Dari mata ke Mata
Ekstraksi Marlam#5
Tak banyak yang hadir sore itu. Ada yang datang
ada yang pergi, begitulah Marlam hingga Sabtu lalu, seperti kehidupan. Yang membuat
berbeda, ada beberapa kawan yang baru kali itu bergabung dan pasti memberi
warna baru sebab tiap individu pastilah membawa energinya masing-masing. Senja itu
cuaca muram. Seharian Ciamis diguyur hujan.
Yang berbeda pula, sore itu majelis dibuka dengan
perkenalan agar saling mengenal lantas saling mencintai, mudah-mudahan. Ada dua
orang dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IAI Darussalam, ada Rifki dari Kesos
FISIP UNPAD, ada Azmi dari Ilmu Pemerintahan FISIP UNIGAL, ada Dimas dari Ilmu
Hukum FH UNIGAL, dan ikhwan TTMC yang biasa hadir. Usai perkenalan, yang terasa
agak formal itu, Kang Toni memberi semacam pengantar ihwal sastra. Tentang apa
dan bagaimana sastra dipandang dan diperlakukan. Meski masing-masing orang
punya pandangannya, namun pengantar dari Kang Toni ini setidaknya menjadi serupa
daftar menu bagi yang baru kali pertama bersua dengan sastra.
Lepas isya, ada kawan baru bergabung. Adalah Kang
Gito, Magister Filologi dari UNPAD yang
menyelesaikan SI nya di UPI jurusan sejarah yang cukup memberi warna pada
lingkaran Marlam kali itu. Cerpen yang dibahas pun terhitung tak biasa. Maksudnya,
cerpen kali ini lumayan, jika tak dibilang sangat, menguras pikir. Ruang nalar
dan tafsir kita benar-benar diobok-obok Saya
yang tadinya berusaha mendekati cerpen ini dengan “biasa-biasa” saja seperti
jika kita belajar sastra di SMA, ternyata juga terseret ke dunia simbol yang
sangat multiinterpretatif.
Judulnya “Mata Yang Indah” karya Budi Darma. Biasa
saja terdengarnya. Sekilas, judul ini terdengar seperti cerita tentang seorang lelaki yang jatuh cinta
pada perempuan bermata indah atau sebaliknya. Namun sama sekali cerpen ini
bukan hal asmara. Ini kisah Haruman, seorang pengembara yang selalu dicurigai ke
mana pun ia pergi. Pengembara yang banyak mendapat nasihat dari Ibunya tentang
bagaimana idealnya melakoni hidup, tentang malaikat yang akan datang pada siapa
pun menjelang kematian, tentang mimpi berjumpa dengan bidadari.
Terkisahlah Haruman mengembara, sesuai nasihat
sang Ibu :
....Pergilah ke tempat-tempat jauh untuk mencari pengalaman. Pada saatnya
nanti, kamu pasti akan merasa bahwa waktumu untuk kembali kepada saya telah
tiba.
Dalam suatu hari pengembaraannya Haruman diserang
burung besar yang mengincar matanya entah karena apa. Haruman melindungi
wajahnya dengan tangannya, alhasil, tangannya terluka, penuh darah. Di hari
yang lain, seperti tanpa sengaja ia berjumpa dengan Gues, lelaki rabun yang
memiliki mata yang indah, yang adalah seorang pendayung perahu tambang. Tanpa
kejelasan, Gues lantas pergi tanpa kembali. Setelah larut malam, saat tertidur
lelap di bawah pohon rindang, Haruman malah sempat hampir diperkosa oleh istri
Gues yang menyangka bahwa ia adalah suaminya :
Dengan sangat mendadak,
mulut saya terkunci oleh sepasang bibir yang memagut-magut bibir saya. Saya
mendengar nafas mendesah-desah ganas. Di antara pagutan-pagutan bibir,
kadang-kadang saya mendengar suara lembut, namun dengan nada marah, ”Gues,
mengapa kamu tidak pernah memperlakukan saya sebagai istri kamu?”
Saya sebenarnya agak bingung hendak memulai
catatan ini dari mana sebab pembicaraan sangat luas, deras, dan bahkan jauh
meninggalkan teks. Orin punya pendapat bahwa Haruman dan Gues adalah tokoh yang
sama. Azmi berkata bahwa pohon rindang yang ada adalah sumber teka-teki. Rifki membaca
ini sebagai repetisi dalam arti parafrase, pengungkapan kembali dalam bentuk
lain yang memiliki arti yang sama. Dengan merujuk pada tafsir Kisah Penciptaan Adam
dan Hawa (Eve) dalam Perjanjian Lama serta sedikit teori biologi, Kang Tito
berteori bahwa boleh jadi Haruman dan Ibunya melakukan hubungan seks sedarah
(inses), dan perjalan Haruman adalah semacam penebusan dosa. Saya bahkan
berpendapat, barangkali Haruman mengalami semacam time travel experience. Belum lagi interpretasi nama-nama tokoh
yang cukup rumit, latar belakang pengarang, pemaknaan simbol melalui komparasi sejumlah
karya yang lain, dan banyak lagi, dan banyak lagi.
Namun setidaknya saya mencoba mengambil satu
benang merah pembicaraan dari pembahasan Mata Yang Indah. Adalah Kang Toni yang
pertama melontar semacam hipotesis : mungkinkah Haruman adalah Nabi Isa? Hipotesis
ini lahir dengan asumsi bahwa “mata yang indah” adalah metafor dari semacam
spiritualitas.
Sebuah kata mutiara mengatakan mata adalah jendela
jiwa. Barangkali dari sinilah hipotesis itu bermula. Haruman, sang pengembara
yang selalu dicurigai ke mana pun ia pergi, Haruman yang terkisah lahir tanpa
ayah yang jelas, Haruman yang sebatang kara dalam pengembaraan, Haruman yang
mengalami buta di akhir cerita, Haruman yang diserang tiba-tiba diserang burung
besar, Haruman yang pendayung perahu tambang, Haruman yang nyaris diperkosa
perempuan asing, Haruman yang kemudian pulang ke desanya menemani akhir nafas
Ibu tercinta. Haruman yang berkata “Bidadari
yang selama ini Ibu harapkan, telah datang menjemput saya.”
Setelah panjang kita bercakap, meski tidak bulat
dan final, setidaknya kita terkerucut pada satu pembahasan : Haruman adalah
semacam orang suci. Kisah Haruman adalah kisah orang suci. Orang suci ini barangkali
secara sederhana boleh dipahami sebagai nabi.
Dalam kisah nabi-nabi agama Abrahamik, nyaris
semua nabi adalah aktor perubahan sosial pada masanya dengan jalan menentang
otoritas, boleh juga ditafsirkan menjadi menentang kuasa pemerintah. Kisah Nabi
Ibrahim cukup heroik tatkala menghancurkan patung-patung dewa dan pada akhirnya
ia harus berurusan dengan raja (otoritas). Raja membakarnya, namun dengan kuasa
Tuhan, selamatlah Ibrahim. Dalam Al-Qur’an, Nabi Musa adalah nabi yang paling
banyak dibicarakan. Kisahnya banyak terdapat dalam kitab suci agama Islam meski
secara sporadis. Kisah nabi pembelah laut merah ini barangkali salah satu yang
paling dramatis dan cukup banyak difilmkan. Kisah kejar-kejaran Sang Mesias dan
tentara Romawi pun menjadi kisah revolusioner lain dari nabi-nabi. Dan yang
terkahir, Nabi Muhammad saw, seseorang yang oleh Michael H. Hart ditempatkan
pada posisi pertama dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah
dalam bukunya. Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner bangsa Arab yang
semangat serta ajarannya menyebar ke seluruh penjuru bumi dengan berbagai
tafsirnya. Dan sekian lainnya kisah nabi-nabi agama Semitik yang adalah
penentang kuasa, revolusioner, penentang otoritas. Dan dalam revolusinya,
nabi-nabi ini pasti mengalami fase kecurigaan dan dimusuhi mayoritas. Kisah ini
tersirat dalam teks melalui pengembaraan Haruman yang tak lepas dari kecurigaan
orang-orang.
Sisi lain, Haruman yang pada awalnya adalah
seorang yang memiliki pengelihatan (mata fisik) yang normal kemudian harus
kehilangan pengelihatan fisiknya tepat menjelang Ibunya meninggal. Justru ketika
“buta” itulah ia berujar bahwa bidadari telah datang menjemputnya. Dalam hal
ini bidadari boleh jadi merupakan simbol kenikmatan surgawi. Nikmat surgawi
yang dimaksud bukanlah nikmat surgawi versi para fundamentalis yang berani mati
demi 72 bidadari kelak. Nikmat surgawi yang dimaksud adalah nikmat yang dalam
bahasa sufi barangkali semacam ma’rifatullah,
puncak dari segala kenikmatan. Hal itu dalam cerpen dilukiskan dengan kebutaan
Haruman seraya berkata ihwal bidadari yang kini menjemputnya. Justru ketika ia
buta mata fisiknya, ia dijemput oleh bidadari. Dan peristiwa itu terjadi
tatkala Ibunya meninggal setelah sebelumnya ia mengakui dosa-dosanya :
“Haruman, dengarlah pengakuan dosa saya. Dahulu saya pernah
memperkosa seorang laki-laki, entah siapa. Saya tertarik kepada matanya, mata
yang terus berkilat, mengirimkan cahaya-cahaya indah. Mata dia jauh lebih indah
dari kelereng mainan para dewa. Malam harinya saya tertidur pulas dan bermimpi.”
Kemudian cerpen ditutup dengan :
Tepat pada saat Ibu akan mendesahkan napas terakhir
dalam hidupnya, saya berkata. “Ibu, pergilah dengan damai. Sudah sejak dahulu
saya memaafkan Ibu. Bidadari yang selama ini Ibu harapkan, telah datang
menjemput saya.”
Saya yakin, Ibu tidak sempat mendengar kalimat saya
terakhir.
Ibu, dosa Ibu, sekian panjang pengembaraan Haruman,
mata Haruman, serangan burung, perkosaan istri Gues, dan segala yang telah
dilalui Haruman barangkali lukisan dari hal duniawi, serupa godaan menuju yang
hakiki. Setelah Haruman bisa “berdamai” dengan keduniawiannya, maka didapatnyalah
bidadari. Mirip dengan ajaran Hindu dan Budha barangkali. Titik Moksa didapat setelah manusia lepas dari
Sasmsara. Ma’tifatullah dicapai melalui fana.
Hal lain yang cukup menguatkan tafsir ini adalah
profesi Haruman sebagai pendayung perahu tambang. Sekilas tentang profesi ini
dijelaskan oleh Gues yang juga adalah seorang pendayung perahu tambang. Gues berkata
:
“Maaf, sudah bertahun-tahun saya mengalami rabun mata. Makin hari,
makin rabun mata saya. Padahal, di desa ini hanya sayalah yang mau menjadi
pendayung perahu tambang. Kebetulan pula, saya tidak mempunyai kemampuan untuk
bekerja apa pun selain mendayung perahu tambang saya. Penumpang perahu tambang
memang sangat jarang, namun tidak berarti bahwa saya dan perahu saya tidak
pernah diperlukan.”
Perahu tambang adalah perahu penyebrangan yang
biasanya berada di sungai. Perahu ini akan mengantar orang dari satu sisi
sungai ke sisi yang lain. Beda dengan perahu lain, perahu tambang sudah
memiliki semacam jalur pasti. Tambang yang dibentangkan dari sisi sungai yang
satu ke sisi yang lain adalah jalurnya. Perahu tambang haruslah ada yang
mengemudikan sebab tanpanya perahu itu tak pernah kembali ke sisi asalnya. Sungai
adalah metafor kehidupan. Sungai tak pernah diisi air yang sama, ia selalu
baru, ia mengalir, berjalan, maju, layaknya kehidupan. Berawal dari hulu, mata
air, dan berakhir di muara, laut yang maha luas. Perahu tambang ini lantas kita
tafsirkan menjadi semacam “jalan menuju Tuhan” dan si pendayung atau
pengemudinya adalah guru pembimbing spiritual semacam mursyid atau pir dalam
tradisi-tradisi mistik.
Sekelumit tulisan di atas adalah tafsir,
interpretasi bebas tanpa rambu-rambu teori-teori sastra ala bangku kuliah. Dianggap
rampung atau rumpang, inilah nyatanya tulisan ini, tulisan yang menampakkan
keterbatasan dan kebodohan saya dalam menyusun tulisan. Juga pastinya, kebodohan
dalam memahami sebuah teks sastra.
15
Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar