Adam and Eve by Francis Picabia (1931)
Adam dan Hawa
Renungan Marlam #4
Sejarah atau masa lalu adalah salah satu misteri
yang hingga kini masih terus diperbincangkan. Meski telah berlalu namun sejarah
agaknya punya magnet sendiri untuk menarik
manusia masa kini membongkar dan membawanya bahkan hingga masa depan. Banyak
hal yang terjadi hari ini yang tampak misterius, jika kita lacak sejarahnya
ternyata adalah hal yang wajar terjadi sebagai sebuah konsekuensi. Para pemikir
dan perenung telah banyak menyimpulkan ihwal sejarah. Seorang Bung Karno bahkan
berkata JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sepenting itukah
sejarah? Masing-masing pasti punya jawaban yang beragam akan hal ini. Dan saya
sedang tidak membicarakan ilmu sejarah atau fakta sejarah yang telah teruji
secara akademis, ini sebatas pandangan pribadi tentang salah satu misteri besar
sejarah : sejarah penciptaan manusia.
Nyaris semua peradaban besar memiliki keyakinan
awal penciptaan. Penciptaan semesta dan manusia pertama telah banyak menyita
perhatian untuk dikaji dan diperbincangkan dari berbagai sudut. Masing-masing
dengan pisau analisisnya telah mencoba memecahkan misteri ini. Selain
temuan-temuan ilmu pengetahuan, teks suci agama juga cukup menyumbang besar
dalam hal ini. Agama Samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) punya kisah sendiri
ihwal penciptaan alam semesta dan manusia pertama. Tersebutlah Adam sebagai
manusia pertama yang diciptakan Tuhan secara langsung (tanpa aktifitas
biologis). Dalam Islam, terkisahkan Adam diciptakan Tuhan dari tanah lantas
Tuhan meniupkan ruh, dan hiduplah Adam. Saya tidak tahu pada pantaran usia
berapakah Adam mulai hidup. Apakah Adam dihidupkan sebagai bayi hingga
mengalami batila, balita, anak-anak, dan seterusnya? Atau ia ujug-ujug dewasa
(misal 25 tahun jika ukuran manusia sekarang)? Namun saya kira, untuk sementara
hal itu biarlah tidak saya ketahui sebab manusia selalu butuh misteri.
Adam tak dibiarkan sendiri. Tuhan lalu menciptakan
Hawa (Eve) yang berjenis kelamin perempuan. Lengkaplah sepasang manusia pertama
ini, Adam yang berjenis kelamin laki-laki dan Hawa yang perempuan. Dari mereka
berdualah kemudian lahir manusia-manusia yang hingga kini menghuni planet bumi.
Banyak yang meyakini Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam yang terpendek. Meski
bagi Tuhan tak ada hal muskil, namun saya kira “tulang rusuk” ini bukan dalam
arti harfiahnya. Barangkali “tulang rusuk” adalah simbol untuk merujuk makna
yang lebih dalam. Ada pula yang menafsir bahwa Hawa tercipta dari “substansi”
Adam. Saya kira, substansi jelas bukan Adam dalam arti fisik. Boleh jadi Hawa
secara hakikat adalah “bagian dari” Adam. Adam dan Hawa adalah dwitunggal pada
muasalnya. Jika demikian, mengapa Tuhan “membelahnya” menjadi dua? Entahlah.
Kita perlu kembali merenungkannya. Yang jelas, itulah keyakinan yang banyak
diimani umat Islam dan juga barangkali Yahudi dan Kristen. Adam yang pertama
dicipta, kemudian Hawa yang kedua.
Dua jenis kelamin yang diciptakan Tuhan kali
pertama ini pada awalnya barangkali tak banyak menemukan kesulitan dalam
membentuk pola relasi. Saya sulit membayangkan jika Hawa adalah seorang
pemimpin gerakan feminis radikal dan Adam adalah patriarkis yang misoginis. Ya,
kehidupan masa lampau agaknya belum serumit sekarang. Dalam keyakinan muslim,
awal kali Adam dan Hawa hadir di bumi tidaklah berada di tempat yang sama. Adam
dan Hawa “diturunkan” (harfiah atau simbolik?) terpisah. Mereka tak saling
jumpa selama bertahun-tahun. Dan setelah sekian lama terpisah, di Padang
Arafahlah mereka berjumpa. Mereka berumah tangga, beranak pinak dan lahirlah
kita.
Perkembangan keturunan Adam ini lantas menciptakan
kebudayaan dan peradaban-peradaban besar. Kebudayaan dan peradaban lahir
lengkap dengan tata nilai, pandangan hidup dan struktur sosial yang pada perkembangannya
menjadi sangat beragam. Keberagam ini tidak lantas mencerabut manusia dari
jenis kelamin asal, lelaki dan perempuan seperti leluhurnya, Adam dan Hawa. Dari
perbedaan jenis kelamin yang adalah azali ini lantas terciptalah benteng besar,
ke-laki-laki-an dan ke-perempuan-an.
Masyarakat manusia masa perdana hidup dengan cara
berburu dan berpindah-pindah (nomaden). Untuk berburu hewan, dibutuhkan fisik
yang tangguh dan laki-lakilah yang mengambil alih tugas ini. Konon secara
biologis laki-laki memang punya fisik yang lebih “kuat”. Kekuatan fisik ini
kemudian mengilhami kaum lelaki untuk mengimani bahwa lelaki lebih dalam segala
hal ketimbang perempuan. Dan barangkali dari sini pula dominasi lelaki atas
perempuan dimulai, dominasi atas segalanya. Lelaki menganggap jenis kelaminnya
lebih unggul dalam segala hal dari pada jenis kelamin perempuan.
Dominasi ini pada perkembangannya menciptakan
banyak pandangan yang makin mengukuhkan superioritas lelaki. Hal ini makin
menjadi hingga timbul pandangan bahwa perempuan adalah mahluk “setengah
manusia”. Perempuan menjadi manusia marginal. Karena ini berjalan nyaris beribu
tahun lamanya serta, meminjam istilah Prabowo, terstruktur, sistematis dan
masif, maka perempuan malah seolah menikmati “derita”nya sebagai sebuah keharusan
dan kodrat. Di kemudian hari sejak Adam dan Hawa hadir di bumi barulah muncul
istilah-istilah dualisme kontradiktif semisal patriarki v.s. matriarki, maskulin
v.s. feminim, dan sejumlah istilah ke-laki-laki-an dan ke-perempuan-an lainnya.
Lelaki banyak diyakini sebagai mahluk yang lebih mengutamakan logika ketimbang
perasaan dan perempuan sebaliknya, lebih mengutamakan perasaan dibanding
logika. Bahkan ada perbandingan 1 : 9. Bagi laki-laki 1 adalah nasfu (termasuk
juga perasaan) dan 9 adalah logika, sedang perempuan sebaliknya, 1 logika 9
nafsu (perasaan). Namun setelah sekian lama, “penindasan” ini pula yang
mengilhami kaum perempuan menciptakan suatu ideologi dan gerakan emansipasi
yang kini dikenal dengan feminisme.
Jika kita merujuk pada kisah penciptaan Adam dan
Hawa, memang Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan, dan Hawa adalah
yang kedua. Ini barangkali bisa pula menjadi referensi bahkan legitimasi bagi
dominasi lelaki atas perempuan dengan dalih “yang pertama adalah yang utama”.
Ditambah kisah penciptaan Hawa yang konon diciptakan dari tulang rusuk Adam
itu, makin kuatlah legitimasi kuasa lelaki. Dan kadang pula sebagian perempuan
menerima ini sebagai takdir. Kenomorduaan ini ditelannya sebagai kehendak
Tuhan, absolut. Namun bukan manusia namanya jika tak mencari
kemungkinan-kemungkinan, termasuk kemungkinan tafsir lain atas kisah penciptaan
Adam Hawa.
Percakapan saya dengan seorang penyair, Toni
Lesmana, dan beberapa kawan membuka cakrawala baru ihwal tafsir Adam dan Hawa. Adam
memang diciptakan pertama dan Hawa memang diciptakan dari, sebut saja, tulang
rusuk Adam. Namun pada perkembangannya di bumi, manusia lahir musti melalui
Hawa (perempuan). Di sorga sana, yang diyakini sebagai tempat awal Adam dan
Hawa tinggal, boleh jadi Adam yang utama sebab ia yang pertama dicipta, namun
di bumi, lahirnya manusia mustilah dari rahim Hawa (perempuan). Hawa tercipta
dari Adam, namun adam-adam selanjutnya lahir dari Hawa. Mengapa hubungan sex
heterosexual menjadi syarat lahirnya manusia secara alamiah? Mengapa Tuhan menjadikan
demikian? Mengapa Tuhan menjadikan manusia generatif dalam metode
perkembangbiakannya? Mengapa tidak vegetatif (dengan cara membelah diri,
misalnya, seperti amoeba)? Jawaban akhirnya tentu ada pada Sang Pencipta. Namun
manusia sebagai mahluk berakal budi tentu juga berhak punya jawaban meski tak
pernah jadi jawaban terakhir.
Saya sangka, Tuhan hendak memahamkan suatu harmoni
lewat penciptaan Adam Hawa. Kepertamaan Adam selalu manusia bukan untuk
menjadikan kaum adam sebagai superior atas kaum hawa. Kepertamaan ini takkan
ada artinya jika yang kedua tak diciptakan sebab Adam menjadi yang pertama
karena ada yang kedua. Adam mustahil jadi yang pertama jika tak ada “pembanding”,
dan Hawa inilah yang “menjadikan” Adam jadi yang pertama. Lelaki (juga
perempuan) lahir dari rahim perempuan (atas “suntikan” lelaki). Ini suatu
harmoni saya kira. Bukan siapa lebih dari siapa. Superioritas lelaki bukanlah
kodrat, bukat azali, bukan takdir namun konstruksi sosial. Seperti saya tulis
di atas, kekuatan fisik yang dimiliki lelakilah yang mengilhaminya menciptakan
superioritas ini. Padahal kekuatan fisik bukanlah satu-satunya dimensi kekuatan
manusia. Pandangan picik ini justru menjatuhkan kemanusiaan hingga pada taraf
hewan belaka. Manusia yang hanya mendewakan kekuatan fisik belaka, tak beda
dengan segerombolan gorila.
Zaman dahulu, bolehlah lelaki (juga perempuan)
berpikir bahwa kekuatan fisik adalah tolak ukur keunggulan manusia. Namun zaman
ini, pandangan itu, walau masih ada, saya kira sudah musti dimusnahkan. Kita harus
memandang manusia bukan dari satu ukuran mutlak. Perempuan akan dipandang
inferior, kurang, lemah jika sebatas dilihat dari sudut fisik misalnya. Tapi dapatkah
lelaki sekuat perempuan dalam melampaui derita hamil dan bersalin, misalnya? Derita
menstruasi? Manusia dinilai dari “nilai pada dirinya sendiri”. Nilai-nilai yang
betebaran didunia relalitas memang ciptaan (interpretasi) manusia namun itu bukan
nilai pada manusia yang inheren. Nilai-nilai
ini adalah kontruksi sosial yang dicipta kadang untuk tujuan dan dominasi
golongan tertentu. Golongan itu menciptakan tata nilai yang akan memberi mereka
keunggulan. Hingga batas ini, tata nilai masih sangat bermanfaat. Namun jika
tata nilai itu dijadikan barometer absolut untuk menakar manusia yang bukan
dari golongannya, ketika inilah manusia justru kehilangan kemanusiaannya.
Manusia lelaki dan perempuan bukanlah untuk saling
mengungguli, namun untuk saling membangun harmoni. Di belahan bumi yang lain, para
leluhur telah sejak lama menyimbolkan ini dengan Lingga Yoni misalnya. Atau ada
pula yang menisbahkan Langit pada lelaki dan Bumi pada perempuan, maka
harmonitas ialah selarasnya Langit dan Bumi, lelaki dan perempuan. Dalam konteks
biologis, keselaran ini terwujud dalam proses reproduksi manusia yang
mensyaratkan perjumpaan sperma dan sel telur. Yang ada adalah pembagian tugas,
bukan superioritas. Pembagian tugas ini musti dilakukan atas dasar proporsi
yang tepat. Penilaian proporsi idelanya disandarkan pada nilai yang inheren pada manusianya, bukan pada nilai
rekaan yang cenderung hegemonik.
Agustus, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar