Muntah
Catatan Peristiwa Marlam#4
Suara car
drifting mengaum, tidak samar-samar tapi jelas dan keras sebab hanya
beberapa langkah jaraknya dari tempat kami berkumpul. Tak cukup auman mobil itu
mewarnai senja, tepat di samping tempat kami berkumpul : tabuhan drum, suara
vokalis merdu lengkap dengan iringan band lainnya meriuh manambah campur aduk
senja itu. Belum banyak yang hadir memang. Ada enam atau tujuh orang muda-mudi
berkerumun di kursi panjang milik Bu Omih, itu Eep dan teman-teman wanitanya.
Pa Tori sedang asik saja terkagum dengan teknologi visual effect film Jurassci World yang ditontonnya dari komputer
jinjingku, tampak sangat nyata, ujarnya.
Karpet hijau dan merah digelar Salim dan Rifki.
Kang Toni, Teh Wida dan kedua buah hati mereka sudah tiba sejak siang. Tak lama
karpet terhampar, Kang Deni Wahyu dan Teh Anggur datang dengan wajah segar dan
sumringah. Sementara itu, di luar sedang bergerombol anak-anak manusia yang
wajahnya asing kecuali Azmi dan Ikhsan yang sejak lama memang pernah bersua.
Ternyata anak-anak manusia UHF (Unidentified
Human Face) itu adalah para komika
dari Komunitas Stand Up Comedy Ciamis. Mereka datang ke Marlam kali ini untuk
Open Mic. Ini kali pertama Majelis Sore Malam bergabung dengan Stand Up Comedy.
Suatu kehormatan.
Berlatar suara knalpot mobil, decitan ban, dan live music tetangga kami memulai acara
dengan Open Mic dari beberapa komika Ciamis. Baru kali ini kulihat para komika
Ciamis beraksi dan, menyegarkan. Beberapa materi Stand Up mereka sampaikan mengundang pecah jam’atul marlam. Ada beberapa
komika yang memang terasa kering. Wajar kupikir. Tak ada bayi yang langsung
berlari.
Sebelum maghrib, Kang Deni pamit pulang, ada
pengajian katanya. Open Mic lantas terpenggal adzan maghrib. Sebagian tampak
sembahyang sedang yang lain asik dengan keasikannya masing-masing. Ada pula
yang tampak serius mendengar arahan Ikhsan ihwal teknik-teknik Stand Up. Ia
sebagai President of Ciamis Stand Up
Comedy Community agaknya merasa perlu memberi sepatah dua patah wejangan
pada para anggotanya agar penampilan mereka bisa makin lezat.
Ikhsan menggakhiri Open Mic para komika Ciamis
dengan sajian yang cukup memukau. Jika boleh kukata, diantara para komika itu,
favoritku Azmi. Materi dan gaya penyampaiannya terasa otentik, genuine, dan cocok dengan selera
humorku. Komika yang lain tentu cukup menghibur hanya saja berbeda selera
dengan yang ku kehendaki. Tak masalah kupikir, berbeda dalam konteks ini
barangkali adalah persoalan selera, bukan salah benar maupun baik buruk.
Open Mic usai dan Muntah-nya Hamsad Rangkuti pun
kami baca bergilir setelah kami berdo’a untuk kesembuhan sang pengarang yang
kabarnya sedang dirawat di RS. Muntah adalah sekian dari banyak cerpen Hamsad.
Aku memilih cerpen ini sebab ingin mencoba sesuatu yang berbeda, dan tiap
perjumpaan pada marlam, kami selalu berusaha membahas karya yang berbeda-beda
baik dari segi penulisan maupun isi. Berdasar titi mangsa yang tertera di ujung
cerpen, karya ini ditulit pada 1980. Cerpen ini kutemui dalam kumpulan cerpen
Lukisan Perkawinan yang ada di rumah Kang Toni.
Ketika pembacaan, tak jarang jamaah tertawa atau
nyinyir seperti tururt merasa jijik atas muntah Wien yang digambarkan cukup
detil oleh Hamsad. Respon riuh tak bisa dihindari tatkala bagian-bagian
romantis dibacakan. Teh Wida mengawali pembahasan usai seluruh bagian cerpen
dibacakan. Ia mengutarakan pandangannya atas cerpen ini. Cerpen ini berkisah
tentang sepasang kekasih, Wien dan kekasihnya si tokoh aku. Kisah berawal
tatkala si aku dan Wien liburan ke Kebun Raya Bogor. Mereka berdua naik bis
umum dari terminal Cililitan. Di tengah perjalanan Wien muntah dan si aku
menampung muntahnya dengan kedua tangannya. Si aku ingin membuktikan kebesaran
cintanya. Ia tak rela wanita pujuaannya menanggung malu karena muntahnya
berserakan di lantai bis. Sejak peristiwa itu, Wien kerap muntah di depan orang
banyak dan kekasihnya selalu menampung muntahnya dengan kedua tangannya. Pesta
perkawinan mereka pun tak luput dari muntah. Dan lagi-lagi si aku melakukan hal
yang sama. Selama tiga bulan usai pernikahan, Wien tak lagi muntah-muntah di
muka umum. Muntahnya lebih bertempat, di kamar mandi. Ia sedang hamil rupanya.
Suatu ketika terkisah Wien muntah di lantai kamar mandi namun ia tak segera
membersihkannya. Si aku yang hendak masuk ke kamar sejurus terhenti. Disaksikannya
muntah berserakan di lantai kamar mandi. Bukannya menyiram, si aku malah
setengah berteriak memanggil Wien. Ia bertanya tak bisakah Wien menyiram
muntahnya dengan air? Tak disangka, Wien menangis tersedu. Pertanyaan itu
dianggapnya sebagai tanda-tanda kelunturan cinta sang suami.
“Sekarang,
menyiram muntahku saja kau sudah tidak mau. Dulu kau mau menampungnya dengan tangan-tangan di
bawah mulutku. Sekarang kau sudah tidak mencintaiku lagi! Menyiramnya saja pun
kau sudah tidak mau.”
“Masih
begitukah ukuran cinta bagimu, Wien? Kalau itu yang kauminta, untuk mengukur
cintaku, muntahlah kau sebanyak-banyaknya ke dalam kedua tanganku. Aku akan
menampungnya!”
Wien pun muntah dan si aku menampungnya, seperti
waktu pacaran dan di pesta pernikahan. Yang membuatnya berbeda adalah perasaan
si aku. Berpuluh muntah yang di tampung, tak pernah ia merasa jijik sekali pun.
Penampungan muntah yang bertubi-tubi tak membuat cintanya berkurang kepada
Wien. Namun kali ini lain. Sembari
menadah muntah, si aku merasakan jijik yang sebenar-benarnya.
Teh Wida memberi pandangan bahwa inilah realitas.
Cinta versi pacaran dan cinta versi rumah tangga berbeda. Penolakan si aku
untuk menyiram muntah istrinya, Wien, bukan merupakan tanda kelunturan cinta.
Justru boleh jadi, cintanya malah makin besar tatkala berumah tangga namun
dengan wujud yang lain. Menurut Teh Wida, tokoh aku memandang persoalan muntah
adalah remeh temeh yang tak perlu jadi persoalan besar dalam rumah tangga
apalagi sampai menjadi barometer cinta. Namun begitulah barangkali pertikaian
khas perempuan dan laki-laki, perasaan v.s. logika.
Rifki lantas memaparkan pembacaannya. Lebih kurang
ia menyampaikan bahwa alih-alih menjelaskan, definisi atas suatu hal hakikatnya
malah penjara yang mereduksi kedalaman makna sesuatu itu sendiri. Cinta ketika
didefinisikan maka ia akan masuk dalam stagnansi dan kemutlakan, dan ini menimbulkan
kekeliruan tatkala kemutlakan itu menjadi barometer bagi orang lain. Menyangka itu
cinta, padahal bukan sama sekali. Bagi Wien, cinta adalah bersedia menadah
muntahnya di depan orang banyak dan ini final. Selain dari tindakan ini,
bukanlah wujud cinta. Sedang bagi si aku, wujud cinta tidaklah tamat dan takkan
pernah sebab cinta adalah dialektika, dinamis.
Ikhsan punya pandangan lain yang unik kurasa.
Pertama ia malah ingin mendapat pasangan model Wien begini yang barometer
cintanya cukup dengan kesediaan pasangannya menadah muntahnya di muka umum.
Kedua, perempuan macam apa yang tahun 80an muntah-muntah hanya karena naik bis
Cililitan – Kebun Raya Bogor. Yang ku garis bawahi, pandangannya soal barometer
cinta Wien. Lebih kurang sama dengan Rifki, namun Ikhsan melontarnya dengan
gaya khas seorang komika.
Tak lama usai Oseng (Ikhsan) menyampaikan
pandangannya, Eep mohon pamit hendak menarik mundur pasukannya, Teater
Tangtutilu UNIGAL, sebab malam makin menjadi. Sembari itu pun, Azmi mewakili
sahabat-sahabat komika menyampaikan maksud yang sama sebab malam itu ada
undangan pentas yang musti mereka lakoni. Majelis pun mendadak menciut. Dari
lebih 20 orang yang hadir sedari sore, kini tinggalah kami, aku, Salim, Irfan,
Rifki, Orin, Kang Toni, dan Teh Wida beserta kedua buah hatinya. Tak lama pun
Teh Wida pamit pulang sebab Kania nampak kurang sehat dan meminta segera merumah.
Menciutnya jumlah jamaah justru malah membuat
diskusi makin melebar nyaris tak terkendali. Satu persatu kami memuntahkan
pandangan kami atas cerpen ini. Pertanyaan mendasarku ialah apa yang sebenarnya
ingin Hamsad sampainya melalui Muntah-nya ini. Lantas aku membuka dua
kemungkinan.
Pertama, Hamsad ingin menghakimi perempuan, yang
direpresentasikan Wien. Wujud cinta versi Wien sama sekali tidak berubah sejak
pacaran hingga berumah tangga. Seperti yang telah disinggung di atas, wujud
cinta bagi Wien mutlak : menadah muntah. Sedang pada si aku, wujud cinta
berubah sejalan dengan perjalan hidup dan kedewasaan psikis mereka. Kemandegan
ini yang dikritik Hamsad. Dengan landasan ini boleh jadi Hamsad adalah seorang
yang sangat patriarkis dan boleh jadi juga seorang misoginis. Rifki menambahkan
pertimbangan sosio-antropologis. Ka-patriarki-an Hamsad barangkali terkait
karena ia orang Medan yang dalam pandangan Rifki cukup kokoh memegang
patriarkisme.
Kedua, boleh jadi Hamsad tak bermaksud menghakimi
siapa pun. Ia sebatas menyuguhkan persepsi cinta ala perempuan dan ala
laki-laki. Perempuan yang katanya lebih mengedepankan perasaan, demikianlah
persepsi cintanya, layaknya Wien. Dan lelaki yang konon lebih logis, diwakili
oleh si aku yang lama kelamaan muak juga jika harus menerus menadah muntah
pasangannya, terlebih setelah berumah tangga.
Rifki merespon kemungkinan pertama. Alih-alih
menghakimi Wien, namun justru si aku adalah pihak yang kalah. Kekalahan ini
terwujud ketika meski merasa jijik, pada akhirnya si aku tetap merelakan kedua
telapak tangannya untuk kembali menampung muntah Wien. Aku justru melihat ini
bukan sebagai kekalahan, melainkan kemengalahan untuk menang. Secara peristiwa
barangkali si aku kalah namun secara psikis kupikir si akulah yang juara. Ia
rela menadahkan tangannya karena memaklumi istrinya yang cenderung mandeg
pemahaman cintanya. Simpulan sementaraku, cerpen ini sarat dengan perang
gender, maskulin v.s. feminim.
Ditengah perdebatan kami, Kang Toni datang
kembali. Ia malah punya pembacaan lain. Cerpen ini sebetulnya merupakan
sindiran bagi kaum Adam maunpun Hawa. Kritik pada kaum lelaki ialah ketaktukan
buta pada perempuan yang dicintai. Permintaan menampung muntah adalah
permintaan yang irasional, dan permintaan ini datang dari kaum Hawa yang
katanya memang kental dengan irasionalitas. Kaum lelaki yang katanya lebih
rasional malah menuruti permintaan irasional ini. Jadi sebenarnya lelaki dalam
kondisi tertentu justru lebih irasional ketimbang perempuan. Kritik pada kaum
Hawa adalah laku Wien yang cenderung hiperbola. Lebay. Sebenarnya persoalan
muntah tak perlu sampai jadi sumber pertikaian, tapi toh buktinya, Wien sampai
menangis sejadinya hanya karena disuruh menyiram muntahnya yang berserakan di lantai
kamar mandi.
Lepas dari semua pendapat kami, Kang Toni melontar
bahwa Hamsad memang jago dalam mengemas cerita. Hal sepele serupa muntah bisa
menjadi kisah yang menarik dibaca, diperbincangkan serta direnungkan tentunya. Hamsad
menyentuh salah satu titik lemah manusia : rasa jijik. Manusia kadang sangat
tangguh menghadapi musuh “the other” dan melakoni penderitaan namun malah loyo
tatkala berhadapan dengan hal menjijikan. Cerpen ini bisa dibaca dengan santai
dan ringan. Pembaca awam akan mudah memahami alur cerita dan tokoh yang hadir,
dan barangkali pembaca akan turut tertawa atau nyinyir jijik manakala membaca
cerita pendek ini. Pun bila cerpen ini dibaca lebih dalam, banyak pintu-pintu
rahasia yang akan membawa kita bertualang ke alam pemahaman yang bisa jadi tak
berujung.
Inilah sastra.
Mari “belajar manusia pada sastra” kata M.H. Ainun
Najib.
Agustus, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar