Senin, 15 Agustus 2016

Dari mata ke Mata : Ekstraksi Marlam#5


Dari mata ke Mata
Ekstraksi  Marlam#5

Tak banyak yang hadir sore itu. Ada yang datang ada yang pergi, begitulah Marlam hingga Sabtu lalu, seperti kehidupan. Yang membuat berbeda, ada beberapa kawan yang baru kali itu bergabung dan pasti memberi warna baru sebab tiap individu pastilah membawa energinya masing-masing. Senja itu cuaca muram. Seharian Ciamis diguyur hujan.

Yang berbeda pula, sore itu majelis dibuka dengan perkenalan agar saling mengenal lantas saling mencintai, mudah-mudahan. Ada dua orang dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IAI Darussalam, ada Rifki dari Kesos FISIP UNPAD, ada Azmi dari Ilmu Pemerintahan FISIP UNIGAL, ada Dimas dari Ilmu Hukum FH UNIGAL, dan ikhwan TTMC yang biasa hadir. Usai perkenalan, yang terasa agak formal itu, Kang Toni memberi semacam pengantar ihwal sastra. Tentang apa dan bagaimana sastra dipandang dan diperlakukan. Meski masing-masing orang punya pandangannya, namun pengantar dari Kang Toni ini setidaknya menjadi serupa daftar menu bagi yang baru kali pertama bersua dengan sastra.

Lepas isya, ada kawan baru bergabung. Adalah Kang Gito, Magister Filologi dari UNPAD  yang menyelesaikan SI nya di UPI jurusan sejarah yang cukup memberi warna pada lingkaran Marlam kali itu. Cerpen yang dibahas pun terhitung tak biasa. Maksudnya, cerpen kali ini lumayan, jika tak dibilang sangat, menguras pikir. Ruang nalar dan tafsir kita benar-benar diobok-obok  Saya yang tadinya berusaha mendekati cerpen ini dengan “biasa-biasa” saja seperti jika kita belajar sastra di SMA, ternyata juga terseret ke dunia simbol yang sangat multiinterpretatif.

Judulnya “Mata Yang Indah” karya Budi Darma. Biasa saja terdengarnya. Sekilas, judul ini terdengar seperti  cerita tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada perempuan bermata indah atau sebaliknya. Namun sama sekali cerpen ini bukan hal asmara. Ini kisah Haruman, seorang pengembara yang selalu dicurigai ke mana pun ia pergi. Pengembara yang banyak mendapat nasihat dari Ibunya tentang bagaimana idealnya melakoni hidup, tentang malaikat yang akan datang pada siapa pun menjelang kematian, tentang mimpi berjumpa dengan bidadari.

Terkisahlah Haruman mengembara, sesuai nasihat sang Ibu :

....Pergilah ke tempat-tempat jauh untuk mencari pengalaman. Pada saatnya nanti, kamu pasti akan merasa bahwa waktumu untuk kembali kepada saya telah tiba.

Dalam suatu hari pengembaraannya Haruman diserang burung besar yang mengincar matanya entah karena apa. Haruman melindungi wajahnya dengan tangannya, alhasil, tangannya terluka, penuh darah. Di hari yang lain, seperti tanpa sengaja ia berjumpa dengan Gues, lelaki rabun yang memiliki mata yang indah, yang adalah seorang pendayung perahu tambang. Tanpa kejelasan, Gues lantas pergi tanpa kembali. Setelah larut malam, saat tertidur lelap di bawah pohon rindang, Haruman malah sempat hampir diperkosa oleh istri Gues yang menyangka bahwa ia adalah suaminya :

Dengan sangat mendadak, mulut saya terkunci oleh sepasang bibir yang memagut-magut bibir saya. Saya mendengar nafas mendesah-desah ganas. Di antara pagutan-pagutan bibir, kadang-kadang saya mendengar suara lembut, namun dengan nada marah, ”Gues, mengapa kamu tidak pernah memperlakukan saya sebagai istri kamu?”

Saya sebenarnya agak bingung hendak memulai catatan ini dari mana sebab pembicaraan sangat luas, deras, dan bahkan jauh meninggalkan teks. Orin punya pendapat bahwa Haruman dan Gues adalah tokoh yang sama. Azmi berkata bahwa pohon rindang yang ada adalah sumber teka-teki. Rifki membaca ini sebagai repetisi dalam arti parafrase, pengungkapan kembali dalam bentuk lain yang memiliki arti yang sama. Dengan merujuk pada tafsir Kisah Penciptaan Adam dan Hawa (Eve) dalam Perjanjian Lama serta sedikit teori biologi, Kang Tito berteori bahwa boleh jadi Haruman dan Ibunya melakukan hubungan seks sedarah (inses), dan perjalan Haruman adalah semacam penebusan dosa. Saya bahkan berpendapat, barangkali Haruman mengalami semacam time travel experience. Belum lagi interpretasi nama-nama tokoh yang cukup rumit, latar belakang pengarang, pemaknaan simbol melalui komparasi sejumlah karya yang lain, dan banyak lagi, dan banyak lagi.

Namun setidaknya saya mencoba mengambil satu benang merah pembicaraan dari pembahasan Mata Yang Indah. Adalah Kang Toni yang pertama melontar semacam hipotesis : mungkinkah Haruman adalah Nabi Isa? Hipotesis ini lahir dengan asumsi bahwa “mata yang indah” adalah metafor dari semacam spiritualitas.

Sebuah kata mutiara mengatakan mata adalah jendela jiwa. Barangkali dari sinilah hipotesis itu bermula. Haruman, sang pengembara yang selalu dicurigai ke mana pun ia pergi, Haruman yang terkisah lahir tanpa ayah yang jelas, Haruman yang sebatang kara dalam pengembaraan, Haruman yang mengalami buta di akhir cerita, Haruman yang diserang tiba-tiba diserang burung besar, Haruman yang pendayung perahu tambang, Haruman yang nyaris diperkosa perempuan asing, Haruman yang kemudian pulang ke desanya menemani akhir nafas Ibu tercinta. Haruman yang berkata “Bidadari yang selama ini Ibu harapkan, telah datang menjemput saya.

Setelah panjang kita bercakap, meski tidak bulat dan final, setidaknya kita terkerucut pada satu pembahasan : Haruman adalah semacam orang suci. Kisah Haruman adalah kisah orang suci. Orang suci ini barangkali secara sederhana boleh dipahami sebagai nabi.

Dalam kisah nabi-nabi agama Abrahamik, nyaris semua nabi adalah aktor perubahan sosial pada masanya dengan jalan menentang otoritas, boleh juga ditafsirkan menjadi menentang kuasa pemerintah. Kisah Nabi Ibrahim cukup heroik tatkala menghancurkan patung-patung dewa dan pada akhirnya ia harus berurusan dengan raja (otoritas). Raja membakarnya, namun dengan kuasa Tuhan, selamatlah Ibrahim. Dalam Al-Qur’an, Nabi Musa adalah nabi yang paling banyak dibicarakan. Kisahnya banyak terdapat dalam kitab suci agama Islam meski secara sporadis. Kisah nabi pembelah laut merah ini barangkali salah satu yang paling dramatis dan cukup banyak difilmkan. Kisah kejar-kejaran Sang Mesias dan tentara Romawi pun menjadi kisah revolusioner lain dari nabi-nabi. Dan yang terkahir, Nabi Muhammad saw, seseorang yang oleh Michael H. Hart ditempatkan pada posisi pertama dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah dalam bukunya. Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner bangsa Arab yang semangat serta ajarannya menyebar ke seluruh penjuru bumi dengan berbagai tafsirnya. Dan sekian lainnya kisah nabi-nabi agama Semitik yang adalah penentang kuasa, revolusioner, penentang otoritas. Dan dalam revolusinya, nabi-nabi ini pasti mengalami fase kecurigaan dan dimusuhi mayoritas. Kisah ini tersirat dalam teks melalui pengembaraan Haruman yang tak lepas dari kecurigaan orang-orang.

Sisi lain, Haruman yang pada awalnya adalah seorang yang memiliki pengelihatan (mata fisik) yang normal kemudian harus kehilangan pengelihatan fisiknya tepat menjelang Ibunya meninggal. Justru ketika “buta” itulah ia berujar bahwa bidadari telah datang menjemputnya. Dalam hal ini bidadari boleh jadi merupakan simbol kenikmatan surgawi. Nikmat surgawi yang dimaksud bukanlah nikmat surgawi versi para fundamentalis yang berani mati demi 72 bidadari kelak. Nikmat surgawi yang dimaksud adalah nikmat yang dalam bahasa sufi barangkali semacam ma’rifatullah, puncak dari segala kenikmatan. Hal itu dalam cerpen dilukiskan dengan kebutaan Haruman seraya berkata ihwal bidadari yang kini menjemputnya. Justru ketika ia buta mata fisiknya, ia dijemput oleh bidadari. Dan peristiwa itu terjadi tatkala Ibunya meninggal setelah sebelumnya ia mengakui dosa-dosanya :

Haruman, dengarlah pengakuan dosa saya. Dahulu saya pernah memperkosa seorang laki-laki, entah siapa. Saya tertarik kepada matanya, mata yang terus berkilat, mengirimkan cahaya-cahaya indah. Mata dia jauh lebih indah dari kelereng mainan para dewa. Malam harinya saya tertidur pulas dan bermimpi.

Kemudian cerpen ditutup dengan :

Tepat pada saat Ibu akan mendesahkan napas terakhir dalam hidupnya, saya berkata. “Ibu, pergilah dengan damai. Sudah sejak dahulu saya memaafkan Ibu. Bidadari yang selama ini Ibu harapkan, telah datang menjemput saya.
Saya yakin, Ibu tidak sempat mendengar kalimat saya terakhir.

Ibu, dosa Ibu, sekian panjang pengembaraan Haruman, mata Haruman, serangan burung, perkosaan istri Gues, dan segala yang telah dilalui Haruman barangkali lukisan dari hal duniawi, serupa godaan menuju yang hakiki. Setelah Haruman bisa “berdamai” dengan keduniawiannya, maka didapatnyalah bidadari. Mirip dengan ajaran Hindu dan Budha barangkali. Titik Moksa didapat setelah manusia lepas dari Sasmsara. Ma’tifatullah dicapai melalui fana.

Hal lain yang cukup menguatkan tafsir ini adalah profesi Haruman sebagai pendayung perahu tambang. Sekilas tentang profesi ini dijelaskan oleh Gues yang juga adalah seorang pendayung perahu tambang. Gues berkata :

Maaf, sudah bertahun-tahun saya mengalami rabun mata. Makin hari, makin rabun mata saya. Padahal, di desa ini hanya sayalah yang mau menjadi pendayung perahu tambang. Kebetulan pula, saya tidak mempunyai kemampuan untuk bekerja apa pun selain mendayung perahu tambang saya. Penumpang perahu tambang memang sangat jarang, namun tidak berarti bahwa saya dan perahu saya tidak pernah diperlukan.

Perahu tambang adalah perahu penyebrangan yang biasanya berada di sungai. Perahu ini akan mengantar orang dari satu sisi sungai ke sisi yang lain. Beda dengan perahu lain, perahu tambang sudah memiliki semacam jalur pasti. Tambang yang dibentangkan dari sisi sungai yang satu ke sisi yang lain adalah jalurnya. Perahu tambang haruslah ada yang mengemudikan sebab tanpanya perahu itu tak pernah kembali ke sisi asalnya. Sungai adalah metafor kehidupan. Sungai tak pernah diisi air yang sama, ia selalu baru, ia mengalir, berjalan, maju, layaknya kehidupan. Berawal dari hulu, mata air, dan berakhir di muara, laut yang maha luas. Perahu tambang ini lantas kita tafsirkan menjadi semacam “jalan menuju Tuhan” dan si pendayung atau pengemudinya adalah guru pembimbing spiritual semacam mursyid atau pir dalam tradisi-tradisi  mistik.  

Sekelumit tulisan di atas adalah tafsir, interpretasi bebas tanpa rambu-rambu teori-teori sastra ala bangku kuliah. Dianggap rampung atau rumpang, inilah nyatanya tulisan ini, tulisan yang menampakkan keterbatasan dan kebodohan saya dalam menyusun tulisan. Juga pastinya, kebodohan dalam memahami sebuah teks sastra.


15 Agustus 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...