Senin, 15 Agustus 2016

Seni dan Pemerintah (II)

Seniman dan Pemerintah (II)

Ada dua peristiwa yang mungkin tidak nyambung, tapi biar kelihatan cerdas, saya coba sambung-sambungkan. Dua peristiwa ini terjadi di hari yang sama, Rabu 27 Juli 2016.

Peristiwa 1
Selepas jam 12 siang, ada dua orang tak dikenal datang ke sanggar tempat saya bermarkas, laki dan perempuan. Keduanya berbusana hitam putih, PNS. Setelah mengutarakan maksudnya, pahamlah saya bahwa mereka adalah orang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang sedang melakukan pendataan seniman dan kelompok seni. Saya disuguhi formulir lima  halaman yang musti saya isi. Sembari saya mengisi, si bapak dinas yang pelaku dan pemilik salah satu sanggar seni ini berbicara lebar panjang perkara bagaimana seniman musti berlaku agar bisa “hidup”. Dari sekian obrolannya, intinya seniman harus mau “mepet” pemerintah agar bisa memperoleh bantuan. Kata bantuan ini saya pahami sebagai bantuan dana, duit.

Salah satu tujuan, atau boleh jadi tujuan utama, pendataan yang ia lakukan adalah agar kelompok-kelompok seni terdata dan dibantu membuat dokumen legal formal berupa SK dari Menkumham (Menteri Hukum dan HAM) yang konon merupakan surat “berharga” dan pembutannya memerlukan biaya antara 2,5 – 4 juta. Dengan terdatanya kelompok-kelompok seni, ia berniat membuatkan surat sakti itu secara kolektif agar biayanya lebih murah. Taksirannya, satu kelompok seni cukup membayar 1,5 juta untuk mendapat surat ini. Menurut si bapak sarjana pendidikan seni ini alumni IKIP (UPI) Bandung ini, sebuah kelompok seni tak bisa mengajukan bantuan jika kelompoknya belum memiliki surat ini. Dan jika kelompok seni tak bisa mengajukan bantuan maka ia tidak akan mendapat bantuan (baca : duit) dari pemerintah. Lantas jika tak mendapat bantuan maka segerlah kelompok itu akan mati atau paling bagus koma. Mustahil untuk maju dan berkembang. Si bapak kelahiran 1962 ini secara tak langsung  seolah meyakinkan saya bahwa bantuan pemerintah adalah hal utama yang dibutuhkan seniman-seniman dan kelompok seni, khususnya di daerah.

Usai saya mengisi formulir, ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Benda itu berupa tumpukan kertas serupa kartu yang agaknya sudah didesain sedemikan rupa. Ia menyebutnya “Kartu Seniman”. Setelah hampir satu jam bercakap, ia pun pamit pulang, hendak meneruskan pendataannya.

Peristiwa 2.   
Rabu malam, 27 Juli 2016, saya dan beberapa kawan menyaksikan pertunjukan Manorek, semacam drama tradisional yang lahir dan berkembang di daerah kecamatan Banjarsari, kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sebelum magelaran, pembawa acara membacakan profil dan sejarah kelompok Manorek yang bernama Sinar Rahayu itu. Dikatakannya kelompok ini lahir tahun 1913. Timbul tenggelam, hingga pada tahun 2015 mendapat bantuan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat (BPTP Jabar) dalam program revitalisasi kesenian tradisional. Konon kesenian Manorek sendiri telah berkembang sejak 1870an di pesisir Jawa Barat. Kesenian ini dulunya digunakan sebagai media penyebaran agama Islam.

Layaknya sajian kesenian tradisonal, Manorek pada bagian tertentu hadir begitu komunikatif  termasuk pada para pejabat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang hadir malam itu. Mereka (para pejabat) tak segan membalas lontaran para pemain dengan sawer dan joged bersama di atas panggung. Dan sudah bisa dibayangkan, pejabat yang nyawer itu otomatis  banjir pujian dan langsung mendapat predikat “birokrat kesenian yang baik”. Bahkan salah seorang pemain jelas menyebut nama salah seorang pejabat Disdikbud Ciamis yang menurutnya sangat berjasa dalam menghidupkan kembali Manorek yang nyaris punah ini (padahal program revitalisasi adalah milik BPTP Jabar). Makin dipuji, saweran pun makin bertambah, yang lain tak mau kalah. “Keakraban” itu pun makin sempurna tatkala dua pejabat Disdikbud berjoged bersama para pemain di atas panggung diiringi lagu Karémbong Kayas.

Benang merah antara peristiwa 1 dan 2, setidaknya dalam tafsiran saya, adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang merupakan representasi pemerintah. Benang merah yang lain adalah kesenian (seniman dan kelompok seni). Hal yang terlintas di kepala saya tatkala dua hal ini disambungkan adalah :

Bagaimana idealnya hubungan antara pemerintah dan seniman (kesenian)?

Saya tidak tahu apakah ada serupa undang-undang atau peraturan lain yang mengatur secara detil  tentang hal ini? Tentang bagaimana pemerintah berhubungan pada seniman? Pola hubungan apa yang musti hadir? Boleh jadi peraturan itu sudah ada sebab katanya sejak 1953 sampai 2008 saja sudah ada 108 peraturan tentang kesenian. Data ini berdasar hasil penelitian dari salah satu pusat studi hukum. Peraturan-peraturan itu berwujud undang-undang dan turunannya baik bersifat nasional maupun regional. Atau mungkin belum, sebab hingga kini kesenian, khususnya di daerah, nasibnya bak dibibir jurang. Atau bisa juga sudah ada tapi implementasinya masih ngaco.

Saya sebenarnya bingung, mau disebut apa hubungan ini. Hubungan antara pemerintah dan seniman di daerah yang saya pahami. Jika saya sebut ini seperti hubungan orang kaya (pemerintah) dan pengemis (seniman), bisa jadi tapi tidak sepenuhnya demikian dan agaknya terlalu kejam. Masa seniman yang agung ini disebut pengemis?

 Di daerah yang saya diami, pemerintah barangkali dipandang sebagai jutawan kaya raya yang punya uang tak terbatas dan seniman seolah memposisikan diri sebagai “pengemis”. Pemerintah memahami hal ini. Mereka menyadari bahwa yang dibutuhkan seniman, layaknya pengemis, adalah uang. Bantuan dana (duit) dari pemerintah seolah adalah segalanya bagi seniman. Saya kira kedua pihak punya pandangan yang sama. Pemerintah maupun seniman sama-sama berpikir bahwa bantuan dana adalah hal utama. Pejabat pemerintah yang “meloloskan” proposal si seniman dan akibatnya ia mendapat uang, adalah pejabat baik, pejabat yang bekerja, pejabat sholeh, pejabat yang benar. Seniman si penerima duit itu akan gila-gilaan memuji si pejabat dan akan terus menjalin “silaturrahiem” agar kembali mendapat bantuan atau proyek-proyek lainnya. Dan barangkali tempurung kepala birokrat kesenian pun isinya demikian. Tatkala mereka memberi uang pada seniman atau memberinya proyek (entah layak atau tidak), si birokrat itu akan menganggap dirinya sudah bekerja dengan baik.

Apakah sesederhana itu kerja pemerintah? Yang saya tangkap di daerah saya, mungkin demikian. Pemerintah memberi uang pada seniman, usialah kerjanya, harumlah namanya. Itu pun hanya oleh sebagian seniman, ya, seniman yang mendapat duit saja. Sedang di mata seniman yang tidak kebagian, pejabat itu tetaplah buruk, tidak becus bekerja, sampah dan layak di pecat. Jika giliran seniman ini yang mendapat proyek atau bantuan duit, pandangannya akan berubah 180 derajat.  

Yang menarik, putusan tentang siapa yang mendapat duit itu agaknya bukan berdasar kualitas karya seni tapi berdasar kedekatan, dan tentu aspek kooperatif. Maksudnya, pemerintah hanya akan memberi bantuan pada seniman yang kooperatif : bersedia memberi “cash back” pada si pejabat pemerintah. Pemerintah mungkin akan sangat gagap ketika berbicara kualitas seni. Mereka bahkan mungkin tidak bisa membedakan antara sebuah pertunjukan teater dan peristiwa anjing beranak. Pemerintah memanfaatkan ketergantungan seniman pada mereka untuk berlagak dewa dan tentu untuk korupsi.

Jika saja seniman memahami, mereka datang ke kantor-kantor dinas tidak harus sebagai pengemis melainkan sebagai penuntut hak. Penuntutan hak ini memang akan jadi lebay jika  feodalisme masih bercokol kuat di kepala dan sikap-sikap.  Seniman mustinya gagah saja ketika menuntut haknya berupa bantuan duit, misalnya. Dan pemerintah tidak perlu berlagak dewa ketika didatangi orang membawa proposal. Hakekatnya, negara adalah pelayan rakyat, pegawai negara adalah pegawai rakyat. Sikap saling hormat yang ada mustinya hadir dengan wajar dan proporsional.
   
Lantas bagaimana solusinya?


28 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...