Selasa, 29 Januari 2019

Demokrasi Tipu-tipu

Jang, apa kabarmu hari ini? Lama sekali aku tak jumpa kamu. Ah, bukan lama, tapi belum pernah sama sekali. Baru sekarang kita bersua tapi sepertinya aku sudah lama sekali mengenalmu. Kamu seperti hantu dari masa lalu, yang mustahil musnah sebelum aku benar-benar mati. Ya, Jang, demikianlah rumus kehidupan yang aku pahami. Bahwa hidup kita bukan ujug-ujug, bukan mendadak jadi, tapi adalah  akumulasi dari masa lalu dan masa lalu. Tidakkah sedetik yang lalu juga adalah masa silam?
Kopi, Jang? Ngopinya sambil makan camilan nangka goreng bikinan istriku. Kemarin ada tetangga kasih nangka yang telalu matang, sehari sudah mulai busuk-busuk. Menggorengnya dengan tepung adalah cara kami menikmati kebusukan nangka yang tak bisa terelakkan. Demikianlah manusia, Jang. Dan biar hidup selalu asyik memang mungkin musti begitu: kalaupun nasi sudah jadi bubur, tinggal tambahkan saja bumbu sesuai selera, dan kita santap dengan riang gembira. Kan manusia sudah dibekali kreatifitas oleh Sang Maha, ya tinggal digunakan.
Terima kasih lho sebelumnya kamu mau mampir kemari dan menemani minum kopi. Akhir-akhir ini jarang ada yang berkunjung kemari. Mungkin karena rumahku jauh dari kota tempat sebagian besar kawanku berumah. Atau barangkali sudah merasa cukup degan jumpa di media sosial saja. Apakah silaturahiem virtual macam itu benar-benar mampu menggantikan perjumpaan macam ini?
Aku setuju, Jang. Perjumpaan tubuh memang tidak bisa diwakili dengan hanya video call apalagi sebatas berbalas komentar di FB atau twitter. Tidak, Jang. Tidak tergantikan. Tapi silaturrahiem virtual macam itu menurutku perlu juga. Sebab zaman memang sudah seperti ini. Yang maya kadang-kadang terasa lebih nyata ketimbang yang nyata itu sendiri.
Lihat saja orang-orang yang berdebat di FB atau perang di twitter. Mereka serasa lebih serius menanggapi omongan jempol, maksudku omongan hasil ketikan jempol,  ketimbang berdiskusi wajah ketemu wajah. Tentu akan berbeda rasanya, Jang. Lihat saja hari ini, aku dan kamu duduk berhadapan, menikmati kopi dan nangka goreng, bercakap tentang ini itu, tentang banyak hal tanpa sinyal 4G dan kuota, dan percakapan kita sejauh ini lancar-lancar saja. Dan yang paling penting aku menikmatinya. Tidakkah ini lebih manusiawi? Aku bisa berbicara denganmu sembari melihat kamu bernafas, memperhatikan gerak-gerikmu, air mukamu. Aku menangkap hampir semua bahasa komunikasimu. Apa? Video Call?
Menurutku tidak, Jang. Video call, meski aku bisa lihat wajahmu, tetap saja tidak seutuh jika kita berjumpa di alam nyata macam ini. Aku bisa cium baumu. Hal itu tentu tidak bisa aku lakukan jika yang kutatap hanyalah layar gawai atau komputer.
Memang, ini cara purba. Tapi aku lebih menyukainya. Aku tidak paksa kamu harus sependapat dengaku. Boleh kita berbeda tapi aku harap kita bisa saling menghormati. Oh, tidak, Jang, aku bukan nyontek dari para politisi itu. Memang itu kalimat sloganistik yang dewasa ini ramai diucapkan politisi. Katanya untuk meredam panasnya pemilu. Tapi menurutku itu cuma akting murahan saja. Aku berani sombong.  Aku mengatakan kalimat itu, barusan, tentang menghormati perbedaan, lebih tulus ketimbang sejuta politisi yang mengatakan itu berulang kali.
Bukan berburuk sangka, Jang. Aku sih realistis saja. Kamu lihat sendiri cara mereka berkampanye, apalagi di media sosial. Mereka bilang menghormati perbedaan tapi cara mereka berkampanye tidak mencerminkan itu. Konyol sekali. Bullshit…!
Oh, maaf. Aku tidak tahu kamu seorang anggota tim kamanye, Jang. Maaf, kalau kamu tersinggung. Aku benar-benar tidak bermaksud menyinggung. Aku hanya mengutarakan pendapat dan aku kira banyak orang yang sependapat denganku prihal itu.
Iya, aku sudah menebak pasti kamu berkata demikian. Demikianlah kalian. Ketika berhadapan dengan pernyataan macam yang aku katakan barusan kalian pasti bilang itu bagian dari strategi kampanye. Bahwa menjelek-jelekkan lawan dengan fitnah dan hoax itu bagian dari strategi kampanye? Lho, kan kamu yang bilang tadi bahwa apa-apa yang kalian tulis dan sebarkan di media sosial itu adalah bagian dari strategi kampanye? Dan yang aku temukan, kalian itu lebih banyak menyerang lawan, menyebar fitnah dan berita bohong ketimbang membincangkan gagasan-gagasan konstruktif dan memberi solusi alternatif yang masuk akal.
Ah, sama saja. Buatku tim kamu atau lawanmu sama saja. Cara-cara kalian berkampanye sangat tidak beradab, kontra edukasi, destruktif terhadap akal sehat dan slogan kalian sendiri: menghormati perbedaan. Ya, mungkin petinggi kalian sering bicara yang baik-baik di depan wartawan. Itu kan cuma akting saja. Pencitraan. Tipu-tipu saja, Jang. Politik kan ada panggung depan dan panggung belakang. Akui saja. Seperti debat kemarin itu, bukankah itu kompetisi yang konyol? Tipu-tipu?
Bukan. Bukan maksudku menghina. Ayolah, Jang. Lihat pakai akal sehat, jangan pakai fanatisme dulu. Memihak boleh, tapi jangan sampai akal sehal kita auto konslet sedetik setelah memantapkan dukungan politik. Jagoan kalian kan bukan malaikat, Jang. Pasti ada saja salah dan kurangnya. Mauku, ya kekuragan itu akui saja. Masyarakat juga kan tidak bodoh-bodoh amat, Jang. Mereka sadar ini bukan pemilihan dewa atau tuhan. Ya, yang wajar saja.
Lho, wajar bagaimana? Apa kamu anggap wajar kalau yang katanya kompetisi lima tahunan ini disebut perang partai tuhan versus partai setan? Wajarkah? Apakah kamu bilang wajar kalau ada klaim bahwa barangsiapa memilih si anu dijamin masuk surga? Ayolah! Akal sehat macam apa yang bilang itu wajar?
Kalau begini terus, aku akan menyimpukan bahwa demokrasi kita akhirnya hanya demokrasi tipu-tipu. Demokrasi yang dibangun diatas kebohongan-kebohongan. Sebenarnya, Jang, aku beranggapan bahwa boleh saja sistem kita demokrasi tapi jauh di dalam kepala, mentalitas kita masih sama sejak VOC datang kemari. Akhirnya demokrasi kita demokrasi rasa feodal. Demokrasi feodalistik. Alam pikir kebanyakan dari kita belum siap dengan demokrasi yang betul-betul demokratis.
Memang, Jang, proses. Kita tidak bisa ujug-ujug jadi demokratis sampai ke dalam pikiran. Sejarah feodalisme kita sangatlah panjang dan mengakar menembus ubun-ubun. Tapi aku mohon padamu dan kawan-kawanmu. Buatlah proses pendewasaan demokrasi yang waras, asyik dan penuh kegembiraan dan cinta kasih. Jangan sampai nurani dan akal sehat kita terpaksa dimakamkan atas nama menegakkan demokrasi. Kan malah absurd.
Aduh, maaf, Jang. Karena lupa menghisap asap tembakau jadinya percakapan kita panas tidak keruan. Mau bako?
 
Panjalu, 29 Januari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ciamis Jadi Galuh: Lagu Lama Kaset Baru?

  “Duh, meni norowélang kitu ngadongéngkeun Situ Panjalu. Na urang mana kitu ujang téh?” “Abi kawit mah ti Panjalu, Galuh palihan kalér.” ...