Selasa, 30 Agustus 2016

Membanding Wayang : Sebuah Tulisan Subjektif


Membanding Wayang :
Sebuah Tulisan Subjektif.

Sabtu, 20 Agustus 2016, sekitar jam 10 pagi, alun-alun Ciamis banjir pelajar. Kehadiran mereka tentu bukan demo menolak kenaikan harga rokok. Ratusan pelajar sedari SD hingga SMA membanjiri pusat kota Ciamis itu dalam rangka semacam workshop pengenalan wayang golek. Kegiatan ini merupakan rangkaian Pesona Galuh Nagari yang merupakan program (atau proyek?) Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI bekerjasama dengan Pemda Ciamis dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Rangkaian acara sehari ini dipungkas dengan pertunjukan Wayang Ajen oleh dalang Dr. Wawan Gunawan, S. Sn. M. M. atau dikenal luas dengan nama Wawan Ajen. Beliau sendiri merupakan Kapala Sub Direktorat Wisata Sejarah dan Religi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. Ia juga dikenal sebagai penggagas konsep Wayang Ajen, wayang yang konon wayang multidimensi, wayang modern. Kang Wawan, sapaan akrabnya, juga merupakan kelahiran Ciamis. Manggungnya kali ini boleh jadi manggung di kampung sendiri. Dan Bupati tentu senang dengan hal ini.

Meski tak terlalu hapal dan paham tentang wayang golek, saya termasuk seorang penyuka wayang, khususnya wayang golek. Memang kecintaan saya pada wayang golek boleh jadi terbatas pada Ki Asep Sunandar semata, pada awalnya. Namun setelah saya mengenal wayang golek lewat pertunjukan Giri Harja 3, saya jadi mulai mengenal dan menonton pertunjukan wayang dari kelompok dan dalang lain. Dari sekian pagelaran wayang yang saya nikmati, entah mengapa kecintaan saya tetap kokoh pada Ki Asep Sunandar Sunarya (Alm). Entah karena beliau yang kali pertama saya tonton, entah karena ketenarannya, karena kepiawaiannya memainkan wayang, kecerdasannya, baik secara intelektual, emotional maupun spiritual, atau entah perpaduan semuanya. Yang jelas, meski beliau kini telah wafat, saya tetap mengidolakan dan merindukannya. Bagi saya, barometer kualitas pertunjukan wayang golek dan kemampuan seorang dalang adalah garapan Ki Asep, titik. Saya fanatik? Ya, barangkali. Meski saya pun selalu mencoba menikmati tiap pertunjukan wayang dari dalang manapun, namun bayang-bayang Giri Harja 3 tetap melekat kuat dalam ingatan.

Wayang Ajen agak berbeda dengan pagelaran wayang golek pada umumnya. Dikatakan wayang multidimensi sebab pagelaran wayang ini memadukan berbagai genre kesenian seperti tari, teater, teknologi komputer, wayang fiber, dan lainnya. Setidaknya demikian pada awalnya. Pada perkembangannya, konsepnya menjadi lebih sederhana, cukup wayang golek ditambah tari, lawak, dan pengajian oleh seorang mubaligh. Cerita lakonnya pun dibuat kontekstual dan aktual. Cerita-cerita ini ditulis dan cetak sebagai pedoman sang dalang saat manggung. Tokoh-tokoh wayang lebih “dipinjam” sebagai media penyampai gagasan dalang ketimbang memainkan tokoh itu sebagai tokoh dalam cerita pewayangan pada umumnya. Musik pengiring pun tak luput dari sentuhan modernitas. Tata panggung lengkap dengan tata cahaya pun demikian. segalanya nampak tertata dan terkonsep. Bukan sekedar pagelaran wayang golek konvensional seperti yang sering disaksikan.

Dari sudut pedalangan, boleh jadi ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa. Konon ketika Ki Wawan Ajen mempresentasikan karyanya di UNPAD di hadapan para dalang-dalang, nyaris semua membantai dan menolaknya, hanya Ki Asep Sunandar yang membela dengan argumen bahwa wayang bukanlah Al-Qur’an, bukan kitab suci, bukan sesuatu yang musti baku, kaku, kering kreativitas, tanpa perubahan. Ini pula yang sering digaungkan Ki Asep ketika magelaran wayang. Jika pagelaran wayang dan dalang tak mampu mengimbangi kemajuan zaman, siap-siaplah mampus tergerus waktu. Miindung ka waktu mibapa ka zaman, demikian jargonnya.

Sependek pengetahuan saya atas Ki Asep, beliau sangat menghormati kreativitas. Beliau,  dalam proses kreatifnya, menciptakan berbagai terobosan yang pada awalnya mendapat banyak cemoohan dari para dalang, namun toh akhirnya sangat dicintai masyarakat. Bahkan beliau diakui luas sebagai maestro wayang golek. Tersebutlah tiga dalang legendaris, Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya, Ki Dalang Dede Amung Sutarya, dan Ki Dalang Cecep Supriadi. Setidaknya ini menurut salah satu versi.

Manusia adalah anak zamannya, demikian keyakinan para pemikir. Artinya, apa-apa yang diciptakan, kreatifitas macam apapun yang ditelurkan manusia takkan lepas dari zaman ketika ia hidup dan berkarya. Ki Asep, pada zaman awal penciptaan terobosannya, pastilah yang teranyar di zamannya. Kala itu perkembangan teknologi belum secanggih hari ini. Jika ditilik dari sudut hari ini, boleh jadi apa yang dipanggungkan Ki Asep bukanlah sebuah terobosan, biasa-biasa saja. Beliau masih bisa digolongkan seniman pedalangan yang konvensional. Namun jika kita cermati proses kreatifnya apalagi dengan referensi ihwal pakem pedalangan, kita akan paham bahwa yang beliau lakukan ialah sebuah terobosan yang cemerlang. Dalam keliaaran kesenimanannya, kita masih sangat mampu menemukan ruh dan bentuk-bentuk seni tradisi yang utuh. Terlebih kepiawaiannya memainkan wayang, teknik vokal yang dahsyat, kemampuan improvisasi serta materi gelaran baik yang berupa nasehat serius maupun humor-humor ala rakyat yang terasa begitu “nyawiji” dengan dalang dan wayangnya, membuat beliau memang layak disebut legenda dalang Jawa Barat, di luar segala terobosan yang beliau ciptakan. Setidaknya itu dari kacamata saya selaku apresiator wayang golek.

Bagaimana dengan Wayang Ajen? Sebagai sebuah kreativitas, pegelaran wayang golek ini layak mendapat acungan jempol. Keberanian dalang Wawan Gunawan Ajen dalam mendobrak pakem-pakem pedalangan patut mendapat apresiasi yang layak. Terlebih beliau telah mematenkan hasil karyanya secara akademis dengan menjadiakannya bahan disertasi yang ia buat tatkala menyelesaikan S3-nya di UNPAD. Wayang Ajen punya pondasi akademis yang kokoh. Segala yang hadir di panggung bisa dikata memiliki pijakan akademis yang bisa dijelaskan dan diperdebatkan. Entah berapa puluh teori yang digunakan untuk menopang pagelaran ini. Namun apakah gelaran wayang ini mampu dicintai masyarakat luas seperti mendiang sang maestro dari Giri Harja 3?

Salah satu hal yang sering menjadi bahan bincangan di masyarakat tatkala “nanggap” sebuah pagelaran seni ialah biaya. Berapa kocek yang musti dirogoh untuk mengundang Wayang Ajen? Desas-desus mengatakan, butuh dana cukup tinggi untuk mengundang grup wayang ini. Ini cukup dipahami jika dilihat dari jumlah personel yang terlibat dalam sebuah pagelaran Wayang Ajen. Belum panggung khusus dan perangkat tata cahaya serta multimedia yang musti hadir sebagai sebuah keutuhan pertunjukan dan konsep. Sebab tingginya biaya sebuah pagelaran Wayang Ajen, maka grup ini lebih sering tampil memenuhi undangan pemerintah atau digelar sebagai bagian dari program (atau proyek?) pemerintah. Profesi Wawan Ajen sebagai PNS dan jabatannya sebagai Kasudbit Wisata Sejarah dan Religi Kemenpar RI membuatnya lebih mudah menyelusup dalam kegiatan-kegiatan plat merah. Inilah salah satu hal yang menjadi perdebatan, atau keirian, para seniman lain.

Panggungan Wayang Ajen bukan didapatnya dari rasa cinta masyarakat padanya, ketenaran dan aktivitasnya hingga menjelajah lebih dari 20 negara, mendapat sekitar 15 penghargaan luar negeri, bukan didapat atas dasar kecintaan masyarakat pada kesenian tersebut, namun lebih pada pemanfaatan posisi dan jabatan sang dalang dalam pemerintahan pusat. Abuse of power? Entahlah. Namun setidaknya inilah salah satu komentar miring yang beredar luas di masyarakat, khususnya kalangan penggiat seni.   

Nada minor mustilah ada demi harmonitas sebuah musik, begitu pun kehidupan. Apa yang dilakukan Wayang Ajen pasti banyak menuai kontroversi, baik dari segi konsep dan pagelaran maupun jaringan kerja, manajemen, dan “lapak panggungan”.    

Sebelum habis tulisan ini, saya sebagai penyuka pagelaran wayang golek ingin memberi penilaian jujur. Salah satu hal yang kurang “merenah” ketika saya menikmati dalang Wawan Gunawan Ajen ialah teknik vokalnya yang “ngagebleg”. Dalam pertunjukan wayang, kemampuan teknik vokal sang dalang menjadi salah satu senjata utama. Satu orang musti memainkan sekian banyak tokoh wayang dengan vokal yang berbeda-beda. Hal yang membangun imajinasi penonton, selain gerak-gerik boneka wayang, ialah suaranya. Jika suara tokoh-tokoh wayang nyaris sama (ngagebleg), konstruksi imaji penonton tidak cukup kokoh. Rapuh. Teknik vokal ini yang saya sayangkan dari dalang yang menyelesaikan S1-nya di STSI (ISBI) Bandung ini. Imajinasi saya sering kacau jika mendengar dalang ini melontar dialog-dialognya. Siapa ini yang bicara? Perubahan suara antara satu tokoh dan tokoh lain kurang terasa, padahal ini merupakan senjata utama dalam sebuah pagelaran wayang, saya kira. Satu hal lagi yang mengganjal dari pagelaran itu ialah humor-humornya yang sering tidak pecah, tidak lucu, garing dan menjemukan. Dialog yang disiapkan jadi bahan “ger” malah melempem sama sekali sebab barangkali komedi yang hadir tak natural dan jujur. Komedi membutuhkan sebuah kejujuran.  Alih-alih mengundang “ger” penonton, logika-logika adegan absurd yang hadir   malah tak jadi sesuatu kecuali kejemuan. Ketika Cepot berdialog dengan Dawala, sekonyong-kongong datang banyak tokoh replika tokoh publik yang ada di dunia kekinian, semisal presiden RI, Mentri Parekraf, AA Gym, para waria, Satpol PP, Romy Rafael, dll. Kehadiran tokoh-tokoh itu, yang sekedar lewat dengan beberapa patah kata, yang tak nyambung dengan adegan sebelumnya, bagi saya cukup garing. Absurditas bisa jadi senjata “ger” yang dahsyat ketika takaran dan momentumnya pas. Timingnya tepat. Jika meleset, hal ini hanya akan jadi membingungkan penonton. Gaje.

Joko Widodo tiba-tiba hadir berpidato tatkala Cepot dan Dawala berdialog. Kehadiran Jokowi itu tanpa sebab apapun dan tak dikaitkan sama sekali dengan Cepot atau Dawala. Akhirnya, kemunculan wayang-wayang tokoh masyarakat tersebut tidak menjadi sesuatu (dalam bahasa Syahrini), sekedar menjadi parade wayang belaka. Berbeda dengan Ki Asep yang ujug-ujug mendatangkan Cepot tatkala pertarungan serius antara Gatotkaca dan wayang buta, atau ketika dialog serius antara Batara Guru dan Resi Narada, misalnya. Kemunculan Cepot mampu menjadi bom tawa karena memecah keseriusan. Interupsi. Semacam madzhab Brechtian dalam teater modern barangkali. Kemunculan selintas tokoh-tokoh publik kontemporer dalam adegan wayang jika dikemas dengan lebih apik saya kira bisa jadi momentum pecahnya tawa. Seperti Ki Asep yang ujug-ujug menghadirkan Cepot, atau siapapun yang tak semestinya menurut pakem.

Intinya dua hal, teknik vokal dan humor. Menyoal teknik vokal, ini lebih mudah diatasi dengan latihan, saya kira. Sedang humor, komedi, itu punya kesulitan tersendiri. Komedi tak melulu soal teknik, tapi kepekaan dan kejujuran. Butuh gerak batin dan kerendahan hati untuk menghadirkan komedi yang meledak.

Entah bijak atau tidak membandingkan Wayang Ajen dan Giri Harja 3. Entah sepadan atau tidak. Boleh jadi jika ingin sepadan, kita musti menunggu Wayang Ajen seusia Giri Harja 3. Namun apakah ia mampu bertahan dan setia pada jalan keseniannya? Ditengah godaan harta dan jabatan? Entahlah.

Boleh jadi penilaian ini datang bertolak dari kecintaan saya pada Ki Dalang Asep Sunandar yang terlampau, yang lantas menjadikannya sebagai barometer tiap pertunjukan wayang golek. Subjektif? Tentu saja. Siapa yang melarang kita untuk subjektif? Anda pun berhak.


28 Agustus 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...