Sejak Desember
2019 dunia diguncangkan oleh kehadiran mahluk berukuran kira-kira 125 nanometer
yang kemudian dinamai SARS-CoV-2 atau tenar disebut Virus Corona. Per 20 Maret 2020,
182 negara telah melaporkan adanya kasus individu yang positif terinfeksi virus
ini di wilayah mereka. China masih yang tetinggi (80.967 kasus) disusul Italia
(41.035 kasus) dan Iran (18.408 kasus). Indonesia sendiri berada di peringkat
29 dengan 369 kasus. Ini data menurut www.worldometers.info
yang saya akses pada 20 Maret 2020 pukul 17.13 WIB.
Berbagai cara
diupayakan untuk mencegah penularan virus yang muasalnya belum diketahui pasti
ini. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) secara nasional. Sebagian lain
tidak,—atau belum?—.temasuk Indonesia. Pemerintah “hanya” baru mengimbau
beberapa hal: penjarakkan sosial (social
distancing), bekerja dari rumah (work
from home), belajar dan beribadah di rumah, isolasi diri atau karantina
rumah, dan pembatasan beberapa aktivitas warga yang berpotensi terjadinya
konsentrasi massa.
Dikutip dari asiantimes.com Indonesia menduduki
ranking teratas untuk tingkat kematian (mortality
rate) akibat virus yang menyerang saluran pernafasan ini. Tingkat kematian di
Indonesia mencapai 8,37%, lebih tinggi dari tingkat kematian dunia sekitar
4,07%.
Dengan angkat
kematian setinggi itu, sebagian masyarakat masih tenang-tenang saja menghadapi
pandemi ini. Imbauan pemerintah untuk membatasi aktivitas di luar rumah, masih
banyak dianggap angin lalu oleh sebagian masyarakat, terlebih di daerah yang
konon “masih steril.”
Di kampung saya,
Corona tidak banyak berdampak pada kehidupan masyarakat kecuali liburnya anak-anak
sekolah dari rutinitas berseragam. Warga masih berkegiatan seperti biasa, pasar
masih ramai, dan harga-harga kebutuhan pokok masih stabil. Tidak ada kelangkaan
kebutuhan pokok. Semua tampak normal. Objek wisata Situ Lengkong andalan
Kecamatan Panjalu, masih tetap beroperasi. Bahkan peringatan Isra Mi’raj atau
familiar disebut Rajaban masih digelar di beberapa tempat.
Warga di sini, mungkin,
tidak bermaksud membangkang imbauan pemerintah atau menganggap remeh virus
mematikan ini. Mereka punya argumen logis untuk tindakan mereka. Namun, saya
kira ada variabel yang diremehkan dari penalaran sebagian warga di sini,
mungkin juga warga-warga di tempat lain.
“Ah, Corona mah aya na gé di Jakarta. Paling deukeut
di Bandung. Jauh kénéh ka dieu mah.”
(Ah, Corona itu
adanya di Jakarta. Paling dekat, ya, di Bandung. Masih jauh dari sini.)
Argumen itu yang
jadi andalan sebagian warga di kampung saya untuk menjustifikasi normalitas
kami. Jakarta–Panjalu memang jauh secara jarak. Jangankan begitu, Bandung–Panjalu
saja berjarak 100 km lebih. Itu fakta! Tapi, mereka lupa bahwa mobilitas warga
Panjalu juga tinggi. Yang paling nyata, ada transportasi umum dengan rute
Bandung–Panjalu. Tiap hari, puluhan
angkutan umum itu pulang-pergi dari dan ke Terminal Panjalu.
Sebagaimana
kecamatan di daerah-daerah pada umumnya, Terminal Panjalu juga masih berada
satu komplek dengan pasar dan alun-alun Panjalu. Singkatnya, Terminal Panjalu berada
di jantung keramaian Panjalu. Di sana terkonsentrasi puluhan orang dengan
berbagai kepentingan dan profesi. Tiap hari orang berdatangan dari Bandung atau
pergi ke sana, ke tempat yang telah terpapar Virus Corona. Dan kita—setidaknya saya—tidak
tahu pasti apa yang pendatang itu lakukan di ibu kota sana, ke mana saja mereka
pergi, dan siapa saja yang mereka temui.
Meski Panjalu
berstatus nol kasus positif Corona, namun bukan berarti bisa santuy aja. Ketika Desember 2019, pemerintah China melaporkan adanya kasus
pneumonia “baru” di Wuhan yang diduga berasal dari virus SARS-CoV-2, kita
tenang-tenang saja. “Wah, di China. Jauh!” Namun, hanya berselang 3 bulan,
Jokowi mengumumkan kasus #1 dan #2 Virus Corona di Indonesia. Dan tidak
menunggu lama, kini—masih di bulan yang sama—angkanya sudah sampai 300 lebih
kasus.
Angka-angka yang
diperbaharui tiap hari, bahkan tiap jam, itu bukan angka sebenarnya dalam arti
memang segitu yang terinfeksi virus. Angka itu merupakan angka korban Corona
yang terdata oleh pemerintah, yang “ketahuan” oleh pemeritah. Apakah semua
sudah terdata? Apakah sudah semua “ketahuan”? Saya yakin belum. Angka riilnya,
boleh jadi jauh lebih banyak dari data pemerintah.
Diluar semua
angka-angka itu, diluar semua realitas objektif yang ada, fenomena Covid-19 ini
sudah banyak dimaknai, ditafsirkan, diinterpretasi jauh keluar dari ranah
kesehatan. Seorang pemuka agama dengan lantang menyebut Corona sebagai “tentara
Allah”. Yang lain menyebutnya sebagai adzab.
Ada pula yang
sudah mengambil hikmah dari peristiwa ini. Pandemi ini adalah akibat dosa umat
manusia melupakan Tuhan. Agaknya ini adalah hikmah umum dari tiap bencana. Agama-agama
mengajarkan demikian. Bila ada bencana, alam maupun wabah penyakit, itu sudah
pasti adalah teguran Tuhan karena manusia lalai atau kelewatan memperlakukan dunia.
Tsunami, gunung meletus, gempa bumi, kebakaran hutan, angin putting beliung,
dan banjir adalah bencana akibat manusia semena-mena memperlakukan alam.
Perkara hikmah,
tafsir, dan interpretasi, semuanya benar sejauh ada yang meyakininya demikian. Ini
bisa menjadi keyakinan personal maupun kolektif. Bahwa SARS-CoV-2 menyebabkan
infeksi saluran pernafasan, menyebabkan gagal nafas, dan virus ini menyebar
melalui butiran halus air ludah (droplet),
ini adalah fakta biologis yang agak sukar dibantah, apa pun agama dan keyakinan
Anda.
Dari kaca mata
fenomenologi, memang ini juga interpretasi: persepsi sains tehadap peristiwa
yang dialami orang-orang secara massif dan simultan, dimulai dari Wuhan
kemudian meluas ke 182 negara. Kalau kita bertanya pada dukun, mereka mungkin
punya jawaban lain terkait apa yang menyebabkan semua bencana ini terjadi. Dan
kemungkinan besar, jawabnnya bukanlah SARS-Cov-2.
Beda pendekatan
dan sudut pandang berpotensi melahirkan kesimpulan, hikmah, tafsir, interpretasi,
dan persepsi yang beda pula. Sah-sah saja, mau pilih yang mana. Sejauh ini, saya
pribadi (masih) percaya pada persepsi sains
tentang fenomena ini. Karenanya—dan karena saya belum mampu “berijtihad”
sendiri—saya memilih untuk menuruti saran dokter dan ilmuwan. Seraya itu, saya
mengamini dan berupaya manut pada nasihat
para pemuka agama yang menghormati akal sehat dan kemanusiaan.
Sehat selalu,
Kawan-kawan.
Semoga Tuhan
Seru Sekalian Alam senantiasa menjaga kesadaran kita.
Panjalu,
20 Maret 2020
sumber gambar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar