini tentunya memiliki
dampak positif sekaligus negatif. Dengan rasa cinta ini sebagian masyarakat
Ciamis sangat percaya diri dan berhasil membangun diri mereka dengan membawa
spirit kagaluhan ini. Dengan ini pula
masyarakat terjebak dalam primordialisme bahkan sauvinisme (chauvinisme) lokal,
lebih parah mereka terjebak dalam nostalgia masa lampau tanpa bertindak nyata
untuk masa depan yang penuh misteri. Kiranya ini terjadi di tiap wilayah yang
masyarakatnya memiliki rasa cinta berlebih pada daerahnya.
Sejarah yang panjang ini pula yang banyak memberi
inspirasi bagi para penggiat seni di Ciamis untuk karya-karya mereka. Dalam
sastra, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, banyak sudah sastrawan
Ciamis yang menarik ruh atau peristiwa sejarah menjadi karya-karya dengan
kualitas yang diakui jagat sastra Jawa Barat, nasional bahkan barangkali internasional.
Sang Manarah, sebuah lakon drama 3 babak karya Noer JM, penggiat seni di Ciamis
yang merupakan murid WS Rendra, bisa jadi contoh. Naskah ini dibuat tahun 2005
berkisah tentang perebutan kekuasaan antara Sang Manarah (Ciung Wanara) dan
Kamarasa Sang Banga, putra Tamperan Barmawijaya pada jaman kerajaan Galuh
Purba. Lakon ini dipentaskan secara utuh
pertama kali pada tahun 2016 oleh kelompok Teater Tarian Mahesa-Ciamis
(TTM-C). Bidang tari pun banyak terinspirasi dari hal ini. Beberapa karya tari
kreasi baru ciptaan Rachmayanti Nilakusumah, S. Sen (Neng Peking) misalnya,
seorang seniman tari di Ciamis, yang banyak terinspirasi dari kisah-kisah
sejarah atau kesenian tradisi Ciamis. Tari Kele yang inspirasinya berasal dari
ritual Nyangku di kecamatan Panjalu,
Ciamis. Nyangku merupakan acara
penyucian benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Panjalu yang dihelat tiap
tahun. Adapula Wawan Aryaganis, seniman tari lainnya asal Ciamis yang banyak
mencipta karya tari yang sumber inspirasinya berasal dari sejarah dan
kebudayaan lampau Galuh.
Di wilayah teater, seperti telah disinggung
sebelumnya, Galuh dan segala hal tentangnya banyak menjadi sumber kisah yang
lantas dipanggungkan. Kisah Galuh ini tak hanya jadi inspirasi untuk seniman
Ciamis saja namun telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak seniman di Jawa
Barat. Dan yang terbaru, Teater Wastu, sebuah kelompok teater asal Ciamis yang
dadakan dibentuk sebagai kontingen kabupaten Ciamis pada Pasanggiri Teater,
Tari, dan Musik berhasil menyabet Penyaji Terbaik Teater tingkat provinsi
setelah sebelumnya menjuarai untuk tingkat wilayah Priangan Timur. Sebuah
prestasi yang membanggakan. Tapi?
*****
Pasanggiri Teater, Tari dan Musik adalah sebuah
kompetisi seni yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Provinsi Jawa Barat. Kompetisi ini merupakan kerjasama Disparbud Jabar dan
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI/STSI) Bandung, sebuah lembaga pendidikan
milik negara yang mengkhususkan diri di bidang seni. Kegiatan ini dimulai pertama
kali tahun 2014. Kompetisi ini terdiri dari dua tahap. Pertama semacam babak
penyisihan di tingkat wilayah. Pembagian ini berdasar pada pembagian Badan
Koordinasi Pemerintah dan Pembangunan (BKPP). Jawa Barat membagi wilayahnya
menjadi 4 BKPP yakni :
1. BKPP wilayah I meliputi : Kota Bogor, Kabupaten
Bogor, Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kota Depok.
2. BKPP wilayah II meliputi : Kabupaten Subang,
Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi.
3. BKPP wilayah III meliputi : Kota Cirebon,
Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten
Kuningan.
4. BKPP wilayah IV meliputi : Kota Bandung, Kota
Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang
(Priangan Barat); Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis,
Kota Banjar, Kabupaten Pangandaran (Priangan Timur).
Khusus untuk BKPP wilayah IV, tahap pertama (babak
penyisihan) dibagi dua antara wilayah Priangan Barat dan Priangan Timur. Jadi
secara keseluruhan Pasanggiri ini memiliki 5 babak penyisihan. Juara pada
masing-masing wilayah akan diadu kembali di tahap dua atau babak final yang
biasa diadakan di GK Sunan Ambu, ISBI Bandung.
Gelar perdananya tahun 2014, pasanggiri ini menuai
banyak kritik. Kritik terbesar tentu saja persoalan penyunatan anggaran. Selain
itu, banyak hal terkait petunjuk penyelenggaraan dan petunjuk teknis yang
dipertanyakan. Intinya penyelenggaraan untuk tahun pertama banyak mendapat
tanda merah. Untuk wilayah Priangan Timur misalnya, kegiatan berlangsung di
halaman kantor BKPP setempat. Panggung dibuat seperti panggung konser dengan
luas yang kurang memadai. Acara dilaksanakan pagi hingga sore hari. Meski
perangkat tata cahaya sudah disediakan di panggung, namun itu benar-benar tak
bisa digunakan sebab tak kuat melawan cahaya matahari pagi hingga sore hari.
Alhasil, khususnya Pasanggiri Teater yang telah menyiapkan konsep tata cahaya
sedemikan rupa, harus rela main di panggung yang sangat menyedihkan. Panggung
dan fasilitas yang sangat tidak layak untuk perlombaan seni pertunjukan
terlebih teater yang mengharuskan adanya tata cahaya. Ini wujud kebodohan,
pembodohan dan kesembronoan pemerintah dalam mengurusi kesenian.
Pihak ISBI yang banyak dikritik oleh para seniman
malah seolah diam enggan bersuara. Akademisi-akademisi seni ISBI yang
seharusnya menjadi pecerah bagi dunia seni khususnya di Jawa Barat, melalui
kegiatan ini malah turut meng-iya-i kebodohan dan pembodohan itu. Jika memang
alasannya ingin mengembalikan teater pada akar budaya lokal (yang tidak
berorietasi pada gedung pertunjukan seperti di Barat), mengapa pada tahap final
kegiatan ini malah diadakan di gedung pertunjukan tertutup? Seperti di Barat?
Selain hal-hal penyelenggaraan, hal keuangan pun
banyak dikritik. Penyunatan dan ketidaktransparanan keuangan oleh pihak pemda kota/kabupaten
melalui dinas-dinas terkait membuat kegiatan ini makin dipertanyakan. Akhirya kritik
tersasar pada kualitas kejuaraan pasanggiri tersebut. Barangkali kritik akan
kualitas kejuaraan masih bisa dibantah. Senjata andalan juri yang dalam hal ini
pun sebagai penyusun petunjuk penyelenggaraan (juklak) dan petunjuk teknis
(juknis), ialah bahwa banyak peserta yang gagal memahami juklak dan juknis tersebut.
Para kontingen dari daerah gagal menafsirkan juklak dan juknis dengan tepat.
Kegagalan penafsiran itu sebenarnya bisa dipahami akibat dari ketidakikutseraan
para seniman penggarap ketika pertemuan teknis. Mengapa seniman penggarap kerap
tidak dilibatkan ketika pertemuan teknis? Biasanya dalam pertemuan teknis,
selain membahas hal-hal teknis juga membahas hal keuangan sekaligus
pencairannya. Ini yang jadi masalah. Kalau seniman penggarap sampai tahu
keuangan yang sebenarnya, maka “jatah” untuk dinas Kota/Kabupaten terancam
sirna atau setidaknya berkurang. Ini jelas prasangka buruk saya pribadi. Namun
saya kira prasangka ini dapat dilacak dan dibuktikan menjadi sebuah fakta,
suatu ketika.
Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar