Selasa, 02 Agustus 2016

Muntah, Catatan Peristiwa Marlam#4


Muntah
Catatan Peristiwa Marlam#4

Suara car drifting mengaum, tidak samar-samar tapi jelas dan keras sebab hanya beberapa langkah jaraknya dari tempat kami berkumpul. Tak cukup auman mobil itu mewarnai senja, tepat di samping tempat kami berkumpul : tabuhan drum, suara vokalis merdu lengkap dengan iringan band lainnya meriuh manambah campur aduk senja itu. Belum banyak yang hadir memang. Ada enam atau tujuh orang muda-mudi berkerumun di kursi panjang milik Bu Omih, itu Eep dan teman-teman wanitanya. Pa Tori sedang asik saja terkagum dengan teknologi visual effect film Jurassci World yang ditontonnya dari komputer jinjingku, tampak sangat nyata, ujarnya.

Karpet hijau dan merah digelar Salim dan Rifki. Kang Toni, Teh Wida dan kedua buah hati mereka sudah tiba sejak siang. Tak lama karpet terhampar, Kang Deni Wahyu dan Teh Anggur datang dengan wajah segar dan sumringah. Sementara itu, di luar sedang bergerombol anak-anak manusia yang wajahnya asing kecuali Azmi dan Ikhsan yang sejak lama memang pernah bersua. Ternyata anak-anak manusia UHF (Unidentified Human Face)  itu adalah para komika dari Komunitas Stand Up Comedy Ciamis. Mereka datang ke Marlam kali ini untuk Open Mic. Ini kali pertama Majelis Sore Malam bergabung dengan Stand Up Comedy. Suatu kehormatan.

Berlatar suara knalpot mobil, decitan ban, dan live music tetangga kami memulai acara dengan Open Mic dari beberapa komika Ciamis. Baru kali ini kulihat para komika Ciamis beraksi dan, menyegarkan. Beberapa materi Stand Up  mereka sampaikan mengundang pecah jam’atul marlam. Ada beberapa komika yang memang terasa kering. Wajar kupikir. Tak ada bayi yang langsung berlari.

Sebelum maghrib, Kang Deni pamit pulang, ada pengajian katanya. Open Mic lantas terpenggal adzan maghrib. Sebagian tampak sembahyang sedang yang lain asik dengan keasikannya masing-masing. Ada pula yang tampak serius mendengar arahan Ikhsan ihwal teknik-teknik Stand Up. Ia sebagai President of Ciamis Stand Up Comedy Community agaknya merasa perlu memberi sepatah dua patah wejangan pada para anggotanya agar penampilan mereka bisa makin lezat.

Ikhsan menggakhiri Open Mic para komika Ciamis dengan sajian yang cukup memukau. Jika boleh kukata, diantara para komika itu, favoritku Azmi. Materi dan gaya penyampaiannya terasa otentik, genuine, dan cocok dengan selera humorku. Komika yang lain tentu cukup menghibur hanya saja berbeda selera dengan yang ku kehendaki. Tak masalah kupikir, berbeda dalam konteks ini barangkali adalah persoalan selera, bukan salah benar maupun baik buruk.

Open Mic usai dan Muntah-nya Hamsad Rangkuti pun kami baca bergilir setelah kami berdo’a untuk kesembuhan sang pengarang yang kabarnya sedang dirawat di RS. Muntah adalah sekian dari banyak cerpen Hamsad. Aku memilih cerpen ini sebab ingin mencoba sesuatu yang berbeda, dan tiap perjumpaan pada marlam, kami selalu berusaha membahas karya yang berbeda-beda baik dari segi penulisan maupun isi. Berdasar titi mangsa yang tertera di ujung cerpen, karya ini ditulit pada 1980. Cerpen ini kutemui dalam kumpulan cerpen Lukisan Perkawinan yang ada di rumah Kang Toni.

Ketika pembacaan, tak jarang jamaah tertawa atau nyinyir seperti tururt merasa jijik atas muntah Wien yang digambarkan cukup detil oleh Hamsad. Respon riuh tak bisa dihindari tatkala bagian-bagian romantis dibacakan. Teh Wida mengawali pembahasan usai seluruh bagian cerpen dibacakan. Ia mengutarakan pandangannya atas cerpen ini. Cerpen ini berkisah tentang sepasang kekasih, Wien dan kekasihnya si tokoh aku. Kisah berawal tatkala si aku dan Wien liburan ke Kebun Raya Bogor. Mereka berdua naik bis umum dari terminal Cililitan. Di tengah perjalanan Wien muntah dan si aku menampung muntahnya dengan kedua tangannya. Si aku ingin membuktikan kebesaran cintanya. Ia tak rela wanita pujuaannya menanggung malu karena muntahnya berserakan di lantai bis. Sejak peristiwa itu, Wien kerap muntah di depan orang banyak dan kekasihnya selalu menampung muntahnya dengan kedua tangannya. Pesta perkawinan mereka pun tak luput dari muntah. Dan lagi-lagi si aku melakukan hal yang sama. Selama tiga bulan usai pernikahan, Wien tak lagi muntah-muntah di muka umum. Muntahnya lebih bertempat, di kamar mandi. Ia sedang hamil rupanya. Suatu ketika terkisah Wien muntah di lantai kamar mandi namun ia tak segera membersihkannya. Si aku yang hendak masuk ke kamar sejurus terhenti. Disaksikannya muntah berserakan di lantai kamar mandi. Bukannya menyiram, si aku malah setengah berteriak memanggil Wien. Ia bertanya tak bisakah Wien menyiram muntahnya dengan air? Tak disangka, Wien menangis tersedu. Pertanyaan itu dianggapnya sebagai tanda-tanda kelunturan cinta sang suami.

Sekarang, menyiram muntahku saja kau sudah tidak mau. Dulu kau  mau menampungnya dengan tangan-tangan di bawah mulutku. Sekarang kau sudah tidak mencintaiku lagi! Menyiramnya saja pun kau sudah tidak mau.”
“Masih begitukah ukuran cinta bagimu, Wien? Kalau itu yang kauminta, untuk mengukur cintaku, muntahlah kau sebanyak-banyaknya ke dalam kedua tanganku. Aku akan menampungnya!

Wien pun muntah dan si aku menampungnya, seperti waktu pacaran dan di pesta pernikahan. Yang membuatnya berbeda adalah perasaan si aku. Berpuluh muntah yang di tampung, tak pernah ia merasa jijik sekali pun. Penampungan muntah yang bertubi-tubi tak membuat cintanya berkurang kepada Wien. Namun kali ini  lain. Sembari menadah muntah, si aku merasakan jijik yang sebenar-benarnya.

Teh Wida memberi pandangan bahwa inilah realitas. Cinta versi pacaran dan cinta versi rumah tangga berbeda. Penolakan si aku untuk menyiram muntah istrinya, Wien, bukan merupakan tanda kelunturan cinta. Justru boleh jadi, cintanya malah makin besar tatkala berumah tangga namun dengan wujud yang lain. Menurut Teh Wida, tokoh aku memandang persoalan muntah adalah remeh temeh yang tak perlu jadi persoalan besar dalam rumah tangga apalagi sampai menjadi barometer cinta. Namun begitulah barangkali pertikaian khas perempuan dan laki-laki, perasaan v.s. logika.

Rifki lantas memaparkan pembacaannya. Lebih kurang ia menyampaikan bahwa alih-alih menjelaskan, definisi atas suatu hal hakikatnya malah penjara yang mereduksi kedalaman makna sesuatu itu sendiri. Cinta ketika didefinisikan maka ia akan masuk dalam stagnansi dan kemutlakan, dan ini menimbulkan kekeliruan tatkala kemutlakan itu menjadi barometer bagi orang lain. Menyangka itu cinta, padahal bukan sama sekali. Bagi Wien, cinta adalah bersedia menadah muntahnya di depan orang banyak dan ini final. Selain dari tindakan ini, bukanlah wujud cinta. Sedang bagi si aku, wujud cinta tidaklah tamat dan takkan pernah sebab cinta adalah dialektika, dinamis.

Ikhsan punya pandangan lain yang unik kurasa. Pertama ia malah ingin mendapat pasangan model Wien begini yang barometer cintanya cukup dengan kesediaan pasangannya menadah muntahnya di muka umum. Kedua, perempuan macam apa yang tahun 80an muntah-muntah hanya karena naik bis Cililitan – Kebun Raya Bogor. Yang ku garis bawahi, pandangannya soal barometer cinta Wien. Lebih kurang sama dengan Rifki, namun Ikhsan melontarnya dengan gaya khas seorang komika.

Tak lama usai Oseng (Ikhsan) menyampaikan pandangannya, Eep mohon pamit hendak menarik mundur pasukannya, Teater Tangtutilu UNIGAL, sebab malam makin menjadi. Sembari itu pun, Azmi mewakili sahabat-sahabat komika menyampaikan maksud yang sama sebab malam itu ada undangan pentas yang musti mereka lakoni. Majelis pun mendadak menciut. Dari lebih 20 orang yang hadir sedari sore, kini tinggalah kami, aku, Salim, Irfan, Rifki, Orin, Kang Toni, dan Teh Wida beserta kedua buah hatinya. Tak lama pun Teh Wida pamit pulang sebab Kania nampak kurang sehat dan meminta segera merumah.

Menciutnya jumlah jamaah justru malah membuat diskusi makin melebar nyaris tak terkendali. Satu persatu kami memuntahkan pandangan kami atas cerpen ini. Pertanyaan mendasarku ialah apa yang sebenarnya ingin Hamsad sampainya melalui Muntah-nya ini. Lantas aku membuka dua kemungkinan.

Pertama, Hamsad ingin menghakimi perempuan, yang direpresentasikan Wien. Wujud cinta versi Wien sama sekali tidak berubah sejak pacaran hingga berumah tangga. Seperti yang telah disinggung di atas, wujud cinta bagi Wien mutlak : menadah muntah. Sedang pada si aku, wujud cinta berubah sejalan dengan perjalan hidup dan kedewasaan psikis mereka. Kemandegan ini yang dikritik Hamsad. Dengan landasan ini boleh jadi Hamsad adalah seorang yang sangat patriarkis dan boleh jadi juga seorang misoginis. Rifki menambahkan pertimbangan sosio-antropologis. Ka-patriarki-an Hamsad barangkali terkait karena ia orang Medan yang dalam pandangan Rifki cukup kokoh memegang patriarkisme.

Kedua, boleh jadi Hamsad tak bermaksud menghakimi siapa pun. Ia sebatas menyuguhkan persepsi cinta ala perempuan dan ala laki-laki. Perempuan yang katanya lebih mengedepankan perasaan, demikianlah persepsi cintanya, layaknya Wien. Dan lelaki yang konon lebih logis, diwakili oleh si aku yang lama kelamaan muak juga jika harus menerus menadah muntah pasangannya, terlebih setelah berumah tangga.

Rifki merespon kemungkinan pertama. Alih-alih menghakimi Wien, namun justru si aku adalah pihak yang kalah. Kekalahan ini terwujud ketika meski merasa jijik, pada akhirnya si aku tetap merelakan kedua telapak tangannya untuk kembali menampung muntah Wien. Aku justru melihat ini bukan sebagai kekalahan, melainkan kemengalahan untuk menang. Secara peristiwa barangkali si aku kalah namun secara psikis kupikir si akulah yang juara. Ia rela menadahkan tangannya karena memaklumi istrinya yang cenderung mandeg pemahaman cintanya. Simpulan sementaraku, cerpen ini sarat dengan perang gender, maskulin v.s. feminim.

Ditengah perdebatan kami, Kang Toni datang kembali. Ia malah punya pembacaan lain. Cerpen ini sebetulnya merupakan sindiran bagi kaum Adam maunpun Hawa. Kritik pada kaum lelaki ialah ketaktukan buta pada perempuan yang dicintai. Permintaan menampung muntah adalah permintaan yang irasional, dan permintaan ini datang dari kaum Hawa yang katanya memang kental dengan irasionalitas. Kaum lelaki yang katanya lebih rasional malah menuruti permintaan irasional ini. Jadi sebenarnya lelaki dalam kondisi tertentu justru lebih irasional ketimbang perempuan. Kritik pada kaum Hawa adalah laku Wien yang cenderung hiperbola. Lebay. Sebenarnya persoalan muntah tak perlu sampai jadi sumber pertikaian, tapi toh buktinya, Wien sampai menangis sejadinya hanya karena disuruh menyiram muntahnya yang berserakan di lantai kamar mandi.

Lepas dari semua pendapat kami, Kang Toni melontar bahwa Hamsad memang jago dalam mengemas cerita. Hal sepele serupa muntah bisa menjadi kisah yang menarik dibaca, diperbincangkan serta direnungkan tentunya. Hamsad menyentuh salah satu titik lemah manusia : rasa jijik. Manusia kadang sangat tangguh menghadapi musuh “the other” dan melakoni penderitaan namun malah loyo tatkala berhadapan dengan hal menjijikan. Cerpen ini bisa dibaca dengan santai dan ringan. Pembaca awam akan mudah memahami alur cerita dan tokoh yang hadir, dan barangkali pembaca akan turut tertawa atau nyinyir jijik manakala membaca cerita pendek ini. Pun bila cerpen ini dibaca lebih dalam, banyak pintu-pintu rahasia yang akan membawa kita bertualang ke alam pemahaman yang bisa jadi tak berujung.

Inilah sastra.

Mari “belajar manusia pada sastra” kata M.H. Ainun Najib.


Agustus, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...