Jang,
apa kabarmu hari ini? Lama sekali aku tak jumpa kamu. Ah, bukan lama, tapi
belum pernah sama sekali. Baru sekarang kita bersua tapi sepertinya aku sudah
lama sekali mengenalmu. Kamu seperti hantu dari masa lalu, yang mustahil musnah
sebelum aku benar-benar mati. Ya, Jang, demikianlah rumus kehidupan yang aku
pahami. Bahwa hidup kita bukan ujug-ujug, bukan mendadak jadi, tapi adalah akumulasi dari masa lalu dan masa lalu. Tidakkah
sedetik yang lalu juga adalah masa silam?
Kopi,
Jang? Ngopinya sambil makan camilan nangka goreng bikinan istriku. Kemarin ada
tetangga kasih nangka yang telalu matang, sehari sudah mulai busuk-busuk. Menggorengnya
dengan tepung adalah cara kami menikmati kebusukan nangka yang tak bisa
terelakkan. Demikianlah manusia, Jang. Dan biar hidup selalu asyik memang
mungkin musti begitu: kalaupun nasi sudah jadi bubur, tinggal tambahkan saja
bumbu sesuai selera, dan kita santap dengan riang gembira. Kan manusia sudah
dibekali kreatifitas oleh Sang Maha, ya tinggal digunakan.
Terima
kasih lho sebelumnya kamu mau mampir kemari dan menemani minum kopi. Akhir-akhir
ini jarang ada yang berkunjung kemari. Mungkin karena rumahku jauh dari kota
tempat sebagian besar kawanku berumah. Atau barangkali sudah merasa cukup degan
jumpa di media sosial saja. Apakah silaturahiem virtual macam itu benar-benar
mampu menggantikan perjumpaan macam ini?
Aku
setuju, Jang. Perjumpaan tubuh memang tidak bisa diwakili dengan hanya video
call apalagi sebatas berbalas komentar di FB atau twitter. Tidak, Jang. Tidak tergantikan.
Tapi silaturrahiem virtual macam itu menurutku perlu juga. Sebab zaman memang
sudah seperti ini. Yang maya kadang-kadang terasa lebih nyata ketimbang yang
nyata itu sendiri.
Lihat
saja orang-orang yang berdebat di FB atau perang di twitter. Mereka serasa
lebih serius menanggapi omongan jempol, maksudku omongan hasil ketikan jempol, ketimbang berdiskusi wajah ketemu wajah. Tentu
akan berbeda rasanya, Jang. Lihat saja hari ini, aku dan kamu duduk berhadapan,
menikmati kopi dan nangka goreng, bercakap tentang ini itu, tentang banyak hal
tanpa sinyal 4G dan kuota, dan percakapan kita sejauh ini lancar-lancar saja. Dan
yang paling penting aku menikmatinya. Tidakkah ini lebih manusiawi? Aku bisa
berbicara denganmu sembari melihat kamu bernafas, memperhatikan gerak-gerikmu,
air mukamu. Aku menangkap hampir semua bahasa komunikasimu. Apa? Video Call?
Menurutku
tidak, Jang. Video call, meski aku bisa lihat wajahmu, tetap saja tidak seutuh
jika kita berjumpa di alam nyata macam ini. Aku bisa cium baumu. Hal itu tentu
tidak bisa aku lakukan jika yang kutatap hanyalah layar gawai atau komputer.
Memang,
ini cara purba. Tapi aku lebih menyukainya. Aku tidak paksa kamu harus
sependapat dengaku. Boleh kita berbeda tapi aku harap kita bisa saling
menghormati. Oh, tidak, Jang, aku bukan nyontek dari para politisi itu. Memang itu
kalimat sloganistik yang dewasa ini ramai diucapkan politisi. Katanya untuk
meredam panasnya pemilu. Tapi menurutku itu cuma akting murahan saja. Aku
berani sombong. Aku mengatakan kalimat
itu, barusan, tentang menghormati perbedaan, lebih tulus ketimbang sejuta politisi
yang mengatakan itu berulang kali.
Bukan
berburuk sangka, Jang. Aku sih realistis saja. Kamu lihat sendiri cara mereka
berkampanye, apalagi di media sosial. Mereka bilang menghormati perbedaan tapi
cara mereka berkampanye tidak mencerminkan itu. Konyol sekali. Bullshit…!
Oh,
maaf. Aku tidak tahu kamu seorang anggota tim kamanye, Jang. Maaf, kalau kamu
tersinggung. Aku benar-benar tidak bermaksud menyinggung. Aku hanya
mengutarakan pendapat dan aku kira banyak orang yang sependapat denganku prihal
itu.
Iya,
aku sudah menebak pasti kamu berkata demikian. Demikianlah kalian. Ketika berhadapan
dengan pernyataan macam yang aku katakan barusan kalian pasti bilang itu bagian
dari strategi kampanye. Bahwa menjelek-jelekkan lawan dengan fitnah dan hoax
itu bagian dari strategi kampanye? Lho, kan kamu yang bilang tadi bahwa apa-apa
yang kalian tulis dan sebarkan di media sosial itu adalah bagian dari strategi
kampanye? Dan yang aku temukan, kalian itu lebih banyak menyerang lawan,
menyebar fitnah dan berita bohong ketimbang membincangkan gagasan-gagasan
konstruktif dan memberi solusi alternatif yang masuk akal.
Ah,
sama saja. Buatku tim kamu atau lawanmu sama saja. Cara-cara kalian berkampanye
sangat tidak beradab, kontra edukasi, destruktif terhadap akal sehat dan slogan
kalian sendiri: menghormati perbedaan. Ya, mungkin petinggi kalian sering bicara
yang baik-baik di depan wartawan. Itu kan cuma akting saja. Pencitraan. Tipu-tipu
saja, Jang. Politik kan ada panggung depan dan panggung belakang. Akui saja. Seperti
debat kemarin itu, bukankah itu kompetisi yang konyol? Tipu-tipu?
Bukan.
Bukan maksudku menghina. Ayolah, Jang. Lihat pakai akal sehat, jangan pakai
fanatisme dulu. Memihak boleh, tapi jangan sampai akal sehal kita auto konslet
sedetik setelah memantapkan dukungan politik. Jagoan kalian kan bukan malaikat,
Jang. Pasti ada saja salah dan kurangnya. Mauku, ya kekuragan itu akui saja. Masyarakat
juga kan tidak bodoh-bodoh amat, Jang. Mereka sadar ini bukan pemilihan dewa
atau tuhan. Ya, yang wajar saja.
Lho,
wajar bagaimana? Apa kamu anggap wajar kalau yang katanya kompetisi lima
tahunan ini disebut perang partai tuhan versus partai setan? Wajarkah? Apakah kamu
bilang wajar kalau ada klaim bahwa barangsiapa memilih si anu dijamin masuk
surga? Ayolah! Akal sehat macam apa yang bilang itu wajar?
Kalau
begini terus, aku akan menyimpukan bahwa demokrasi kita akhirnya hanya
demokrasi tipu-tipu. Demokrasi yang dibangun diatas kebohongan-kebohongan. Sebenarnya,
Jang, aku beranggapan bahwa boleh saja sistem kita demokrasi tapi jauh di dalam
kepala, mentalitas kita masih sama sejak VOC datang kemari. Akhirnya demokrasi
kita demokrasi rasa feodal. Demokrasi feodalistik. Alam pikir kebanyakan dari
kita belum siap dengan demokrasi yang betul-betul demokratis.
Memang,
Jang, proses. Kita tidak bisa ujug-ujug jadi demokratis sampai ke dalam
pikiran. Sejarah feodalisme kita sangatlah panjang dan mengakar menembus
ubun-ubun. Tapi aku mohon padamu dan kawan-kawanmu. Buatlah proses pendewasaan
demokrasi yang waras, asyik dan penuh kegembiraan dan cinta kasih. Jangan sampai
nurani dan akal sehat kita terpaksa dimakamkan atas nama menegakkan demokrasi. Kan
malah absurd.
Aduh,
maaf, Jang. Karena lupa menghisap asap tembakau jadinya percakapan kita panas
tidak keruan. Mau bako?
Panjalu,
29 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar