Rabu, 03 Agustus 2016

Adam dan Hawa (Ekstraksi Marlam #4)

Adam and Eve by Francis Picabia (1931)

Adam dan Hawa
Renungan Marlam #4

Sejarah atau masa lalu adalah salah satu misteri yang hingga kini masih terus diperbincangkan. Meski telah berlalu namun sejarah agaknya punya magnet sendiri untuk  menarik manusia masa kini membongkar dan membawanya bahkan hingga masa depan. Banyak hal yang terjadi hari ini yang tampak misterius, jika kita lacak sejarahnya ternyata adalah hal yang wajar terjadi sebagai sebuah konsekuensi. Para pemikir dan perenung telah banyak menyimpulkan ihwal sejarah. Seorang Bung Karno bahkan berkata JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sepenting itukah sejarah? Masing-masing pasti punya jawaban yang beragam akan hal ini. Dan saya sedang tidak membicarakan ilmu sejarah atau fakta sejarah yang telah teruji secara akademis, ini sebatas pandangan pribadi tentang salah satu misteri besar sejarah : sejarah penciptaan manusia.

Nyaris semua peradaban besar memiliki keyakinan awal penciptaan. Penciptaan semesta dan manusia pertama telah banyak menyita perhatian untuk dikaji dan diperbincangkan dari berbagai sudut. Masing-masing dengan pisau analisisnya telah mencoba memecahkan misteri ini. Selain temuan-temuan ilmu pengetahuan, teks suci agama juga cukup menyumbang besar dalam hal ini. Agama Samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) punya kisah sendiri ihwal penciptaan alam semesta dan manusia pertama. Tersebutlah Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan Tuhan secara langsung (tanpa aktifitas biologis). Dalam Islam, terkisahkan Adam diciptakan Tuhan dari tanah lantas Tuhan meniupkan ruh, dan hiduplah Adam. Saya tidak tahu pada pantaran usia berapakah Adam mulai hidup. Apakah Adam dihidupkan sebagai bayi hingga mengalami batila, balita, anak-anak, dan seterusnya? Atau ia ujug-ujug dewasa (misal 25 tahun jika ukuran manusia sekarang)? Namun saya kira, untuk sementara hal itu biarlah tidak saya ketahui sebab manusia selalu butuh misteri.

Adam tak dibiarkan sendiri. Tuhan lalu menciptakan Hawa (Eve) yang berjenis kelamin perempuan. Lengkaplah sepasang manusia pertama ini, Adam yang berjenis kelamin laki-laki dan Hawa yang perempuan. Dari mereka berdualah kemudian lahir manusia-manusia yang hingga kini menghuni planet bumi. Banyak yang meyakini Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam yang terpendek. Meski bagi Tuhan tak ada hal muskil, namun saya kira “tulang rusuk” ini bukan dalam arti harfiahnya. Barangkali “tulang rusuk” adalah simbol untuk merujuk makna yang lebih dalam. Ada pula yang menafsir bahwa Hawa tercipta dari “substansi” Adam. Saya kira, substansi jelas bukan Adam dalam arti fisik. Boleh jadi Hawa secara hakikat adalah “bagian dari” Adam. Adam dan Hawa adalah dwitunggal pada muasalnya. Jika demikian, mengapa Tuhan “membelahnya” menjadi dua? Entahlah. Kita perlu kembali merenungkannya. Yang jelas, itulah keyakinan yang banyak diimani umat Islam dan juga barangkali Yahudi dan Kristen. Adam yang pertama dicipta, kemudian Hawa yang kedua.

Dua jenis kelamin yang diciptakan Tuhan kali pertama ini pada awalnya barangkali tak banyak menemukan kesulitan dalam membentuk pola relasi. Saya sulit membayangkan jika Hawa adalah seorang pemimpin gerakan feminis radikal dan Adam adalah patriarkis yang misoginis. Ya, kehidupan masa lampau agaknya belum serumit sekarang. Dalam keyakinan muslim, awal kali Adam dan Hawa hadir di bumi tidaklah berada di tempat yang sama. Adam dan Hawa “diturunkan” (harfiah atau simbolik?) terpisah. Mereka tak saling jumpa selama bertahun-tahun. Dan setelah sekian lama terpisah, di Padang Arafahlah mereka berjumpa. Mereka berumah tangga, beranak pinak dan lahirlah kita.

Perkembangan keturunan Adam ini lantas menciptakan kebudayaan dan peradaban-peradaban besar. Kebudayaan dan peradaban lahir lengkap dengan tata nilai, pandangan hidup dan struktur sosial yang pada perkembangannya menjadi sangat beragam. Keberagam ini tidak lantas mencerabut manusia dari jenis kelamin asal, lelaki dan perempuan seperti leluhurnya, Adam dan Hawa. Dari perbedaan jenis kelamin yang adalah azali ini lantas terciptalah benteng besar, ke-laki-laki-an dan ke-perempuan-an.

Masyarakat manusia masa perdana hidup dengan cara berburu dan berpindah-pindah (nomaden). Untuk berburu hewan, dibutuhkan fisik yang tangguh dan laki-lakilah yang mengambil alih tugas ini. Konon secara biologis laki-laki memang punya fisik yang lebih “kuat”. Kekuatan fisik ini kemudian mengilhami kaum lelaki untuk mengimani bahwa lelaki lebih dalam segala hal ketimbang perempuan. Dan barangkali dari sini pula dominasi lelaki atas perempuan dimulai, dominasi atas segalanya. Lelaki menganggap jenis kelaminnya lebih unggul dalam segala hal dari pada jenis kelamin perempuan.

Dominasi ini pada perkembangannya menciptakan banyak pandangan yang makin mengukuhkan superioritas lelaki. Hal ini makin menjadi hingga timbul pandangan bahwa perempuan adalah mahluk “setengah manusia”. Perempuan menjadi manusia marginal. Karena ini berjalan nyaris beribu tahun lamanya serta, meminjam istilah Prabowo, terstruktur, sistematis dan masif, maka perempuan malah seolah menikmati “derita”nya sebagai sebuah keharusan dan kodrat. Di kemudian hari sejak Adam dan Hawa hadir di bumi barulah muncul istilah-istilah dualisme kontradiktif semisal patriarki v.s. matriarki, maskulin v.s. feminim, dan sejumlah istilah ke-laki-laki-an dan ke-perempuan-an lainnya. Lelaki banyak diyakini sebagai mahluk yang lebih mengutamakan logika ketimbang perasaan dan perempuan sebaliknya, lebih mengutamakan perasaan dibanding logika. Bahkan ada perbandingan 1 : 9. Bagi laki-laki 1 adalah nasfu (termasuk juga perasaan) dan 9 adalah logika, sedang perempuan sebaliknya, 1 logika 9 nafsu (perasaan). Namun setelah sekian lama, “penindasan” ini pula yang mengilhami kaum perempuan menciptakan suatu ideologi dan gerakan emansipasi yang kini dikenal dengan feminisme.

Jika kita merujuk pada kisah penciptaan Adam dan Hawa, memang Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan, dan Hawa adalah yang kedua. Ini barangkali bisa pula menjadi referensi bahkan legitimasi bagi dominasi lelaki atas perempuan dengan dalih “yang pertama adalah yang utama”. Ditambah kisah penciptaan Hawa yang konon diciptakan dari tulang rusuk Adam itu, makin kuatlah legitimasi kuasa lelaki. Dan kadang pula sebagian perempuan menerima ini sebagai takdir. Kenomorduaan ini ditelannya sebagai kehendak Tuhan, absolut. Namun bukan manusia namanya jika tak mencari kemungkinan-kemungkinan, termasuk kemungkinan tafsir lain atas kisah penciptaan Adam Hawa.

Percakapan saya dengan seorang penyair, Toni Lesmana, dan beberapa kawan membuka cakrawala baru ihwal tafsir Adam dan Hawa. Adam memang diciptakan pertama dan Hawa memang diciptakan dari, sebut saja, tulang rusuk Adam. Namun pada perkembangannya di bumi, manusia lahir musti melalui Hawa (perempuan). Di sorga sana, yang diyakini sebagai tempat awal Adam dan Hawa tinggal, boleh jadi Adam yang utama sebab ia yang pertama dicipta, namun di bumi, lahirnya manusia mustilah dari rahim Hawa (perempuan). Hawa tercipta dari Adam, namun adam-adam selanjutnya lahir dari Hawa. Mengapa hubungan sex heterosexual menjadi syarat lahirnya manusia secara alamiah? Mengapa Tuhan menjadikan demikian? Mengapa Tuhan menjadikan manusia generatif dalam metode perkembangbiakannya? Mengapa tidak vegetatif (dengan cara membelah diri, misalnya, seperti amoeba)? Jawaban akhirnya tentu ada pada Sang Pencipta. Namun manusia sebagai mahluk berakal budi tentu juga berhak punya jawaban meski tak pernah jadi jawaban terakhir.

Saya sangka, Tuhan hendak memahamkan suatu harmoni lewat penciptaan Adam Hawa. Kepertamaan Adam selalu manusia bukan untuk menjadikan kaum adam sebagai superior atas kaum hawa. Kepertamaan ini takkan ada artinya jika yang kedua tak diciptakan sebab Adam menjadi yang pertama karena ada yang kedua. Adam mustahil jadi yang pertama jika tak ada “pembanding”, dan Hawa inilah yang “menjadikan” Adam jadi yang pertama. Lelaki (juga perempuan) lahir dari rahim perempuan (atas “suntikan” lelaki). Ini suatu harmoni saya kira. Bukan siapa lebih dari siapa. Superioritas lelaki bukanlah kodrat, bukat azali, bukan takdir namun konstruksi sosial. Seperti saya tulis di atas, kekuatan fisik yang dimiliki lelakilah yang mengilhaminya menciptakan superioritas ini. Padahal kekuatan fisik bukanlah satu-satunya dimensi kekuatan manusia. Pandangan picik ini justru menjatuhkan kemanusiaan hingga pada taraf hewan belaka. Manusia yang hanya mendewakan kekuatan fisik belaka, tak beda dengan segerombolan gorila.

Zaman dahulu, bolehlah lelaki (juga perempuan) berpikir bahwa kekuatan fisik adalah tolak ukur keunggulan manusia. Namun zaman ini, pandangan itu, walau masih ada, saya kira sudah musti dimusnahkan. Kita harus memandang manusia bukan dari satu ukuran mutlak. Perempuan akan dipandang inferior, kurang, lemah jika sebatas dilihat dari sudut fisik misalnya. Tapi dapatkah lelaki sekuat perempuan dalam melampaui derita hamil dan bersalin, misalnya? Derita menstruasi? Manusia dinilai dari “nilai pada dirinya sendiri”. Nilai-nilai yang betebaran didunia relalitas memang ciptaan (interpretasi) manusia namun itu bukan nilai pada manusia yang inheren. Nilai-nilai ini adalah kontruksi sosial yang dicipta kadang untuk tujuan dan dominasi golongan tertentu. Golongan itu menciptakan tata nilai yang akan memberi mereka keunggulan. Hingga batas ini, tata nilai masih sangat bermanfaat. Namun jika tata nilai itu dijadikan barometer absolut untuk menakar manusia yang bukan dari golongannya, ketika inilah manusia justru kehilangan kemanusiaannya.   

Manusia lelaki dan perempuan bukanlah untuk saling mengungguli, namun untuk saling membangun harmoni. Di belahan bumi yang lain, para leluhur telah sejak lama menyimbolkan ini dengan Lingga Yoni misalnya. Atau ada pula yang menisbahkan Langit pada lelaki dan Bumi pada perempuan, maka harmonitas ialah selarasnya Langit dan Bumi, lelaki dan perempuan. Dalam konteks biologis, keselaran ini terwujud dalam proses reproduksi manusia yang mensyaratkan perjumpaan sperma dan sel telur. Yang ada adalah pembagian tugas, bukan superioritas. Pembagian tugas ini musti dilakukan atas dasar proporsi yang tepat. Penilaian proporsi idelanya disandarkan pada nilai yang inheren pada manusianya, bukan pada nilai rekaan yang cenderung hegemonik.

Agustus, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...