Seniman dan Pemerintah (II)
Ada dua peristiwa yang mungkin tidak nyambung,
tapi biar kelihatan cerdas, saya coba sambung-sambungkan. Dua peristiwa ini
terjadi di hari yang sama, Rabu 27 Juli 2016.
Peristiwa 1
Selepas jam 12 siang, ada dua orang tak dikenal
datang ke sanggar tempat saya bermarkas, laki dan perempuan. Keduanya berbusana
hitam putih, PNS. Setelah mengutarakan maksudnya, pahamlah saya bahwa mereka
adalah orang dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang sedang
melakukan pendataan seniman dan kelompok seni. Saya disuguhi formulir lima halaman yang musti saya isi. Sembari saya
mengisi, si bapak dinas yang pelaku dan pemilik salah satu sanggar seni ini
berbicara lebar panjang perkara bagaimana seniman musti berlaku agar bisa
“hidup”. Dari sekian obrolannya, intinya seniman harus mau “mepet” pemerintah
agar bisa memperoleh bantuan. Kata bantuan ini saya pahami sebagai bantuan
dana, duit.
Salah satu tujuan, atau boleh jadi tujuan utama,
pendataan yang ia lakukan adalah agar kelompok-kelompok seni terdata dan
dibantu membuat dokumen legal formal berupa SK dari Menkumham (Menteri Hukum dan
HAM) yang konon merupakan surat “berharga” dan pembutannya memerlukan biaya
antara 2,5 – 4 juta. Dengan terdatanya kelompok-kelompok seni, ia berniat
membuatkan surat sakti itu secara kolektif agar biayanya lebih murah.
Taksirannya, satu kelompok seni cukup membayar 1,5 juta untuk mendapat surat
ini. Menurut si bapak sarjana pendidikan seni ini alumni IKIP (UPI) Bandung ini,
sebuah kelompok seni tak bisa mengajukan bantuan jika kelompoknya belum
memiliki surat ini. Dan jika kelompok seni tak bisa mengajukan bantuan maka ia
tidak akan mendapat bantuan (baca : duit) dari pemerintah. Lantas jika tak
mendapat bantuan maka segerlah kelompok itu akan mati atau paling bagus koma.
Mustahil untuk maju dan berkembang. Si bapak kelahiran 1962 ini secara tak
langsung seolah meyakinkan saya bahwa
bantuan pemerintah adalah hal utama yang dibutuhkan seniman-seniman dan
kelompok seni, khususnya di daerah.
Usai saya mengisi formulir, ia mengeluarkan
sesuatu dari tasnya. Benda itu berupa tumpukan kertas serupa kartu yang agaknya
sudah didesain sedemikan rupa. Ia menyebutnya “Kartu Seniman”. Setelah hampir
satu jam bercakap, ia pun pamit pulang, hendak meneruskan pendataannya.
Peristiwa 2.
Rabu malam, 27 Juli 2016, saya dan beberapa kawan
menyaksikan pertunjukan Manorek, semacam drama tradisional yang lahir dan
berkembang di daerah kecamatan Banjarsari, kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Sebelum magelaran, pembawa acara
membacakan profil dan sejarah kelompok Manorek yang bernama Sinar Rahayu itu.
Dikatakannya kelompok ini lahir tahun 1913. Timbul tenggelam, hingga pada tahun
2015 mendapat bantuan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat (BPTP Jabar)
dalam program revitalisasi kesenian tradisional. Konon kesenian Manorek sendiri
telah berkembang sejak 1870an di pesisir Jawa Barat. Kesenian ini dulunya
digunakan sebagai media penyebaran agama Islam.
Layaknya sajian kesenian tradisonal, Manorek pada
bagian tertentu hadir begitu komunikatif termasuk pada para pejabat dari Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang hadir malam itu. Mereka (para
pejabat) tak segan membalas lontaran para pemain dengan sawer dan joged bersama
di atas panggung. Dan sudah bisa dibayangkan, pejabat yang nyawer itu otomatis banjir
pujian dan langsung mendapat predikat “birokrat kesenian yang baik”. Bahkan
salah seorang pemain jelas menyebut nama salah seorang pejabat Disdikbud Ciamis
yang menurutnya sangat berjasa dalam menghidupkan kembali Manorek yang nyaris
punah ini (padahal program revitalisasi adalah milik BPTP Jabar). Makin dipuji,
saweran pun makin bertambah, yang
lain tak mau kalah. “Keakraban” itu pun makin sempurna tatkala dua pejabat
Disdikbud berjoged bersama para pemain di atas panggung diiringi lagu Karémbong Kayas.
Benang merah antara peristiwa 1 dan 2, setidaknya
dalam tafsiran saya, adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kab. Ciamis yang
merupakan representasi pemerintah. Benang merah yang lain adalah kesenian
(seniman dan kelompok seni). Hal yang terlintas di kepala saya tatkala dua hal
ini disambungkan adalah :
Bagaimana
idealnya hubungan antara pemerintah dan seniman (kesenian)?
Saya tidak tahu apakah ada serupa undang-undang
atau peraturan lain yang mengatur secara detil tentang hal ini? Tentang bagaimana pemerintah
berhubungan pada seniman? Pola hubungan apa yang musti hadir? Boleh jadi
peraturan itu sudah ada sebab katanya sejak 1953 sampai 2008 saja sudah ada 108
peraturan tentang kesenian. Data ini berdasar hasil penelitian dari salah satu
pusat studi hukum. Peraturan-peraturan itu berwujud undang-undang dan
turunannya baik bersifat nasional maupun regional. Atau mungkin belum, sebab
hingga kini kesenian, khususnya di daerah, nasibnya bak dibibir jurang. Atau bisa
juga sudah ada tapi implementasinya masih ngaco.
Saya sebenarnya bingung, mau disebut apa hubungan
ini. Hubungan antara pemerintah dan seniman di daerah yang saya pahami. Jika
saya sebut ini seperti hubungan orang kaya (pemerintah) dan pengemis (seniman),
bisa jadi tapi tidak sepenuhnya demikian dan agaknya terlalu kejam. Masa seniman
yang agung ini disebut pengemis?
Di daerah
yang saya diami, pemerintah barangkali dipandang sebagai jutawan kaya raya yang
punya uang tak terbatas dan seniman seolah memposisikan diri sebagai
“pengemis”. Pemerintah memahami hal ini. Mereka menyadari bahwa yang dibutuhkan
seniman, layaknya pengemis, adalah uang. Bantuan dana (duit) dari pemerintah
seolah adalah segalanya bagi seniman. Saya kira kedua pihak punya pandangan
yang sama. Pemerintah maupun seniman sama-sama berpikir bahwa bantuan dana
adalah hal utama. Pejabat pemerintah yang “meloloskan” proposal si seniman dan
akibatnya ia mendapat uang, adalah pejabat baik, pejabat yang bekerja, pejabat
sholeh, pejabat yang benar. Seniman si penerima duit itu akan gila-gilaan
memuji si pejabat dan akan terus menjalin “silaturrahiem” agar kembali mendapat
bantuan atau proyek-proyek lainnya. Dan barangkali tempurung kepala birokrat
kesenian pun isinya demikian. Tatkala mereka memberi uang pada seniman atau
memberinya proyek (entah layak atau tidak), si birokrat itu akan menganggap
dirinya sudah bekerja dengan baik.
Apakah sesederhana itu kerja pemerintah? Yang saya
tangkap di daerah saya, mungkin demikian. Pemerintah memberi uang pada seniman,
usialah kerjanya, harumlah namanya. Itu pun hanya oleh sebagian seniman, ya,
seniman yang mendapat duit saja. Sedang di mata seniman yang tidak kebagian,
pejabat itu tetaplah buruk, tidak becus bekerja, sampah dan layak di pecat.
Jika giliran seniman ini yang mendapat proyek atau bantuan duit, pandangannya akan
berubah 180 derajat.
Yang menarik, putusan tentang siapa yang mendapat
duit itu agaknya bukan berdasar kualitas karya seni tapi berdasar kedekatan,
dan tentu aspek kooperatif. Maksudnya, pemerintah hanya akan memberi bantuan
pada seniman yang kooperatif : bersedia memberi “cash back” pada si pejabat
pemerintah. Pemerintah mungkin akan sangat gagap ketika berbicara kualitas
seni. Mereka bahkan mungkin tidak bisa membedakan antara sebuah pertunjukan
teater dan peristiwa anjing beranak. Pemerintah memanfaatkan ketergantungan
seniman pada mereka untuk berlagak dewa dan tentu untuk korupsi.
Jika saja seniman memahami, mereka datang ke
kantor-kantor dinas tidak harus sebagai pengemis melainkan sebagai penuntut
hak. Penuntutan hak ini memang akan jadi lebay jika feodalisme masih bercokol kuat di kepala dan
sikap-sikap. Seniman mustinya gagah saja
ketika menuntut haknya berupa bantuan duit, misalnya. Dan pemerintah tidak
perlu berlagak dewa ketika didatangi orang membawa proposal. Hakekatnya, negara
adalah pelayan rakyat, pegawai negara adalah pegawai rakyat. Sikap saling
hormat yang ada mustinya hadir dengan wajar dan proporsional.
Lantas bagaimana solusinya?
28 Juli
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar